ASAL
MUASAL TUGU KHATULISTIWA PONTIANAK
Pada permulaan tahun
1700-an Masehi, Bangsa Pontiant yang telah bermukim di sepanjang Daratan Sheng
Hie sejak abad ke-9 Masehi terkena bencana berupa bayi-bayi yang baru dilahirkan sering menangis
berkepanjangan tanpa diketahui sebabnya dan tiba-tiba berhenti. Ketika tangisan
berhenti, mereka dapati bayi-bayi itu telah menghilang begitu saja tanpa
diketahui kemana perginya. Bencana tersebut terjadi hingga
bertahun lamanya.
Peristiwa
itu tersebar hingga ke penjuru wilayah sehingga kejadian bayi yang berhenti
menangis dan tiba-tiba menghilang ini disebut orang sebagai “Pontiant Anak”
yang artinya “Anak Bangsa Pontiant Menghilang”. Namun ada juga yang mengartikan
sebagai “Anak Dalam Ayunan Berhenti Menangis”. Peristiwa yang terjadi
selama bertahun itu menyebabkan masyarakat Bangsa
Pontiant tidak bertambah. Demong
Pontiant pada masa tersebut telah berusaha untuk menangkal bencana tersebut,
namun segala usaha dan upayanya selalu gagal, bahkan bencana tersebut makin
tidak terkendali.
Akibatnya adalah Bangsa Pontiant
semakin tahun semakin berkurang karena meninggal dunia, sedangkan bayi-bayi
yang diharapkan sebagai penerus keturunan Bangsa Pontiant sering menghilang
begitu saja ketika sedang dalam ayunan. Bahkan sebagian orang-orang Pontiant
yang tidak tahan dengan kondisi itu kemudian memutuskan meninggalkan tempat itu,
sehingga Bangsa Pontiant semakin sedikit.
Berdasarkan petunjuk dari
Pemangku adat Bangsa Pontiant, bahwa bayi-bayi mereka sering menghilang dalam
ayunan secara ghaib karena diambil oleh mahkluk-makhluk halus. Untuk sebab
musabab munculnya bencana makhluk halus itu terdapat riwayat yang menyatakan
bahwa awal mulanya ketika sekelompok Orang-orang Jeruju yang pada masa tersebut
telah bermukim di wilayah pedalaman Jeruju mencari intan. Menurut petunjuk yang
telah mereka dapatkan bahwa diseberang daratan Jeruju terdapat intan yang
tertimbun tanah. Orang-orang Jeruju itu kemudian pergi ke seberang daratan yang
sekarang telah dibangun tugu Khatulistiwa. Daratan itu mereka gali, dan intan
yang mereka maksudkan berhasil mereka dapatkan dalam sebuah lubang yang
tertimbun tanah. Intan yang berhasil ditemukan oleh Orang-orang Jeruju dalam
bentuk bongkahan yang sangat besar. Setelah mereka mengambil intan tersebut,
maka terjadilah bencana yang kemudian menimpa Bangsa Pontiant.
Sementara itu di Negeri Matan
Tanjungpura kedatangan seorang Ulama bernama Habib Husein AlQadri. Suatu hari
Sultan Matan mengadakan perjamuan. Dalam acara perjamuan itu terjadi peristiwa
Saiyid Hasyim AlYahya merusak sebuah kacip besi berukiran kepala ular.
Kacip
yang telah patah tersebut diambil oleh Habib Husein AlQadri, kemudian kacip
tersebut ia usap-usap dengan air liurnya sehingga kacip yang patah itu kembali
utuh sediakala. Kejadian
karomah Habib Husein AlQadri itu tersiar ke pelosok negeri, hingga terdengar juga
oleh Bangsa Pontiant di Daratan Dermaga Sheng Hie. Demong Pontiant kemudian
mengirim beberapa orang utusan untuk menemui Habib Husein AlQadri guna menolong
mengatasi bencana yang telah menimpa mereka. Rupanya tidak seorang pun dari
mereka yang mengerti arah menuju Negeri Matan Tanjung Pura. Namun Pemangku adat
Bangsa Pontiant membekali mereka dengan nasi yang dibungkus dengan daun dan
berpesan bahwa jika bungkusan itu terbuka maka disitulah tempat yang mereka
tuju.
Maka
berangkatlah beberapa orang utusan Bangsa Pontiant tersebut. Namun di tengah
perjalanan para utusan ini tersesat. Berhari-hari mereka mendayung sampan
hingga di suatu tempat mereka dapati bungkus nasi tersebut sedikit terbuka.
Mereka beranggapan barangkali ditempat tersebut lah keberadaan Habib Husein
AlQadri.
Selanjutnya
mereka tambat sampan-sampan mereka dan berjalan melintasi daratan. Namun telah
jauh mereka berjalan tapi tidak juga memukan negeri yang dicari. Hingga mereka
merasakan kehausan dan menemukan sebuah air terjun yang sangat bening airnya.
Mereka kemudian meminum air tersebut. Setelah puas minum, kembali mereka dapati
bungkusan yang mereka bawa telah terbuka lebar. Tempat air terjun itu kemudian
mereka sebut sebagai “Pontiant Tapau” yang berarti “Bungkusan Nasi Orang
Pontiant”.
Mereka
selanjutnya menetap di tempat itu dan tidak pernah kembali ke tempat asal
mereka. Sementara itu, bertahun sudah Bangsa Pontiant menunggu kedatangan para utusan
yang mereka kirim untuk meminta bantuan Habib Husein AlQadri di Negeri Matan
Tanjung Pura namun yang di tunggu tidak juga kembali. Akhirnya mereka kembali
mengirim utusan untuk pergi ke Negeri Matan Tanjung Pura.
Utusan
kedua ini berangkat dan bernasib baik karena berhasil menemukan Negeri Matan
Tanjung Pura. Namun para utusan kedua ini terpaksa menelan kekecewaan karena
Habib Husein AlQadri ternyata telah berhijrah ke Negeri Mempawah. Utusan kedua
itu kembali ke tempat asalnya dan menyampaikan berita bahwa Habib Husein
AlQadri sekarang berada di Negeri Mempawah. Tanpa buang waktu, maka Demong
Pontiant segera mengirim beberapa orang utusan menuju Negeri Mempawah.
Orang-orang
utusan dari Demong Pontiant tersebut akhirnya berhasil bertemu dengan Habib
Husein AlQadri yang pada saat itu baru beberapa bulan menetap di Negeri
Mempawah. Para utusan Bangsa Pontiant kemudian menyampaikan permasalahan berupa
bencana bayi-bayi sering menangis berkepanjangan kemudian menghilang secara
ghaib yang terjadi selama bertahun-tahun. Mereka berharap Habib Husein AlQadri
bersedia menolong melepaskan bencana yang telah bertahun mereka alami. Selanjutnya
Habib Husein AlQadri berangkat bersama para utusan Bangsa Pontiant menuju
daerah Daratan Dermaga Sheng Hie. Sesampainya disana, Habib Husein AlQadri
mendapati begitu banyak makhluk halus yang telah mengganggu dan mencuri
bayi-bayi Bangsa Pontiant yang baru dilahirkan.
Gangguan
makhluk-makhluk halus tersebut sangat dahsyat. Dan dalam tafakurnya, Habib
Husein AlQadri mendapat petunjuk untuk mencari Tiang Cahaya Penyangga Langit
dan melaksanakan ibadah ditempat itu. Karena hanya dengan berdo’a dari tempat
itu saja para makhluk halus itu dapat di usir dari kawasan itu. Habib Husein
AlQadri bersama Demong Pontiant dan beberapa orang Bangsa Pontiant selanjutnya mencari
Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut. Pada hari Isnin tanggal 18 Jumadil
Tsani 1160 Hijriah atau bertepatan tanggal 26 Juni 1747 Masehi, Tiang Cahaya
Penyangga Langit tersebut ditemukan. Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut
keluar dari sebuah lubang besar didaratan bekas tempat Orang-orang Jeruju
menggali intan.
Habib
Husein AlQadri kemudian beribadah dan berdo’a di tempat itu. Selepas beribadah,
bayi-bayi Bangsa Pontiant tidak lagi menangis berkepanjangan dan tidak lagi
menghilang secara ghaib. Makhluk halus juga tidak lagi mengganggu masyarakat
Bangsa Pontiant dan bencana yang mereka alami terhenti.
Habib
Husein AlQadri kemudian menutup lubang besar bekas galian intan itu dan
menancapkan sebatang kayu besar di tempat keluarnya Tiang Cahaya Penyangga Langit
tersebut dan menamakannya dengan “Pontiant
Anak” atau sekarang disebut “Pontianak”.
Atas jasanya yang telah berhasil menghilangkan bencana yang menimpa Bangsa
Pontiant, maka Raja Landak pada masa itu yang bernama Raja Tua atau bergelar
Raja Sanca Nata Kusuma Tua memberikan wilayah Tiang Cahaya Penyangga Langit
tersebut kepada Habib Husein AlQadri. Wilayah ini saat sekarang lebih di kenal
dengan sebutan Batu Layang.
