PANGERAN
CAKRADHARA 3
Ketika penobatannya menjadi Maha Patih Majapahit, Gajah
Mada dengan mengangkat Keris Pusaka bernama Surya
Penuluh milik Kertarajasa Jayawardhana, pendiri Kerajaan Majapahit yang ia
dapatkan dari pemberian Putra Jaya, Raja Tanjung Pura, mengangkat sumpah bakti
dan kesetiaan kepada Majapahit.
Dalam sumpah setianya itu, Gajah Mada mengeluarkan
pernyataan untuk mempersatukan Nusantara dibawah naungan Majapahit. Sumpah ini
dikenal dengan Sumpah Amukti Palapa.
Sumpah Gajah Mada itu sangat menggemparkan para petinggi Majapahit yang hadir
pada saat penobatannya menjadi Maha Patih. Ada petinggi Majapahit yang
mendukung sumpahnya itu, namun banyak juga yang meremehkan sumpahnya itu
termasuk Paman Patih Dyah Halayudha.
Arya Kembar, Jabung Trewes dan Lembu Peteng bahkan sampai
tertawa terpingkal-pingkal mengejek Sumpah Amukti Palapa dari Gajah Mada
tersebut. Arya Tadah sempat memarahi Gajah Mada karena sumpahnya itu sangat
tidak mungkin dapat diwujudkan. Dalam beberapa riwayat ada yang menyatakan bahwa
Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada tersebut sebagai wujud rasa
kecewanya karena Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi menikah dengan Cakradhara,
karena Gajah Mada rupanya sangat mencintai Ratu Majapahit tersebut. Karena
cintanya yang mendalam sehingga selama hayatnya menjadi Maha Patih Majapahit,
Gajah Mada tidak mau menikah dengan siapa pun. Sejak peristiwa Sumpah Amukti
Palapa itu, Paman Patih Dyah Halayudha berusaha menjatuhkan nama Maha Patih
Gajah Mada dengan berbagai cara.
Dan puncaknya pada tahun 1357 Masehi, yaitu ketika masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang ingin mempersunting Putri Dyah Pitaloka,
putri Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Rombongan pengantin
wanita dari Kerajaan Sunda pada saat itu datang ke Majapahit menggunakan armada
sekitar dua ribu buah kapal, yaitu sebagian besar jumlah kapal dalam ukuran
besar serta dua ratus kapal dalam ukuran kecil. Prabu Maharaja Linggabuana dan
keluarga Kerajaan beserta Putri Dyah Pitaloka menaiki kapal berbentuk Jung
Tartar yaitu sejenis kapal perang Mongolia yang sangat mirip dengan armada
perang dari Mongolia yang hendak menyerang Majapahit.
Paman Patih Dyah Halayudha kemudian menghasut Cakradhara
dan Kudamerta yang merupakan suami Dyah Wiyat, dengan mengatakan bahwa Kerajaan
Sunda membawa banyak armada Jung Tartar untuk menyerang Majapahit. Cakradhara
dan Kudamerta kemudian memerintahkan Rakrian Demung, Rakrian Kanuruhan dan
Rakrian Rangga untuk mengerahkan pasukan Bhayangkara guna menyerang rombongan
pengantin wanita dari Kerajaan Sunda tersebut di Pesanggrahan Bubat. Cakradhara
dan Kudamerta juga mengerahkan pasukan dari Kahuripan dan Kadiri untuk
menggempur rombongan tersebut di Pesanggrahan Bubat.
Penampilan Cakradhara yang sangat mirip Gajah Mada,
menimbulkan anggapan bahwa pasukan dari Kahuripan di pimpin oleh Maha Patih
Gajah Mada. Peperangan tersebut berakhir dengan tewasnya Maharaja Linggabuana,
para Menteri, Pejabat Kerajaan Sunda serta Putri Dyah Pitaloka. Peristiwa itu
kemudian dikenal dengan Perang Bubat.
Maha Patih Gajah
Mada di kecam dan di persalahkan akibat peristiwa berdarah tersebut. Hubungan
Raja Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gajah Mada menjadi renggang. Kekuasaan Gajah
Mada sebagai Maha Patih Majapahit kemudian dibatasi oleh Raja Hayam Wuruk.
Selanjutnya pada
tahun 1358 Masehi, Mpu Jatmika atau Mpu Nallauda bersama Demang Wiraja
menyerang negeri Nan Sarunai. Mpu Jatmika mengerahkan armada lautnya yang
dipersenjatai meriam yang disebut Cetbang meluluh lantakkan negeri Nan Sarunai.
Serangan itu berakibat terbunuhnya Miharaja Rahadyan Anyan dan Permaisuri Ratu
Dara Gangsa Tulen. Negeri Nan Sarunai hancur akibat serangan itu. Peristiwa
hancurnya Nan Sarunai kemudian dikenal dengan Nan Sarunai Usak Jawa.
Peristiwa itu membuat Maha Patih Gajah Mada semakin
dipersalahkan karena dianggap tidak mampu mengendalikan bawahannya. Apalagi
rupanya Mpu Jatmika menyerang Nan Sarunai karena cemburu mendengar istrinya Dhamayanthi menyayikan lagu untuk menidurkan anak mereka Sekar Mekar dengan nyanyian bahasa
Dayak Ma’anyan yang dalam liriknya mengatakan bahwa ayah Sekar Mekar adalah
Raja Anyan.
Rupanya nyayian
itu bohong belaka. Dhamayanthi sengaja menyanyikan lirik seperti itu karena
kecewa dengan Mpu Jatmika yang telah meninggalkannya di Nan Sarunai selama dua
tahun. Memang sebelum peristiwa serangan ke negeri Nan Sarunai, Mpu Jatmika
telah meninggalkan istrinya Dhamayanthi selama dua tahun di negeri Nan Sarunai
dalam misi menyelidiki situasi dan kondisi negeri Nan Sarunai.
Akibat kedua
peristiwa tersebut, Maha Patih Gajah Mada di bekukan kekuasaannya sebagai Maha
Patih oleh Raja Hayam Wuruk. Pembekuan wewenang itu selanjutnya berujung pada
pengunduran diri Gajah Mada sebagai Maha Patih Majapahit. Beberapa tahun setelah Gajah Mada
mengundurkan diri sebagai Maha Patih Majapahit, Paman Patih Dyah Halayudha
ditangkap karena dianggap sebagai otak peristiwa perang di Bubat. Ia kemudian
dijatuhi hukuman mati oleh Raja Hayam Wuruk karena banyak menimbulkan bencana
di Majapahit berupa tubuhnya ditarik dengan empat ekor kuda dengan arah yang berlawanan
hingga tubuhnya terputus.
Adapun Gajah Mada setelah mengundurkan diri sebagai
Maha Patih Majapahit, ia dibawa Mpu Jatmika ataupun disebut juga Lembu
Mangkurat keluar dari Majapahit. Setelah keluar dari Majapahit, Gajah Mada
menikah dengan Masari
atau bergelar Putri Tunjung Buih, anaknya Raja Anyan Nan Sarunai. Setelah
menikah, Gajah Mada bergelar Gajah Gemala Johari
atau Gajah Surya Nata ataupun Pangeran Surya Nata. Dari pernikahan Gajah Mada
dan Masari dianugerahi beberapa orang anak yang diantaranya bernama Pangeran
Surya Wangsa dan Pangeran Surya Ganggawangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar