Rabu, 15 November 2017

ASAL MULA NAMA GUNUNG TIONG KANDANG

Asal Mula Nama Gunung Tiong Kandang

Pada zaman purbakala dahulu, pulau Kalimantan ini adalah lautan luas, daratan yang terlihat hanyalah beberapa gunung tinggi dan puncak anak-anaknya yang salah satunya adalah Gunung Niut. Adapun Gunung Niut puncaknya menjulang tinggi hingga ke awan dan memiliki beberapa anak gunung yang diantaranya adalah Gunung Tiong Kandang dan Gunung Lancak.
Diatas Gunung Lancak terdapat sebuah kampung yang besar bernama Kampung Lancak. Di kampung itu terdapat seorang kaya raya bernama Linggi yang tinggal bersama ibunya. Harta kekayaan Linggi didapatkannya dari warisan ayahnya. Linggi memiliki perilaku yang buruk. Pekerjaan yang disenangi Linggi setiap harinya hanyalah bermain judi dan menyabung ayam sehingga harta peninggalan ayahnya itu habis akibat kegemarannya tersebut.
Pada suatu hari ibunya berkata kepadanya, “Linggi...”, kata ibunya, “berhentilah engkau berbuat pekerjaan yang tidak baik itu, karena berjudi dan menyabung ayam adalah pekerjaan yang buruk dan hanya menyia-nyiakan harta dan waktumu saja. Apalagi harta warisan ayahmu itu tinggal sedikit karena pekerjaan burukmu itu”, kata ibunya lagi menasehati Linggi.
Mendapatkan nasehat dari ibunya tersebut membuat Linggi menjadi gusar, ia tidak terima di nasehati demikian. Linggi pun menjawab perkataan baik ibunya tersebut dengan kasar sehingga membuat ibunya marah dan berkata, “baiklah jika engkau tidak mau mendengarkan nasehat ibu. Lebih baik engkau pergi saja dari kampung ini daripada engkau terus menerus berbuat hal-hal yang tidak baik dalam kampung ini”, kata ibunya dengan kesal.
Mendengar perkataan ibunya yang telah kesal itu membuat Linggi semakin tidak senang dan ia pun pergi meninggalkan ibunya begitu saja tanpa lagi menghiraukan perkataan ibunya yang telah kesal melihat perilaku buruknya itu. Hingga suatu hari, Linggi hendak bermain judi dan menyabung ayam, namun tidak ada lagi harta dari warisan ayahnya yang bisa ia pertaruhkan. Ia membongkar segala benda di rumahnya yang dapat ia jadikan bahan taruhan, namun tidak ada lagi barang berharga yang tersisa. Ia hanya menemukan segenggam asam kandis saja yang merupakan bahan masakan milik ibunya.
Karena kuatnya kegemaran berjudi dan menyabung ayam, segenggam asam kandis itu pun dibawanya juga untuk bahan taruhan. Sedangkan asam kandis tersebut adalah benda milik ibunya yang sering dipergunakan sebagai bahan untuk memasak makanan. Setelah Linggi pergi membawa segenggam asam kandis tersebut untuk bahan taruhan berjudi dan menyabung ayam, maka ibunya Linggi pulang ke rumah. Ibunya tersebut akan memasak makanan, namun ia tidak menemukan segenggam asam kandis yang selalu disimpannya. Maka terbesitlah perasaan bahwa barangkali segenggam asam kandis tersebut telah diambil oleh Linggi sebagai bahan taruhan berjudi dan menyabung ayam. Akibat perasaan tersebut, ibunya Linggi semakin kecewa dan marah, ia pun tidak jadi untuk memasak makanan.
Menjelang petang, Linggi pun pulang ke rumah setelah puas berjudi dan menyabung ayam. Tanpa rasa bersalah Linggi langsung saja membuka tudung saji untuk mencari makanan karena perutnya telah lapar, namun didalam tudung saji tersebut tidak ada sedikitpun makanan karena ibunya tidak bisa memasak makanan hari itu. Linggi pun menjadi marah dan membuang tudung saji itu.
Mendengar suara ribut di dapur, maka ibunya Linggi yang sedang berada di dalam biliknya segera keluar dan pergi ke dapur. Maka terlihatlah oleh ibunya bahwa tudung saji telah tergeletak di lantai, sehingga marah lah ibunya itu kepada Linggi, “apa yang engkau cari Linggi? tidak ada makanan hari ini, karena asam kandis punya ibu untuk bahan memasak makanan telah engkau ambil!”, kata ibunya sambil mengambil tudung saji yang tergelatak di lantai.
Mendapatkan jawaban ibunya seperti itu, membuat Linggi semakin marah. Ia pun mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat ibunya hilang kesabaran dan melemparkan tudung saji itu sehingga tersungkuplah kepala Linggi sambil berkata, “dasar anak Tiong! semoga Tuhan melipat lidahmu hingga keluh”.
Pada masa dahulu, orang tua yang sangat marah akan mengeluarkan kalimat “dasar anak Tiong!”, yang berarti bahwa orang tua itu sudah hilang kesabarannya karena si anak tidak mau mendengar kata-kata orang tuanya. Anak yang selalu membantah perkataan orang tuanya akan disamakan dengan burung Tiong yang bersuara ribut dan nyaring serta tidak bisa diam. Dan burung Tiong akan diam atau dapat diatur agar tidak selalu bersuara nyaring dan ribut jika sudah keluh atau kaku lidahnya. Makanya orang tua yang telah marah kepada anak-anak mereka yang selalu membantah akan berkata “semoga Tuhan melipat lidahmu hingga keluh”.
Linggi yang telah tersungkup tudung saji dan di sumpah ibunya agar seperti burung Tiong yang keluh atau kaku lidahnya tidak terima dengan sumpah ibunya tersebut. Ia kemudian pergi dari rumahnya dan mencari sebuah sampan kecil untuk pergi meninggalkan kampungnya tersebut. Ketika mencari sebuah sampan kecil, Linggi sempat membawa barang-barang perbekalan dan makanan untuk bekalnya dalam perjalanan. Maka pada saat itu juga ia mengayuh sampannya dengan fikiran yang kusut dan hati yang berat pergi meninggalkan kampung halaman tempat tumpah darahnya dan tempat ia dilahirkan.
Setelah beberapa hari lamanya Linggi terapung-rapung ditengah lautan dengan tidak tentu tujuan dan haluannya, maka pada suatu hari ia terdampar ditepi sebuah pulau yang tidak dikenalinya. Maka terfikirlah Linggi tentang nasibnya tersebut, bahwa daripada ia terkatung-katung ditengah lautan yang tidak tentu arah tujuan, akan lebih baik jika ia mengadu nasib di daratan pulau tersebut jika ia dapat bertemu dengan perkampungan manusia ataupun perkampungan Dewa. Linggi berkata pada dirinya sendiri bahwa ia hanya menyiksa dirinya saja jika terus terkatung-katung ditengah lautan.
Linggi terus berkata dalam hatinya, jika nasibnya baik tentu ia akan mendapatkan kehidupan yang baik, tapi jika nasibnya tidak baik, maka bisa saja ia mati di tengah lautan. Demikianlah Linggi berkata dalam hatinya yang sedang kebingungan itu. Maka dengan tekad yang kuat hendak mengadu nasib ke daratan, Linggi pun segera mengemas barang-barangnya dan turun ke daratan. Linggi berjalan melewati gunung dan lembah tanpa arah yang pasti.
Setelah beberapa hari ia berjalan melintasi daratan, atas takdir Tuhan Yang Maha Kuasa maka bertemulah ia dengan sebuah kampung. Sesampainya di kampung itu, Linggi mencoba bertamu pada sebuah rumah yang dihuni oleh tiga orang yaitu seorang bapak dan ibu serta seorang anak gadisnya. Linggi selanjutnya dengan sopan menyapa yang punya rumah, dan si bapak pemilik rumah dengan ramah mempersilahkan Linggi masuk ke rumahnya.
Melihat Linggi bukan berasal dari kampungnya, maka bertanyalah si bapak kepada Linggi, “Tuan juragan datang dari mana? Siapakah nama tuan juragan ini dan berasal dari mana?”, si bapak pemilik rumah bertanya dengan ramah.
“Saya bernama Linggi dan datang dari tanah seberang. Negeri saya bernama Lancak”, jawab Linggi dengan sopan. “Bapak siapa namanya? Kampung apakah ini?”, tanya Linggi kepada si bapak pemilik rumah.
“Nama saya Wasesa, istri saya bernama Serinah dan anak perempuan saya ini bernama Galuh”, jawab si bapak.
“Adapun kampung ini bernama kampung Karang Wangi dan negerinya bernama Pasundan”, sambung si bapak itu lagi. Selanjutnya berbincang-bincang lah mereka tentang hal ikhwal masing-masing.
Sekian lama berbincang-bincang, terbitlah keinginan Linggi untuk tinggal di rumah tersebut. Selain itu, rupanya selama berbincang-bincang dengan si bapak pemilik rumah, Linggi selalu melirik anak gadis bapak itu. Linggi pun merasa jatuh hati dan mencoba mengutarakan perasaannya kepada si bapak pemilik rumah. Linggi menyampaikan keinginannya untuk tinggal di rumah tersebut dan melamar Galuh, anak gadis bapak tersebut. Keinginan Linggi itu dikabulkan oleh bapak tersebut. Maka sejak itu, tinggallah Linggi di rumah tersebut, dan beberapa hari kemudian Linggi dinikahkan dengan Galuh.
Setelah menikah dan tinggal bersama Wasesa, Linggi diajarkan berladang dan membuat sawah. Tekad Linggi yang kuat untuk merubah nasib hidupnya, dan rasa cintanya yang mendalam kepada Galuh, membuat Linggi belajar dengan tekun cara berladang dan membuat sawah. Linggi bekerja keras mengurus ladang dan sawahnya. Berkat ketekunannya itu, ladang dan sawahnya mendapat hasil yang berlimpah. Ia kemudian menjadi orang terkaya di kampung tersebut. Pada suatu hari Linggi dan istrinya sedang duduk di beranda rumahnya. Maka berkatalah Linggi kepada istrinya bahwa ia terpikir untuk pulang ke kampung halamannya.
Linggi merasakan kerinduan pada ibunya di Kampung Lancak yang telah lama ia tinggalkan. Dan ia berniat untuk pulang melihat ibunya tersebut. Ia pun mengutarakan untuk membawa serta istrinya ke Kampung Lancak untuk bertemu dengan ibunya. Istrinya menyetujui keinginan Linggi itu. Dan beberapa hari berikutnya, berangkatlah Linggi dan istrinya ke Kampung Lancak menggunakan sebuah Ajong atau kapal layar besar. Linggi yang telah menjadi orang kaya raya itu membawa banyak anak buah untuk mengemudikan Ajong besarnya tersebut.
Dalam Ajong besarnya, Linggi memuat berbagai barang dagangan yang akan dijualnya jika bertemu perkampungan penduduk dalam perjalanan. Linggi juga memuat berbagai barang berharga yang mahal harganya untuk nanti dijual di kampungnya. Pada bagian hulu Ajong, disangkutkannya sebuah sangkar yang berisi dua ekor burung, yaitu seekor burung Tiong atau burung Beo dan seekor burung Kandang atau burung Murai.
Sangkar kedua ekor burung itu disangkutkannya di hulu Ajong untuk memberitahukan sesuatu yaitu burung Tiong akan berbunyi jika Ajong melewati teluk dan tanjung, sehingga tahulah Linggi bahwa Ajongnya itu sedang berada di sebuah teluk atau tanjung. Sedangkan burung Kandang akan berbunyi nyaring pada waktu pagi hari sehingga anak buah Linggi yang mengemudikan Ajong segera bangun dari tidurnya dan kembali mengemudikan Ajongnya itu.
Setelah beberapa hari dalam perjalanan, Ajong Linggi tiba di Kampung Lancak. Orang-orang kampung Lancak berkeluaran dari rumah untuk melihat Ajong Linggi yang megah tersebut. Selain itu banyak juga yang berkerumunan ingin membeli barang-barang yang dijual Linggi.
Diantara kerumunan penduduk itu, terdapat seorang perempuan tua yang berusaha ingin melihat-lihat Ajong dan barang-barang yang dijual Linggi. Perempuan tua tersebut sangat renta dan berpenampilan buruk rupa, yang tidak lain adalah ibunya Linggi. Dia tertegun melihat kemegahan Ajong dan banyaknya barang-barang berharga yang dibawa Linggi. Hingga ketika ia mengamati rupa dan penampilan juragan Ajong, maka kenallah ia bahwa juragan Ajong itu adalah anaknya sendiri yaitu Linggi yang telah bertahun lamanya pergi dari kampungnya. Ia pun berteriak keras memanggil-manggil nama Linggi, “anakku Linggi...! anakku Linggi...!”.
Linggi yang sedang bersama istrinya itu mendengar teriakan tersebut. Namun ia terkejut ketika melihat rupa dan penampilan ibunya tersebut telah sangat buruk dan tidak terurus. Sedangkan dahulunya ibunya tersebut sangat cantik. Linggi pun merasa malu terhadap istrinya karena melihat ibunya yang renta dan buruk itu. Untuk menutupi rasa malunya, maka diusirlah ibunya itu dari Ajongnya. Namun ibunya tetap berkeras berada di atas Ajong dan terus menerus berteriak memanggil nama Linggi.
Karena ibunya tidak juga mau turun dari Ajongnya, maka ditendang dan dipukulnya ibunya tersebut hingga tersungkur. Linggi bahkan menyuruh anak buahnya untuk memukul dan menyeret ibunya turun dari Ajong hingga berdarahlah wajah dan tubuhnya.
Dengan bercucuran darah dan air mata, maka berjalan pulanglah ibunya itu ke rumah yang sekarang telah menjadi gubuk reot. Sesampainya di rumah, ibunya itu menangis sekeras-kerasnya sambil berkata, “jika juragan Ajong itu memang benar Linggi anak kandungnya, maka tidak aku relakan ia mengisap air susuku. Dan mudah-mudahan karam Ajongnya karena telah durhaka kepadaku”.
Dengan takdir Yang Maha Kuasa, maka bergemuruhlah kilat dan halilintar yang kemudian menyambar Ajong Linggi hingga karam. Ketika Ajong tersebut karam, sangkar yang berisi burung Tiong dan Kandang terbawa gelombang air dan tersangkut di dahan kayu sebuah gunung. Selanjutnya gunung itu disebut Gunung Tiong Kandang. Sangkar itu hingga kini masih terdapat di puncak Gunung Tiong Kandang dan telah menjadi batu bersama serpihan pecahan Ajong Linggi yang telah menjadi empat buah batu yaitu Batu Pengasih, Batu Peninjau, Batu Belawang dan Batu Pedagi.

Selasa, 14 November 2017

MANAJEMEN DASAR PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

MANAJEMEN DASAR
PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

Pengadaan Barang dan Jasa adalah suatu kegiatan untuk memperoleh Barang atau Jasa oleh Kementerian atau Lembaga / Perangkat Daerah / Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang atau Jasa. Dalam hal ini proses yang dimaksud diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah sesuai dengan regulasi terbaru yaitu Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah dibagi menjadi 4 kategori yang masing-masing memiliki aturan dan mekanisme yang berbeda, yaitu sebagai berikut :
1.        Pengadaan Barang
Sesuai dengan definisi Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 pasal 1 ayat 14 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, diterangkan bahwa “Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna Barang. Dengan kata lain adalah barang merupakan sesuatu yang sudah jadi, tinggal dibeli dan langsung dapat dipakai. Misalnya, pembelian alat tulis kantor, kendaraan bermotor sehari-hari, komputer atau software komersial yang sudah ada di pasaran, seperti Microsoft Office, Adobe, Sistem Operasi Windows, dan sebagainya.
Untuk pengadaan barang model semacam itu, telah diatur dengan jelas dalam peraturan presiden nomor 4 tahun 2015 ini. Jika pengadaan barang namun yang diminta adalah barang spesifikasi khusus, maka akan ada 2 kemungkinan. Jika barang itu adalah benda fisik seperti kendaraan tempur khusus, pesawat atau mobil kepresidenan khusus, maka akan masuk dalam jenis pekerjaan konstruksi. Sedangkan jika barang tersebut adalah bukan benda fisik, misalnya software database keuangan sesuai kebutuhan instansi, Sistem Informasi pemerintahan, website, dan sebagainya, maka akan masuk dalam jenis jasa konsultansi.
2.        Pekerjaan Konstruksi
Pekerjaan Konstruksi sesuai dengan definisi dalam Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 menyatakan bahwa, “Pekerjaan Konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya”. Contoh dari pekerjaan konstruksi adalah seperti yang telah diterangkan di atas. Misalnya mobil dengan spesifikasi khusus yang tidak ada di pasaran. Dapat juga kapal maupun pesawat, dan alat transportasi lainnya dengan spesifikasi khusus. Disamping itu, pembangunan properti seperti kantor, gedung, jembatan, dan sebagainya juga masuk dalam kategori ini. Inti dari pekerjaan konstruksi adalah membangun atau merakit wujud fisik sesuatu yang sesuai dengan si pemesan.
3.        Jasa Konsultansi
Dalam definisi peraturan presiden nomor 4 tahun 2015 menyebutkan bahwa, “Jasa Konsultansi adalah jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang  mengutamakan adanya olah pikir (brainware). Adapun contoh dari jasa konsultansi dalam kegiatan pemerintahan yang paling mencolok adalah pekerjaan perencanaan. Entah itu perencanaan tata ruang, perencanaan sosial, dan sebagainya. Disamping itu, ada beberapa jasa konsultansi yang biasa ada pada kegiatan perencanaan. Misalnya jasa arsitek yang biasa disebut dengan konsultan bangunan, dan ada pula pembuatan sistem informasi teknologi. Khusus tentang pembuatan sistem informasi, walaupun output dari kegiatan ini adalah adanya barang tidak berwujud yang disebut software, namun pekerjaan pembuatan sistem informasi masih dimasukkan dalam kategori jasa konsultansi.
4.        Jasa Lainnya
Dalam peraturan presiden nomor 4 tahun 2015, disebutkan bahwa, Jasa Lainnya adalah jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain Jasa Konsultansi, pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi dan pengadaan Barang.

Itulah 4 jenis pengadaan barang dan jasa pemerintah sesuai dengan regulasi terbaru saat ini. Dengan memahami 4 jenis pengadaan tersebut, semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif dan efisien. Dan tentunya akan terhindar dari permasalahan hukum di kemudian hari.


KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 5

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 5

Oliver van Noord, seorang pedagang dari Belanda datang ke negeri Brunei pada tahun 1600 Masehi, mencatat dan membuat peta Tanjungpura dan Lawai. Ia menyatakan bahwa Tanjungpura dan Lawai dikuasai oleh anak Raja Majapahit dari permaisurinya anak Raja Melayu. Anak Raja Majapahit yang bergelar Prabujaya itu menikahi Ratu Lawai setelah suaminya wafat yang bernama Patee Bacinga, yang dahulunya sebagai Miharaja Sarunai.
Sekitar periode tahun 1691 Masehi, serombongan kapal Bangsa Portugis mencoba memasuki wilayah Kalimantan Selatan. Kapal Bangsa Portugis ini berusaha untuk memperoleh kembali pangkalan-pangkalan perdagangan Portugis didaerah tersebut. Mereka menemukan tidak semua pasukan Dangk(‘)raat yang menggunakan pakaian perang dari besi, hanya sebagian kecil kelompok atau orang-orang tertentu saja.
Kebanyakan Bangsa Dangk(‘)raat ini telah menggunakan pakaian dari bahan kulit kayu, bahkan banyak juga yang tidak memakai penutup tubuh. Bahkan mayoritas tidak beralas kaki, sedangkan pada abad-abad sebelumnya Bangsa Portugis melihat Bangsa Dangk(‘)raat selalu menggunakan alas kaki yang terbuat dari anyaman tumbuhan. Usaha Bangsa Portugis untuk merebut pangkalan perdagangannya di Kalimantan Selatan akhirnya gagal setelah seorang padri bernama Ventimiglia terbunuh.
Yamamoto, komandan Kempetai Jepang yang bertugas di Kalimantan Barat ketika periode pendudukan Jepang pada tahun 1941 – 1944 sebelum akhirnya dijatuhkan hukuman mati, sempat menjelaskan bahwa salah satu keberhasilan Jepang menguasai Kalimantan adalah Negara Jepang telah menguasai seluk beluk Kalimantan yang didapatkan dari catatan-catatan kuno Bangsa Jepang. Maka sepanjang periode perang dunia pertama hingga tahun 1941, Negara Jepang telah menyebar intelijen-intelijennya di wilayah Kalimantan, hingga akhirnya tentara Jepang berhasil pertama kali mendarat pada tanggal 11 – 12 Januari 1942 di Tarakan, Kalimantan Timur.
Menurut catatan-catatan kuno Bangsa Jepang bahwa sekitar abad ke 8 M, Kaisar pertama Jepang pernah berperang dengan pasukan dari Kalimantan. Kaisar Jepang pertama pada masa itu bernama Kaisar Jimmu mengirimkan suatu ekspedisi dari Kyushu ke arah timur untuk menguasai negeri-negeri di wilayah timur. Pasukan Kaisar Jepang bertemu dengan pasukan dari Kalimantan di perairan Mindanao dan terjadi peperangan.
Pasukan kaisar Jepang berhasil dipukul mundur oleh pasukan dari Kalimantan hingga ke teluk Mindanao. Ketika di Teluk Mindanao, pasukan Kaisar Jepang semakin terdesak oleh ketangguhan pasukan Kalimantan yang dinyatakan diengkapi dengan pakaian dari besi sehingga sulit dikalahkan. Bahkan pasukan Kalimantan ini dibawah alas kakinya terdapat senjata besi yang mampu menembus batu dan karang sehingga dengan mudah menaiki batu karang.
Teknik berperang pasukan Kalimantan disebut oleh Bangsa Jepang sangat menakutkan, dimana serangan senjatanya sangat gesit mengarah ke leher lawan, sehingga banyak pasukan Kaisar Jepang yang terpenggal kepalanya di wilayah teluk Mindanao. Pasukan Kalimantan pada masa itu dipimpin oleh seorang panglima perang yang disebut sebagai Putera Matahari atau yang bergelar Babariang Langit, putranya Miharaja Rahadyan Dapuntra Yatra.
Pasukan Kaisar Jepang ini akhirnya terpukul mundur dari wilayah perairan Mindano akibat kewalahan menghadapi teknik berperang pasukan Kalimantan. Kekalahan pasukan Kaisar Jepang di perairan Mindanao dilaporkan kepada Kaisar Jimmu, yang sangat marah dan kecewa dengan kekalahan tersebut. Namun Kaisar Jimmu sangat penasaran dengan informasi dari komandan pasukannya bahwa pasukan dari Kalimantan memiliki teknik berperang yang sangat tangguh dan sulit terbaca oleh lawan. Kaisar Jimmu akhirnya mengirim utusan untuk pergi ke Kalimantan guna berdamai dengan pasukan Kalimantan.
Ketika di bumi Kalimantan, utusan Kaisar Jimmu diterima dengan baik oleh penguasa negeri Kalimantan pada masa itu karena bertujuan untuk berdamai. Selama di bumi Kalimantan, utusan Kaisar Jepang banyak mempelajari kehidupan Bangsa Kalimantan. Mereka juga mempelajari teknik berperang Bangsa Kalimantan dengan seorang Panglima Perang bernama Babariang Langit yang mereka gelari sebagai Putera Matahari. Para utusan ini menyaksikan kegesitan pasukan Kalimantan menaiki gunung batu dengan lempengan besi dibawah alas kaki mereka. Utusan Kaisar Jimmu juga menyaksikan bahwa Bangsa Kalimantan memiliki banyak jenis metode tulisan atau aksara. Masing-masing tempat memiliki metode tulisannya masing-masing.
Berdasarkan catatan-catatan kuno Bangsa Jepang inilah yang membuat tentara Jepang dengan mudah menguasai Kalimantan. Nenek moyang Bangsa Jepang telah mengenal terlebih dahulu kehidupan dan seluk beluk orang Kalimantan, sehingga tidak menyulitkan bagi mereka untuk beradaptasi dan menguasai suku-suku di pedalaman Kalimantan pada masa itu.

