Selasa, 06 Februari 2018

PANGERAN CAKRADHARA 3

PANGERAN CAKRADHARA 3

Ketika penobatannya menjadi Maha Patih Majapahit, Gajah Mada dengan mengangkat Keris Pusaka bernama Surya Penuluh milik Kertarajasa Jayawardhana, pendiri Kerajaan Majapahit yang ia dapatkan dari pemberian Putra Jaya, Raja Tanjung Pura, mengangkat sumpah bakti dan kesetiaan kepada Majapahit.
Dalam sumpah setianya itu, Gajah Mada mengeluarkan pernyataan untuk mempersatukan Nusantara dibawah naungan Majapahit. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Amukti Palapa. Sumpah Gajah Mada itu sangat menggemparkan para petinggi Majapahit yang hadir pada saat penobatannya menjadi Maha Patih. Ada petinggi Majapahit yang mendukung sumpahnya itu, namun banyak juga yang meremehkan sumpahnya itu termasuk Paman Patih Dyah Halayudha.
Arya Kembar, Jabung Trewes dan Lembu Peteng bahkan sampai tertawa terpingkal-pingkal mengejek Sumpah Amukti Palapa dari Gajah Mada tersebut. Arya Tadah sempat memarahi Gajah Mada karena sumpahnya itu sangat tidak mungkin dapat diwujudkan. Dalam beberapa riwayat ada yang menyatakan bahwa Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada tersebut sebagai wujud rasa kecewanya karena Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi menikah dengan Cakradhara, karena Gajah Mada rupanya sangat mencintai Ratu Majapahit tersebut. Karena cintanya yang mendalam sehingga selama hayatnya menjadi Maha Patih Majapahit, Gajah Mada tidak mau menikah dengan siapa pun. Sejak peristiwa Sumpah Amukti Palapa itu, Paman Patih Dyah Halayudha berusaha menjatuhkan nama Maha Patih Gajah Mada dengan berbagai cara.
Dan puncaknya pada tahun 1357 Masehi, yaitu ketika masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang ingin mempersunting Putri Dyah Pitaloka, putri Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Rombongan pengantin wanita dari Kerajaan Sunda pada saat itu datang ke Majapahit menggunakan armada sekitar dua ribu buah kapal, yaitu sebagian besar jumlah kapal dalam ukuran besar serta dua ratus kapal dalam ukuran kecil. Prabu Maharaja Linggabuana dan keluarga Kerajaan beserta Putri Dyah Pitaloka menaiki kapal berbentuk Jung Tartar yaitu sejenis kapal perang Mongolia yang sangat mirip dengan armada perang dari Mongolia yang hendak menyerang Majapahit.
Paman Patih Dyah Halayudha kemudian menghasut Cakradhara dan Kudamerta yang merupakan suami Dyah Wiyat, dengan mengatakan bahwa Kerajaan Sunda membawa banyak armada Jung Tartar untuk menyerang Majapahit. Cakradhara dan Kudamerta kemudian memerintahkan Rakrian Demung, Rakrian Kanuruhan dan Rakrian Rangga untuk mengerahkan pasukan Bhayangkara guna menyerang rombongan pengantin wanita dari Kerajaan Sunda tersebut di Pesanggrahan Bubat. Cakradhara dan Kudamerta juga mengerahkan pasukan dari Kahuripan dan Kadiri untuk menggempur rombongan tersebut di Pesanggrahan Bubat.
Penampilan Cakradhara yang sangat mirip Gajah Mada, menimbulkan anggapan bahwa pasukan dari Kahuripan di pimpin oleh Maha Patih Gajah Mada. Peperangan tersebut berakhir dengan tewasnya Maharaja Linggabuana, para Menteri, Pejabat Kerajaan Sunda serta Putri Dyah Pitaloka. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Perang Bubat.
Maha Patih Gajah Mada di kecam dan di persalahkan akibat peristiwa berdarah tersebut. Hubungan Raja Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gajah Mada menjadi renggang. Kekuasaan Gajah Mada sebagai Maha Patih Majapahit kemudian dibatasi oleh Raja Hayam Wuruk.
Selanjutnya pada tahun 1358 Masehi, Mpu Jatmika atau Mpu Nallauda bersama Demang Wiraja menyerang negeri Nan Sarunai. Mpu Jatmika mengerahkan armada lautnya yang dipersenjatai meriam yang disebut Cetbang meluluh lantakkan negeri Nan Sarunai. Serangan itu berakibat terbunuhnya Miharaja Rahadyan Anyan dan Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen. Negeri Nan Sarunai hancur akibat serangan itu. Peristiwa hancurnya Nan Sarunai kemudian dikenal dengan Nan Sarunai Usak Jawa.
Peristiwa itu membuat Maha Patih Gajah Mada semakin dipersalahkan karena dianggap tidak mampu mengendalikan bawahannya. Apalagi rupanya Mpu Jatmika menyerang Nan Sarunai karena cemburu mendengar istrinya Dhamayanthi menyayikan lagu untuk menidurkan anak mereka Sekar Mekar dengan nyanyian bahasa Dayak Ma’anyan yang dalam liriknya mengatakan bahwa ayah Sekar Mekar adalah Raja Anyan.
Rupanya nyayian itu bohong belaka. Dhamayanthi sengaja menyanyikan lirik seperti itu karena kecewa dengan Mpu Jatmika yang telah meninggalkannya di Nan Sarunai selama dua tahun. Memang sebelum peristiwa serangan ke negeri Nan Sarunai, Mpu Jatmika telah meninggalkan istrinya Dhamayanthi selama dua tahun di negeri Nan Sarunai dalam misi menyelidiki situasi dan kondisi negeri Nan Sarunai.
Akibat kedua peristiwa tersebut, Maha Patih Gajah Mada di bekukan kekuasaannya sebagai Maha Patih oleh Raja Hayam Wuruk. Pembekuan wewenang itu selanjutnya berujung pada pengunduran diri Gajah Mada sebagai Maha Patih Majapahit. Beberapa tahun setelah Gajah Mada mengundurkan diri sebagai Maha Patih Majapahit, Paman Patih Dyah Halayudha ditangkap karena dianggap sebagai otak peristiwa perang di Bubat. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Raja Hayam Wuruk karena banyak menimbulkan bencana di Majapahit berupa tubuhnya ditarik dengan empat ekor kuda dengan arah yang berlawanan hingga tubuhnya terputus.
Adapun Gajah Mada setelah mengundurkan diri sebagai Maha Patih Majapahit, ia dibawa Mpu Jatmika ataupun disebut juga Lembu Mangkurat keluar dari Majapahit. Setelah keluar dari Majapahit, Gajah Mada menikah dengan Masari atau bergelar Putri Tunjung Buih, anaknya Raja Anyan Nan Sarunai. Setelah menikah, Gajah Mada bergelar Gajah Gemala Johari atau Gajah Surya Nata ataupun Pangeran Surya Nata. Dari pernikahan Gajah Mada dan Masari dianugerahi beberapa orang anak yang diantaranya bernama Pangeran Surya Wangsa dan Pangeran Surya Ganggawangsa.

Ringkasan buku Kerajaan Lawai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...