Selasa, 06 Februari 2018

PANGERAN CAKRADHARA 1

PANGERAN CAKRADHARA 1

Raja Tanjung Pura Siak Bahulun menikah dengan Ratu Betung, memiliki anak bernama Cakradhara. Ketika Cakradhara masih kecil, ia hanyut terbawa ombak laut ketika bermain-main di pantai Kerajaan Tanjung Pura. Untuk menggantikan anak laki-lakinya yang hilang, Raja Siak Bahulun mengangkat anak bernama Arya Likar atau Pangeran Rangga Sentap, anaknya Babay Cinga’ dan Dara Nante dari Kerajaan Lawai, yang diberinya nama Sadung.
Cakradhara pada waktu itu sedang bermain diatas sebuah sampan. Sampan tersebut kemudian terbawa ombak laut, dan menjauhkannya dari wilayah daratan Tanjung Pura. Sampan yang ditempati Cakradhara kemudian terdampar di wilayah pantai Kerajaan Wilwatikta atau Majapahit, yang selanjutnya ditemukan oleh Paman Patih Dyah Halayudha, Mahapatih Kerajaan Majapahit pada masa itu.
Ketika mengetahui identitas Cakradhara yang ternyata merupakan anak Raja Tanjung Pura yang telah hilang, Paman Patih Dyah Halayudha kemudian mengangkatnya sebagai anak, dan selama mengurus Cakradhara, Paman Patih Dyah Halayudha menyembunyikan identitas dan asal usul Cakradhara yang sesungguhnya. Bahkan Raja Sri Jayanegara, Raja Majapahit pada masa itu, juga tidak mengetahui hal itu.
Cakradhara ketika dewasa menikah dengan Ratu Majapahit bernama Tribhuana Wijayatunggadewi, dan dari pernikahan ini dianugerahi anak bernama Raja Hayam Wuruk. Adapun Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi sebenarnya tidak menginginkan Cakradhara menjadi suaminya. Ia menginginkan Mahapatih Gajah Mada menjadi suaminya. Namun ia terjebak oleh tipu daya Paman Patih Dyah Halayudha, sehingga terpilihlah Cakradhara yang penampilannya mirip Gajah Mada.
Sejak pertama Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi bertemu Gajah Mada ketika terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta, ia telah jatuh hati kepada pemuda yang usianya jauh lebih muda darinya itu. Pemberontakan di Sadeng dan Keta terjadi akibat intrik Paman Patih Dyah Halayudha yang ingin menguasai tahta Majapahit. Pemberontakan itu terjadi setelah kematian Raja Sri Jayanegara yang dibunuh oleh Ra Tanca.
Pada masa itu Paman Patih Dyah Halayudha menghasut Raja Sri Jayanegara untuk menyerang Kerajaan Lawai karena Ratu Lawai yang bernama Dara Nante menolak mentah-mentah pinangan Raja Majapahit tersebut. Ratu Lawai pada waktu itu belum lama ditinggal wafat suaminya yang bernama Babay Cinga’. Maka pada tahun 1329 Masehi, Kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Lawai. Namun serangan tersebut gagal.
Pada saat bersamaan, Paman Patih Dyah Halayudha menghasut Ra Tanca dengan menyampaikan bahwa Raja Sri Jayanegara telah menyetubuhi istri Ra Tanca yang sangat cantik tersebut, sehingga menyebabkan kemarahan Ra Tanca. Raja Sri Jayanegara terkenal doyan perempuan sehingga ia digelari Kala Gemet yang artinya Penjahat Lemah. Paman Patih Dyah Halayudha juga memberikan keris Empu Gandring yang sangat ditakuti oleh keturunan Raja Kertarajasa Jayawardhana kepada Ra Tanca, yang kemudian dipergunakan oleh Ra Tanca untuk membunuh Raja Sri Jayanegara.
Setelah kematian Jayanegara, Tribhuana Wijayatunggadewi adik tiri Raja Sri Jayanegara di nobatkan menjadi Raja Majapahit. Banyak petinggi Majapahit yang tidak suka dipimpin oleh raja seorang wanita. Termasuk Paman Patih Dyah Halayhuda yang telah di non aktifkan jabatannya sebagai Maha Patih Majapahit. Tidak begitu lama menduduki tahta Majapahit, kekuasaan Tribhuana Wijayatunggadewi di guncang huru hara. Meskipun tidak lagi menjabat sebagai Maha Patih namun Paman Patih Dyah Halayhuda terus berulah. Ia tetap berambisi untuk menguasai Kerajaan Majapahit.
Paman Patih Dyah Halayudha selanjutnya menghasut para petinggi Kerajaan di luar pusat kota Majapahit, yang telah diketahuinya tidak menyetujui Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi menjadi Raja Majapahit. Dan pada tahun 1331 Masehi pecahlah pemberontakan di Sadeng dan Keta.
Maha Patih Majapahit pada saat itu adalah Maha Patih Arya Tadah sedang sakit-sakitan sehingga tidak mampu meredam pemberontakan. Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi kemudian memerintahkan Arya Kembar sebagai komandan Bhayangkara untuk mengirim pasukan Bhayangkara guna meredam pemberontakan itu. Namun Arya Kembar tidak menggubris perintah Ratu Majapahit tersebut. Arya Kembar hanya mengirim pasukan dalam jumlah yang tidak lebih dari seratus orang, bahkan ia tidak turun langsung bersama pasukan Bhayangkara.
Selain itu pasukan yang dikirimnya merupakan pasukan muda yang baru menjadi pasukan Bhayangkara. Arya Kembar juga dengan seenaknya menunjuk Gajah Mada menjadi Bekel untuk memimpin pasukan Bhayangkara yang masih amatiran itu untuk memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta. Gajah Mada sebelum pergi ke Sadeng dan Keta sempat meminta izin Maha Patih Arya Tadah yang sedang sakit. Maha Patih Arya Tadah melaporkan hal itu kepada Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi bahwa Arya Kembar telah mengirim pasukan yang belum berpengalaman ke Sadeng dan Keta yang di pimpin oleh prajurit muda bernama Gajah Mada. Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi sangat murka. Ia kemudian memimpin pasukan Majapahit menuju Sadeng dan Keta bersama sepupunya Adityawarman.
Namun sesampainya di Sadeng dan Keta, ternyata pemberontakan berhasil di taklukkan oleh Gajah Mada bersama pasukan amatirannya. Dan ketika peristiwa pemberontakan di Sadeng dan Keta inilah, Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi akhirnya mengenal Gajah Mada. Ia pun jatuh hati kepada Gajah Mada yang umurnya jauh lebih muda darinya itu. Kelincahan Gajah Mada memimpin pasukan Bhayangkara menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta telah menarik perhatian Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi.

Ringkasan buku Kerajaan Lawai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...