PANGERAN
CAKRADHARA 1
Raja Tanjung Pura Siak Bahulun menikah dengan
Ratu Betung, memiliki anak bernama Cakradhara. Ketika Cakradhara masih kecil,
ia hanyut terbawa ombak laut ketika bermain-main di pantai Kerajaan Tanjung
Pura. Untuk menggantikan anak laki-lakinya yang hilang, Raja Siak Bahulun
mengangkat anak bernama Arya Likar atau Pangeran Rangga Sentap, anaknya Babay
Cinga’ dan Dara Nante dari Kerajaan Lawai, yang diberinya nama Sadung.
Cakradhara pada waktu itu sedang bermain
diatas sebuah sampan. Sampan tersebut kemudian terbawa ombak laut, dan
menjauhkannya dari wilayah daratan Tanjung Pura. Sampan yang ditempati
Cakradhara kemudian terdampar di wilayah pantai Kerajaan Wilwatikta atau
Majapahit, yang selanjutnya ditemukan oleh Paman Patih Dyah Halayudha,
Mahapatih Kerajaan Majapahit pada masa itu.
Ketika mengetahui identitas Cakradhara yang
ternyata merupakan anak Raja Tanjung Pura yang telah hilang, Paman Patih Dyah
Halayudha kemudian mengangkatnya sebagai anak, dan selama mengurus Cakradhara,
Paman Patih Dyah Halayudha menyembunyikan identitas dan asal usul Cakradhara
yang sesungguhnya. Bahkan Raja Sri Jayanegara, Raja Majapahit pada masa itu,
juga tidak mengetahui hal itu.
Cakradhara ketika dewasa menikah dengan Ratu
Majapahit bernama Tribhuana Wijayatunggadewi, dan dari
pernikahan ini dianugerahi anak bernama Raja Hayam Wuruk. Adapun Ratu Tribhuana
Wijayatunggadewi sebenarnya tidak menginginkan Cakradhara menjadi suaminya. Ia
menginginkan Mahapatih Gajah Mada menjadi suaminya. Namun ia terjebak oleh tipu
daya Paman Patih Dyah Halayudha, sehingga terpilihlah Cakradhara yang
penampilannya mirip Gajah Mada.
Sejak pertama
Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi bertemu Gajah Mada ketika terjadi pemberontakan
di Sadeng dan Keta, ia telah jatuh hati kepada pemuda yang usianya jauh lebih
muda darinya itu. Pemberontakan di Sadeng dan Keta terjadi akibat intrik Paman
Patih Dyah Halayudha yang ingin menguasai tahta Majapahit. Pemberontakan itu
terjadi setelah kematian Raja Sri Jayanegara yang dibunuh oleh Ra Tanca.
Pada masa itu
Paman Patih Dyah Halayudha menghasut Raja Sri Jayanegara untuk menyerang
Kerajaan Lawai karena Ratu Lawai yang bernama Dara Nante menolak mentah-mentah
pinangan Raja Majapahit tersebut. Ratu Lawai pada waktu itu belum lama
ditinggal wafat suaminya yang bernama Babay Cinga’. Maka pada tahun 1329
Masehi, Kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Lawai. Namun serangan tersebut
gagal.
Pada saat
bersamaan, Paman Patih Dyah Halayudha menghasut Ra Tanca dengan menyampaikan
bahwa Raja Sri Jayanegara telah menyetubuhi istri Ra Tanca yang sangat cantik
tersebut, sehingga menyebabkan kemarahan Ra Tanca. Raja Sri Jayanegara terkenal
doyan perempuan sehingga ia digelari Kala Gemet yang artinya Penjahat Lemah.
Paman Patih Dyah Halayudha juga memberikan keris Empu Gandring yang sangat ditakuti
oleh keturunan Raja Kertarajasa Jayawardhana kepada Ra Tanca, yang kemudian
dipergunakan oleh Ra Tanca untuk membunuh Raja Sri Jayanegara.
Setelah kematian
Jayanegara, Tribhuana Wijayatunggadewi adik tiri Raja Sri Jayanegara di
nobatkan menjadi Raja Majapahit. Banyak petinggi Majapahit yang tidak suka
dipimpin oleh raja seorang wanita. Termasuk Paman Patih Dyah Halayhuda yang
telah di non aktifkan jabatannya sebagai Maha Patih Majapahit. Tidak begitu
lama menduduki tahta Majapahit, kekuasaan Tribhuana Wijayatunggadewi di guncang
huru hara. Meskipun tidak lagi menjabat sebagai Maha Patih namun Paman Patih
Dyah Halayhuda terus berulah. Ia tetap berambisi untuk menguasai Kerajaan
Majapahit.
Paman Patih Dyah Halayudha selanjutnya menghasut para
petinggi Kerajaan di luar pusat kota Majapahit, yang telah diketahuinya tidak
menyetujui Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi menjadi Raja Majapahit. Dan pada
tahun 1331 Masehi pecahlah pemberontakan di Sadeng
dan Keta.
Maha Patih Majapahit pada saat itu adalah Maha Patih Arya
Tadah sedang sakit-sakitan sehingga tidak mampu meredam pemberontakan. Ratu
Tribhuana Wijayatunggadewi kemudian memerintahkan Arya Kembar sebagai komandan
Bhayangkara untuk mengirim pasukan Bhayangkara guna meredam pemberontakan itu.
Namun Arya Kembar tidak menggubris perintah Ratu Majapahit tersebut. Arya
Kembar hanya mengirim pasukan dalam jumlah yang tidak lebih dari seratus orang,
bahkan ia tidak turun langsung bersama pasukan Bhayangkara.
Selain itu pasukan yang dikirimnya merupakan pasukan muda
yang baru menjadi pasukan Bhayangkara. Arya Kembar juga dengan seenaknya
menunjuk Gajah Mada menjadi Bekel untuk memimpin pasukan Bhayangkara yang masih
amatiran itu untuk memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta. Gajah Mada
sebelum pergi ke Sadeng dan Keta sempat meminta izin Maha Patih Arya Tadah yang
sedang sakit. Maha Patih Arya Tadah melaporkan hal itu kepada Ratu Tribhuana
Wijayatunggadewi bahwa Arya Kembar telah mengirim pasukan yang belum
berpengalaman ke Sadeng dan Keta yang di pimpin oleh prajurit muda bernama
Gajah Mada. Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi sangat murka. Ia kemudian memimpin
pasukan Majapahit menuju Sadeng dan Keta bersama sepupunya Adityawarman.
Namun sesampainya di Sadeng dan Keta, ternyata
pemberontakan berhasil di taklukkan oleh Gajah Mada bersama pasukan
amatirannya. Dan ketika peristiwa pemberontakan di Sadeng dan Keta inilah, Ratu
Tribhuana Wijayatunggadewi akhirnya mengenal Gajah Mada. Ia pun jatuh hati
kepada Gajah Mada yang umurnya jauh lebih muda darinya itu. Kelincahan Gajah
Mada memimpin pasukan Bhayangkara menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta
telah menarik perhatian Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar