MASUKNYA ISLAM DI
KALIMANTAN 3
Dalam hikayat
Nan Sarunai disebutkan bahwa pada tahun 1265 Masehi, Miharaja Rahadyan Japutra
Layar bersama beberapa pengawal dan perwira tingginya yang bergelar Cinga’ atau
Singa pergi berburu macan di tempat yang biasa para Miharaja Nan Sarunai
berburu macan. Ketika sedang asik berburu macan, tiba-tiba rombongan Miharaja
Rahadyan Japutra Layar diserang oleh seekor macan yang sangat besar. Ukuran
macan yang meyerang tersebut tidak sama dengan ukuran macan-macan yang biasanya
mereka buru. Macan itu juga sangat buas dan liar serta sulit dibunuh. Selain
bulu-bulunya yang tebal, macan itu juga sangat gesit. Para pengawal dan
beberapa orang Cinga’ yang menjaga Miharaja Rahadyan Japutra Layar tidak
sanggup menundukkan macan tersebut. Bahkan beberapa orang pengawalnya tewas dan
menjadi mangsa macan yang sedang mengamuk tersebut. Dua orang Cinga’ juga ikut
tewas termangsa oleh macan yang sangat besar itu ketika berusaha menyelamatkan
Miharaja Rahadyan Japutra Layar dari terkaman macan yang sudah tidak terkendali
itu, yaitu Cinga’ Tatum dan Cinga’ Salam. Cinga’ Salam disebut juga sebagai
Cinga’ Aslam atau Cinga’ Islam karena beragama Islam.
Berdasarkan
hikayat Nan Sarunai ini, maka pada periode tahun 1265 Masehi, agama Islam telah
masuk di Kalimantan, dan telah berdampingan dengan agama asli Kalimantan yaitu
agama Kaharingan. Miharaja Nan Sarunai merupakan pemeluk agama Kaharingan, dan
memiliki pengawal seorang pemeluk agama Islam. Agama Islam pada masa periode
Kerajaan Nan Sarunai diterima dengan baik sejak masuknya Islam di Kalimantan
pada periode tahun 710 Masehi. Pada masa tersebut Kerajaan Nan Sarunai dipimpin
oleh seorang Raja bernama Miharaja Rahadyan Dapuntra Yatra. Sebelum menjadi
raja Nan Sarunai, Dapuntra Yatra telah berkelana ke berbagai penjuru dunia.
Banyak negeri yang telah ia kunjungi sehingga ia digelari Dapuntra Yatra yang
berarti Pengelana Tangguh.
Dapuntra Yatra
juga sering berkunjung ke Tanah Arab dan berhubungan baik dengan para saudagar
Arab yang datang ke Nan Sarunai. Dari para saudagar Arab ini Daputra Yatra
banyak mendapatkan informasi tentang ajaran agama Islam. Dapuntra Yatra
menyatakan bahwa ajaran Agama Islam mirip dengan ajaran agama yang dianut
dirinya dan Nenek Moyangnya yaitu agama Kaharingan yang merupakan bagian dari
ajaran agama Braham. Agama Braham disebut juga agama Ibrahim karena dibawa dan
diajarkan oleh Nabi Ibrahim, sedangkan agama Islam dibawa dan diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW.
Karena kemiripan
ini sehingga agama Islam diterima dengan baik di Nan Sarunai serta dapat
berkembang dan berpengaruh seperti halnya agama Kaharingan. Bahkan pengaruh
agama Islam mengalahkan pengaruh agama Buddha yang disebutkan sulit diterima
oleh masyarakat Kalimantan pada masa itu. Agama Islam dapat membaur dengan
kehidupan masyarakat Kalimantan yang sangat taat kepada agama Kaharingan itu.
Bahkan menjadi pelurus prinsip-prinsip agama Kaharingan yang mengajarkan
tentang keseimbangan alam.
Agama Kaharingan
yang mengajarkan tentang menjaga keseimbangan alam, baik alam atas dan alam
bawah, serta mengajarkan umatnya untuk dapat bermanfaat bagi kehidupan dan
tidak melakukan kerusakan di muka bumi, sangat selaras dengan ajaran agama Islam
yang mengajarkan umatnya untuk menjadi Rahmatanlil’alamin, yaitu menjadi Rahmat
bagi seluruh alam. Agama Islam mengajarkan agar umatnya dapat bermanfaat bagi
kehidupan dan membawa perdamaian. Karena ajarannya inilah sehingga agama Islam
dapat hidup dan berkembang secara berdampingan dengan agama Kaharingan. Selain
itu Agama Islam juga dikatakan dapat menerima dan membaur bersama segala
kehidupan adat istiadat masyarakat Kalimantan pada masa itu.
Meskipun
Dapuntra Yatra penganut agama Kaharingan, namun agama Islam pada masa itu
dianggapnya sebagai pelindung dan penjaga eksistensi agama Kaharingan yang
dianut sangat taat oleh masyarakat Kalimantan. Bahkan bagi masyarakat
Kalimantan yang memeluk agama Kaharingan, pemeluk agama Islam dimana pun berada
di bumi Kalimantan ini akan dihormati dan dilindungi kaidah-kaidah ajaran
agamanya.
Penjelasan dalam
hikayat Nan Sarunai tersebut juga terdapat dalam ulasan Odorico de Pordone
dalam data-data arsip Ordo Fransiskan yang mencatat perjalanannya di Kalimantan
pada tahun 1313 – 1321 Masehi. Odorico de Pordone melakukan perjalanan dalam
rangka menuju ke Cina dari Eropa dan ia singgah ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan
serta sempat singgah ke ibukota Majapahit. Di ibukota Majapahit, Odorico de
Pordone sempat bertemu dengan Raja Majapahit Sri Jayanegara anaknya Kertarajasa Jayawardhana atau
Raden Wijaya dengan Dewi Tribhuwaneswari.
Raja Majapahit ini dikabarkannya sebagai raja yang buruk perangainya sehingga
disebut rakyatnya sebagai Kalagemet, dan mempunyai tujuh orang raja taklukan,
istananya penuh dengan perhiasan emas, perak dan permata. Selanjutnya Odorico
de Pordone menjelaskan bahwa Khan yang agung dari Cathay sering bermusuhan
dengan raja Majapahit ini, tetapi selalu dapat dikalahkan. Pulau Jawa pada masa
itu sangat padat penduduknya dan menghasilkan rempah-rempah.
Odorico de
Pordone juga menjelaskan ketika di Kalimantan ia singgah ke negeri Wijaya Pura
yang pada masa itu telah disebut sebagai negeri Sambas. Negeri Wijaya Pura ini
berada di tengah lautan. Rakyat negeri ini memiliki teknologi yang telah mampu
membendung lautan sehingga negeri ini berada di sebuah palung di tengah lautan,
yang sekarang ini disebut sebagai Paloh. Ia bahkan sempat singgah dan bertemu
dengan Raja Wijaya Pura yang bergelar As-Syam Basyharah yang dikatakan memiliki
pengaruh matahari itu.
Kunjungan
Odorico de Pordone ke pusat negeri Wijaya Pura ketika ia tiba di pelabuhan
Sambas yang pada masa itu juga terdapat sebuah kerajaan kecil dan ia mendengar
suara azan dari arah tengah lautan. Dari penjelasan penduduk di pelabuhan
dikatakan bahwa suara azan tersebut berasal dari pusat negeri Wijaya Pura yang
berada di tengah lautan. Adapun kekuasaan Raja Wijaya Pura As-Syam Bashara
sangat luas dan memiliki pengaruh yang besar bagi negeri-negeri di luar Sambas
pada masa itu, sehingga Kaisar Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi sering
berkunjung ke Wijaya Pura dengan membawa berbagai hadiah.
Karena pengaruh Raja As-Syam Bashara ini yang
dikatakan sebagai pemeluk Islam yang taat sehingga negeri Wijaya Pura pada masa
itu lebih tenar disebut sebagai negeri Syam Bashar. Negeri Syam Bashar ini
untuk sekarang ini telah terlogatkan menjadi negeri Sambas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar