KERAJAAN KAPUHAS KATINGAN (NAN SARUNAI)
DALAM PRASASTI YUPA KUTAI
Prasasti Yupa ditemukan di Desa Brubus, Kecamatan Muara
Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Prasasti Yupa
ini berjumlah tujuh buah dan disebut Prasasti Yupa Kutai karena ditemukan di
Kutai. Permulaan Prasasti Yupa ini ditemukan pada tanggal 9 September 1879
sebanyak empat Yupa oleh Asisten Residen Kutai. Penemuan itu dilaporkan kepada
pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchappen. Setahun kemudian
keempat Yupa itu dibawa ke Batavia dan disimpan dalam koleksi Arkeologi di
Museum BGKW yang kemudian menjadi Museum Nasional, dengan nomor inventaris D2
a-d.
Pada akhir tahun 1940, di daerah yang sama ditemukan
kembali tiga Yupa. Seperti keempat Yupa sebelumnya, semua dibawa ke Batavia dan
diberi nomor inventaris D175-D177. Tidak semua Yupa yang telah
ditemukan dalam kondisi baik. Yupa dengan nomor inventaris D2 d aksaranya sudah
terhapus dan tidak diketahui isinya. Pahatan yang masih terlihat jelas hanya
bentuk segi empat kecil bekas kepala aksara yang disebut box-heads oleh JG. de
Casparis. Melihat dari ciri-ciri gaya penulisannya, de Casparis menamakan
aksara Kutai ini sebaga Early Pallawa atau Pallawa Tua yang diperkirakan
berasal dari sekitar tahun 400 Masehi atau kira-kira setengah abad sebelumnya.
Makna yang terkandung dalam Prasasti Yupa merupakan hasil
terjemahan dari JG. de Casparis, yang rupanya de Casparis merujuk pada Kroniks
Fa Hsien, yaitu catatan salah seorang Pendeta Buddha berbangsa China yang
melakukan perjalanan ke Varuna Dvipa (Pulau Dewa Laut / Kalimantan) tahun
399-414 Masehi. Artinya bahwa perkiraan tahun keberadaan Prasasti Yupa ini
disebutkan sekitar 400 Masehi belum sepenuhnya dilakukan kajian sejarah yang
mendalam, karena bisa jadi bahwa keberadaan Prasasti Yupa ini lebih tua dari
tahun 400 Masehi yang telah ditetapkan.
Dalam terjemahan JG. de Casparis hanya menyebutkan tiga
nama saja yang terdapat dalam Prasasti Yupa, sedangkan jika dilihat dalam
Prasasti Yupa, begitu juga jika merujuk pada Kroniks Fa Hsien terdapat lima
nama yang disebutkan, dan salah satunya adalah nama Raja Leluhur Kerajaan
Kapuhas Katingan atau Nan Sarunai. Artinya memang
belum optimal pengungkapan dan kajian isi dari Prasasti Yupa tersebut karena
terdapat nama-nama yang tidak disebutkan.
Dalam salah satu Prasasti Yupa
jelas-jelas disebutkan bahwa pemberian sapi yang banyak untuk dikurbankan dari
Raja Mulawarman adalah untuk upacara memperingati kematian salah seorang Miharaja Leluhur Kerajaan Kapuhas Katingan atau Nan
Sarunai. Jika merujuk pada proses pengurbanan atau pemotongan sapi dalam
upacara kematian maka upacara adat ini adalah Ritual Tiwah yang merupakan
ritual kuno masyarakat asli Kalimantan. Artinya Prasasti Yupa ini adalah
warisan agama Kaharingan Kalimantan. Dan jika merujuk pada nama salah seorang
Miharaja Kerajaan Kapuhas Katingan atau Nan Sarunai yang disebutkan dalam salah
satu Prasasti tersebut, maka masa keberadaan Prasasti Yupa ini lebih tua dari
tahun 400 Masehi.
Prasasti Yupa merupakan warisan peninggalan purbakala
dari peradaban masyarakat dan agama asli Kalimantan pada masa dahulu yang
sekarang ini disebut Kaharingan dan bukan peninggalan agama Hindu atau Buddha,
karena dari ketujuh Prasasti Yupa, kata-kata Yupa selalu diulang-ulang yaitu
pada Prasasti pertama nomor D2a, kedua D2b, ketiga D2c, kelima D175, dan
ketujuh D177.
Yupa memiliki makna sebagai tempat mengurbankan sesuatu
atau persembahan, yang dalam hal ini adalah sebagai tempat untuk mengikat
sesuatu yang akan dikurbankan atau dipersembahkan. Itulah sebabnya mengapa
Prasasti ini disebut Yupa yang berarti Tugu Peringatan Tempat Pengurbanan.
Sehingga jelas sekali bahwa Prasasti Yupa ini merupakan peninggalan ritual
Tiwah dalam agama Kaharingan.
Karena ditemukan di
Kutai sehingga Prasasti Yupa ini disebut Prasasti Yupa Kutai, dan nama
negerinya kemudian disebutkan sebagai Kutai. Padahal dalam salah satu Prasasti
Yupa ada disebutkan nama negerinya tempat Raja Mulawarman berkuasa. Artinya
keberadaan Prasasti Yupa ini memang belum optimal dikaji sejarah dan asal
usulnya, karena hanya berpedoman pada terjemahan dari JG. de Casparis.
Sedangkan de Casparis merujuk pada Kroniks Fa Hsien tahun 399-414 Masehi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar