Selasa, 20 Februari 2018

MASUKNYA ISLAM DI KALIMANTAN 3

MASUKNYA ISLAM DI KALIMANTAN 3

Dalam hikayat Nan Sarunai disebutkan bahwa pada tahun 1265 Masehi, Miharaja Rahadyan Japutra Layar bersama beberapa pengawal dan perwira tingginya yang bergelar Cinga’ atau Singa pergi berburu macan di tempat yang biasa para Miharaja Nan Sarunai berburu macan. Ketika sedang asik berburu macan, tiba-tiba rombongan Miharaja Rahadyan Japutra Layar diserang oleh seekor macan yang sangat besar. Ukuran macan yang meyerang tersebut tidak sama dengan ukuran macan-macan yang biasanya mereka buru. Macan itu juga sangat buas dan liar serta sulit dibunuh. Selain bulu-bulunya yang tebal, macan itu juga sangat gesit. Para pengawal dan beberapa orang Cinga’ yang menjaga Miharaja Rahadyan Japutra Layar tidak sanggup menundukkan macan tersebut. Bahkan beberapa orang pengawalnya tewas dan menjadi mangsa macan yang sedang mengamuk tersebut. Dua orang Cinga’ juga ikut tewas termangsa oleh macan yang sangat besar itu ketika berusaha menyelamatkan Miharaja Rahadyan Japutra Layar dari terkaman macan yang sudah tidak terkendali itu, yaitu Cinga’ Tatum dan Cinga’ Salam. Cinga’ Salam disebut juga sebagai Cinga’ Aslam atau Cinga’ Islam karena beragama Islam.
Berdasarkan hikayat Nan Sarunai ini, maka pada periode tahun 1265 Masehi, agama Islam telah masuk di Kalimantan, dan telah berdampingan dengan agama asli Kalimantan yaitu agama Kaharingan. Miharaja Nan Sarunai merupakan pemeluk agama Kaharingan, dan memiliki pengawal seorang pemeluk agama Islam. Agama Islam pada masa periode Kerajaan Nan Sarunai diterima dengan baik sejak masuknya Islam di Kalimantan pada periode tahun 710 Masehi. Pada masa tersebut Kerajaan Nan Sarunai dipimpin oleh seorang Raja bernama Miharaja Rahadyan Dapuntra Yatra. Sebelum menjadi raja Nan Sarunai, Dapuntra Yatra telah berkelana ke berbagai penjuru dunia. Banyak negeri yang telah ia kunjungi sehingga ia digelari Dapuntra Yatra yang berarti Pengelana Tangguh.
Dapuntra Yatra juga sering berkunjung ke Tanah Arab dan berhubungan baik dengan para saudagar Arab yang datang ke Nan Sarunai. Dari para saudagar Arab ini Daputra Yatra banyak mendapatkan informasi tentang ajaran agama Islam. Dapuntra Yatra menyatakan bahwa ajaran Agama Islam mirip dengan ajaran agama yang dianut dirinya dan Nenek Moyangnya yaitu agama Kaharingan yang merupakan bagian dari ajaran agama Braham. Agama Braham disebut juga agama Ibrahim karena dibawa dan diajarkan oleh Nabi Ibrahim, sedangkan agama Islam dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Karena kemiripan ini sehingga agama Islam diterima dengan baik di Nan Sarunai serta dapat berkembang dan berpengaruh seperti halnya agama Kaharingan. Bahkan pengaruh agama Islam mengalahkan pengaruh agama Buddha yang disebutkan sulit diterima oleh masyarakat Kalimantan pada masa itu. Agama Islam dapat membaur dengan kehidupan masyarakat Kalimantan yang sangat taat kepada agama Kaharingan itu. Bahkan menjadi pelurus prinsip-prinsip agama Kaharingan yang mengajarkan tentang keseimbangan alam.
Agama Kaharingan yang mengajarkan tentang menjaga keseimbangan alam, baik alam atas dan alam bawah, serta mengajarkan umatnya untuk dapat bermanfaat bagi kehidupan dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi, sangat selaras dengan ajaran agama Islam yang mengajarkan umatnya untuk menjadi Rahmatanlil’alamin, yaitu menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Agama Islam mengajarkan agar umatnya dapat bermanfaat bagi kehidupan dan membawa perdamaian. Karena ajarannya inilah sehingga agama Islam dapat hidup dan berkembang secara berdampingan dengan agama Kaharingan. Selain itu Agama Islam juga dikatakan dapat menerima dan membaur bersama segala kehidupan adat istiadat masyarakat Kalimantan pada masa itu.
Meskipun Dapuntra Yatra penganut agama Kaharingan, namun agama Islam pada masa itu dianggapnya sebagai pelindung dan penjaga eksistensi agama Kaharingan yang dianut sangat taat oleh masyarakat Kalimantan. Bahkan bagi masyarakat Kalimantan yang memeluk agama Kaharingan, pemeluk agama Islam dimana pun berada di bumi Kalimantan ini akan dihormati dan dilindungi kaidah-kaidah ajaran agamanya.
Penjelasan dalam hikayat Nan Sarunai tersebut juga terdapat dalam ulasan Odorico de Pordone dalam data-data arsip Ordo Fransiskan yang mencatat perjalanannya di Kalimantan pada tahun 1313 – 1321 Masehi. Odorico de Pordone melakukan perjalanan dalam rangka menuju ke Cina dari Eropa dan ia singgah ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta sempat singgah ke ibukota Majapahit. Di ibukota Majapahit, Odorico de Pordone sempat bertemu dengan Raja Majapahit Sri Jayanegara anaknya Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya dengan Dewi Tribhuwaneswari. Raja Majapahit ini dikabarkannya sebagai raja yang buruk perangainya sehingga disebut rakyatnya sebagai Kalagemet, dan mempunyai tujuh orang raja taklukan, istananya penuh dengan perhiasan emas, perak dan permata. Selanjutnya Odorico de Pordone menjelaskan bahwa Khan yang agung dari Cathay sering bermusuhan dengan raja Majapahit ini, tetapi selalu dapat dikalahkan. Pulau Jawa pada masa itu sangat padat penduduknya dan menghasilkan rempah-rempah.
Odorico de Pordone juga menjelaskan ketika di Kalimantan ia singgah ke negeri Wijaya Pura yang pada masa itu telah disebut sebagai negeri Sambas. Negeri Wijaya Pura ini berada di tengah lautan. Rakyat negeri ini memiliki teknologi yang telah mampu membendung lautan sehingga negeri ini berada di sebuah palung di tengah lautan, yang sekarang ini disebut sebagai Paloh. Ia bahkan sempat singgah dan bertemu dengan Raja Wijaya Pura yang bergelar As-Syam Basyharah yang dikatakan memiliki pengaruh matahari itu.
Kunjungan Odorico de Pordone ke pusat negeri Wijaya Pura ketika ia tiba di pelabuhan Sambas yang pada masa itu juga terdapat sebuah kerajaan kecil dan ia mendengar suara azan dari arah tengah lautan. Dari penjelasan penduduk di pelabuhan dikatakan bahwa suara azan tersebut berasal dari pusat negeri Wijaya Pura yang berada di tengah lautan. Adapun kekuasaan Raja Wijaya Pura As-Syam Bashara sangat luas dan memiliki pengaruh yang besar bagi negeri-negeri di luar Sambas pada masa itu, sehingga Kaisar Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi sering berkunjung ke Wijaya Pura dengan membawa berbagai hadiah.
Karena pengaruh Raja As-Syam Bashara ini yang dikatakan sebagai pemeluk Islam yang taat sehingga negeri Wijaya Pura pada masa itu lebih tenar disebut sebagai negeri Syam Bashar. Negeri Syam Bashar ini untuk sekarang ini telah terlogatkan menjadi negeri Sambas.

Sabtu, 17 Februari 2018

PANINTING TARUNG

PANINTING TARUNG

Ketika Miharaja Rahadyan Manyamai menjadi raja di Tampun Juah, negeri ini mulai dikenal sebagai negeri Nan Sarunai. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh dan kehebatan putranya yang bernama Paninting Tarung. Rahadyan Manyamai memiliki dua putra yang bernama Paninting Tarung dan Andung Prasap.
Penampilan Paninting Tarung sangat menakutkan, diseluruh tubuhnya dipenuhi oleh tatto, dan ia merupakan petarung yang handal sehingga digelari Paninting Tarung. Setiap kali ia membunuh musuh-musuhnya, maka ia akan mentatto tubuhnya sebagai tanda bahwa ia telah membunuh musuh-musuhnya tersebut. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya musuh yang telah tewas ditangannya, sehingga tidak ada lagi bagian ditubuhnya yang bisa di tatto.
Paninting Tarung juga gemar mengumpulkan kepala-kepala musuhnya yang telah ia taklukkan. Dalam setiap peperangan, ia tidak akan membiarkan musuh-musuhnya tersebut tetap hidup. Musuh-musuhnya itu selalu ia penggal dan kepalanya ia bawa pulang, kemudian disimpannya disebuah tempat penyimpanan pribadi miliknya.
Selain handal bertarung, Paninting Tarung juga terkenal sebagai ahli pengobatan. Paninting Tarung menggunakan ramuan tumbuhan Sarunai atau Wedelia Biflora sebagai obat untuk menyembuhkan orang yang sakit. Setiap berperang, Paninting Tarung selalu membawa ramuan tumbuhan tersebut sebagai obat untuk pasukannya jika sakit atau terluka akibat senjata musuh. Berdasarkan nama tumbuhan tersebut sehingga negeri itu disebut sebagai negeri Sarunai. Namun ada juga yang meriwayatkan bahwa negeri itu disebut sebagai negeri Sarunai karena banyak terdapat taman-taman yang indah yang dipenuhi oleh tumbuhan Sarunai, sehingga setiap orang yang datang ke Tampun Juah meyebutnya sebagai negeri Sarunai atau negeri yang indah.
Pada permulaan abad ke-12 Masehi, diberbagai belahan dunia banyak terjadi peperangan sehingga menciptakan kondisi yang tidak kondusif pada masa tersebut. Bangsa-bangsa di Eropa pada masa itu sedang berperang dengan bangsa Ortoqid, bangsa Danishmend dan bangsa Seljuk, untuk merebut kembali Kerajaan Edessa diwilayah utara Tripoli. Perang ini memakan waktu yang sangat panjang. Sementara itu di wilayah Sriwijaya juga terjadi pergolakan terhadap pengaruh kekuasaan Sriwijaya. Beberapa kerajaan yang menjadi wilayah kekuasaan Sriwijaya berusaha melepaskan diri. Kondisi tersebut membuat pertahanan dan keamanan Kerajaan Sriwijaya melemah. Namun terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa melemahnya kekuasaan Sriwijaya akibat faktor alam, yaitu karena adanya pengendapan lumpur di sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang, akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan posisi Sriwijaya menjadi tidak strategis. Karena kapal-kapal dagang yang datang semakin berkurang sehingga pajak kerajaan juga berkurang dan memperlemahkan perekonomian Sriwijaya.
Selain itu ekspansi dari Kerajaan Chola semakin memperburuk kondisi Sriwijaya melalui ekspedisi lautnya untuk menguasai wilayah-wilayah koloni Sriwijaya. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh wilayah imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh Dinasti Chola, namun Raja Chola tetap memberikan kekuasaan kepada raja-raja yang ditaklukkannya selama tetap tunduk pada Kerajaan Chola.
Kondisi dunia yang sedang tidak kondusif tersebut membuat Paninting Tarung sering melakukan ekspedisi bersama pasukan Nan Sarunai guna mengamankan wilayah negeri dan perairan Nan Sarunai karena tidak menginginkan pasukan Chola memasuki wilayah Nan Sarunai, selain itu sering terjadinya pelarian dari negeri lain yang kemudian berbuat tindak kejahatan.
Pada tahun 1140-an Masehi, Paninting Tarung bersama pasukannya melakukan ekspedisi di wilayah Segenting Kra. Ketika berada di Segenting Kra, Paninting Tarung mendengar berita bahwa seorang Ratu di negeri Sangkra yang bernama Maharani Sung-Ch’ia sedang menderita sakit. Ratu Sangkra tersebut telah lama menderita sakit dan belum ada seorang pun yang mampu untuk menyembuhkannya.
Negeri Sangkra merupakan sebuah kerajaan kecil yang turun temurun dipimpin oleh seorang ratu. Kerajaan ini merupakan pecahan dari Kerajaan Pattani. Kerajaan Pattani dibangun oleh anak perempuan Raja Merong Mahapudisat. Dan Raja Merong Mahapudisat merupakan anak Raja Merong Maha Wangsa.
Raja Merong Mahapudisat mempunyai empat orang anak. Anak pertamanya membangun Kerajaan Siam Lancang. Anak keduanya membangun Kerajaan Perak dengan terlebih dahulu menembakkan busur panah Indera Sakti. Anak ketiganya seorang wanita, dan membangun kerajaan Pattani dengan petunjuk dari seekor gajah yang diberi nama Gajah Gemala Johari dan Keris Lela Mensani. Sedangkan anak keempatnya, yang bernama Raja Seri Mahawangsa menggantikan Raja Merong Mahapudisat menjadi raja di Kerajaan Langkasuka.
Kerajaan Pattani kemudian terpecah belah akibat pertikaian  saudara dan serangan dari Raja Ong Maha Perita Deria atau yang dikenal dengan sebutan Raja Bersiung. Pecahan dari Kerajaan Pattani kemudian membentuk kerajaan-kerajaan kecil yang salah satunya adalah Kerajaan Sangkra.
Namun pada masa itu Kerajaan Sangkra mendapat musibah yaitu ratunya menderita sakit berkepanjangan sehingga membuat sistim pemerintahan kerajaan tersebut terganggu. Berbagai cara dan telah banyak orang yang telah berusaha menyembuhkannya, namun selalu gagal. Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia akhirnya mengeluarkan titah bahwa siapa saja yang dapat menyembuhkan penyakitnya maka ia akan menyerahkan dirinya dan kerajaannya pada orang tersebut. Titah Maharani Sung-Ch’ia ini terdengar oleh Paninting Tarung, yang kemudian pergi ke Kerajaan Sangkra.
Guna mengobati penyakit Maharani Sung-Ch’ia, Paninting Tarung hanya membawa pinang dan tumbuhan Serunai. Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia sangat terkejut melihat penampilan Paninting Tarung yang seluruh tubuhnya dipenuhi oleh tatto. Ia sangat sulit untuk melihat bentuk penampilan Paninting Tarung yang sesungguhnya karena tertutupi oleh tatto.
Ketika mengetahui maksud kedatangan Paninting Tarung ke Kerajaan Sangkra adalah hendak mencoba mengobati penyakit Ratu Sangkra itu, maka Ratu Sangkra memberinya kesempatan untuk menyembuhkan penyakitnya. Paninting Tarung kemudian mempersembahkan pinang dan tumbuhan Serunai kepada Ratu Sangkra. Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia sempat heran juga karena Paninting Tarung hanya membawa pinang dan tumbuhan serunai untuk mengobati penyakitnya, namun Paninting tarung menjelaskan bahwa pinang dan tumbuhan serunai merupakan tumbuhan-tumbuhan yang sangat berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, tumbuhan-tumbuhan itu sering dipergunakan oleh rakyat di negerinya.  Ratu Sangkra akhirnya mengerti dengan penjelasan Paninting Tarung, ia pun meminta Paninting Tarung meramu tumbuhan-tumbuhan itu sebagai obat kesembuhan bagi penyakitnya yang telah menahun. Ramuan itu ternyata berhasil menyembuhkan penyakit Ratu Sangkra.
Setelah sembuh dari penyakit yang telah lama dideritanya, dan sesuai titah yang telah diucapkan oleh Ratu Maharani Sung-Ch’ia, maka Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia menikah dengan Paninting Tarung dan menyerahkan kekuasaan Kerajaan Sangkra kepada Paninting Tarung. Sehingga pada masa tersebut Kerajaan Sangkra mulai dipimpin oleh seorang raja. Setelah menikahi Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia, Paninting Tarung mendapat gelar Aji Singor, sedangkan Maharani Sung-Ch’ia sering disebut sebagai Tunjung Pinang Seruni karena telah sembuh dari penyakitnya berkat ramuan pinang dan tumbuhan Serunai.
Dari pernikahan Paninting Tarung dengan Maharani Sung-Ch’ia memperoleh putra bernama Aji Sanjur. Setelah wafatnya Paninting Tarung, Aji Sanjur naik menjadi raja Kerajaan Sangkra. Aji Sanjur memiliki putra bernama Aji Wangsa, yang kemudian menggantikan Aji Sanjur menjadi raja di Kerajaan Sangkra setelah Aji Sanjur wafat. Aji Wangsa memiliki dua orang putra bernama Aji Sri Wangsa dan Aji Indera Wangsa. Namun ada juga yang menyebut Aji Wangsa dengan sebutan Sultan Tua, dan kedua putranya dengan sebutan Sultan Sulung atau Dama’ Bintang dan Sultan Muda atau Dama’ Bulan.
Ketika Aji Wangsa wafat, terjadi perang saudara antara Aji Sri Wangsa dan Aji Indera Wangsa karena memperebutkan tahta Kerajaan Sangkra pada tahun 1298 Masehi. Dengan dibantu oleh pasukan dari Kerajaan Chola, Aji Sri Wangsa menyerang wilayah kekuasaan Aji Indera Wangsa. Pasukan Aji Indera Wangsa tidak mampu membendung serangan pasukan Aji Sri Wangsa. Bahkan istana Aji Indera Wangsa berhasil di kuasai oleh pasukan Aji Sri Wangsa. Istana tersebut kemudian dihancurkan dan dibakar oleh pasukan Aji Sri Wangsa.
Sebelum pasukan Aji Sri Wangsa berhasil menguasai istana, Aji Indera Wangsa dan pengikutnnya sempat menyelamatkan diri. Dengan sebuah kapal besar, rombongan Aji Indera Wangsa pergi ke Kerajaan Riau untuk memohon perlindungan kepada para kerabat mereka disana. Namun para kerabat di Kerajaan Riau menyarankan kepada rombongan Aji Indera Wangsa untuk pergi ke Kalimantan guna memohon bantuan Kerajaan Tanjung Pura.
Ketika pelariannya, Aji Indera Wangsa dan rombongannya membawa semua harta Kerajaan Sangkra. Dalam rombongan Aji Indera Wangsa ikut serta istri Aji Sri Wangsa yang bernama Permaisuri Pagan dan anak perempuannya bernama Putri Nilam Cahaya atau Dara Nante yang pada waktu itu masih bayi.  Aji Sri Wangsa berusaha mengejar rombongan Aji Indera Wangsa, tetapi ia kehilangan jejak pelarian Aji Indera Wangsa di Kalimantan. Beberapa tahun berikutnya Kerajaan Sangkra runtuh karena kehabisan biaya untuk membangun negerinya. Sedangkan putrinya Dara Nante kemudian menikah dengan Bacinga’, anak Rahadyan Japutra Layar, raja di Kerajaan Nan Sarunai.

PANGKAL LIMA

PANGKAL LIMA

Ketika wafatnya Miharaja Rahadyan Manyamai, raja di Kerajaan Nan Sarunai, yang seharusnya menggantikannya sebagai raja adalah Paninting Tarung, namun karena Paninting Tarung telah menjadi raja di Kerajaan Sangkra, sehingga adik Paninting Tarung yang bernama Andung Prasap naik menjadi raja di Kerajaan Nan Sarunai menggantikan Rahadyan Manyamai dengan gelar Rahadyan Andung Prasap.
Ketika masa kepemimpinan raja Rahadyan Andung Prasap, nama Nan Sarunai semakin tenar dan selalu ramai dikunjungi orang dari berbagai penjuru dunia untuk membeli emas dan intan yang juga merupakan barang perdagangan yang utama di Nan Sarunai. Kiprah Kerajaan Nan Sarunai dalam percaturan politik dunia pada masa tersebut sangat diperhitungkan. Beberapa kali Nan Sarunai terlibat peperangan dengan kerajaan-kerajaan lain, hal tersebut tidak lepas dari sepak terjang kelima putra Rahadyan Andung Prasap.
Rahadyan Andung Prasap menikah dengan Dara Antang Langit, putri Raja Menggaling Langit. Raja Menggaling Langit adalah anaknya Raja Petara Seniba’, Raja di Negeri Bengkayang. Dari pernikahan Rahadyan Andung Prasap dengan Dara Antang Langit dianugerahi lima orang putra. Kelimanya terkenal sangat handal dalam berperang dan memiliki kelebihan masing-masing, yaitu :
1. Abal, sangat mahir dalam meracik mesiu dan membuat peralatan perang. Abal meracik mesiu dari tumbukan arang dan campuran garam dengan lada hitam. Abal kemudian menjadi leluhur bagi Dayak Abal di Tabalong.
2. Ma’ Anyan, sangat mahir dalam berdiplomasi dan sangat mahir dalam bersilat yang disebut Kuntau Bungkui. Kuntau Bungkui merupakan beladiri warisan leluhur Nan Serunai berupa gerakan pertarungan menggunakan gerakan-gerakan binatang. Selain itu Ma’ Anyan juga sangat handal dalam pertarungan menggunakan tongkat dari rotan. Ma’ Anyan kemudian menjadi leluhur bagi Dayak Ma’ Anyan.
3. Aban, sangat menguasai strategi berperang “Mengayau” yang terwariskan dari leluhurnya yaitu Babariang Langit. Aban kemudian menjadi leluhur Dayak Iban. Untuk diwilayah hulu Kalimantan Barat sebagian keturunan dari Aban telah terlogatkan menjadi Abang.
4. Anum, sangat mahir dalam strategi peperangan dalam air, ia sanggup menyelam dalam waktu yang sangat lama. Anum kemudian menjadi leluhur Dayak Ot Danum.
5. Aju, menguasai ilmu supranatural dan pengobatan. Selain itu ia juga menguasai beladiri Kuntau Bungkui. Aju kemudian menjadi leluhur Dayak Ngaju.

Kelima saudara ini mempunyai pasukan masing-masing, dan setiap berperang, mereka bersama-sama mengomandoi pasukan mereka sehingga mendapat gelar Pangkal Lima. Pangkal lima dan pasukannya beberapa kali terlibat peperangan dengan kerajaan lain. Pada tahun 1182 Masehi, Pangkal Lima terlibat dalam peperangan di Kerajaan Panjalu. Pangkal Lima membantu Sri Kameswara dan pasukannya merebut tahta Kerajaan Panjalu dari tangan Sri Gandra.
Aju memasuki istana Kerajaan Panjalu seorang diri dan melumpuhkan para pengawal istana. Kerajaan Panjalu menjadi kalut karena banyak ditemukan para pengawal istana tewas tanpa luka. Semua pasukan Panjalu kemudian dikerahkan menuju istana karena dikira banyak musuh telah menyusup ke dalam istana. Kesempatan tersebut dipergunakan oleh Pasukan Sri Kameswara dan pasukan Pangkal Lima untuk menyerang pusat kota Kerajaan Panjalu, peperanganpun terjadi. Pasukan Panjalu akhirnya dapat di taklukkan. Setelah pasukan Panjalu berhasil ditaklukkan, Sri Kameswara naik menjadi raja di Kerajaan Panjalu menggantikan Sri Gandra.
Pada tahun 1189 Masehi, Pangkal Lima bersama pasukannya menyerang Kerajaan Galuh. Serangan itu dilakukan bersama Pasukan Sang Lumahing Tanjung. Pangkal Lima dan pasukannya menyerang Kerajaan Galuh karena telah merampas armada dagang milik Nan Sarunai. Aban mengamuk di Kerajaan Galuh. Tidak terhitung banyaknya pasukan Kerajaan Galuh yang telah terpenggal oleh amukan Aban.
Kerajaan Galuh pada masa itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sang Lumahing Taman. Pada masa itu juga sedang terjadi sengketa antara Sang Lumahing Taman dengan Sang Lumahing Tanjung. Nan Sarunai pada masa itu memiliki hubungan dagang dengan pihak Sang Lumahing Tanjung. Ketika armada dagang Nan Sarunai berada di Kerajaan Galuh, Sang Lumahing Taman merampas armada dagang tersebut dengan alasan bahwa armada dagang Nan Sarunai telah bersekutu dengan pihak Sang Lumahing Tanjung untuk melengserkan kekuasaannya.
Tindakan sewenang-wenang dari Raja Galuh itu memancing kemarahan Pangkal Lima, sehingga terjadi penyerangan Pangkal Lima dan pasukannya ke Kerajaan Galuh. Bersama pasukan Sang Lumahing Tanjung, Pangkal Lima dan pasukannya mengamuk di Kerajaan Galuh. Aban banyak memenggal kepala pasukan Galuh dan mengumpulkan kepala-kepala yang telah dipenggalnya.
Setelah pasukan Sang Lumahing Taman ditaklukkan, Sang Lumahing Tanjung naik menjadi raja di Kerajaan Galuh. Armada dagang Nan Sarunai kemudian dibawa kembali ke Nan Sarunai bersama pasukan Pangkal Lima. Ketika pulang ke Nan Sarunai, Aban membawa sebuah kapal yang didapatnya dari menaklukkan pasukan Kerajaan Galuh. Kapal yang dibawa Aban dipenuhi oleh kepala-kepala pasukan Kerajaan Galuh yang telah dipenggalnya. Aban sendirian saja didalam kapal yang dipenuhi oleh kepala pasukan Kerajaan Galuh tersebut. Ia mengemudi kapal tersebut seorang diri hingga tiba di Nan Sarunai.
Pada tahun 1195 Masehi, Pangkal Lima berhasil mengusir armada laut Sriwijaya yang hendak menyerang Kerajaan Tanjung Pura. Serangan Sriwijaya ke Tanjung Pura dikarenakan Tanjung Pura telah bersekutu dengan Kerajaan Dharmasraya. Armada laut Sriwijaya banyak yang tenggelam karena kapal-kapalnya dirusak oleh Anum dari dalam air. Beberapa armada laut yang sempat selamat akhirnya berbalik ke Sriwijaya.
Pada permulaan tahun 1200-an Masehi, datang utusan dari Kerajaan Tibojong untuk memohon bantuan Pangkal Lima karena Kerajaan Tibojong hendak diserang oleh Kerajaan Tanete Riattang dan Kerajaan Macege. Pada masa itu kondisi sedang memanas antara tujuh kerajaan yaitu Kerajaan Ujung, Kerajaan Tibojong, Kerajaan Ta’, Kerajaan Tanete Riattang, Kerajaan Tanete Riawang, Kerajaan Ponceng dan Kerajaan Macege. Ketujuh kerajaan ini saling serang satu sama lainnya. Selain itu pihak Kerajaan Tibojong juga memohon bantuan Pangkal Lima untuk membantu melepaskan armada lautnya yang telah ditawan oleh Bangsa Yolngu. Kerajaan Tibojong memang memiliki hubungan yang akrab dengan Pangkal Lima.
Pada masa tersebut, armada dagang dari Kerajaan Tibojong, Kerajaan Ujung dan Kerajaan Ponceng sering berkunjung ke pelabuhan Nan Sarunai. Armada dagang dari ketiga kerajaan ini datang untuk melakukan transaksi perdagangan dengan Nan Sarunai, namun dari ketiga kerajaan ini hanya Kerajaan Tibojong yang memiliki hubungan kedekatan dengan Pangkal Lima.
Pangkal Lima mengabulkan permohonan Kerajaan Tibojong, dan langsung pergi ke Kerajaan Tibojong bersama pasukannya. Tidak berapa lama berada di Kerajaan Tibojong, datang serangan dari Kerajaan Tanette Riattang dan Kerajaan Macege. Serangan dari kedua kerajaan tersebut berhasil dipatahkan. Pasukan dari kedua kerajaan tersebut dapat dipukul mundur dan kembali ke kerajaannya masing-masing.
Selanjutnya Pangkal Lima dan pasukannya bersama pasukan dari Kerajaan Tibojong pergi ke negeri Bangsa Yolngu. Kedua pasukan ini hendak membebaskan armada laut milik Kerajaan Tibojong yang telah ditawan oleh Bangsa Yolngu. Dalam negosiasi dengan pihak negeri Bangsa Yolngu tidak ditemukan titik temu, armada laut milik Kerajaan Tibojong tetap tidak mau dilepaskan oleh Bangsa Yolngu.
Karena tidak ada solusi damai dalam negosiasi tersebut, sehingga memancing kemarahan Pangkal Lima. Pasukan Pangkal Lima dan pasukan Tibojong menyerbu negeri Bangsa Yolngu. Abal yang telah mempersiapkan racikan mesiu dan membawa meriam yang kemudian disebut dengan Cetbang menghancurkan apa saja milik Bangsa Yolngu. Negeri Bangsa Yolngu luluh lantak akibat kemarahan Abal yang sudah tidak terkendali itu. Bangsa Yolngu akhirnya takluk dan melepaskan armada laut milik Kerajaan Tibojong.
Beberapa tahun berikutnya, Pangkal Lima bersama pasukannya menyerang negeri Visaya yang pada masa itu sedang dikuasai oleh Kerajaan Butuan. Negeri Visaya merupakan salah satu negeri yang telah dibentuk oleh Kerajaan Sriwijaya sehingga banyak orang-orang Sriwijaya yang menetap disana. Penyerangan Pangkal Lima dan pasukannya ke negeri Visaya bermula dari tidak kembalinya beberapa armada dagang milik Nan Sarunai yang pada waktu itu membawa barang-barang dari Nan Sarunai ke Kerajaan Lusung. Sekian lama ditunggu ternyata didapatkan kabar bahwa armada dagang milik Nan Sarunai telah ditangkap oleh Raja Butuan yang pada waktu itu sedang berada di negeri Visaya.
Setelah mendapatkan berita demikian, Pangkal Lima dan pasukannya segera pergi ke negeri Visaya. Sesampainya pasukan Pangkal Lima di pelabuhan negeri Visaya, Ma’ Anyan menyuruh Pangkal Lima dan pasukannya tetap berada di atas kapal, ia akan datang sendiri menemui Raja Butuan agar melepaskan armada dagang Nan Sarunai yang telah ditangkapnya.
Ma’ Anyan segera turun ke daratan, namun ia tidak langsung pergi ke tempat Raja Butuan. Ma’ Anyan ternyata pergi ke sebuah rawa dan mencari seekor buaya yang paling besar disana. Buaya yang besar tersebut diserangnya hingga mati, dan kepalanya ia penggal kemudian dibawanya ke tempat Raja Butuan.
Ma’ Anyan akhirnya tiba di tempat kediaman Raja Butuan sambil memanggul kepala seekor buaya yang besarnya berkali lipat melebihi besar tubuhnya itu. Tak seorangpun pengawal Raja Butuan yang berani menghentikan Ma’ Anyan. Para pengawal Raja Butuan terdiam ketakutan ketika melihat Ma’ Anyan datang dengan membawa kepala buaya yang sangat besar.
Pada saat itu sedang berlangsung jamuan di kediaman Raja Butuan. Semua bangsawan Kerajaan Butuan berkumpul disana. Ma’ Anyan tanpa basa basi langsung saja masuk, kemudian meletakkan kepala buaya yang sangat besar itu ditengah-tengah tempat berlangsungnya jamuan tersebut. Semua bangsawan yang ada di tempat jamuan tersebut terdiam ketakutan, termasuk Raja Butuan. Tanpa banyak bicara, Ma’ Anyan langsung mendekati Raja Butuan dan meminta agar armada dagang milik negeri Nan Sarunai dilepaskan. Raja Butuan tanpa dapat berbicara lagi hanya mampu mengangguk-anggukan kepalanya sebagai tanda bahwa ia menyetujui permintaan Ma’ Anyan.
Setelah mendapatkan jawaban dari Raja Butuan, Ma’ Anyan dengan santainya langsung pergi meninggalkan tempat kediaman Raja Butuan. Ma’ Anyan meninggalkan Raja Butuan dan para bangsawan serta pengawal Kerajaan Butuan masih dalam kondisi terdiam ketakutan. Sesampainya di kapal pasukan Pangkal Lima, Ma’ Anyan menyampaikan bahwa Raja Butuan telah setuju untuk segera melepaskan armada dagang Nan Sarunai. Dan betul saja, beberapa waktu kemudian, armada dagang milik Nan Sarunai dilepaskan oleh Raja Butuan.
Setelah mendapatkan kembali armada dagang milik Nan Sarunai, Pangkal Lima dan pasukannya langsung meninggalkan pelabuhan Visaya. Mereka pulang ke negeri Nan Sarunai dengan membawa armada dagang milik Nan Sarunai yang telah lama tidak kembali. Setelah peristiwa tersebut dikabarkan bahwa Raja Butuan dan para bangsawan serta pengawal Kerajaan Butuan meninggalkan negeri Visaya, mereka kembali ke negerinya yaitu ke Kerajaan Butuan.
Sepak terjang putra-putra Rahadyan Andung Prasap yang bergelar Pangkal Lima membuat Nan Sarunai semakin disegani. Ketika Rahadyan Andung Prasap wafat, maka salah seorang putranya yang bernama Ma’ Anyan menggantikan kedudukannya sebagai raja di Nan Sarunai, dan bergelar Miharaja Rahadyan Ma’ Anyan. Pada masa-masa berikutnya, Pangkal Lima kemudian terlogatkan menjadi Panglima.

Selasa, 06 Februari 2018

MENGKIANG MASA DAHULU


MENGKIANG MASA DAHULU

Mengkiang secara resmi masuk dalam kekuasaan Kerajaan Sanggau pada tahun 1891, setelah terbitnya Bijlage Letter De Gouverneur General Van Borneo tanggal 4 Juni 1891 yang menyatakan Tanah Mengkiang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Sanggau. Mengkiang menjadi wilayah kekuasaan Sanggau setelah terjadi serangan Sanggau terhadap Orang-orang Jangkang di Mengkiang hingga Hulu Sekayam dengan surat perintah Bijlage Letter Van de  Inlandsche De Gouverneur General Van Borneo tanggal 11 Oktober 1886, yang berakhir dengan dikuasainya Tanah Mengkiang oleh Panembahan Sanggau. Penyerangan Panembahan Sanggau ke Mengkiang pada masa itu merupakan salah satu kontrak perjanjian dengan Belanda yang ditandatangani Panembahan Sulaiman Sanggau dengan Gubernur Hindia Belanda Cornelis Kater pada tanggal 4 Maret 1882. Sejak ditetapkannya Tanah Mengkiang sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Sanggau, maka tidak ada lagi kepemimpinan Pasak Sanggau di Tanah Mengkiang, segala urusan kepemimpinan di Tanah Mengkiang yang turun temurun dipegang oleh Pasak Sanggau beralih ke Sanggau.
Mengkiang pada masa dahulu pernah berdiri sebuah Kerajaan yang didirikan oleh Ria Satry atau bergelar Patee Jangkang, sehingga Kerajaan ini disebut Kerajaan Jangkang pada Hisek purnama ketujuh, Matahari ke dua puluh delapan arah Utara Hisek ke tiga belas, 960 purnama, yang artinya adalah bulan ketujuh, tanggal 28, tahun 1380 atau 28 Juli 1380 Masehi. Pada masa itu Ria Satry ditugasi oleh Ayahnya yaitu Arya Batang atau bergelar Patee Gumantar untuk menjaga kolam tempat sumber air kehidupan yang berada dibawah Pohon Jangkang sehingga ia bergelar Patee Jangkang.
Pada tahun 1394, Patee Jangkang berpindah ke Segumon Tampun Juah sesuai dengan kesepakatan perdamaian 112 Raja-Raja di Kalimantan yang akan membangun pemukiman bersama di Segumon Tampun Juah. Selanjutnya pemerintahan di Mengkiang dilanjutkan oleh anak Patee Jangkang yang bernama Pangeran Mas Kedaung, yang ditandai dengan pengiriman tempat duduk dari batu hitam untuk Raja Wijaya Pura Sambas pada tanggal 12 Februari 1440.
Ketika terjadinya perang Sangao pada tahun 1622 yang berujung pada penaklukan Kesultanan Mataram terhadap tanah Sanggau, wilayah Mengkiang ini tidak lagi disebut sebagai Kerajaan Jangkang, tetapi disebut Kerajaan Mengkiang oleh Kesutanan Mataram pada saat penobatan Pangeran Agung Renggang menjadi Raja Mengkiang pada tanggal 8 Mei 1622. Perang Sangao terjadi belum lama dinobatkannya Abang Terka atau Abang Awal yang bergelar Sultan Awwaludin di Sanggau pada tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1025 Hijriah atau 3 April 1616.
Sedangkan Raja Jangkang yang telah berpindah ke Segumon Tampun Juah selanjutnya berpindah ke Engkarong di Sekantot setelah terjadi perpecahan antara 112 Raja-raja Kalimantan di Segumon Tampun Juah pada tanggal 13 Maret 1604. Dan pada periode berikutnya wilayah Jangkang kemudian resmi menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Sanggau pada tanggal 31 Agustus 1912.
Pada masa dahulunya daratan yang sekarang telah menjadi komplek pemakaman di Mengkiang merupakan tempat Ibadah Kaharingan. Tempat ibadah ini sering disebut orang sebagai Istana Mengkiang yang dilengkapi dengan Altar Ibadah berbentuk Tiwah Bundar. Sedangkan pusat pemerintahan Mengkiangnya berada diseberang daratan Sungai Mengkiang.
Dari photo yang diabadikan oleh rombongan Misionaris ke Mengkiang tahun 1920, masih terlihat pemukiman penduduk di daratan Sungai Mengkiang. Pusat pemerintahan Kerajaan Mengkiang yang sejak dahulu disebut sebagai pemukiman Jangkang juga masih terlihat. Tempat pusat pemerintahannya pada tahun 1920 tersebut telah menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang akan menaiki sampan untuk ke hulu atau hilir sungai Sekayam maupun sungai Mengkiang. Tempat berkumpulnya orang-orang ini terdapat sebuah jamban yang sangat populer yang hingga sekarang orang masih mengingatnya sebagai Jamban Jangkang karena berada di pemukiman yang dibangun oleh Orang-orang Jangkang.

PANGERAN CAKRADHARA 3

PANGERAN CAKRADHARA 3

Ketika penobatannya menjadi Maha Patih Majapahit, Gajah Mada dengan mengangkat Keris Pusaka bernama Surya Penuluh milik Kertarajasa Jayawardhana, pendiri Kerajaan Majapahit yang ia dapatkan dari pemberian Putra Jaya, Raja Tanjung Pura, mengangkat sumpah bakti dan kesetiaan kepada Majapahit.
Dalam sumpah setianya itu, Gajah Mada mengeluarkan pernyataan untuk mempersatukan Nusantara dibawah naungan Majapahit. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Amukti Palapa. Sumpah Gajah Mada itu sangat menggemparkan para petinggi Majapahit yang hadir pada saat penobatannya menjadi Maha Patih. Ada petinggi Majapahit yang mendukung sumpahnya itu, namun banyak juga yang meremehkan sumpahnya itu termasuk Paman Patih Dyah Halayudha.
Arya Kembar, Jabung Trewes dan Lembu Peteng bahkan sampai tertawa terpingkal-pingkal mengejek Sumpah Amukti Palapa dari Gajah Mada tersebut. Arya Tadah sempat memarahi Gajah Mada karena sumpahnya itu sangat tidak mungkin dapat diwujudkan. Dalam beberapa riwayat ada yang menyatakan bahwa Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada tersebut sebagai wujud rasa kecewanya karena Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi menikah dengan Cakradhara, karena Gajah Mada rupanya sangat mencintai Ratu Majapahit tersebut. Karena cintanya yang mendalam sehingga selama hayatnya menjadi Maha Patih Majapahit, Gajah Mada tidak mau menikah dengan siapa pun. Sejak peristiwa Sumpah Amukti Palapa itu, Paman Patih Dyah Halayudha berusaha menjatuhkan nama Maha Patih Gajah Mada dengan berbagai cara.
Dan puncaknya pada tahun 1357 Masehi, yaitu ketika masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang ingin mempersunting Putri Dyah Pitaloka, putri Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Rombongan pengantin wanita dari Kerajaan Sunda pada saat itu datang ke Majapahit menggunakan armada sekitar dua ribu buah kapal, yaitu sebagian besar jumlah kapal dalam ukuran besar serta dua ratus kapal dalam ukuran kecil. Prabu Maharaja Linggabuana dan keluarga Kerajaan beserta Putri Dyah Pitaloka menaiki kapal berbentuk Jung Tartar yaitu sejenis kapal perang Mongolia yang sangat mirip dengan armada perang dari Mongolia yang hendak menyerang Majapahit.
Paman Patih Dyah Halayudha kemudian menghasut Cakradhara dan Kudamerta yang merupakan suami Dyah Wiyat, dengan mengatakan bahwa Kerajaan Sunda membawa banyak armada Jung Tartar untuk menyerang Majapahit. Cakradhara dan Kudamerta kemudian memerintahkan Rakrian Demung, Rakrian Kanuruhan dan Rakrian Rangga untuk mengerahkan pasukan Bhayangkara guna menyerang rombongan pengantin wanita dari Kerajaan Sunda tersebut di Pesanggrahan Bubat. Cakradhara dan Kudamerta juga mengerahkan pasukan dari Kahuripan dan Kadiri untuk menggempur rombongan tersebut di Pesanggrahan Bubat.
Penampilan Cakradhara yang sangat mirip Gajah Mada, menimbulkan anggapan bahwa pasukan dari Kahuripan di pimpin oleh Maha Patih Gajah Mada. Peperangan tersebut berakhir dengan tewasnya Maharaja Linggabuana, para Menteri, Pejabat Kerajaan Sunda serta Putri Dyah Pitaloka. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Perang Bubat.
Maha Patih Gajah Mada di kecam dan di persalahkan akibat peristiwa berdarah tersebut. Hubungan Raja Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gajah Mada menjadi renggang. Kekuasaan Gajah Mada sebagai Maha Patih Majapahit kemudian dibatasi oleh Raja Hayam Wuruk.
Selanjutnya pada tahun 1358 Masehi, Mpu Jatmika atau Mpu Nallauda bersama Demang Wiraja menyerang negeri Nan Sarunai. Mpu Jatmika mengerahkan armada lautnya yang dipersenjatai meriam yang disebut Cetbang meluluh lantakkan negeri Nan Sarunai. Serangan itu berakibat terbunuhnya Miharaja Rahadyan Anyan dan Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen. Negeri Nan Sarunai hancur akibat serangan itu. Peristiwa hancurnya Nan Sarunai kemudian dikenal dengan Nan Sarunai Usak Jawa.
Peristiwa itu membuat Maha Patih Gajah Mada semakin dipersalahkan karena dianggap tidak mampu mengendalikan bawahannya. Apalagi rupanya Mpu Jatmika menyerang Nan Sarunai karena cemburu mendengar istrinya Dhamayanthi menyayikan lagu untuk menidurkan anak mereka Sekar Mekar dengan nyanyian bahasa Dayak Ma’anyan yang dalam liriknya mengatakan bahwa ayah Sekar Mekar adalah Raja Anyan.
Rupanya nyayian itu bohong belaka. Dhamayanthi sengaja menyanyikan lirik seperti itu karena kecewa dengan Mpu Jatmika yang telah meninggalkannya di Nan Sarunai selama dua tahun. Memang sebelum peristiwa serangan ke negeri Nan Sarunai, Mpu Jatmika telah meninggalkan istrinya Dhamayanthi selama dua tahun di negeri Nan Sarunai dalam misi menyelidiki situasi dan kondisi negeri Nan Sarunai.
Akibat kedua peristiwa tersebut, Maha Patih Gajah Mada di bekukan kekuasaannya sebagai Maha Patih oleh Raja Hayam Wuruk. Pembekuan wewenang itu selanjutnya berujung pada pengunduran diri Gajah Mada sebagai Maha Patih Majapahit. Beberapa tahun setelah Gajah Mada mengundurkan diri sebagai Maha Patih Majapahit, Paman Patih Dyah Halayudha ditangkap karena dianggap sebagai otak peristiwa perang di Bubat. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Raja Hayam Wuruk karena banyak menimbulkan bencana di Majapahit berupa tubuhnya ditarik dengan empat ekor kuda dengan arah yang berlawanan hingga tubuhnya terputus.
Adapun Gajah Mada setelah mengundurkan diri sebagai Maha Patih Majapahit, ia dibawa Mpu Jatmika ataupun disebut juga Lembu Mangkurat keluar dari Majapahit. Setelah keluar dari Majapahit, Gajah Mada menikah dengan Masari atau bergelar Putri Tunjung Buih, anaknya Raja Anyan Nan Sarunai. Setelah menikah, Gajah Mada bergelar Gajah Gemala Johari atau Gajah Surya Nata ataupun Pangeran Surya Nata. Dari pernikahan Gajah Mada dan Masari dianugerahi beberapa orang anak yang diantaranya bernama Pangeran Surya Wangsa dan Pangeran Surya Ganggawangsa.

Ringkasan buku Kerajaan Lawai

PANGERAN CAKRADHARA 2

PANGERAN CAKRADHARA 2

Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi pada masa itu telah lewat umurnya untuk menikah, karena ketika Raja Sri Jayanegara masih hidup, ia melarang kedua adik perempuan tirinya yang bernama Dyah Gitarja atau Tribhuana Wijayatunggadewi dan Dyah Wiyat untuk menikah, karena takut tahta Majapahit direbut oleh suami adik-adiknya itu, bahkan Raja Sri Jayanegara berniat menikahi kedua adik tirinya itu.
Paman Patih Dyah Halayhuda yang tidak lagi menjabat Maha Patih kembali menghasut pihak kerabat Istana Majapahit dengan menyampaikan bahwa tidak layak seorang Ratu Majapahit belum lagi bersuami. Apalagi Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi telah menjadi perawan tua dan hal tersebut akan menjatuhkan wibawa Majapahit. Pihak kerabat Istana Majapahit termakan hasutan Paman Patih Dyah Halayudha, dan mendesak Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi untuk secepatnya menikah. Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi yang telah didesak oleh kerabat istana menyampaikan bahwa ia telah jatuh hati pada Gajah Mada dan hanya ingin menikah dengan Gajah Mada.
Maka gemparlah kerabat istana mendengar keinginan Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi itu. Kerabat istana tidak menyetujui keinginan Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi karena Gajah Mada hanya seorang prajurit biasa yang pada saat itu menjabat sebagai Bekel Bhayangkara. Selain itu Gajah Mada bukan keturunan Singasari dan bukan orang Majapahit. Umurnya jauh lebih muda dari Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi. Namun Ratu Majapahit itu tetap berkeras ingin menikah dengan Gajah Mada.
Kerabat istana akhirnya tidak bisa lagi menahan keinginan Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi dan mengabulkan keinginan tersebut. Namun karena dihasutan Paman Patih Dyah Halayudha, kerabat istana memberikan syarat bahwa Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi diperkenankan menikah dengan Gajah Mada tapi terlebih dahulu harus mengumumkan sayembara bahwa ia akan memilih pemuda-pemuda dari kalangan mana saja untuk dijadikan suaminya.
Pemuda-pemuda yang ingin menjadi suami Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi nantinya akan dikumpulkan di pesanggerahan istana untuk selanjutnya Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi harus menunjuknya secara langsung pemuda tersebut dihadapan rakyat Majapahit. Persyaratan tersebut untuk menghindari cemoohan bahwa Ratu Majapahit menikah dengan orang yang bukan keturunan Singasari dan bukan orang Majapahit. Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi yang tidak menyadari bahwa persyaratan itu adalah tipu daya Paman Patih Dyah Halayudha melalui kerabat istana menyetujui persyaratan tersebut, dan ia berharap Gajah Mada dapat hadir dalam sayembara tersebut.
Akibat siasat licik Paman Patih Dyah Halayudha yang mempengaruhi kerabat istana sehingga sayembara tersebut tidak di umumkan ke pelosok negeri. Kerabat istana Majapahit sengaja mengumpulkan pemuda-pemuda dari kalangan mereka sendiri yaitu keturunan Singasari dan anak-anak petinggi Majapahit.
Pada waktu yang telah ditentukan, maka berkumpullah para pemuda tersebut di pesanggerahan istana. Gajah Mada yang mengetahui sayembara tersebut dan akan menghadirinya, namun pada saat itu terhalang untuk hadir ke pesanggerahan istana. Paman Patih Dyah Halayudha menyuruh Arya Kembar untuk menugaskan Gajah Mada bersama pasukan Bhayangkara untuk mengontrol keamanan di perbatasan Trowulan.
Ketika semua pemuda telah berkumpul di pesanggerahan istana, dan tanpa diketahui oleh kerabat istana, Paman Patih Dyah Halayudha menyusupkan anak angkatnya Cakradhara yang sosok dan penampilannya mirip Gajah Mada itu dalam kumpulan para pemuda tersebut. Pada saat para pemuda itu telah berkumpul di pesanggeran istana, maka terlihatlah oleh Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi Gajah Mada dalam kumpulan para pemuda tersebut. Ia serta merta menunjuk Gajah Mada yang dilihatnya itu yang sebenarnya adalah Cakradhara sebagai calon suaminya dihadapan kerabat istana, para petinggi Majapahit dan rakyat Majapahit. Maka pada saat itu juga diumumkanlah calon suami Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi yaitu Cakradhara, anak angkatnya Paman Patih Dyah Halayudha. Setelah pengumuman itu, barulah Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi menyadari bahwa ia telah diperdaya, karena yang dilihatnya itu bukan Gajah Mada.
Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi sangat marah ketika itu, akan tetapi ia juga tidak berdaya karena pemuda yang telah ditunjuknya itu telah diumumkan dihadapan rakyat Majapahit sebagai calon suaminya. Dengan berat hati dan kemarahan yang luar biasa, ia terpaksa mematuhi kesepakatannya dengan kerabat istana. Maka menikahlah Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi dengan Cakradhara yang tidak di cintainya itu.
Setelah pernikahannya dengan Cakradhara, Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi memerintahkan untuk menarik Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara yang bertugas di perbatasan Trowulan untuk kembali ke pusat kota. Karena kekecewaan dan marahnya pada kerabat istana, Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi tanpa berkonsultasi dengan kerabat istana dan tanpa persetujuan para petinggi Majapahit, langsung saja menunjuk Gajah Mada sebagai Maha Patih Majapahit menggantikan Maha Patih Arya Tadah yang mengundurkan diri akibat sakit-sakitan.
Penunjukan langsung itu menimbulkan kegaduhan dalam lingkungan Kerajaan Majapahit. Gajah Mada yang dianggap oleh para petinggi Majapahit masih muda dan ingusan itu langsung di angkat begitu saja menjadi Maha Patih oleh Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi. Kerabat istana juga terang-terangan menolak keputusan Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi itu karena Gajah Mada bukan keturunan Singasari. Namun apa pun situasinya Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi tetap dengan keputusannya yaitu mengangkat Gajah Mada sebagai Maha Patih Majapahit untuk menggantikan Maha Patih Arya Tadah. Maka pada tahun 1334 Masehi, Gajah Mada dinobatkan sebagai Maha Patih Majapahit.
Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi karena tidak menyukai Cakradhara dan terpaksa harus menikah sehingga lama ia memiliki anak. Setelah sekian tahun menikah, barulah ia memperoleh anak yang bernama Raja Hayam Wuruk.

Ringkasan buku Kerajaan Lawai

PANGERAN CAKRADHARA 1

PANGERAN CAKRADHARA 1

Raja Tanjung Pura Siak Bahulun menikah dengan Ratu Betung, memiliki anak bernama Cakradhara. Ketika Cakradhara masih kecil, ia hanyut terbawa ombak laut ketika bermain-main di pantai Kerajaan Tanjung Pura. Untuk menggantikan anak laki-lakinya yang hilang, Raja Siak Bahulun mengangkat anak bernama Arya Likar atau Pangeran Rangga Sentap, anaknya Babay Cinga’ dan Dara Nante dari Kerajaan Lawai, yang diberinya nama Sadung.
Cakradhara pada waktu itu sedang bermain diatas sebuah sampan. Sampan tersebut kemudian terbawa ombak laut, dan menjauhkannya dari wilayah daratan Tanjung Pura. Sampan yang ditempati Cakradhara kemudian terdampar di wilayah pantai Kerajaan Wilwatikta atau Majapahit, yang selanjutnya ditemukan oleh Paman Patih Dyah Halayudha, Mahapatih Kerajaan Majapahit pada masa itu.
Ketika mengetahui identitas Cakradhara yang ternyata merupakan anak Raja Tanjung Pura yang telah hilang, Paman Patih Dyah Halayudha kemudian mengangkatnya sebagai anak, dan selama mengurus Cakradhara, Paman Patih Dyah Halayudha menyembunyikan identitas dan asal usul Cakradhara yang sesungguhnya. Bahkan Raja Sri Jayanegara, Raja Majapahit pada masa itu, juga tidak mengetahui hal itu.
Cakradhara ketika dewasa menikah dengan Ratu Majapahit bernama Tribhuana Wijayatunggadewi, dan dari pernikahan ini dianugerahi anak bernama Raja Hayam Wuruk. Adapun Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi sebenarnya tidak menginginkan Cakradhara menjadi suaminya. Ia menginginkan Mahapatih Gajah Mada menjadi suaminya. Namun ia terjebak oleh tipu daya Paman Patih Dyah Halayudha, sehingga terpilihlah Cakradhara yang penampilannya mirip Gajah Mada.
Sejak pertama Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi bertemu Gajah Mada ketika terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta, ia telah jatuh hati kepada pemuda yang usianya jauh lebih muda darinya itu. Pemberontakan di Sadeng dan Keta terjadi akibat intrik Paman Patih Dyah Halayudha yang ingin menguasai tahta Majapahit. Pemberontakan itu terjadi setelah kematian Raja Sri Jayanegara yang dibunuh oleh Ra Tanca.
Pada masa itu Paman Patih Dyah Halayudha menghasut Raja Sri Jayanegara untuk menyerang Kerajaan Lawai karena Ratu Lawai yang bernama Dara Nante menolak mentah-mentah pinangan Raja Majapahit tersebut. Ratu Lawai pada waktu itu belum lama ditinggal wafat suaminya yang bernama Babay Cinga’. Maka pada tahun 1329 Masehi, Kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Lawai. Namun serangan tersebut gagal.
Pada saat bersamaan, Paman Patih Dyah Halayudha menghasut Ra Tanca dengan menyampaikan bahwa Raja Sri Jayanegara telah menyetubuhi istri Ra Tanca yang sangat cantik tersebut, sehingga menyebabkan kemarahan Ra Tanca. Raja Sri Jayanegara terkenal doyan perempuan sehingga ia digelari Kala Gemet yang artinya Penjahat Lemah. Paman Patih Dyah Halayudha juga memberikan keris Empu Gandring yang sangat ditakuti oleh keturunan Raja Kertarajasa Jayawardhana kepada Ra Tanca, yang kemudian dipergunakan oleh Ra Tanca untuk membunuh Raja Sri Jayanegara.
Setelah kematian Jayanegara, Tribhuana Wijayatunggadewi adik tiri Raja Sri Jayanegara di nobatkan menjadi Raja Majapahit. Banyak petinggi Majapahit yang tidak suka dipimpin oleh raja seorang wanita. Termasuk Paman Patih Dyah Halayhuda yang telah di non aktifkan jabatannya sebagai Maha Patih Majapahit. Tidak begitu lama menduduki tahta Majapahit, kekuasaan Tribhuana Wijayatunggadewi di guncang huru hara. Meskipun tidak lagi menjabat sebagai Maha Patih namun Paman Patih Dyah Halayhuda terus berulah. Ia tetap berambisi untuk menguasai Kerajaan Majapahit.
Paman Patih Dyah Halayudha selanjutnya menghasut para petinggi Kerajaan di luar pusat kota Majapahit, yang telah diketahuinya tidak menyetujui Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi menjadi Raja Majapahit. Dan pada tahun 1331 Masehi pecahlah pemberontakan di Sadeng dan Keta.
Maha Patih Majapahit pada saat itu adalah Maha Patih Arya Tadah sedang sakit-sakitan sehingga tidak mampu meredam pemberontakan. Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi kemudian memerintahkan Arya Kembar sebagai komandan Bhayangkara untuk mengirim pasukan Bhayangkara guna meredam pemberontakan itu. Namun Arya Kembar tidak menggubris perintah Ratu Majapahit tersebut. Arya Kembar hanya mengirim pasukan dalam jumlah yang tidak lebih dari seratus orang, bahkan ia tidak turun langsung bersama pasukan Bhayangkara.
Selain itu pasukan yang dikirimnya merupakan pasukan muda yang baru menjadi pasukan Bhayangkara. Arya Kembar juga dengan seenaknya menunjuk Gajah Mada menjadi Bekel untuk memimpin pasukan Bhayangkara yang masih amatiran itu untuk memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta. Gajah Mada sebelum pergi ke Sadeng dan Keta sempat meminta izin Maha Patih Arya Tadah yang sedang sakit. Maha Patih Arya Tadah melaporkan hal itu kepada Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi bahwa Arya Kembar telah mengirim pasukan yang belum berpengalaman ke Sadeng dan Keta yang di pimpin oleh prajurit muda bernama Gajah Mada. Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi sangat murka. Ia kemudian memimpin pasukan Majapahit menuju Sadeng dan Keta bersama sepupunya Adityawarman.
Namun sesampainya di Sadeng dan Keta, ternyata pemberontakan berhasil di taklukkan oleh Gajah Mada bersama pasukan amatirannya. Dan ketika peristiwa pemberontakan di Sadeng dan Keta inilah, Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi akhirnya mengenal Gajah Mada. Ia pun jatuh hati kepada Gajah Mada yang umurnya jauh lebih muda darinya itu. Kelincahan Gajah Mada memimpin pasukan Bhayangkara menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta telah menarik perhatian Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi.

Ringkasan buku Kerajaan Lawai

NAN SARUNAI USAK JAWA

NAN SARUNAI USAK JAWA

Pada tahun 1358 Masehi, Mpu Jatmika atau Mpu Nallauda bersama Demang Wiraja menyerang negeri Nan Sarunai. Mpu Jatmika mengerahkan armada lautnya yang dipersenjatai dengan meriam yang disebut Cetbang meluluh lantakkan negeri Nan Sarunai. Serangan itu berakibat terbunuhnya Miharaja Rahadyan Anyan dan Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen. Negeri Nan Sarunai hancur akibat serangan itu. Peristiwa hancurnya Nan Sarunai kemudian dikenal dengan Nan Sarunai Usak Jawa. Mpu Jatmika menyerang Nan Sarunai karena marah ketika mendengar istrinya bernama Dhamayanthi menidurkan anak mereka bernama Sekar Mekar dengan nyanyian dalam bahasa Dayak Ma’anyan yang liriknya mengatakan bahwa ayah Sekar Mekar adalah Raja Anyan.
Tanpa berpamitan kepada istrinya Dhamayanthi, dan tanpa melapor ke Maha Patih Gajah Mada, Mpu Jatmika segera pergi ke pelabuhan Tuban dan memerintahkan armada lautnya untuk menghancurkan Kerajaan Nan Sarunai. Mpu Jatmika meluapkan murkanya ke negeri Nan Sarunai. Tak ada seorangpun yang dibiarkannya hidup meski telah terluka. Kemarahan Mpu Jatmika tidak terbendung terhadap perselingkuhan istrinya Dhamayanthi dengan Miharaja Rahadyan Anyan membuat Nan Sarunai hancur.
Dalam kondisi terdesak, Miharaja Rahadyan Anyan disembunyikan oleh pengawalnya dalam sebuah sumur tua yang sudah tidak berair lagi. Diatas sumur tersebut ditutupi dengan sembilan buah gong besar, kemudian dirapikan dengan tanah dan rerumputan, agar tidak diketahui pasukan Mpu Jatmika.
Ketika pasukan Mpu Jatmika telah menguasai negeri Nan Sarunai, Mpu Jatmika kemudian memerintahkan Demang Wiraja untuk mencari Miharaja Rahadyan Anyan hidup atau mati. Sumur tua tempat persembunyian Miharaja Rahadyan Anyan berhasil ditemukan. Raja negeri Nan Sarunai itu langsung tewas dibunuh oleh Mpu Jatmika menggunakan sebuah pusaka negeri Nan Sarunai sendiri, yaitu sebuah tombak yang berbentuk lembing bertangkai panjang.
Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen yang bersembunyi di pelepah kelapa gading juga ditemukan oleh pasukan Mpu Jatmika. Namun Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen yang telah mempersenjatai diri dengan pisau dari besi kuning yang bernama Lading Lansar Kuning melakukan perlawanan. Perlawanannya begitu sengit sehingga ia banyak menimbulkan korban pada pihak pasukan Mpu Jatmika, sebelum akhirnya ia sendiri gugur.
Dalam serangan pasukan Mpu Jatmika telah gugur pula seorang nahkoda kapal dagang milik negeri Nan Sarunai yang bernama Jumulaha La Isomena. Nahkoda kapal ini merupakan orang dari Bangsa Bugis. Jumulaha La Isomena terkenal sangat berani mengarungi lautan luas. Ia sangat menguasai pengetahuan tentang alam samudera. Jumulaha La Isomena banyak bergaul dan bersahabat dengan pelaut-pelaut asal Luwuk dan Bajau. Kesetiaannya pada negeri Nan Sarunai sangat mengagumkan. Ketika terjadi serangan pasukan Mpu Jatmika, Jumulaha La Isomena bertempur habis-habisan membela negeri Nan Sarunai. Ia melakukan perlawanan dengan sangat sengit, banyak pasukan Mpu Jatmika yang tewas atas perlawanannya itu, meski akhirnya ia sendiri gugur bersimbah darah.
Mpu Jatmika setelah menghancurkan negeri Nan Sarunai langsung kembali ke pelabuhan Tuban. Mpu Jatmika berencana akan membunuh Dhamayanthi karena telah mengkhianati cinta mereka. Namun rencananya tersebut tidak terlaksana, setelah Dhamayanthi menjelaskan bahwa nyanyiannya itu adalah bohong belaka, dan hanya untuk mendapatkan perhatian Mpu Jatmika saja.
Dhamayanthi sengaja menyanyikan lirik seperti itu karena kecewa dengan Mpu Jatmika yang telah meninggalkannya di Nan Sarunai selama dua tahun. Memang sebelum peristiwa serangan ke negeri Nan Sarunai, Mpu Jatmika telah meninggalkan istrinya Dhamayanthi selama dua tahun. Mpu Jatmika membawa istrinya ke negeri Nan Sarunai dalam misi menyelidiki situasi dan kondisi negeri Nan Sarunai.
Penyelidikan terhadap negeri Nan Sarunai yang dilakukan oleh Mpu Jatmika telah dilakukannya sejak tahun 1350 Masehi. Penyelidikan tersebut atas perintah Maha Patih Gajah Mada yang ingin mengetahui hubungan antara negeri Nan Sarunai dengan Kerajaan Lawai. Maha Patih Gajah Mada menunjuk Mpu Jatmika untuk berbaur ke dalam negeri Nan Sarunai karena Mpu Jatmika pernah berada di Sungai Kalang, sehingga tidak akan menyulitkan bagi Mpu Jatmika untuk beradaptasi dengan masyarakat Nan Sarunai. Selain itu Mpu Jatmika sangat memahami bahasa dan seluk beluk negeri Nan Sarunai.
Mpu Jatmika ketika melakukan penyelidikan menyamar sebagai nahkoda kapal dagang. Di negeri Nan Sarunai ia memakai nama samaran yaitu Mpu Dayar atau Tuan Penayar dan bertemu dengan Miharaja Rahadyan Anyan, yang juga bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas, serta Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen. Mpu Jatmika sering dibawa oleh Rahadyan Anyan dalam bangunan tempat pertemuan Majelis Rakyat Nan Sarunai.
Mpu Jatmika sangat kagum melihat kemegahan bangunan tersebut, begitu banyak barang-barang terbuat dari emas murni, ketika ia dipersilakan untuk melihat-lihat perlengkapan pesta adat yang ada di dalam ruangan tempat bermusyawarah. Yang sangat dikagumi oleh Mpu Jatmika, adalah soko guru balai adat yang terbuat dari emas murni, dimana dibagian atasnya bermotif patung manusia. Miharaja Rahadyan Anyan dan Permaisurinya serta para bangsawan Nan Sarunai berpakaian yang dilapisi emas dengan berbagai intan menghiasi tubuh mereka.
Mpu Jatmika juga sempat membawa serta seorang panglima perangnya yang bernama Demang Wiraja dengan memakai nama samaran Tuan Andringau, serta beberapa prajurit Wilwatikta dari Sungai Kalang. Kemudian pada awal tahun 1356 Masehi, Mpu Jatmika datang lagi ke Nan Sarunai dengan membawa serta istrinya yang bernama Dhamayanthi. Sewaktu ia kembali lagi ke Wilwatikta, sengaja Mpu Jatmika membiarkankan isterinya tinggal di negeri Nan Sarunai.
Dhamayanthi berwajah sangat cantik dan pribadinya menarik, ia pandai bergaul dan memahami bahasa Nan Sarunai. Mpu Jatmika meminta Dhamayanthi untuk ikut menyelidiki negeri Nan Sarunai yaitu dengan mendekati Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen, agar mendapatkan kepastian tentang hubungan Nan Sarunai dengan Kerajaan Lawai. Dhamayanthi selama di Nan Sarunai memakai nama samaran Samoni Batu.
Pada awal tahun 1358 Masehi, Mpu Jatmika datang lagi ke negeri Nan Sarunai untuk menjemput istrinya, dan menemukan isterinya sedang menimang seorang anak perempuan yang telah berumur hampir dua tahun, yang telah diberi nama Sekar Mekar. Kepada Mpu Jatmika, Dhamayanthi menerangkan bahwa anak yang ada dipangkuannya itu adalah anak mereka berdua. Dan Mpu Jatmika percaya saja akan apa yang telah dikatakan oleh isterinya itu.
Ketika kembali ke Wilwatikta, Dhamayanthi beserta anaknya dibawa serta, mereka kemudian tinggal dipangkalan aramada laut Wilwatikta di Tuban. Belum juga lama mereka bersatu kembali setelah selama dua tahun tidak bertemu, rupanya Mpu Jatmika kembali hendak meninggalkan Dhamayanthi dan anaknya itu.
Mpu Jatmika bersama armadanya hendak berlayar lagi guna melaksanakan tugas-tugas dari kerajaan Wilwatikta. Dhamayanthi mendapatkan informasi tentang akan pergi lagi Mpu Jatmika dan armadanya. Dhamayanthi sangat kesal dan kecewa dengan sikap Mpu Jatmika yang kurang memberikan perhatian pada dirinya dan anaknya. Ditambah lagi kekesalan Dhamayanthi yang selama dua tahun telah ditinggalkan di negeri Nan Sarunai.
Kekecewaan Dhamayanthi terhadap sikap Mpu Jatmika yang terlalu sibuk dengan tugasnya tanpa ada waktu untuk dirinya tidak terbendung. Ia pun sengaja menunggu Mpu Jatmika yang hendak berpamitan, dan sengaja menyanyikan nyanyian untuk menidurkan Sekar Mekar dengan bahasa Dayak Ma’anyan yang liriknya mengatakan bahwa ayah Sekar Mekar adalah Raja Anyan. Dhamayanthi berusaha untuk mendapatkan perhatian dari Mpu Jatmika, namun dengan cara yang keliru sehingga menyebabkan bencana dan korban jiwa.
Maha Patih Gajah Mada sangat murka mendapatkan kabar bahwa negeri Nan Sarunai telah dihancurkan oleh Mpu Jatmika dan armadanya. Maha patih Gajah Mada sangat kecewa dengan tindakan ceroboh Mpu Jatmika yang telah mengerahkan pasukan tanpa sepengetahuan dirinya. Apalagi setelah diketahui ternyata tindakan Mpu Jatmika tidak beralasan, hanya karena nyanyian yang ternyata itu hanyalah kebohongan dari Dhamayanthi. Akibat dari serangan ke negeri Nan Sarunai membuat reputasi Gajah Mada sebagai Maha Patih Wilwatikta semakin buruk. Sedangkan sebelumnya telah diperburuk dengan peristiwa Bubat.

Ringkasan buku Nan Sarunai

MERIAM CETBANG


MERIAM CETBANG

Meriam Cetbang buatan Kalimantan Tersimpan di Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika Serikat. Meriam Cetbang ini berukuran 3 meter yang dipergunakan oleh Maha Patih Gajah Mada ketika mewujudkan Sumpah Palapa. Pada meriam terdapat lambang Surya Nata yang merupakan lambang kebesaran Majapahit sehingga Maha Patih Gajah Mada bergelar Maha Patih Gajah Surya Nata atau bergelar juga Pangeran Surya Nata.
Cetbang yang berukuran 3 meter ditempatkan di kapal-kapal perang Majapahit yang disebut Jung Majapahit. Jung-Jung Majapahit yang terkenal kokoh pada masanya dibuat ditempat tersembunyi yang disebut Modang. Di Modang ini Maha Patih Gajah Mada mengerahkan prajurit Majapahit yang dipimpin oleh Mpu Nala dengan mengambil kayu-kayu dari Pohon Embuloh, yang kemudian dibentuk menjadi Jung-Jung Majapahit. Modang pada masa dahulu merupakan bagian wilayah Ulu Aik dan untuk sekarang ini menjadi salah satu desa di Kabupaten Sanggau.
Mpu Nala adalah panglima angkatan laut Majapahit yang terkenal menggunakan meriam Cetbang. Kesohoran Mpu Nala pada masa Majapahit diketahui melalui Prasasti Sekar, Prasasti Manah I Manuk (Bendosari), Prasasti Batur, Prasasti Tribhuwana dan Kakawin Negarakeragama yang menyebutnya sebagai Rakryan Tumenggung (panglima perang). Dalam Kakawin Negarakeragama Mpu Nala digelari juga "Wiramandalika". Gelar ini disematkan karena jasanya kepada perluasan wilayah Majapahit. Nama Mpu Nala juga diabadikan sebagai salah satu nama Kapal Perang Republik Indonesia.
Meriam Cetbang berukuran 3 meter juga pernah dipergunakan oleh Pangeran Sidang Penape atau Kapkap yang merupakan adik kembarnya Ratu Betung Tanjung Pura atau iparnya Raja Siak Bahulun ketika menyerang rombongan Sayyid Kubu di Pantai Kakap pada tahun 1305 Masehi.
Untuk Meriam Cetbang berukuran 1 meter ditemukan di Pantai Dundee, Northern Territory, Australia. Meriam Cetbang kecil ini disebut Swivel Gun. Meriam Cetbang kecil ini merupakan peninggalan ketika terjadi penyerangan pasukan Pangkal Lima Nan Sarunai yang membantu melepaskan armada laut Kerajaan Tibojong yang telah ditawan oleh Bangsa Yolngu pada permulaan tahun 1200-an Masehi. Wilayah Bangsa Yolngu sekarang ini disebut Australia. Pada penyerangan itu Abal yang merupakan salah seorang dari Pangkal Lima Nan Sarunai membawa racikan mesiu dan Meriam Cetbang kecil menghancurkan apa saja milik Bangsa Yolngu.

Kamis, 01 Februari 2018

INDUNG NIUT : ASAL MUASAL ORANG KEDAYAN


ORANG SAMBAS

Pada periode tahun 934 – 930 SM terjadi letusan gunung berapi secara serempak pada beberapa tempat di bumi termasuk salah satunya Gunung Niut di Kalimantan. Letusan gunung api ini menyebabkan terjadinya gempa yang dahsyat dan banjir besar sehingga menghancurkan semua negeri di bumi. Dalam sejarah Islam dan Hikayat Melayu, letusan Gunung Berapi yang terjadi secara serempak pada masa itu bersamaan dengan berita wafatnya Nabi Sulaiman AS.
Tersebutlah Bangsa Zabaj yang pemukiman dan istananya musnah akibat  hantaman gelombang besar dan hujan batu dari atas Gunung Niut. Mereka berusaha menyelamatkan diri menggunakan beberapa kapal besar dengan melintasi lautan. Badai besar dengan gelombang tinggi menghantam rombongan kapal Bangsa Zabaj. Mereka terus berusaha menjauhi wilayah Gunung Niut agar terhindar dari memuntahkan lahar panas serta tumpahan tanah dan hujan batu. Selama berhari-hari kapal rombongan Bangsa Zabaj mengarungi lautan yang sedang dilanda badai besar itu. Hingga disuatu tempat ditengah lautan rombongan kapal Bangsa Zabaj tidak lagi mendapat hantaman ombak besar. Kondisi lautan di wilayah tersebut tidak terpengaruh oleh letusan dan goncangan Gunung Niut yang masih terjadi.
Wilayah tersebut ternyata merupakan sebuah jurang di tengah lautan atau disebut Palung. Rombongan kapal Bangsa Zabaj ini kemudian memutuskan untuk menetap di wilayah Palung tersebut karena merasa aman dan tidak terkena badai lautan. Bangsa Zabaj selanjutnya membangun pemukiman yang baru karena pemukiman mereka yang lama telah musnah akibat letusan Gunung Niut. Tempat itu kemudian disebut Paloh yang merupakan asal kata dari Palung atau Jurang di dasar lautan.
Seiring perjalanan waktu, pemukiman baru Bangsa Zabaj di Paloh semakin berkembang. Mereka berhasil membangun kembali pemukiman yang besar dan megah di Paloh. Bahkan Bangsa Zabaj juga berhasil membangun peradaban yang maju di paloh yaitu dengan membendung lautan dan membangun pemukiman mereka berada di dalam palung yang telah mereka bendung tersebut.
Permulaan Bangsa Zabaj sanggup membendung laut dan membangun pemukiman yang megah didalam palung lautan ketika pada masa itu mereka dipimpin oleh seorang bernama Busum Dika. Busum Dika bentuk tubuhnya kerdil namun memiliki kemampuan dan kepintaran luar biasa. Karena bentuk tubuhnya yang kerdil namun memiliki kemampuan yang tidak seperti orang lain itulah sehingga ia disebut Busum Dika. Ada juga yang menyatakan bahwa orang kerdil tersebut disebut Busum Dika karena telah berhasil membendung air laut, dengan kata lain bahwa Busum Dika bermakna bendungan yang dibangun oleh orang kerdil yang hebat.
Selanjutnya Negeri Paloh yang berada di tengah lautan itu makin maju dan berkembang pesat. Kemajuan peradabannya sulit tertandingi oleh bangsa-bangsa lain pada masa itu. Negeri Paloh yang terkenal sebagai Negeri Air atau Negeri Lautan juga sulit diserang oleh negeri lain karena lokasi negerinya yang sulit terjangkau. Perkembangan dan kemajuan Negeri Paloh hingga ke beberapa generasi. Dan pada generasi-generasi berikutnya Bangsa Zabaj ini terlogatkan menjadi Orang Sambas atau Suku Sambas yang artinya Orang Air atau Orang Laut.
Suatu hari Negeri Paloh yang dibangun oleh Busum Dika ini kedatangan seorang raja dari Amdan Negara yang bernama Raja Suran. Pada masa itu Negeri Paloh di pimpin oleh seorang raja bernama Raja Aktab. Raja Suran datang ke Negeri Paloh yang berada di tengah lautan itu dengan menggunakan sebuah peti kaca dari bawah lautan. Raja Suran kemudian dinikahkan Raja Akhtab dengan putrinya yang bernama Putri Makhtabul Bahri.
Pada suatu ketika, Negeri Paloh yang megah tersebut terkena bencana. Negeri ini tertimpa batu api yang sangat besar dari langit. Batu api itu mereka sebut Mustika Bintang. Akibat kejatuhan Mustika Bintang dari langit ini membuat Negeri Paloh menjadi luluh lantak. Negeri itu terbakar dan rakyat Paloh tercerai berai. Bendungan yang besar untuk menahan air laut hancur sehingga Negeri Paloh tenggelam dalam lautan.
Dalam suasana kalut dan tidak terkendali itu, banyak rakyat Negeri Paloh berusaha untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut, namun lebih banyak yang tewas akibat tertimpa Mustika Bintang dari langit yang berapi itu, selain itu banyak juga rakyat Paloh yang tenggelam dalam lautan. Rakyat Paloh yang berhasil menyelamatkan diri berusaha mencari daratan terdekat.
Ketika peristiwa jatuhnya Mustika Bintang pada masa itu, terdapat rombongan yang berhasil mencapai daratan yang terbentuk akibat letusan Indung Niut pada masa dahulu. Rombongan tersebut membangun pemukiman baru di sana. Daratan itu kemudian disebut sebagai Teluk Keramat. Rombongan Bangsa Sambas menetap di Teluk Keramat hingga ke beberapa generasi. Dari rombongan Bangsa Sambas yang menetap di Teluk Keramat ini lah sebagai permulaan Orang Sambas bermukim di daratan.

Ringkasan buku Indung Niut : Asal Muasal Orang Kedayan

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...