Minggu, 25 Agustus 2019

Batu Pahat Sekadau dan Batu Sampai Sanggau


Diary 25 Agustus 2019,
23:00 malam, hari ke-117,
Aku ingin menyampaikan tentang Batu Bertulis Nanga Mahap Sekadau Dan Batu Sampai Sanggau. Batu Bertulis merupakan sebuah batu Andesit yang terpahatkan aksara atau tulisan di Kampung Pahit, Desa Sebabas Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Aksara dan bentuk pada Batu Pahat ini memiliki kemiripan dengan tulisan dan bentuk jimat warisan dari orang-orang tua masyarakat Sungkung. Pada jimat tersebut terdapat bentuk tiang Dhug atau Chatra yang membentuk empat arah. Tiang Dhug atau Chatra merupakan simbol dari tiang payung yang bermakna sebagai pelindung kehidupan.  Selain itu dimaknai juga sebagai jalan menuju ke alam abadi yang terlindungi.
Bentuk dari tiang Dhug atau Chatra ini bergerigi di masing-masing sisinya dan memiliki kemiripan dengan bentuk simbol pada pahatan di Batu Pahat Sekadau. Bedanya pada jimat milik orang Sungkung tersebut bentuk tiang Dhug atau Chatranya membentuk empat arah, sedangkan bentuk tiang Dhug atau Chatra pada bentuk pahatan di Batu Pahat Sekadau berbentuk tegak lurus keatas sebanyak delapan tiang. Dalam jimat itu terdapat tulisan di tengah, yang pada pahatan Batu Pahat, tulisan tersebut terdapat pada bagian atas pada tiang Dhug atau Chatra di tengah.
Bunyi dan makna aksara di Batu Pahat Sekadau berdasarkan persamaan bentuk dan bunyi dengan jimat orang Sungkung yang dibacakan dalam bentuk Pomang atau Mantra, yaitu membacanya dari tiang Dhug atau Chatra kiri ke kanan adalah sebagai berikut :
1.        Pada Tiang Dhug atau Chatra yang pertama tertulis dengan bunyi :
“Whisak pavitramay atmavinay dharaḷaṁ kannukalikay arukkan penaktiyay savikkunnay”.
Maknanya adalah pada masa purnama mengabdilah ke langit atas dengan memotong hewan ternak lembu yang banyak agar suci ruh dan jiwa menjadi tenang.
2.        Pada Tiang Dhug atau Chatra yang kedua tertulis dengan bunyi :
“Mukaylilum taleyumay senehikkappetay nallay bhaṣa satayasandhamay sukṣikkuka”.
Maknanya adalah jaga bahasa yang baik dengan jujur agar disayangi di alam atas dan alam bawah.
3.        Pada Tiang Dhug atau Chatra yang ketiga tertulis dengan bunyi :
Niyamannay illayet sekharikkarut karanam raktam measam sevabhavattilay viylunnu”.
Maknanya adalah jangan berkumpul tanpa aturan atau jangan berzinah karena akan merusak keturunan yang akan sering berbuat jahat.
4.        Pada Tiang Dhug atau Chatra yang keempat tertulis dengan bunyi :
Jivitavasanam pare janika acchaneaṭum am mayeaṭum anusaraṇatteate samadhana  paramay  adarap  pular tuka vitinra tamas asthalay bahaksanay nalki sapat ommikkukay annay rajayattinay semam nelay nilkayay”.
Maknanya adalah hiduplah damai dengan hormat dan patuh kepada ayah dan  ibu yang telah melahirkan hingga akhir hidup mereka dan nafkahi orang tua selama tinggal bersama di rumah agar sejahtera negerimu.
5.        Pada Tiang Dhug atau Chatra yang kelima tertulis dengan bunyi :
Samadhanatteatay jipikkukay whesak kannukalikay anum pennam ara jead tamasikkunnay rajyam santamakkukay”.
Maknanya adalah agar hidup  damai maka pada masa purnama potonglah hewan ternak lembu jantan betina satu pasang agar tentram negeri tempat tinggalmu.
6.        Pada Tiang Dhug atau Chatra yang keenam tertulis dengan bunyi :
“Perakrati nalkiyay senehat behinnippik ellay manusya reyum senehikkukay”.
Maknanya adalah sayangi semua makhluk manusia dengan membagi kasih sayang yang diberikan alam atas yang bercahaya.
7.        Pada Tiang Dhug atau Chatra yang ketujuh tertulis dengan bunyi :
Samadhanatteay jivikkukay whesak areagya mulatum sampan navumay ara kuṭumba bhavanattinay an ​​kannuk alikay ara jeati kannukalikay murikkukay”.
Maknanya adalah agar hidup damai pada purnama potonglah hewan ternak lembu jantan betina satu pasang agar sejahtera dan sehat semua keluarga di rumah.
8.        Pada Tiang Dhug atau Chatra yang kedelapan tertulis dengan bunyi :
Perakrati ayacca kalppanaprakaram ella verkasanna luteyum vanam paripalikkukay”.
Maknanya adalah peliharalah alam hutan sesuai perintah yang diutus alam atas.

Batu Pahat Sekadau maknanya berisi delapan perintah atau aturan kehidupan dan ibadah yang berada dalam tiang Dhug atau Chatra sebagai simbol pelindung menuju ke alam atas. Salah satu perintah atau aturan kehidupan itu adalah kewajiban memotong atau berkurban lembu atau sapi pada masa bulan purnama. Hal ini memiliki persamaan dengan Prasasti Yupa Kutai yaitu memotong lembu atau sapi seperti dilakukan Raja Mulawarmman memberikan banyak sapi kepada kaum Brahmana untuk dipotong sebagai kurban.
Berdasarkan persamaan pelaksanaan ritual pemotongan atau berkurban lembu atau sapi yang terdapat dalam makna bunyi tulisan di Batu Pahat Sekadau dengan Prasasti Yupa Kutai, maka tulisan di Batu Pahat Sekadau ini memiliki masa yang sama atau sezaman dengan keberadaan Prasasti Yupa Kutai. Namun jika di telaah dari aksaranya yang tidak beraturan dengan begitu banyak jenis abjad, maka kemungkinan aksara di Batu Pahat Sekadau ini lebih tua dari aksara pada Prasasti Yupa Kutai.
Selanjutnya, ritual pemotongan atau berkurban lembu atau sapi ini juga memiliki kemiripan dengan ritual yang dilaksanakan agama asli Kalimantan yaitu agama Kaharingan. Ritual pemotongan atau berkurban lembu atau sapi dilaksanakan dalam ritual Tiwah. Artinya bahwa Batu Pahat Sekadau ini merupakan warisan peradaban masyarakat Kalimantan pada masa dahulu karena terdapat kemiripan dengan ritual Tiwah yang menjadi tradisi dalam agama asli Kalimantan yaitu agama Kaharingan.
Adapun cara membaca aksara atau tulisan pada Batu Pahat di Sekadau ini berdasarkan cara baca jimat Orang Sungkung yang dibunyikan sebagai Pomang atau Mantra adalah dari bawah keatas.
Adapun Aksara di Batu Sampai Sanggau berdasarkan Jimat orang Tobak’ng yang dibacakan dalam bentuk Pomang atau mantra berbunyi “Dyaa’ diing’ d’oo’, Hyaa Kaiinangaxaii zaa’oona’ rhiinayith”. Maknanya yaitu Kesempurnaan Langit dan Bumi Keduanya, Tuhan Yang Maha Permulaan dan Maha Berkuasa Menciptakan Kehidupan. Adapun cara membaca Aksara di Batu Sampai Sanggau berdasarkan jimat orang Tobak’ng adalah dari kiri ke kanan dengan terdapat tanda bacanya. Dan Aksara ini disebut sebagai Aksara Gholiks atau Tulisan Batu.
Sebagaimana berbagai temuan purbakala di Kalimantan, seringkali temuan yang dapat dipindahkan kemudian dibawa keluar daerah atau keluar pulau dengan alasan untuk penelitian lebih lanjut, seperti yang terjadi pada Prasasti Yupa Kutai yang kemudian dibawa keluar pulau. Aku kira, jika nanti ditemukan lagi temuan purbakala, semestinya tetap saja benda temuan tersebut di daerah asalnya, jangan dibawa keluar. Jika pun akan dilakukan penelitian lebih lanjut, lebih baik Tim Peneliti saja yang datang ke tempat ditemukannya temuan purbakala tersebut. Karena jika benda purbakala tersebut dibawa keluar daerah, akan menghilangkan kesempatan bagi Putera Puteri Daerah untuk ikut meneliti dan mengkajinya. Karena bagaimanapun bahwa benda-benda purbakala tersebut memiliki hubungan dengan masyarakat setempat, sehingga masyarakat setempat khususnya Putera Puteri Daerah harus diberi kesempatan untuk meneliti dan mengkaji benda-benda purbakala tersebut. Namun jika benda-benda purbakala tersebut dibawa keluar daerah atau pulau, maka hal ini telah menghilangkan hak dan kesempatan bagi Putera Puteri Daerah untuk meneliti benda-benda purbakala tersebut.
Ada baiknya Pemerintah Daerah dimana ditemukan benda-benda purbakala tersebut membuat Peraturan Daerah tentang hal ini, yaitu setiap ditemukan benda-benda purbakala di daerah tersebut maka benda-benda tersebut tidak boleh dibawa keluar daerah tempat ditemukannya benda-benda purbakala tersebut. Karena keberadaan benda-benda purbakala itu pada tempat asalnya akan menjadikan kebanggaan bagi masyarakat di daerah tersebut, sekaligus sebagai bukti identitas Nenek Moyang mereka pada masa dahulu.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Kerajaan Kapuhas Katingan (Nan Sarunai) Dalam Prasasti Yupa Kutai


KERAJAAN KAPUHAS KATINGAN (NAN SARUNAI)
DALAM PRASASTI YUPA KUTAI

Prasasti Yupa ditemukan di Desa Brubus, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Prasasti Yupa ini berjumlah tujuh buah dan disebut Prasasti Yupa Kutai karena ditemukan di Kutai. Permulaan Prasasti Yupa ini ditemukan pada tanggal 9 September 1879 sebanyak empat Yupa oleh Asisten Residen Kutai. Penemuan itu dilaporkan kepada pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchappen. Setahun kemudian keempat Yupa itu dibawa ke Batavia dan disimpan dalam koleksi Arkeologi di Museum BGKW yang kemudian menjadi Museum Nasional, dengan nomor inventaris D2 a-d.
Pada akhir tahun 1940, di daerah yang sama ditemukan kembali tiga Yupa. Seperti keempat Yupa sebelumnya, semua dibawa ke Batavia dan diberi nomor inventaris D175-D177. Tidak semua Yupa yang telah ditemukan dalam kondisi baik. Yupa dengan nomor inventaris D2 d aksaranya sudah terhapus dan tidak diketahui isinya. Pahatan yang masih terlihat jelas hanya bentuk segi empat kecil bekas kepala aksara yang disebut box-heads oleh JG. de Casparis. Melihat dari ciri-ciri gaya penulisannya, de Casparis menamakan aksara Kutai ini sebaga Early Pallawa atau Pallawa Tua yang diperkirakan berasal dari sekitar tahun 400 Masehi atau kira-kira setengah abad sebelumnya.
Makna yang terkandung dalam Prasasti Yupa merupakan hasil terjemahan dari JG. de Casparis, yang rupanya de Casparis merujuk pada Kroniks Fa Hsien, yaitu catatan salah seorang Pendeta Buddha berbangsa China yang melakukan perjalanan ke Varuna Dvipa (Pulau Dewa Laut / Kalimantan) tahun 399-414 Masehi. Artinya bahwa perkiraan tahun keberadaan Prasasti Yupa ini disebutkan sekitar 400 Masehi belum sepenuhnya dilakukan kajian sejarah yang mendalam, karena bisa jadi bahwa keberadaan Prasasti Yupa ini lebih tua dari tahun 400 Masehi yang telah ditetapkan.
Dalam terjemahan JG. de Casparis hanya menyebutkan tiga nama saja yang terdapat dalam Prasasti Yupa, sedangkan jika dilihat dalam Prasasti Yupa, begitu juga jika merujuk pada Kroniks Fa Hsien terdapat lima nama yang disebutkan, dan salah satunya adalah nama Raja Leluhur Kerajaan Kapuhas Katingan atau Nan Sarunai. Artinya memang belum optimal pengungkapan dan kajian isi dari Prasasti Yupa tersebut karena terdapat nama-nama yang tidak disebutkan.
Dalam salah satu Prasasti Yupa jelas-jelas disebutkan bahwa pemberian sapi yang banyak untuk dikurbankan dari Raja Mulawarman adalah untuk upacara memperingati kematian salah seorang Miharaja Leluhur Kerajaan Kapuhas Katingan atau Nan Sarunai. Jika merujuk pada proses pengurbanan atau pemotongan sapi dalam upacara kematian maka upacara adat ini adalah Ritual Tiwah yang merupakan ritual kuno masyarakat asli Kalimantan. Artinya Prasasti Yupa ini adalah warisan agama Kaharingan Kalimantan. Dan jika merujuk pada nama salah seorang Miharaja Kerajaan Kapuhas Katingan atau Nan Sarunai yang disebutkan dalam salah satu Prasasti tersebut, maka masa keberadaan Prasasti Yupa ini lebih tua dari tahun 400 Masehi.
Prasasti Yupa merupakan warisan peninggalan purbakala dari peradaban masyarakat dan agama asli Kalimantan pada masa dahulu yang sekarang ini disebut Kaharingan dan bukan peninggalan agama Hindu atau Buddha, karena dari ketujuh Prasasti Yupa, kata-kata Yupa selalu diulang-ulang yaitu pada Prasasti pertama nomor D2a, kedua D2b, ketiga D2c, kelima D175, dan ketujuh D177.
Yupa memiliki makna sebagai tempat mengurbankan sesuatu atau persembahan, yang dalam hal ini adalah sebagai tempat untuk mengikat sesuatu yang akan dikurbankan atau dipersembahkan. Itulah sebabnya mengapa Prasasti ini disebut Yupa yang berarti Tugu Peringatan Tempat Pengurbanan. Sehingga jelas sekali bahwa Prasasti Yupa ini merupakan peninggalan ritual Tiwah dalam agama Kaharingan.
Karena ditemukan di Kutai sehingga Prasasti Yupa ini disebut Prasasti Yupa Kutai, dan nama negerinya kemudian disebutkan sebagai Kutai. Padahal dalam salah satu Prasasti Yupa ada disebutkan nama negerinya tempat Raja Mulawarman berkuasa. Artinya keberadaan Prasasti Yupa ini memang belum optimal dikaji sejarah dan asal usulnya, karena hanya berpedoman pada terjemahan dari JG. de Casparis. Sedangkan de Casparis merujuk pada Kroniks Fa Hsien tahun 399-414 Masehi.

3 Sumber


Diary 24 Agustus 2019,
23:00 malam, hari ke-116,
Aku ingin menyampaikan kepada yang akan menulis tentang Sejarah Kalimantan. Berpeganglah pada ketiga sumber ini jika Anda akan menulis Sejarah Kalimantan, yaitu :
1.        Prasasti Yupa Kutai.
2.        Batu Pahat Sekadau.
3.        Batu Sampai Sanggau.
Maka Anda akan sampai ke Kalimantan. Karena ketiga sumber tersebut merupakan sumber yang otentik dan akurat sebagai peninggalan tertulis purbakala masyarakat Kalimantan pada masa dahulu. Jika Anda berpegang pada sumber lain, apalagi pada teori yang hanya sekedar teori, percayalah, Anda akan tersesat ke alam antah berantah yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Jumat, 23 Agustus 2019

PANEMBAHAN SINGKAWAK DAN PANEMBAHAN SENGGAOK


PANEMBAHAN SINGKAWAK DAN PANEMBAHAN SENGGAOK
Panembahan Singkawak beda dengan Panembahan Senggaok. Keduanya berbeda masa. Panembahan Singkawak yang menikah dengan Puteri Cermin, anak perempuannya Raja Kahhar. Pada masa kedatangan Raja Kahhar ke Singkawak inilah yang menjadi asal muasal nama Singkawang.
Dari pernikahan Panembahan Singkawak dengan Putri Cermin dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati. Ketika berusia gadis, Utin Inderawati ditunangkan oleh Panembahan Singkawak dengan Raja Sambas bernama Ratu Anum Kusumayuda. Namun Utin Inderawati tidak bersedia bertunangan dengan Ratu Anum Kusumayuda karena merasa kurang cocok dihatinya. Maka pada masa inilah terjadi peristiwa “Pucuk Mempaoh”, yang menjadi asal muasal nama Mempawah. Kemudian terjadi juga peristiwa Perjanjian Batu Belah antara Panembahan Singkawak dengan Raja Sambas Ratu Anum Kusumayuda.
Sedangkan Panembahan Senggaok yang bersengketa dengan Opu Daeng Menambon, yang kemudian didamaikan oleh Raja Landak Ratu Bagus.

Daftar Judul Buku



Diary 23 Agustus 2019,
21:00 malam, hari ke-115,
Ku terima beberapa WA yang mempertanyakan daftar judul bukuku. Aku pun mengirimkannya. Namun aku berpikir, mungkin lebih baik aku posting saja daftar judul buku yang telah ku tulis. Terdapat beberapa judul buku umum, namun kebanyakan merupakan buku-buku sejarah dan budaya.
Awal mula aku menulis buku-buku ini yaitu pada tahun 2012 aku berencana akan menulis tentang sejarah dan budaya. Aku pun meminta izin kepada beberapa tokoh masyarakat. Mereka mengizinkannya dengan syarat bahwa setiap apa pun yang ku temukan dalam mengumpulkan bahan-bahan tulisanku maka harus aku laporkan kepada mereka. Pahit getirnya hasil temuanku itu mereka harus tahu. Aku pun menyanggupinya. Maka mulailah aku mengumpulkan data-data sebagai bahan tulisanku.
Pada saat itu aku dibantu oleh Pak Nan Uban di Setompak. Pak Nan banyak membawaku ke tempat-tempat agar aku mendapatkan data sebagai bahan tulisanku. Banyak data-data, dokumen, photo dan berbagai sumber yang ku kumpulkan bersama Pak Nan.
Setiap kali aku mendapatkan data-data, selalu aku laporkan kepada beberapa tokoh masyarakat tersebut. Hingga ke beberapa kali laporanku, mereka mulai tidak bersedia menerimaku lagi. Karena setiap data-data yang ku laporkan tidak seperti yang diharapkan. Mereka pun mulai membatasi aku untuk bertemu mereka lagi.
Hingga kemudian semakin banyak data yang ku kumpulkan. Aku menjadi bingung, bagaimana dengan data-data yang telah ku kumpulkan ini? Sedangkan aku sudah tidak bisa lagi bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat itu untuk melaporkan berbagai hasil temuanku karena mereka sudah tidak bersedia lagi menerimaku.
Dengan melihat begitu banyak data-data yang telah ku kumpulkan, akhirnya aku mulai menulisnya satu persatu. Tujuanku agar setiap temuanku tidak hilang begitu saja dan terangkum dalam sebuah buku. Setelah menjadi sebuah buku, aku daftarkan ISBN nya. Dan ku sampaikan buku-buku tersebut ke Perpustakaan Nasional di Jakarta dan Perpustakaan Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak. Yang kufikirkan hanya menyelamatkan berbagai temuan saja, sehingga dalam pencetakannyapun sangat terbatas. Sekedar cukup untuk disampaikan ke Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Provinsi serta arsip pribadiku. Semoga ini bermanfaat kelak, dan dapat membuka wawasan masyarakat untuk “Melek Sejarah”.

Kamis, 22 Agustus 2019

Kalimantan, Peradaban Tertua di Nusantara


Diary 22 Agustus 2019,
19:00 malam, hari ke-114,
Seringkali aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana proses peradaban sejarah dan budaya di Nusantara ini. Akalku pun mulai mengkaji, apa-apa yang menjadi sumber otentik di Nusantara ini yang tidak terbantahkan dan telah diakui ke akuratannya. Satu persatu Akalku mulai mengkaji setiap teori dan temuan purbakala yang dapat ku jadikan dasar untuk membuat kesimpulan tentang proses peradaban sejarah dan budaya di Nusantara.
Dalam proses mengkaji, Akalku mulai menyingkirkan setiap teori yang banyak berseliweran disana sini karena Akalku berkata bahwa teori-teori tersebut tidak ditemukan sumber utamanya. Kebanyakan hanya menggiring opini khalayak agar demikian sejarahnya tentang proses peradaban sejarah dan budaya Nusantara.
Hingga kemudian Akalku menuntun aku untuk mengkaji setiap temuan purbakala yang telah diakui keakuratan dan keotentikannya. Maka sampailah aku pada temuan Transkrip Purbakala yang menjadi rekam sejarah pada masa dahulu yaitu Prasasti Yupa Kutai.
Prasasti Yupa Kutai merupakan Transkrip Purbakala yang telah diakui keakuratan dan keotentikannya dalam menjelaskan situasi peradaban sejarah dan kebudayaan masyarakat Nusantara pada masa dahulu. Selain Prasasti Yupa Kutai, belum ada temuan yang diakui dapat menyamai kedudukan Prasasti Yupa Kutai. Sehingga Prasasti Yupa Kutai adalah sumber tertulis tertua di Nusantara.
Prasasti Yupa Kutai telah diakui sebagai petunjuk keberadaan Kerajaan Kutai sebagai Kerajaan Tertua di Nusantara. Artinya sebagai Kerajaan tertua di Nusantara, maka Kerajaan Kutai merupakan sumber awal proses peradaban sejarah dan kebudayaan di Nusantara.
Bukankah demikian? Setiap yang tertua, tentunya akan mempengaruhi proses perkembangan baik bentuk, ciri dan perilaku bagi mereka-mereka yang lebih muda. Karena mustahil jika yang muda-muda membawa pengaruh kepada yang lebih tua.
Untuk hal ini maka aku katakan, bahwa setiap apa-apa yang ada di Nusantara ini adalah hasil dari pengaruh peradaban Sejarah dan Kebudayaan tertua di Nusantara yang dalam hal ini adalah Kerajaan Kutai yang telah diakui sebagai Kerajaan tertua di Nusantara. Artinya setiap perkembangan kerajaan-kerajaan di Nusantara ini baik dari bentuk, ciri dan perilaku merupakan hasil pengaruh dari Kerajaan Kutai sebagai Kerajaan Tertua yang berada di Kalimantan. Dengan kata lain adalah peradaban Sejarah dan Kebudayaan Kalimantan telah membawa pengaruh kepada peradaban Sejarah dan Kebudayaan di Nusantara.
Jika kemudian ada yang menyebutkan bahwa peradaban sejarah dan kebudayaan Kerajaan Kutai atau Kalimantan dipengaruhi dari luar, maka jelas ini rekayasa yang tidak memiliki dasar dan sumbernya. Karena mustahil peradaban dari luar Kalimantan di Nusantara yang kedudukannya lebih muda mempengaruhi peradaban Kalimantan yang lebih tua. Siapa yang duluan lahir? Bukankah demikian?

Senin, 19 Agustus 2019

Sejarah Terbentuknya Pemerintahan Daerah


Diary kedua,
19 Agustus 2019,
21:00 malam,
Hari ini merupakan hari bersejarah bagi Pemerintah Daerah. 74 tahun yang lalu, tanggal 19 Agustus 1945, mulai terbentuknya Pemerintah Daerah. Saat itu, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membentuk Pemerintahan Daerah dengan membagi Indonesia menjadi 8 provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur, yaitu :
1.        Sumatra dengan Teuku Mohammad Hassan sebagai gubernurnya.
2.        Jawa Barat dengan Sutarjo Kartohadikusumo sebagai gubernurnya.
3.        Jawa Tengah dengan R. Panji Suroso sebagai gubernurnya.
4.        Jawa Timur dengan R.A Suryo sebagai gubernurnya.
5.        Sunda Kecil dengan Mr. I Gusti Ketut Puja Suroso sebagai gubernurnya.
6.        Maluku dengan Mr. J. Latuharhary sebagai gubernurnya.
7.        Sulawesi dengan Dr.G.S.S.J. Ratulangi  sebagai gubernurnya.
8.        Kalimantan dengan Ir. Pangeran Mohammad Nor sebagai gubernurnya.

Sebelumnya tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, kemudian tanggal 18 Agustus 1945 menunjuk Presiden dan Wakil Presiden yaitu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta, maka pada hari ini, tanggal 19 Agustus, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mulai menyusun alat kelenggkapan negara, diantaranya membentuk Pemerintahan Daerah.
Pada hari ini juga, ikrar masing-masing daerah yaitu dari Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan untuk menghapus sistem Kerajaan dengan bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat penuh. Tidak ada lagi kerajaan, apa lagi negara didalam negara, yang ada adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun kemudian aku bertanya-tanya setelah aku membaca beberapa buku tentang sejarah, karena terdapat tulisan yang menyampaikan adanya penunjukan raja oleh Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bagiku ini sungguh aneh. Apalagi penunjukkan raja terakhir tersebut menjadi dasar untuk mengangkat raja yang akan dimunculkan pada masa sekarang. Ini sangat aneh.
Di Kalimantan Barat, ketika fasisme Jepang, hampir merata semua raja dan keturunannya di bawa ke Mandor dan di penggal Jepang. Sehingga tidak ada lagi trah kerajaan pada masa itu. Dan kejadian tersebut berlangsung hingga terjadinya revolusi rakyat untuk memerdekakan diri, yang berujung pada di Proklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Hingga kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945, sepakat semua daerah menghapus sistem kerajaan dan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka lahirlah Pemerintahan Daerah yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Jika kemudian ada yang menyatakan bahwa terjadi penunjukkan raja dari Belanda setelah Indonesia Merdeka, bukankah sangat aneh? Pada masa itu rakyat Indonesia berjuang mengusir Jepang dari Kalimantan Barat, setelah itu berjuang lagi agar Belanda tidak masuk dan menguasai Kalimantan Barat lagi, tahu-tahu ada yang menyatakan telah ditunjuk Belanda menjadi raja. Sungguh ini melukai perjuangan dan pengorbanan rakyat yang telah merelakan darah dan nyawanya membela dan mempertahankan kemerdekaan. Apalagi pada masa itu perjuangan sangat berat karena ada pihak-pihak yang akan membawa kembali Belanda bercokol di bumi Kalimantan Barat ini. Jadi ketika terjadi perjuangan rakyat merebut kemerdekaan, kemana kah mereka ini? Ikut berjuangkah atau bagaimana?
Dan sungguh anehnya, raja terakhir yang diangkat Belanda setelah Indonesia Merdeka inilah yang kemudian menjadi dasar penunjukkan raja pada masa sekarang. Semestinya dasar utama yang dipergunakan adalah silsilah raja yang terakhir sebelum Indonesia Merdeka, yaitu silsilah ketika terjadi pembantaian raja-raja oleh Jepang. Karena raja yang ditunjuk oleh Belanda setelah Indonesia Merdeka, sudah jelas pada masa itu tidak mendukung terwujudnya Kemerdekaan Indonesia. Mungkin juga tidak bersedia untuk bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukankah demikian?
Semestinya ini menjadi kajian yang mendalam bagi Pemerintah Daerah. Karena pemunculan raja-raja ini juga menjadi bagian tanggung jawab Pemerintah Daerah, terutama dalam menentukan syah atau tidaknya silsilah raja-raja tersebut.

Minggu, 18 Agustus 2019

Borobudur Simbol Chatra Mala Yantra


Diary 18 Agustus 2019,
19:00 malam,
Hari ke-110, entah mengapa hari ini aku berkata kepada istriku bahwa aku sangat rindu makan kue Kokes Sungai Jawi. Istriku lama menjawabnya, seakan ragu namun ia berkata juga, nanti jika ada kesempatan ke Pontianak akan disempatkan singgah membeli kue Kokes di Sungai Jawi. Meski tidak tahu kapan, namun jawaban istriku itu membuatku sedikit terhibur.
Memang banyak kenanganku dengan kue ini. Jadi wajar saja dalam kondisiku sedang terpuruk sekarang ini, kenangan-kenangan lama muncul secara tiba-tiba. Aku ingat dulu setelah tamat SMEA, aku bingung akan kemana. Selama beberapa hari aku sering keluar jam 5 pagi dan membeli kue Kokes di Sungai Jawi sebanyak 10 buah. Selanjutnya aku pergi ke depan Korem. Disana aku duduk memandangi sungai Kapuas sambil memakan 10 buah kue Kokes yang kubeli. Pikiranku pun melayang entah kemana. Aku seperti bertanya kepada Sungai Kapuas, bagaimana masa depanku nanti? Sungai Kapuas tidak menjawabnya. Ku lihat ia hanya beriak-riak kecil akibat hembusan angin dan kapal yang lewat.
Hal yang sama ku lakukan ketika aku selesai kuliah. Aku termenung di depan Korem sambil memakan 10 buah Kue Kokes yang kubeli di Sungai Jawi. Kembali aku bertanya kepada Sungai Kapuas, harus kemana aku setelah ini? Aku benar-benar sangat panik saat itu. Dan kembali Sungai Kapuas tidak menjawabnya, ia hanya beriak-riak kecil saja.
Cukup melelahkan juga keadaanku yang terpuruk ini. Namun aku tetap berjuang agar selalu berada didalam duniaku. Dan kembali aku membuka-buka tulisanku lagi. Maka tulisan tentang Chatra Mala Yantra ini yang ku pilih untuk di posting, karena memang belum pernah ku posting.
Chatra Mala Yantra adalah simbol yang berhubungan dengan Candi Borobudur. Mengapa hingga sekarang masih terjadi kontroversi tentang keberadaan Candi Borobudur? Ada yang menyatakan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan Agama Buddha. Hanya karena pada beberapa bagian atasnya terdapat banyak patung dalam posisi duduknya Agama Buddha. Namun ketika pertanyaan berlanjut, mengapa duduknya patung-patung tersebut membentuk pola tertentu? Dan setelah ditelusuri, pola-pola tersebut tidak ada jawabannya dalam agama Buddha. Ditambah lagi ribuan relief yang tersebar di berbagai penjuru bangunan Candi Borobudur, yang rupanya tidak mencirikan dari agama Buddha itu sendiri.
Kemudian terdapat juga yang menyatakan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman As. Apakah Nabi Sulaiman bertelinga panjang sebagaimana ciri pada setiap patung dan relief di Candi Borobudur? Selanjutnya patung dan relief adalah hasil karya bangsa Jin. Bagaimana bisa hasil karya bangsa Jin akan dinikmati oleh Bangsa Manusia? Alamnya saja berbeda. Jika ini adalah hasil karya bangsa Jin, semestinya Candi Borobudur akan banyak dikunjungi oleh bangsa Jin, karena merupakan hasil karya bangsa Jin dan semestinya bangunan ini tidak terlihat oleh mata setiap manusia. Tapi kenyataannya, bangunan purbakala ini terlihat oleh mata setiap manusia, dan yang mengunjunginya juga manusia. Jadi sudah jelas ini merupakan hasil karya bangsa manusia, bukan hasil karya bangsa Jin.
Memang sering terjadi setiap ditemukan situs-situs kuno selalu dihubungkan dengan Nabi Sulaiman. Sedangkan sejarah Nabi Sulaiman sudah jelas terurai dalam sejarah agama, terutama dalam agama Islam, bahwa Nabi Sulaiman adalah Nabi dan Rajanya Bangsa Israel yang istananya di Baitul Mukaddis. Banyak yang dengan mudah menghubungkan segala sesuatu dengan Nabi Sulaiman, tanpa melihat kembali sejarah Nabi Sulaiman yang ada dalam sejarah agama. Jika demikian, ada sebuah pulau bernama Pulau Salomon, apakah pulau ini akan dikatakan tempat asalnya Nabi Sulaiman? Kemudian ada ikan namanya ikan Salmon, apakah ikan ini berasal dari Nabi Sulaiman?
Rumitnya mengungkap sejarah Borobudur karena sejarahnya mesti dipaksakan demikian, sehingga ketika ditemukan fakta lain, maka sejarahnya menjadi rancu. Belum lagi seakan ada indikasi agar sejarahnya tidak mengarah pada wilayah tertentu, meskipun fakta-fakta mendukung dan memperkuat bahwa sepertinya peradaban Borobudur berasal dari wilayah tersebut. Ketika gambar Candi Borobudur diambil dari atas sudah terlihat bahwa wilayah bangunan purbakala tersebut membentuk simbol Chatra Mala Yantra. Mengapa simbol ini tidak ditelusuri hingga tuntas? Begitu juga pada relief-relief dan bangunan tempat patung-patung, banyak sekali bertebaran simbol Chatra Mala Yantra ini. Sehingga semestinya simbol Chatra Mala Yantra ini yang harus diungkap asal usulnya.Sepertinya penelitian yang ada seumpama mencari ikan di darat, padahal ikan tempatnya bukan di darat. Tapi ikan tempatnya di air. Jadi jika ingin mencari ikan, semestinya carilah ke air.
Adapun makna Chatra Mala Yantra secara sederhana adalah Pelindung Permulaan Negeri.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Peta Sebelum Wafatnya Nabi Sulaiman


Diary 17 Agustus 2019,
21:00 malam,
Hari ke- 109, cukup lama aku termenung, apa lagi yang bisa ku jual untuk melanjutkan hidupku. Bulan lalu telah ku jual motor Yamaha Vega R warna merah ku, syukurlah ada yang membelinya seharga 3 juta rupiah, sehingga aku masih bisa belanja untuk keperluan rumah. Kini kembali aku berpikir keras, bagaimana bulan depan? Aku pun mulai mengumpulkan besi-besi bekas yang ada di rumah barangkali bisa ku bawa ke tempat penampungan dan dapat di jual berapa pun harganya. Meski tidak banyak yang dapat ku kumpulkan, tapi ku harap, besi-besi tersebut dapat terjual meski perkiraanku harganya hanya terjual sekitar 50 ribuan, tapi tidak mengapa lah.
Melihat tumpukan besi-besi bekas tersebut, aku teringat bahwa aku pernah mengalami situasi ini. Setelah aku menikah tanggal 17 September 2004, aku mengalami kesulitan ekonomi yang buruk. Pada saat itu aku belum mendapatkan pekerjaan tetap. Pekerjaanku masih serabutan. Paginya aku berjualan bawang dan bumbu-bumbu masak di pasar pagi di Sepakat dan malamnya aku berjualan minuman dan rokok di Korem. Meski tidak seberapa keuntungan yang didapat, namun dapatlah untuk makan sehari-hari. Hingga bulan Desember 2004, istriku mulai hamil. Aku ingat pada saat itu penghujung Desember, ketika peristiwa Tsunami di Aceh. Namun kehamilan istriku ini dalam kondisi tidak baik, Bidan Puskesmas saat itu menyampaikan bahwa kandungan istriku sedang kondisi tidak sehat, janinnya kekurangan gizi, dan harus diberikan tambahan makanan bergizi diantaranya susu untuk ibu hamil. Aku tak bisa menjawab apakah bisa menyediakannya. Namun aku tidak sanggup melihat kondisi istriku yang saat itu sangat kurus dengan harus menanggung janin didalam perutnya. Maka mulailah aku mengumpulkan besi-besi bekas untuk dijual, dan pada saat itu dari hasil menjual besi-besi bekas aku dapat membeli susu untuk ibu hamil dan satu sisir pisang masak hijau. Mengumpulkan besi-besi bekas ku lakukan hingga bulan Maret 2005. Dan berat badan istriku semakin menurun dengan tensi darahnya semakin meninggi, sedangkan perutnya semakin membesar. Pada pemeriksaan lanjutan, Bidan Puskesmas pada saat itu menyarankan agar aku membawa istriku ke dokter spesialis kandungan untuk memastikan bahwa janin didalam perut istriku baik-baik saja karena Bidan Puskesmas tidak bisa meyakinkan bahwa janinnya baik-baik saja. Kami yang saat itu sangat kesulitan ekonomi tidak sanggup untuk pergi ke dokter spesialis kandungan. Kami pun pasrah dan tidak pernah memeriksakan kandungan tersebut. Meski pada masa mengandungi anak pertamaku ini dihantui dengan pikiran yang tidak baik tentang kondisi janinnya, Syukurlah anak pertamaku itu dapat lahir dengan sehat. Sekarang ia telah berumur 14 tahun dan bersekolah di kelas 3 SMP. Lama aku terkenang masa-masa sulit tersebut. Hingga kembali terlintas dalam benakku, apa lagi yang dapat ku posting untuk membagi pengetahuan kepada khalayak, barangkali dapat bermanfaat bagi kajian Ilmu Pengetahuan. Maka aku pun membuka-buka lagi tulisanku, dan ku pilih untuk memposting tulisanku tentang Borobudur. Namun pada postingan ini aku akan memposting peta sebelum wafatnya Nabi Sulaiman As.
Pada postingan ini aku mengajak berbagai pihak untuk bersama-sama mengkaji lagi tentang keberadaan Candi Borobudur. Terdapat salah satu pendapat yang menyatakan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman AS. Apalagi dalam paparannya disebutkan bahwa relief-relief di Candi Borobudur dibuat oleh Bangsa Jin dan batu-batu untuk membangun Candi Borobudur diambil di dasar laut di Papua. Aku kurang sependapat dengan hal ini. Karena jika relief-relief tersebut dibuat oleh Bangsa Jin, maka gugurlah bangunan purbakala tersebut sebagai salah satu peninggalan peradaban manusia. Dan pengambilan batu-batu di dasar laut Papua, sepertinya tidak sesuai dengan kondisi pada masa Nabi Sulaiman, karena laut Papua pada masa itu masih berbentuk daratan.
Aku berpendapat bahwa Candi Borobudur adalah bukan peninggalan Nabi Sulaiman dan bukan juga peninggalan Agama Buddha. Candi Borobudur adalah peninggalan masyarakat Nusantara. Relief-relief yang ada di Candi Borobudur adalah hasil karya manusia, bukan hasil karya bangsa Jin. Karena Bangsa Jin tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Untuk mengangkat sebuah batu saja, bangsa Jin harus diperintah dan diajarkan dahulu oleh manusia, apalagi harus membuat relief. Dan hasil karya bangsa Jin sangat kasar, bahkan disebutkan bahwa sebagus-bagusnya hasil karya bangsa Jin malah masih bagus hasil karya terjelek manusia. Dan ini yang dijelaskan dalam Islam tentang bangsa Jin. Jadi jika masih percaya bahwa bangsa Jin memiliki pengetahuan yang tinggi, sepertinya anda tidak yakin akan kesempurnaan diri anda sendiri sebagai manusia.
Selanjutnya, untuk membangun Candi Borobudur diperlukan banyak batu. Selain wilayah tempat berdirinya Candi Borobudur hingga ke Sumatera, tentunya diperlukan batu dari wilayah lain. Dan wilayah terdekat dalam peta yang memiliki deretan kawasan gunung batu adalah daratan yang sekarang menjadi Kalimantan.

Jumat, 16 Agustus 2019

ASAL MUASAL NAMA NGABANG

Diary 16 Agustus 2019,
22:00 malam,
Sudah 108 hari aku tidak bisa tidur malam. Siklus tidurku berubah tidak malam lagi, tapi menjadi dari sekitar jam 9 hingga 11 pagi sampai jam 16 sore. Dua belas hari lagi genap 4 bulan aku menderita Insomnia. Sepanjang malam selama aku tidak bisa tidur, ku usahakan pikiranku sibuk menulis atau membaca. Aku pacu terus pikiranku agar tidak memikirkan hal-hal negatif apalagi yang menyesatkan jalan hidupku. Hingga Jum’at minggu lalu tanggal 9 Agustus 2019 dimulai pukul 04:00 pagi ku putuskan untuk berhenti merokok. Tujuanku berhenti merokok sangat aneh, yaitu aku tidak ingin jika aku mati maka jasadku berbau rokok. Aku tidak ingin orang yang mengurus jenazahku terganggu oleh bau rokok dari jasadku. Memang sangat aneh tujuanku, tapi itulah yang ada dalam pikiranku. Dan hari ini telah seminggu aku tidak merokok. Ku rasakan tubuhku terasa sangat nyaman sekarang tanpa asap rokok. Namun tetap saja pikiran ini telah sangat lelah. Kemarin Lelah ini sangat menghantui dan membuatku malas untuk menulis dan membaca. Hingga hari ini kurasakan Lelah ini tidak tertanggung lagi, dan keputusasaan memanggil-manggilku untuk melakukan perbuatan yang akan mencelakakan diriku sendiri. Aku bergelut dengan diriku sendiri, dan kembali menulis agar aku tetap berada dalam duniaku. Memang, hanya menulis ini saja dunia ku yang tersisa kini. Dunia yang telah mengajarkanku banyak hal. Sembari menulis, aku teringat bahwa ada seseorang yang bertanya kepadaku tentang Asal Muasal Nama Ngabang. Dan ku ingat bahwa ini belum ku posting pada FB ku. Kepada yang bertanya, mohon dimaklumi tulisan ini, karena saya menulisnya berdasarkan dokumen yang saya ketahui sehingga berbeda dengan tulisan-tulisan yang lain.
--------------------------------------
ASAL MUASAL NAMA NGABANG

Asal muasal nama Ngabang muncul ketika terjadinya peristiwa terkayaunya Patih Gumantar di Sungai Malaya. Berdasarkan Ghedzuckt tot Amsterdam tanggal 29 Oktober 1619, disebutkan bahwa meninggalnya Patih Gumantar pada tahun 1375 Masehi. Begitu juga berdasarkan publikasi dari Leydse Woensdagfe Courant tanggal 16 Desember 1720, disebutkan bahwa Patih Gumantar tewas terbunuh pada tahun 1375 Masehi. Nama Ngabang adalah gelar dari anak tertua Patih Gumantar yang bernama Ria Jambi, yang kemudian mendirikan Kerajaan Ngabang dan bergelar Patee Ngabangk atau Nek Nyabandan.
Berdirinya Kerajaan Ngabang bersamaan masanya dengan berdirinya Kerajaan Mengkiang yang didirikan oleh adiknya Ria Jambi bernama Ria Satry. Kerajaan Ngabang dideklarasikan pada masa musim panen. Berdasarkan publikasi Weeckelycke Courante Van Europa tanggal 12 Agustus 1638, disebutkan bahwa pendeklarasian Kerajaan Mengkiang pada tanggal 28 Juli 1380 oleh Arya Satri Jangkang.
Berdasarkan Nota Van Toelichting atau Nota Penjelasan tentang kontrak antara Gubernur Jenderal Belanda, Cornelis Kater dengan Panembahan Muhammad Kesuma Negara bin Sultan Anom tanggal 25 Oktober 1869 disebutkan permulaan Kerajaan Mengkiang berdiri tahun 1380 oleh pangeran Satry Mas Agung anaknya ratu Agung Gumantar.
Ngabang adalah penyebutan untuk nama bunga Lidah Buaya yang banyak tumbuh di kawasan tempat Ria Jambi mendirikan Kerajaannya. Pada kawasan tersebut banyak tumbuh Lidah Buaya yang memiliki bunga yang tinggi dan beraneka warna. Bunga Lidah Buaya inilah yang di istilahkan dengan Ngabang. Menurut kisah lainnya bahwa Ria Jambi ini sangat menyukai bunga-bunga Lidah Buaya ini sehingga ia digelari sebagai Patee Ngabangk, yang kemudian ia menamakan Kerajaannya yang bernama Kerajaan Ngabang.

Kerajaan Kapuhas Katingan Dalam Prasasti Yupa Kutai

Selasa, 13 Agustus 2019

ASAL MUASAL NAMA SINGKAWANG


ASAL MUASAL NAMA SINGKAWANG

Asal muasal nama Singkawang bermula dari kisah ketika Raja Kahhar, mertua Panembahan Singkawak tiba di Kalimantan. Raja Kahhar adalah anak raja di Baturizal Inderagiri Sumatera. Lokasi kerajaannya di Hulu sungai Hindal kiri. Pada masa itu Raja Kahhar sedang bersengketa dengan abangnya yang telah menjadi raja di Baturizal. Abang Raja Kahhar meminta dua belah pedang pusaka kerajaan warisan dari ayah mereka kepada Raja Kahhar.
Namun Raja Kahhar tidak bersedia memberikannya karena Abangnya itu telah mendapatkan warisan sebagai raja Baturizal sehingga dua belah pedang pusaka kerajaan itu adalah haknya. Karena Raja Kahhar tidak bersedia memberikan dua belah pedang pusaka kerajaan itu sehingga abang Raja Kahhar sangat marah dan akan memeranginya. Raja Kahhar kemudian meninggalkan Kerajaan Baturizal di Hulu sungai Hindal kiri itu dengan sebuah perahu penjajab bersama tiga puluh orang dan anak perempuannya yang bernama Puteri Cermin. Adapun istri Raja Kahhar, Ibunya Puteri Cermin, telah meninggal dunia ketika Puteri Cermin masih kecil.
Maka berlayarlah Raja Kahhar mengarungi lautan, hingga tiba di Kuala Negeri Sambas. Selama tiga malam di Kuala Negeri Sambas, Raja Kahhar mendapat alamat mimpi yang tidak baik. Sehingga ia berlayar lagi hingga tiba di Kuala Sungai Singkawak yang menjadi wilayah kerajaan Panembahan Singkawak. Ketika bermalam di kuala Sungai Singkawak ini, Raja Kahhar mendapat alamat mimpi yang baik yaitu ia bermimpi memegang matahari dan melihat ditempatnya itu akan menjadi kawasan bandar yang besar sehingga ia memutuskan untuk menetap di kuala Sungai Singkawak.
Adapun keberadaan Raja Kahhar di kuala Sungai Singkawak terdengar oleh Panembahan Singkawak atau Senggaok, yang kemudian mengirim utusan untuk membawa Raja Kahhar dan rombongannya ke Kuala Sangking untuk menghadap Panembahan Singkawak. Setelah bertemu menghadap Panembahan Singkawak, Raja Kahhar diminta oleh Panembahan Singkawak untuk menetap di Singkawak dengan diberikan lahan, dibangunkan rumah, dijaga kehidupannya, serta dijamu makan dan minumnya.
Selanjutnya Raja Kahhar menikahkan putrinya, Puteri Cermin dengan Panembahan Singkawak. Dari pernikahan Panembahan Singkawak dengan Puteri Cermin dianugerahi seorang putri bernama Emas Indrawati. Ketika telah menjadi gadis, Emas Inderawati sempat bertunangan dengan Raja Sambas yang bernama Ratu Anum Kusumayuda. Namun pertunangan tersebut tidak berlanjut hingga ke pernikahan, karena Emas Inderawati kemudian menikah dengan Raja Tanjung Pura bernama Sultan Muhammad Zainuddin. Setelah menikah, Emas Inderawati dibawa oleh Sultan Muhammad Zainuddin ke Tanjung Pura.
Adapun kawasan tempat persinggahan Raja Kahhar ketika mendapatkan alamat mimpi yang baik di Kuala Sungai Singkawak itu kemudian disebut sebagai Singkawang yang terlogatkan dari kata Singkawak.

Senin, 12 Agustus 2019

KERAJAAN KAPUHAS DALAM PRASASTI YUPA KUTAI


KERAJAAN KAPUHAS
DALAM PRASASTI YUPA KUTAI

Prasasti Yupa ditemukan di Desa Brubus, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Prasasti Yupa ini berjumlah tujuh buah dan disebut Prasasti Yupa Kutai karena ditemukan di Kutai. Permulaan Prasasti Yupa ini ditemukan pada tanggal 9 September 1879 sebanyak empat Yupa oleh Asisten Residen Kutai. Penemuan itu dilaporkan kepada pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchappen. Setahun kemudian keempat Yupa itu dibawa ke Batavia dan disimpan dalam koleksi Arkeologi di Museum BGKW yang kemudian menjadi Museum Nasional, dengan nomor inventaris D2 a-d.
Pada akhir tahun 1940, di daerah yang sama ditemukan kembali tiga Yupa. Seperti keempat Yupa sebelumnya, semua dibawa ke Batavia dan diberi nomor inventaris D175-D177. Tidak semua Yupa yang telah ditemukan dalam kondisi baik. Yupa dengan nomor inventaris D2 d aksaranya sudah terhapus dan tidak diketahui isinya. Pahatan yang masih terlihat jelas hanya bentuk segi empat kecil bekas kepala aksara yang disebut box-heads oleh JG. de Casparis. Melihat dari ciri-ciri gaya penulisannya, de Casparis menamakan aksara Kutai ini sebaga Early Pallawa atau Pallawa Tua yang diperkirakan berasal dari sekitar tahun 400 Masehi atau kira-kira setengah abad sebelumnya.
Makna yang terkandung dalam Prasasti Yupa merupakan hasil terjemahan dari JG. de Casparis, yang rupanya de Casparis merujuk pada Kroniks Fa Hsien, yaitu catatan salah seorang Pendeta Buddha berbangsa China yang melakukan perjalanan ke Varuna Dvipa (Pulau Dewa Laut / Kalimantan) tahun 399-414 Masehi. Artinya bahwa perkiraan tahun keberadaan Prasasti Yupa ini disebutkan sekitar 400 Masehi belum sepenuhnya dilakukan kajian sejarah yang mendalam, karena bisa jadi bahwa keberadaan Prasasti Yupa ini lebih tua dari tahun 400 Masehi yang telah ditetapkan.
Dalam terjemahan JG. de Casparis hanya menyebutkan tiga nama saja yang terdapat dalam Prasasti Yupa, sedangkan jika dilihat dalam Prasasti Yupa, begitu juga jika merujuk pada Kroniks Fa Hsien terdapat lima nama yang disebutkan, dan salah satunya adalah nama Raja Leluhur Kerajaan Kapuhas Katingan. Artinya memang belum optimal pengungkapan dan kajian isi dari Prasasti Yupa tersebut karena terdapat nama-nama yang tidak disebutkan.
Dalam salah satu Prasasti Yupa jelas-jelas disebutkan bahwa pemberian sapi yang banyak untuk dikurbankan dari Raja Mulawarman adalah untuk upacara memperingati kematian salah seorang Miharaja Leluhur Kerajaan Kapuhas Katingan. Jika merujuk pada proses pengurbanan atau pemotongan sapi dalam upacara kematian maka upacara adat ini adalah Ritual Tiwah yang merupakan ritual kuno masyarakat asli Kalimantan. Artinya Prasasti Yupa ini adalah warisan agama Kaharingan Kalimantan. Dan jika merujuk pada nama salah seorang Miharaja Kerajaan Kapuhas Katingan yang disebutkan dalam salah satu Prasasti tersebut, maka masa keberadaan Prasasti Yupa ini lebih tua dari tahun 400 Masehi.
Prasasti Yupa merupakan warisan peninggalan purbakala dari peradaban masyarakat dan agama asli Kalimantan pada masa dahulu yang sekarang ini disebut Kaharingan dan bukan peninggalan agama Hindu atau Buddha, karena dari ketujuh Prasasti Yupa, kata-kata Yupa selalu diulang-ulang yaitu pada Prasasti pertama nomor D2a, kedua D2b, ketiga D2c, kelima D175, dan ketujuh D177.
Yupa memiliki makna sebagai tempat mengurbankan sesuatu atau persembahan, yang dalam hal ini adalah sebagai tempat untuk mengikat sesuatu yang akan dikurbankan atau dipersembahkan. Itulah sebabnya mengapa Prasasti ini disebut Yupa yang berarti Tugu Peringatan Tempat Pengurbanan. Sehingga jelas sekali bahwa Prasasti Yupa ini merupakan peninggalan ritual Tiwah dalam agama Kaharingan.
Karena ditemukan di Kutai sehingga Prasasti Yupa ini disebut Prasasti Yupa Kutai, dan nama negerinya kemudian disebutkan sebagai Kutai. Padahal dalam salah satu Prasasti Yupa ada disebutkan nama negerinya tempat Raja Mulawarman berkuasa. Artinya keberadaan Prasasti Yupa ini memang belum optimal dikaji sejarah dan asal usulnya, karena hanya berpedoman pada terjemahan dari JG. de Casparis. Sedangkan de Casparis merujuk pada Kroniks Fa Hsien tahun 399-414 Masehi.

Jumat, 09 Agustus 2019

SEJARAH ALRI DIVISI IV LAMBUNG MANGKURAT PEMPROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA PERTAMA DI KALIMANTAN TEMPAT KAKEKKU BERTUGAS


SEJARAH ALRI DIVISI IV LAMBUNG MANGKURAT
PEMPROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA PERTAMA DI KALIMANTAN
TEMPAT KAKEKKU BERTUGAS

Masih dalam momen memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74, kali ini aku akan menuliskan Sejarah ALRI Divisi IV Lambung Mangkurat, Pemproklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Pertama di Kalimantan, tempat Kakekku bertugas dahulu.
Kakekku berasal dari Amuntai. Kecintaannya terhadap kampung halamannya ini sangat luar biasa. Amuntai sebagai tempat keberadaan Candi Agung yang menjadi ikon kebanggaan masyarakat Amuntai terbawa kemanapun Kakekku berada. Candi Agung yang memiliki sejarah panjang sebagai bukti peninggalan kejayaan peradaban masyarakat Kalimantan, khususnya masyarakat Amuntai, sangat melekat dalam jiwanya. Sehingga Kakekku dan kerabatnya menamakan tempat tinggalnya dengan nama Candi Agung. Hal tersebut agar ia tetap merasa berada di kampung halamannya di Amuntai.
Selain Amuntai dengan Candi Agungnya, yang menjadi kebanggaan Kakekku, salah satu kebanggaannya yang lain yaitu sejarah perjuangannya yang menjadi prajurit ALRI Divisi IV Lambung Mangkurat dalam memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan.
Sejarah ALRI Divisi IV Lambung Mangkurat bermula ketika di proklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Presiden Soekarno dan Moh. Hatta. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengangkat seorang Gubernur di Kalimantan, yaitu seorang bangsawan Banjar yang juga merupakan teman satu almamaternya bernama pangeran Muhammad Noor. Namun Gubernur yang diangkat oleh Presiden Soekarno ini tidak dapat berkerja dengan semestinya, karena pada masa itu Kalimantan masih dipenuhi oleh pendukung Belanda yang akan membawa kembali Belanda berkuasa di Kalimantan. Pendukung Kemerdekaan Republik Indonesia saat itu tidak berdaya. Pengkhianat dan kaki tangan Belanda merajalela. Mereka selalu mengintimidasi pendukung Kemerdekaan Republik Indonesia.
Begitu gentingnya situasi saat itu sehingga pemuda-pemuda asal Kalimantan yang kebetulan ada di Jawa dikerahkan guna menegakkan eksistensi Kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan, salah seorangnya adalah Letnan Kolonel Hasan Basry, Panglima Perang Kakekku.
Pada tanggal 30 Oktober 1945, Letnan Kolonel Hasan Basry tiba di Kandangan, kampung halamannya. Situasinya saat itu sangat luar biasa sulit. Tentara Belanda melakukan kampanye pasifikasi dengan menangkapi pemuda-pemuda Republik Indonesia selama beberapa minggu. Yang berhasil meloloskan diri terpaksa mengundurkan diri ke pegunungan dan rimba, termasuk Letnan Kolonel Hasan Basry. Dari pegunungan dan rimba ini, Letnan Kolonel Hasan Basry melanjutkan perjuangan dengan membentuk organisasi gerilya.
Pada November 1945, Letnan Kolonel Hasan Basry membentuk Laskar Saifullah, yang berarti Pedang Allah. Setelah terbentuk laskar, Letnan Kolonel Hasan Basry berusaha kembali ke Jawa untuk mendapatkan perintah selanjutnya. Namun kondisi di laut sedang dalam blokade Belanda, sehingga pelayarannya pun batal. Sementara dia hendak menyeberang ke Jawa, laskar yang dibentuknya mulai berantakan. Anggota laskarnya satu persatu ditangkapi tentara Belanda. Terpaksa Letnan Kolonel Hasan Basry membentuk pasukan baru bernama Banteng Indonesia.
Selanjutnya, terjadi pula penyusupan pemuda-pemuda dari Banjar dan Amuntai ke Kalimantan Selatan, disinilah permulaan Kakekku bergabung dalam pasukan milisi Letnan Kolonel Hasan Basry. Mereka masuk lewat jalur laut yang memakan waktu dua bulan, karena patroli Belanda menjaga dengan ketat. Pemuda-pemuda itu di antaranya pernah dilatih Penjelidik Militer Chusus (PMC) pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Terbatasnya komunikasi membuat Letnan Kolonel Hasan Basry tidak tahu informasi dan perkembangan yang terjadi di Jawa.
Pada November 1946 milisi yang dibentuk Hasan Basry pun dijadikan Batalyon Rahasia Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan. Dengan pangkat Letnan Kolonel, Basry memimpin batalyonnya. Markasnya di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan, ALRI divisi IV (A) mengurus semua kegiatan gerilya di wilayahnya. ALRI divisi (B) menangani Kalimantan Barat dan dipimpin oleh Dr Soedarso dan bermarkas di Pontianak.
Setelah terbentuknya Batalyon Rahasia Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, maka mulailah dipersiapkan rencana pengiriman pasukan Republik Indonesia dari Jawa melalui penerjunan udara di Kalimantan. Sepasukan payung MN1001 di bawah pimpinan Mayor Tjilik Riwoet diterjunkan ke Kalimantan Tengah pada tanggal 17 Oktober 1947. Di Kalimantan Timur, semula di bawah komando R. Notosunar kemudian dilanjutkan Herman Runturambi dan Kasmani.
Dalam pasukan terjun tersebut, dua orang Kakekku dari Ayahku, yaitu Pungut bin Ahmad Jukin dan Ismail bin Ahmad Jukin, ikut terjun ke Kalimantan. Ayahku bernama Saidi bin Pungut. Kakekku yaitu Pungut dan Ismail adalah Adiknya, berasal dari Kampung Melayu di Batavia atau Jakarta sekarang. Kedua Kakekku ini juga mendapatkan Tanda Jasa dari Pemerintah Republik Indonesia, atas jasa-jasanya berjuang mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan. Kedua Kakekku ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dharma Patria Jaya yang lokasinya sekarang di Kabupaten Kubu Raya. Sungguh suatu kebanggaan yang sangat luar biasa dalam jiwaku, karena kedua Kakekku, yaitu Ayah dari Ibu dan Ayah dari Ayah, adalah Pahlawan dan Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan. Aku sangat bangga karena lahir dari darah Pahlawan. Dan kisah tentang Kakekku yaitu Pungut bin Ahmad Jukin ini, akan di posting pada tulisan berikutnya.
Pada tanggal 29 Mei 1948, militer Belanda gencar melakukan serangan militer. Pasukan yang dipimpin Letnan Kolonel Hasan Basry pun semakin gencar bergerilya karena banyak anggotanya yang tertangkap Belanda. Mereka tertangkap atas informasi dari pengkhianat kaki tangan Belanda. Hingga kemudian ada perjanjian yang mengharuskan pasukan Republik Indonesia berada di wilayah mereka sendiri, namun pasukan Letnan Kolonel Hasan Basry menolaknya. Mereka memilih bergerilya sambil melancarkan serangan ke titik-titik markas Belanda.
Seminggu setelah Persetujuan Roem-Royen, para pejuang Banua Kalimantan tersebut mendirikan Pemerintah Militer Kalimantan Selatan. Naskah Proklamasi kemerdekaan mulai mereka rumuskan sejak 15 Mei 1949. Dan naskah itu lalu diketik pada pukul 03.00 pagi hari tanggal 16 Mei 1949 oleh Romansie. Setelah diperbanyak 10 lembar, naskah tersebut dibawa ke Letnan Kolonel Hasan Basry yang berada di Ni’ih, Kandangan untuk ditandatangani. Maka pada tanggal 17 Mei 1949, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama di Kalimantan itu dikumandangkan, bunyinya yaitu :
“Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, mempermaklumkan berdirinya Pemerintah Gubernur Tentara dari ALRI melingkupi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia untuk memenuhi Proklamasi 17 Agustus 1945, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan. Tetap Merdeka!!!”

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...