Lubang Tiang Cahaya Penyangga Langit yang kemudian
ditancapkan oleh Habib Husein AlQadri dengan sebatang kayu besar dan menamakan tempat itu dengan nama ‘Pontianak’
untuk sekarang ini telah menjadi Tugu Khatulistiwa Pontianak yang terletak di
Siantan, Pontianak Utara. Tugu yang berjarak lima kilometer dari pusat kota ini
sebagai simbol bahwa Pontianak di lintasi oleh satu garis yang membelah bumi
menjadi dua bagian yang disebut garis Khatulistiwa. Dalam pelajaran geografi,
Bumi diibaratkan dibagi menjadi dua bagian, yaitu belahan utara dan belahan
selatan. Dari pembagian tersebut, dapat dikatakan bahwa Kota Pontianak berada
persis di tengah-tengah garis imajiner tersebut.
Beberapa puluh tahun kemudian yaitu pada tanggal 31 maret
1928, batang kayu besar itu ditambah dengan tanda panah oleh Tim Ekspedisi
Geografi Internasional. Hal itu berdasarkan catatan dari Van En W oleh Opzihter
Wiese yang dikutip dari Bijdragentot de Geographie dari Chep Van den
topographieschen dient in Nederlandsch Indie tahun 1941, bahwa Den 31 Sten
Maart 1928 telah datang ekspedisi internasional di Pontianak yang dipimpin
seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda, yang bertujuan meneliti kayu besar
yang berdiri tegak di Siantan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan
penentuan titik atau tonggak garis khatulistiwa di Pontianak. Pada saat itu metode
yang dipergunakan oleh tim ekspedisi internasional adalah metode Astronomi dan
ilmu Falaq yaitu berpatokan pada benda-benda alam seperti rasi bintang. Mereka juga
hanya berpatokan pada garis Smooth atau garis yang tidak rata ataupun
bergelombang.
Pada tahun 1930, batang kayu besar disempurnakan berbentuk
tonggak, lingkaran dan tanda panah. Sepuluh tahun setelah ekspedisi itu, yaitu pada
tahun 1938 dikembangkan lagi bentuk dan maknanya oleh F Silaban, seorang arsitek
kenamaan Indonesia yang telah mendesain beberapa tugu dan bangunan di Indonesia.
Bangunan inilah yang sekarang disebut tugu Khatulistiwa, yang berbentuk empat kayu
belian berwarna hitam pekat berukuran sekitar 30 cm. Dua yang didepan mengarah
ke barat tercatat memiliki tinggi 3,05 m. Dua dibagian belakangnya setinggi
4,40 m dan menopang tiga rangkaian lingkaran. Sebuah anak panah berukuraan 2,15
m yang menunjukkan arah barat seolah menembus rangkaian lingkaran tersebut. Di
bawah anak panah terdapat sebuah plat bertuliskan 1090 20’ OLv Gr, yang artinya
garis di Khatulistiwa di kota Pontianak bertepatan dengan 109 derajat
garis Bujur Timur 20 Menit. 00 detik GMT. Pada lingkaran terluar di sisi bagian
atas terdapat tulisan Euenaar, begitu juga di bawahnya.
Pada tahun 1990, Tugu Khatulistiwa direnovasi dan di
kembangkan dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli. Di atas bangunan
kubah dibuat duplikat tugu dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu yang
aslinya. Di dalam kubah duplikat bangunan ini juga terdapat sejarah, foto-foto
serta informasi yang berkenaan dengan titik kulminasi dan tugu ini.
Pada Maret 2005, Tim Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) melakukan penelitian dengan menggunakan alat dan tekhnologi
terbaru dalam menentukan lokasi titik nol garis Khatulistiwa Pontianak.
Hasilnya menunjukkan, posisi tepat Tugu Khatulistiwa saat ini berada pada 0
derajat, 0 menit, 3,809 detik lintang utara dan 109 derajat, 19 menit, 19,9
detik bujur timur. Sementara posisi 0 derajat, 0 menit dan 0 detik ternyata
melewati taman atau tepatnya 117 meter ke arah Sungai Kapuas atau arah Selatan dari
tugu.
Posisi titik perpotongan
antara pusat matahari dengan garis khatulistiwa berada pada posisi 1090 2011
dan 00″ Bujur T, atau yang dikenal dengan titik kulminasi ini secara tepat
hanya terjadi pada dua kesempatan, yaitu pada tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September
setiap tahunnya. Di dua kesempatan tersebut, terjadi fenomena alam yang unik,
dimana menjelang tengah hari semua benda yang tegak berdiri di sekitar tugu
tidak memiliki bayangan. Pada saat fenomena alam yang unik ini terjadi selalu
diadakan festival titik kulminasi di Pontianak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar