NAN SARUNAI USAK JAWA
Pada tahun 1358 Masehi, Mpu Jatmika atau Mpu
Nallauda bersama Demang Wiraja menyerang negeri Nan Sarunai. Mpu Jatmika
mengerahkan armada lautnya yang dipersenjatai dengan meriam yang disebut Cetbang meluluh lantakkan negeri Nan
Sarunai. Serangan itu berakibat terbunuhnya Miharaja Rahadyan Anyan dan
Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen. Negeri Nan Sarunai hancur akibat serangan
itu. Peristiwa hancurnya Nan Sarunai kemudian dikenal dengan Nan Sarunai Usak Jawa. Mpu Jatmika menyerang Nan Sarunai karena
marah ketika mendengar istrinya bernama Dhamayanthi menidurkan anak mereka
bernama Sekar Mekar dengan nyanyian dalam bahasa Dayak Ma’anyan yang liriknya
mengatakan bahwa ayah Sekar Mekar adalah Raja Anyan.
Tanpa berpamitan kepada istrinya Dhamayanthi,
dan tanpa melapor ke Maha Patih Gajah Mada, Mpu Jatmika segera pergi ke
pelabuhan Tuban dan memerintahkan armada lautnya untuk menghancurkan Kerajaan
Nan Sarunai. Mpu Jatmika meluapkan murkanya ke negeri Nan Sarunai. Tak ada
seorangpun yang dibiarkannya hidup meski telah terluka. Kemarahan Mpu Jatmika
tidak terbendung terhadap perselingkuhan istrinya Dhamayanthi dengan Miharaja Rahadyan
Anyan membuat Nan Sarunai hancur.
Dalam kondisi terdesak, Miharaja Rahadyan
Anyan disembunyikan oleh pengawalnya dalam sebuah sumur tua yang sudah tidak
berair lagi. Diatas sumur tersebut ditutupi dengan sembilan buah gong besar,
kemudian dirapikan dengan tanah dan rerumputan, agar tidak diketahui pasukan
Mpu Jatmika.
Ketika pasukan Mpu Jatmika telah menguasai
negeri Nan Sarunai, Mpu Jatmika kemudian memerintahkan Demang Wiraja untuk
mencari Miharaja Rahadyan Anyan hidup atau mati. Sumur tua tempat persembunyian
Miharaja Rahadyan Anyan berhasil ditemukan. Raja negeri Nan Sarunai itu
langsung tewas dibunuh oleh Mpu Jatmika menggunakan sebuah pusaka negeri Nan Sarunai
sendiri, yaitu sebuah tombak yang berbentuk lembing bertangkai panjang.
Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen yang
bersembunyi di pelepah kelapa gading juga ditemukan oleh pasukan Mpu Jatmika.
Namun Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen yang telah mempersenjatai diri dengan
pisau dari besi kuning yang bernama Lading Lansar Kuning melakukan perlawanan. Perlawanannya
begitu sengit sehingga ia banyak menimbulkan korban pada pihak pasukan Mpu
Jatmika, sebelum akhirnya ia sendiri gugur.
Dalam serangan pasukan Mpu Jatmika telah
gugur pula seorang nahkoda kapal dagang milik negeri Nan Sarunai yang bernama Jumulaha La Isomena. Nahkoda kapal ini
merupakan orang dari Bangsa Bugis. Jumulaha La Isomena terkenal sangat berani
mengarungi lautan luas. Ia sangat menguasai pengetahuan tentang alam samudera.
Jumulaha La Isomena banyak bergaul dan bersahabat dengan pelaut-pelaut asal
Luwuk dan Bajau. Kesetiaannya pada negeri Nan Sarunai sangat mengagumkan.
Ketika terjadi serangan pasukan Mpu Jatmika, Jumulaha La Isomena bertempur
habis-habisan membela negeri Nan Sarunai. Ia melakukan perlawanan dengan sangat
sengit, banyak pasukan Mpu Jatmika yang tewas atas perlawanannya itu, meski
akhirnya ia sendiri gugur bersimbah darah.
Mpu Jatmika setelah menghancurkan negeri Nan
Sarunai langsung kembali ke pelabuhan Tuban. Mpu Jatmika berencana akan
membunuh Dhamayanthi karena telah mengkhianati cinta mereka. Namun rencananya
tersebut tidak terlaksana, setelah Dhamayanthi menjelaskan bahwa nyanyiannya
itu adalah bohong belaka, dan hanya untuk mendapatkan perhatian Mpu Jatmika saja.
Dhamayanthi sengaja menyanyikan lirik seperti
itu karena kecewa dengan Mpu Jatmika yang telah meninggalkannya di Nan Sarunai
selama dua tahun. Memang sebelum peristiwa serangan ke negeri Nan Sarunai, Mpu
Jatmika telah meninggalkan istrinya Dhamayanthi selama dua tahun. Mpu Jatmika
membawa istrinya ke negeri Nan Sarunai dalam misi menyelidiki situasi dan
kondisi negeri Nan Sarunai.
Penyelidikan
terhadap negeri Nan Sarunai yang dilakukan oleh Mpu Jatmika telah dilakukannya
sejak tahun 1350 Masehi. Penyelidikan tersebut atas perintah Maha Patih Gajah
Mada yang ingin mengetahui hubungan antara negeri Nan Sarunai dengan Kerajaan
Lawai. Maha Patih Gajah Mada menunjuk Mpu Jatmika untuk berbaur ke dalam negeri
Nan Sarunai karena Mpu Jatmika pernah berada di Sungai Kalang, sehingga tidak
akan menyulitkan bagi Mpu Jatmika untuk beradaptasi dengan masyarakat Nan
Sarunai. Selain itu Mpu Jatmika sangat memahami bahasa dan seluk beluk negeri
Nan Sarunai.
Mpu
Jatmika ketika melakukan penyelidikan menyamar sebagai nahkoda kapal dagang. Di
negeri Nan Sarunai ia memakai nama samaran yaitu Mpu Dayar atau Tuan Penayar
dan bertemu dengan Miharaja
Rahadyan Anyan, yang juga bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas,
serta Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen. Mpu Jatmika sering dibawa oleh
Rahadyan Anyan dalam bangunan tempat pertemuan Majelis Rakyat Nan Sarunai.
Mpu
Jatmika sangat kagum melihat kemegahan bangunan tersebut, begitu banyak barang-barang
terbuat dari emas murni, ketika ia dipersilakan untuk melihat-lihat
perlengkapan pesta adat yang ada di dalam ruangan tempat bermusyawarah. Yang
sangat dikagumi oleh Mpu Jatmika, adalah soko guru balai adat yang terbuat dari
emas murni, dimana dibagian atasnya bermotif patung manusia. Miharaja Rahadyan Anyan dan
Permaisurinya serta para bangsawan Nan Sarunai berpakaian yang dilapisi emas
dengan berbagai intan menghiasi tubuh mereka.
Mpu
Jatmika juga sempat membawa serta seorang panglima perangnya yang bernama
Demang Wiraja dengan memakai nama samaran Tuan Andringau, serta beberapa
prajurit Wilwatikta dari Sungai Kalang. Kemudian pada awal tahun 1356 Masehi, Mpu
Jatmika datang lagi ke Nan Sarunai dengan membawa serta istrinya yang bernama Dhamayanthi.
Sewaktu ia kembali lagi ke Wilwatikta, sengaja Mpu Jatmika membiarkankan
isterinya tinggal di negeri Nan Sarunai.
Dhamayanthi
berwajah sangat cantik dan pribadinya menarik, ia pandai bergaul dan memahami
bahasa Nan Sarunai. Mpu Jatmika meminta Dhamayanthi untuk ikut menyelidiki
negeri Nan Sarunai yaitu dengan mendekati Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen,
agar mendapatkan kepastian tentang hubungan Nan Sarunai dengan Kerajaan Lawai. Dhamayanthi selama di Nan Sarunai memakai
nama samaran Samoni Batu.
Pada
awal tahun 1358 Masehi, Mpu Jatmika datang lagi ke negeri Nan Sarunai untuk
menjemput istrinya, dan menemukan isterinya sedang menimang seorang anak perempuan
yang telah berumur hampir dua tahun, yang telah diberi nama Sekar Mekar. Kepada
Mpu Jatmika, Dhamayanthi menerangkan
bahwa anak yang ada dipangkuannya itu adalah anak mereka berdua. Dan Mpu Jatmika
percaya saja akan apa yang telah dikatakan oleh isterinya itu.
Ketika kembali ke Wilwatikta, Dhamayanthi
beserta anaknya dibawa serta, mereka kemudian tinggal dipangkalan aramada laut Wilwatikta
di Tuban. Belum juga lama mereka bersatu kembali setelah selama dua tahun tidak
bertemu, rupanya Mpu Jatmika kembali hendak meninggalkan Dhamayanthi dan
anaknya itu.
Mpu Jatmika bersama armadanya hendak berlayar
lagi guna melaksanakan tugas-tugas dari kerajaan Wilwatikta. Dhamayanthi
mendapatkan informasi tentang akan pergi lagi Mpu Jatmika dan armadanya.
Dhamayanthi sangat kesal dan kecewa dengan sikap Mpu Jatmika yang kurang
memberikan perhatian pada dirinya dan anaknya. Ditambah lagi kekesalan
Dhamayanthi yang selama dua tahun telah ditinggalkan di negeri Nan Sarunai.
Kekecewaan Dhamayanthi terhadap sikap Mpu
Jatmika yang terlalu sibuk dengan tugasnya tanpa ada waktu untuk dirinya tidak
terbendung. Ia pun sengaja menunggu Mpu Jatmika yang hendak berpamitan, dan
sengaja menyanyikan nyanyian untuk menidurkan Sekar Mekar dengan bahasa Dayak
Ma’anyan yang liriknya mengatakan bahwa ayah Sekar Mekar adalah Raja Anyan.
Dhamayanthi berusaha untuk mendapatkan perhatian dari Mpu Jatmika, namun dengan
cara yang keliru sehingga menyebabkan bencana dan korban jiwa.
Maha Patih Gajah Mada sangat murka
mendapatkan kabar bahwa negeri Nan Sarunai telah dihancurkan oleh Mpu Jatmika
dan armadanya. Maha patih Gajah Mada sangat kecewa dengan tindakan ceroboh Mpu
Jatmika yang telah mengerahkan pasukan tanpa sepengetahuan dirinya. Apalagi
setelah diketahui ternyata tindakan Mpu Jatmika tidak beralasan, hanya karena
nyanyian yang ternyata itu hanyalah kebohongan dari Dhamayanthi. Akibat dari
serangan ke negeri Nan Sarunai membuat reputasi Gajah Mada sebagai Maha Patih
Wilwatikta semakin buruk. Sedangkan sebelumnya telah diperburuk dengan
peristiwa Bubat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar