Sabtu, 17 Februari 2018

PANINTING TARUNG

PANINTING TARUNG

Ketika Miharaja Rahadyan Manyamai menjadi raja di Tampun Juah, negeri ini mulai dikenal sebagai negeri Nan Sarunai. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh dan kehebatan putranya yang bernama Paninting Tarung. Rahadyan Manyamai memiliki dua putra yang bernama Paninting Tarung dan Andung Prasap.
Penampilan Paninting Tarung sangat menakutkan, diseluruh tubuhnya dipenuhi oleh tatto, dan ia merupakan petarung yang handal sehingga digelari Paninting Tarung. Setiap kali ia membunuh musuh-musuhnya, maka ia akan mentatto tubuhnya sebagai tanda bahwa ia telah membunuh musuh-musuhnya tersebut. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya musuh yang telah tewas ditangannya, sehingga tidak ada lagi bagian ditubuhnya yang bisa di tatto.
Paninting Tarung juga gemar mengumpulkan kepala-kepala musuhnya yang telah ia taklukkan. Dalam setiap peperangan, ia tidak akan membiarkan musuh-musuhnya tersebut tetap hidup. Musuh-musuhnya itu selalu ia penggal dan kepalanya ia bawa pulang, kemudian disimpannya disebuah tempat penyimpanan pribadi miliknya.
Selain handal bertarung, Paninting Tarung juga terkenal sebagai ahli pengobatan. Paninting Tarung menggunakan ramuan tumbuhan Sarunai atau Wedelia Biflora sebagai obat untuk menyembuhkan orang yang sakit. Setiap berperang, Paninting Tarung selalu membawa ramuan tumbuhan tersebut sebagai obat untuk pasukannya jika sakit atau terluka akibat senjata musuh. Berdasarkan nama tumbuhan tersebut sehingga negeri itu disebut sebagai negeri Sarunai. Namun ada juga yang meriwayatkan bahwa negeri itu disebut sebagai negeri Sarunai karena banyak terdapat taman-taman yang indah yang dipenuhi oleh tumbuhan Sarunai, sehingga setiap orang yang datang ke Tampun Juah meyebutnya sebagai negeri Sarunai atau negeri yang indah.
Pada permulaan abad ke-12 Masehi, diberbagai belahan dunia banyak terjadi peperangan sehingga menciptakan kondisi yang tidak kondusif pada masa tersebut. Bangsa-bangsa di Eropa pada masa itu sedang berperang dengan bangsa Ortoqid, bangsa Danishmend dan bangsa Seljuk, untuk merebut kembali Kerajaan Edessa diwilayah utara Tripoli. Perang ini memakan waktu yang sangat panjang. Sementara itu di wilayah Sriwijaya juga terjadi pergolakan terhadap pengaruh kekuasaan Sriwijaya. Beberapa kerajaan yang menjadi wilayah kekuasaan Sriwijaya berusaha melepaskan diri. Kondisi tersebut membuat pertahanan dan keamanan Kerajaan Sriwijaya melemah. Namun terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa melemahnya kekuasaan Sriwijaya akibat faktor alam, yaitu karena adanya pengendapan lumpur di sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang, akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan posisi Sriwijaya menjadi tidak strategis. Karena kapal-kapal dagang yang datang semakin berkurang sehingga pajak kerajaan juga berkurang dan memperlemahkan perekonomian Sriwijaya.
Selain itu ekspansi dari Kerajaan Chola semakin memperburuk kondisi Sriwijaya melalui ekspedisi lautnya untuk menguasai wilayah-wilayah koloni Sriwijaya. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh wilayah imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh Dinasti Chola, namun Raja Chola tetap memberikan kekuasaan kepada raja-raja yang ditaklukkannya selama tetap tunduk pada Kerajaan Chola.
