Selasa, 20 Februari 2018

MASUKNYA ISLAM DI KALIMANTAN 3

MASUKNYA ISLAM DI KALIMANTAN 3

Dalam hikayat Nan Sarunai disebutkan bahwa pada tahun 1265 Masehi, Miharaja Rahadyan Japutra Layar bersama beberapa pengawal dan perwira tingginya yang bergelar Cinga’ atau Singa pergi berburu macan di tempat yang biasa para Miharaja Nan Sarunai berburu macan. Ketika sedang asik berburu macan, tiba-tiba rombongan Miharaja Rahadyan Japutra Layar diserang oleh seekor macan yang sangat besar. Ukuran macan yang meyerang tersebut tidak sama dengan ukuran macan-macan yang biasanya mereka buru. Macan itu juga sangat buas dan liar serta sulit dibunuh. Selain bulu-bulunya yang tebal, macan itu juga sangat gesit. Para pengawal dan beberapa orang Cinga’ yang menjaga Miharaja Rahadyan Japutra Layar tidak sanggup menundukkan macan tersebut. Bahkan beberapa orang pengawalnya tewas dan menjadi mangsa macan yang sedang mengamuk tersebut. Dua orang Cinga’ juga ikut tewas termangsa oleh macan yang sangat besar itu ketika berusaha menyelamatkan Miharaja Rahadyan Japutra Layar dari terkaman macan yang sudah tidak terkendali itu, yaitu Cinga’ Tatum dan Cinga’ Salam. Cinga’ Salam disebut juga sebagai Cinga’ Aslam atau Cinga’ Islam karena beragama Islam.
Berdasarkan hikayat Nan Sarunai ini, maka pada periode tahun 1265 Masehi, agama Islam telah masuk di Kalimantan, dan telah berdampingan dengan agama asli Kalimantan yaitu agama Kaharingan. Miharaja Nan Sarunai merupakan pemeluk agama Kaharingan, dan memiliki pengawal seorang pemeluk agama Islam. Agama Islam pada masa periode Kerajaan Nan Sarunai diterima dengan baik sejak masuknya Islam di Kalimantan pada periode tahun 710 Masehi. Pada masa tersebut Kerajaan Nan Sarunai dipimpin oleh seorang Raja bernama Miharaja Rahadyan Dapuntra Yatra. Sebelum menjadi raja Nan Sarunai, Dapuntra Yatra telah berkelana ke berbagai penjuru dunia. Banyak negeri yang telah ia kunjungi sehingga ia digelari Dapuntra Yatra yang berarti Pengelana Tangguh.
Dapuntra Yatra juga sering berkunjung ke Tanah Arab dan berhubungan baik dengan para saudagar Arab yang datang ke Nan Sarunai. Dari para saudagar Arab ini Daputra Yatra banyak mendapatkan informasi tentang ajaran agama Islam. Dapuntra Yatra menyatakan bahwa ajaran Agama Islam mirip dengan ajaran agama yang dianut dirinya dan Nenek Moyangnya yaitu agama Kaharingan yang merupakan bagian dari ajaran agama Braham. Agama Braham disebut juga agama Ibrahim karena dibawa dan diajarkan oleh Nabi Ibrahim, sedangkan agama Islam dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Karena kemiripan ini sehingga agama Islam diterima dengan baik di Nan Sarunai serta dapat berkembang dan berpengaruh seperti halnya agama Kaharingan. Bahkan pengaruh agama Islam mengalahkan pengaruh agama Buddha yang disebutkan sulit diterima oleh masyarakat Kalimantan pada masa itu. Agama Islam dapat membaur dengan kehidupan masyarakat Kalimantan yang sangat taat kepada agama Kaharingan itu. Bahkan menjadi pelurus prinsip-prinsip agama Kaharingan yang mengajarkan tentang keseimbangan alam.
Agama Kaharingan yang mengajarkan tentang menjaga keseimbangan alam, baik alam atas dan alam bawah, serta mengajarkan umatnya untuk dapat bermanfaat bagi kehidupan dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi, sangat selaras dengan ajaran agama Islam yang mengajarkan umatnya untuk menjadi Rahmatanlil’alamin, yaitu menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Agama Islam mengajarkan agar umatnya dapat bermanfaat bagi kehidupan dan membawa perdamaian. Karena ajarannya inilah sehingga agama Islam dapat hidup dan berkembang secara berdampingan dengan agama Kaharingan. Selain itu Agama Islam juga dikatakan dapat menerima dan membaur bersama segala kehidupan adat istiadat masyarakat Kalimantan pada masa itu.
Meskipun Dapuntra Yatra penganut agama Kaharingan, namun agama Islam pada masa itu dianggapnya sebagai pelindung dan penjaga eksistensi agama Kaharingan yang dianut sangat taat oleh masyarakat Kalimantan. Bahkan bagi masyarakat Kalimantan yang memeluk agama Kaharingan, pemeluk agama Islam dimana pun berada di bumi Kalimantan ini akan dihormati dan dilindungi kaidah-kaidah ajaran agamanya.
Penjelasan dalam hikayat Nan Sarunai tersebut juga terdapat dalam ulasan Odorico de Pordone dalam data-data arsip Ordo Fransiskan yang mencatat perjalanannya di Kalimantan pada tahun 1313 – 1321 Masehi. Odorico de Pordone melakukan perjalanan dalam rangka menuju ke Cina dari Eropa dan ia singgah ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta sempat singgah ke ibukota Majapahit. Di ibukota Majapahit, Odorico de Pordone sempat bertemu dengan Raja Majapahit Sri Jayanegara anaknya Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya dengan Dewi Tribhuwaneswari. Raja Majapahit ini dikabarkannya sebagai raja yang buruk perangainya sehingga disebut rakyatnya sebagai Kalagemet, dan mempunyai tujuh orang raja taklukan, istananya penuh dengan perhiasan emas, perak dan permata. Selanjutnya Odorico de Pordone menjelaskan bahwa Khan yang agung dari Cathay sering bermusuhan dengan raja Majapahit ini, tetapi selalu dapat dikalahkan. Pulau Jawa pada masa itu sangat padat penduduknya dan menghasilkan rempah-rempah.
Odorico de Pordone juga menjelaskan ketika di Kalimantan ia singgah ke negeri Wijaya Pura yang pada masa itu telah disebut sebagai negeri Sambas. Negeri Wijaya Pura ini berada di tengah lautan. Rakyat negeri ini memiliki teknologi yang telah mampu membendung lautan sehingga negeri ini berada di sebuah palung di tengah lautan, yang sekarang ini disebut sebagai Paloh. Ia bahkan sempat singgah dan bertemu dengan Raja Wijaya Pura yang bergelar As-Syam Basyharah yang dikatakan memiliki pengaruh matahari itu.
Kunjungan Odorico de Pordone ke pusat negeri Wijaya Pura ketika ia tiba di pelabuhan Sambas yang pada masa itu juga terdapat sebuah kerajaan kecil dan ia mendengar suara azan dari arah tengah lautan. Dari penjelasan penduduk di pelabuhan dikatakan bahwa suara azan tersebut berasal dari pusat negeri Wijaya Pura yang berada di tengah lautan. Adapun kekuasaan Raja Wijaya Pura As-Syam Bashara sangat luas dan memiliki pengaruh yang besar bagi negeri-negeri di luar Sambas pada masa itu, sehingga Kaisar Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi sering berkunjung ke Wijaya Pura dengan membawa berbagai hadiah.
Karena pengaruh Raja As-Syam Bashara ini yang dikatakan sebagai pemeluk Islam yang taat sehingga negeri Wijaya Pura pada masa itu lebih tenar disebut sebagai negeri Syam Bashar. Negeri Syam Bashar ini untuk sekarang ini telah terlogatkan menjadi negeri Sambas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...