Diary
25 Agustus 2019,
23:00
malam, hari ke-117,
Aku ingin
menyampaikan tentang Batu Bertulis Nanga Mahap Sekadau Dan Batu Sampai Sanggau. Batu Bertulis
merupakan sebuah batu Andesit yang terpahatkan aksara atau tulisan di Kampung
Pahit, Desa Sebabas Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.
Aksara dan bentuk pada Batu Pahat ini memiliki kemiripan dengan tulisan dan
bentuk jimat warisan dari orang-orang tua masyarakat Sungkung. Pada jimat
tersebut terdapat bentuk tiang Dhug atau Chatra yang membentuk empat arah.
Tiang Dhug atau Chatra merupakan simbol dari tiang payung yang bermakna sebagai
pelindung kehidupan. Selain itu dimaknai
juga sebagai jalan menuju ke alam abadi yang terlindungi.
Bentuk dari tiang Dhug atau Chatra ini
bergerigi di masing-masing sisinya dan memiliki kemiripan dengan bentuk simbol
pada pahatan di Batu Pahat Sekadau. Bedanya pada jimat milik orang Sungkung
tersebut bentuk tiang Dhug atau Chatranya membentuk empat arah, sedangkan
bentuk tiang Dhug atau Chatra pada bentuk pahatan di Batu Pahat Sekadau
berbentuk tegak lurus keatas sebanyak delapan tiang. Dalam jimat itu terdapat
tulisan di tengah, yang pada pahatan Batu Pahat, tulisan tersebut terdapat pada
bagian atas pada tiang Dhug atau Chatra di tengah.
Bunyi dan
makna aksara di Batu Pahat Sekadau berdasarkan persamaan bentuk dan bunyi
dengan jimat orang Sungkung yang dibacakan dalam bentuk Pomang atau Mantra,
yaitu membacanya dari tiang Dhug atau Chatra kiri ke kanan adalah sebagai
berikut :
1.
Pada Tiang Dhug atau Chatra yang pertama tertulis dengan
bunyi :
“Whisak pavitramay atmavinay dharaḷaṁ
kannukalikay arukkan penaktiyay savikkunnay”.
Maknanya adalah pada masa
purnama mengabdilah ke
langit atas dengan memotong hewan ternak lembu yang banyak agar suci ruh dan jiwa
menjadi tenang.
2.
Pada Tiang Dhug atau Chatra yang kedua tertulis dengan
bunyi :
“Mukaylilum taleyumay senehikkappetay
nallay bhaṣa satayasandhamay sukṣikkuka”.
Maknanya adalah jaga
bahasa yang baik dengan jujur agar disayangi di alam atas dan alam bawah.
3.
Pada Tiang Dhug atau Chatra yang ketiga tertulis dengan
bunyi :
“Niyamannay illayet sekharikkarut
karanam raktam measam sevabhavattilay viylunnu”.
Maknanya adalah jangan
berkumpul tanpa aturan atau jangan berzinah karena akan merusak keturunan yang
akan sering berbuat jahat.
4.
Pada Tiang Dhug atau Chatra yang keempat tertulis dengan
bunyi :
“Jivitavasanam pare janika acchaneaṭum
am mayeaṭum anusaraṇatteate samadhana paramay
adarap pular tuka vitinra tamas asthalay bahaksanay
nalki sapat ommikkukay annay rajayattinay semam nelay nilkayay”.
Maknanya adalah hiduplah
damai dengan hormat dan patuh kepada ayah dan ibu yang telah melahirkan hingga akhir hidup mereka dan nafkahi orang tua selama tinggal
bersama di rumah agar sejahtera negerimu.
5.
Pada Tiang Dhug atau Chatra yang kelima tertulis dengan
bunyi :
“Samadhanatteatay jipikkukay whesak
kannukalikay anum pennam ara jead tamasikkunnay rajyam santamakkukay”.
Maknanya adalah agar hidup
damai maka pada masa purnama potonglah hewan ternak lembu jantan betina
satu pasang agar tentram negeri tempat tinggalmu.
6.
Pada Tiang Dhug atau Chatra yang keenam tertulis dengan
bunyi :
“Perakrati nalkiyay senehat behinnippik
ellay manusya reyum senehikkukay”.
Maknanya adalah sayangi
semua makhluk manusia dengan membagi kasih sayang yang diberikan alam atas yang
bercahaya.
7.
Pada Tiang Dhug atau Chatra yang ketujuh tertulis dengan
bunyi :
“Samadhanatteay jivikkukay whesak
areagya mulatum sampan navumay ara kuṭumba bhavanattinay an kannuk alikay ara
jeati kannukalikay murikkukay”.
Maknanya adalah agar hidup damai pada purnama potonglah
hewan ternak lembu jantan betina satu pasang agar sejahtera dan sehat semua keluarga
di rumah.
8.
Pada Tiang Dhug atau Chatra yang kedelapan tertulis
dengan bunyi :
“Perakrati ayacca kalppanaprakaram
ella verkasanna luteyum vanam paripalikkukay”.
Maknanya adalah peliharalah
alam hutan sesuai perintah yang diutus alam atas.
Batu Pahat Sekadau maknanya berisi delapan
perintah atau aturan kehidupan dan ibadah yang berada dalam tiang Dhug atau
Chatra sebagai simbol pelindung menuju ke alam atas. Salah satu perintah atau
aturan kehidupan itu adalah kewajiban memotong atau berkurban lembu atau sapi pada
masa bulan purnama. Hal ini memiliki persamaan dengan Prasasti Yupa Kutai yaitu
memotong lembu atau sapi seperti dilakukan Raja Mulawarmman
memberikan banyak sapi kepada kaum Brahmana untuk dipotong sebagai kurban.
Berdasarkan persamaan
pelaksanaan ritual pemotongan atau berkurban lembu atau sapi yang terdapat
dalam makna bunyi tulisan di Batu Pahat Sekadau dengan Prasasti Yupa Kutai,
maka tulisan di Batu Pahat Sekadau ini memiliki masa yang sama atau sezaman
dengan keberadaan Prasasti Yupa Kutai. Namun jika di telaah dari aksaranya yang
tidak beraturan dengan begitu banyak jenis abjad, maka kemungkinan aksara di
Batu Pahat Sekadau ini lebih tua dari aksara pada Prasasti Yupa Kutai.
Selanjutnya, ritual
pemotongan atau berkurban lembu atau sapi ini juga memiliki kemiripan dengan
ritual yang dilaksanakan agama asli Kalimantan yaitu agama Kaharingan. Ritual
pemotongan atau berkurban lembu atau sapi dilaksanakan dalam ritual Tiwah.
Artinya bahwa Batu Pahat Sekadau ini merupakan warisan peradaban masyarakat
Kalimantan pada masa dahulu karena terdapat kemiripan dengan ritual Tiwah yang
menjadi tradisi dalam agama asli Kalimantan yaitu agama Kaharingan.
Adapun cara membaca aksara
atau tulisan pada Batu Pahat di Sekadau ini berdasarkan cara baca jimat Orang
Sungkung yang dibunyikan sebagai Pomang atau Mantra adalah dari bawah keatas.
Adapun Aksara di Batu Sampai
Sanggau berdasarkan Jimat
orang Tobak’ng yang dibacakan dalam bentuk Pomang atau mantra berbunyi “Dyaa’ diing’
d’oo’, Hyaa Kaiinangaxaii
zaa’oona’ rhiinayith”. Maknanya yaitu Kesempurnaan Langit dan Bumi Keduanya, Tuhan
Yang Maha Permulaan dan Maha Berkuasa Menciptakan Kehidupan. Adapun cara membaca Aksara di
Batu Sampai Sanggau berdasarkan jimat orang Tobak’ng adalah dari kiri ke kanan
dengan terdapat tanda bacanya. Dan Aksara ini disebut sebagai Aksara Gholiks
atau Tulisan Batu.
Sebagaimana berbagai temuan purbakala di Kalimantan,
seringkali temuan yang dapat dipindahkan kemudian dibawa keluar daerah atau keluar
pulau dengan alasan untuk penelitian lebih lanjut, seperti yang terjadi pada
Prasasti Yupa Kutai yang kemudian dibawa keluar pulau. Aku kira, jika nanti
ditemukan lagi temuan purbakala, semestinya tetap saja benda temuan tersebut di
daerah asalnya, jangan dibawa keluar. Jika pun akan dilakukan penelitian lebih
lanjut, lebih baik Tim Peneliti saja yang datang ke tempat ditemukannya temuan
purbakala tersebut. Karena jika benda purbakala tersebut dibawa keluar daerah,
akan menghilangkan kesempatan bagi Putera Puteri Daerah untuk ikut meneliti dan
mengkajinya. Karena bagaimanapun bahwa benda-benda purbakala tersebut memiliki
hubungan dengan masyarakat setempat, sehingga masyarakat setempat khususnya
Putera Puteri Daerah harus diberi kesempatan untuk meneliti dan mengkaji
benda-benda purbakala tersebut. Namun jika benda-benda purbakala tersebut
dibawa keluar daerah atau pulau, maka hal ini telah menghilangkan hak dan
kesempatan bagi Putera Puteri Daerah untuk meneliti benda-benda purbakala
tersebut.
Ada baiknya Pemerintah Daerah dimana ditemukan
benda-benda purbakala tersebut membuat Peraturan Daerah tentang hal ini, yaitu
setiap ditemukan benda-benda purbakala di daerah tersebut maka benda-benda
tersebut tidak boleh dibawa keluar daerah tempat ditemukannya benda-benda
purbakala tersebut. Karena keberadaan benda-benda purbakala itu pada tempat
asalnya akan menjadikan kebanggaan bagi masyarakat di daerah tersebut,
sekaligus sebagai bukti identitas Nenek Moyang mereka pada masa dahulu.