Kondisi dunia yang sedang tidak kondusif tersebut membuat Paninting Tarung sering melakukan ekspedisi bersama pasukan Nan Sarunai guna mengamankan wilayah negeri dan perairan Nan Sarunai karena tidak menginginkan pasukan Chola memasuki wilayah Nan Sarunai, selain itu sering terjadinya pelarian dari negeri lain yang kemudian berbuat tindak kejahatan.
Pada tahun 1140-an Masehi, Paninting Tarung bersama pasukannya melakukan ekspedisi di wilayah Segenting Kra. Ketika berada di Segenting Kra, Paninting Tarung mendengar berita bahwa seorang Ratu di negeri Sangkra yang bernama Maharani Sung-Ch’ia sedang menderita sakit. Ratu Sangkra tersebut telah lama menderita sakit dan belum ada seorang pun yang mampu untuk menyembuhkannya.
Negeri Sangkra merupakan sebuah kerajaan kecil yang turun temurun dipimpin oleh seorang ratu. Kerajaan ini merupakan pecahan dari Kerajaan Pattani. Kerajaan Pattani dibangun oleh anak perempuan Raja Merong Mahapudisat. Dan Raja Merong Mahapudisat merupakan anak Raja Merong Maha Wangsa.
Raja Merong Mahapudisat mempunyai empat orang anak. Anak pertamanya membangun Kerajaan Siam Lancang. Anak keduanya membangun Kerajaan Perak dengan terlebih dahulu menembakkan busur panah Indera Sakti. Anak ketiganya seorang wanita, dan membangun kerajaan Pattani dengan petunjuk dari seekor gajah yang diberi nama Gajah Gemala Johari dan Keris Lela Mensani. Sedangkan anak keempatnya, yang bernama Raja Seri Mahawangsa menggantikan Raja Merong Mahapudisat menjadi raja di Kerajaan Langkasuka.
Kerajaan Pattani kemudian terpecah belah akibat pertikaian  saudara dan serangan dari Raja Ong Maha Perita Deria atau yang dikenal dengan sebutan Raja Bersiung. Pecahan dari Kerajaan Pattani kemudian membentuk kerajaan-kerajaan kecil yang salah satunya adalah Kerajaan Sangkra.
Namun pada masa itu Kerajaan Sangkra mendapat musibah yaitu ratunya menderita sakit berkepanjangan sehingga membuat sistim pemerintahan kerajaan tersebut terganggu. Berbagai cara dan telah banyak orang yang telah berusaha menyembuhkannya, namun selalu gagal. Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia akhirnya mengeluarkan titah bahwa siapa saja yang dapat menyembuhkan penyakitnya maka ia akan menyerahkan dirinya dan kerajaannya pada orang tersebut. Titah Maharani Sung-Ch’ia ini terdengar oleh Paninting Tarung, yang kemudian pergi ke Kerajaan Sangkra.
Guna mengobati penyakit Maharani Sung-Ch’ia, Paninting Tarung hanya membawa pinang dan tumbuhan Serunai. Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia sangat terkejut melihat penampilan Paninting Tarung yang seluruh tubuhnya dipenuhi oleh tatto. Ia sangat sulit untuk melihat bentuk penampilan Paninting Tarung yang sesungguhnya karena tertutupi oleh tatto.
Ketika mengetahui maksud kedatangan Paninting Tarung ke Kerajaan Sangkra adalah hendak mencoba mengobati penyakit Ratu Sangkra itu, maka Ratu Sangkra memberinya kesempatan untuk menyembuhkan penyakitnya. Paninting Tarung kemudian mempersembahkan pinang dan tumbuhan Serunai kepada Ratu Sangkra. Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia sempat heran juga karena Paninting Tarung hanya membawa pinang dan tumbuhan serunai untuk mengobati penyakitnya, namun Paninting tarung menjelaskan bahwa pinang dan tumbuhan serunai merupakan tumbuhan-tumbuhan yang sangat berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, tumbuhan-tumbuhan itu sering dipergunakan oleh rakyat di negerinya.  Ratu Sangkra akhirnya mengerti dengan penjelasan Paninting Tarung, ia pun meminta Paninting Tarung meramu tumbuhan-tumbuhan itu sebagai obat kesembuhan bagi penyakitnya yang telah menahun. Ramuan itu ternyata berhasil menyembuhkan penyakit Ratu Sangkra.
Setelah sembuh dari penyakit yang telah lama dideritanya, dan sesuai titah yang telah diucapkan oleh Ratu Maharani Sung-Ch’ia, maka Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia menikah dengan Paninting Tarung dan menyerahkan kekuasaan Kerajaan Sangkra kepada Paninting Tarung. Sehingga pada masa tersebut Kerajaan Sangkra mulai dipimpin oleh seorang raja. Setelah menikahi Ratu Sangkra Maharani Sung-Ch’ia, Paninting Tarung mendapat gelar Aji Singor, sedangkan Maharani Sung-Ch’ia sering disebut sebagai Tunjung Pinang Seruni karena telah sembuh dari penyakitnya berkat ramuan pinang dan tumbuhan Serunai.
Dari pernikahan Paninting Tarung dengan Maharani Sung-Ch’ia memperoleh putra bernama Aji Sanjur. Setelah wafatnya Paninting Tarung, Aji Sanjur naik menjadi raja Kerajaan Sangkra. Aji Sanjur memiliki putra bernama Aji Wangsa, yang kemudian menggantikan Aji Sanjur menjadi raja di Kerajaan Sangkra setelah Aji Sanjur wafat. Aji Wangsa memiliki dua orang putra bernama Aji Sri Wangsa dan Aji Indera Wangsa. Namun ada juga yang menyebut Aji Wangsa dengan sebutan Sultan Tua, dan kedua putranya dengan sebutan Sultan Sulung atau Dama’ Bintang dan Sultan Muda atau Dama’ Bulan.
Ketika Aji Wangsa wafat, terjadi perang saudara antara Aji Sri Wangsa dan Aji Indera Wangsa karena memperebutkan tahta Kerajaan Sangkra pada tahun 1298 Masehi. Dengan dibantu oleh pasukan dari Kerajaan Chola, Aji Sri Wangsa menyerang wilayah kekuasaan Aji Indera Wangsa. Pasukan Aji Indera Wangsa tidak mampu membendung serangan pasukan Aji Sri Wangsa. Bahkan istana Aji Indera Wangsa berhasil di kuasai oleh pasukan Aji Sri Wangsa. Istana tersebut kemudian dihancurkan dan dibakar oleh pasukan Aji Sri Wangsa.
Sebelum pasukan Aji Sri Wangsa berhasil menguasai istana, Aji Indera Wangsa dan pengikutnnya sempat menyelamatkan diri. Dengan sebuah kapal besar, rombongan Aji Indera Wangsa pergi ke Kerajaan Riau untuk memohon perlindungan kepada para kerabat mereka disana. Namun para kerabat di Kerajaan Riau menyarankan kepada rombongan Aji Indera Wangsa untuk pergi ke Kalimantan guna memohon bantuan Kerajaan Tanjung Pura.
Ketika pelariannya, Aji Indera Wangsa dan rombongannya membawa semua harta Kerajaan Sangkra. Dalam rombongan Aji Indera Wangsa ikut serta istri Aji Sri Wangsa yang bernama Permaisuri Pagan dan anak perempuannya bernama Putri Nilam Cahaya atau Dara Nante yang pada waktu itu masih bayi.  Aji Sri Wangsa berusaha mengejar rombongan Aji Indera Wangsa, tetapi ia kehilangan jejak pelarian Aji Indera Wangsa di Kalimantan. Beberapa tahun berikutnya Kerajaan Sangkra runtuh karena kehabisan biaya untuk membangun negerinya. Sedangkan putrinya Dara Nante kemudian menikah dengan Bacinga’, anak Rahadyan Japutra Layar, raja di Kerajaan Nan Sarunai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...