Minggu, 12 November 2017

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 4

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 4

Menurut catatan Wang Dayuan, seorang penjelajah China yang menulis catatan perjalanannya di Asia tahun 1349 Masehi. Catatan ini kemudian dikenal dengan Dao Yi Zhi Lue : A Brief Account of Island Barbarians, menuliskan bahwa Bangsa Tampun Roban atau Tampun Juah di Kalimantan berpakaian terbuat dari besi dan logam.
Dalam catatannya itu Ia menyebutnya juga sebagai Bangsa Gelang-gelang karena rakyatnya memakai gelang-gelang besi yang menutupi tubuh. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa prajurit Tampun Roban berpakaian dan berperisai dari besi dan logam ketika menaklukkan Madagaskar dan ketika ekspedisi Pamalayu tahun 1275 Masehi. Prajurit-prajurit ini membawa simbol-simbol beberapa bendera yaitu bendera berwarna Merah, Kuning dan Biru serta simbol Matahari. Pada periode ini, Tampun Roban atau Tampun Juah telah dikenal dengan sebutan Sarunai, dan rajanya bergelar Miharaja Rahadyan Anyan, anak penguasa atau raja Lawai yang bernama Patee Basinga dari Istrinya yang merupakan keturunan Raja Funan. Setelah Patee Basinga wafat, ia digantikan oleh istrinya yang berasal dari Songkhra, yang kemudian bergelar Ratu Lawai atau Junjung Buih.
Emanuel Godhino de Eredia, pada tahun 1597 – 1600 ketika berkunjung ke Banjarmasin, Sukadana, dan Lawai menuliskan bahwa Bangsa Portugis menyebut orang Kalimantan dengan sebutan Dangk(‘)raat yang berarti Keras atau Kuat, karena pada periode abad ke 7 hingga ke 9 M Bangsa Portugis menemukan pasukan yang sulit ditaklukkan di Kalimantan dengan seluruh tubuh tertutupi oleh pakaian dari besi dan logam dengan perisai yang juga terbuat dari besi dan logam. Sebelumnya Bangsa Portugis mendapat informasi dari pedagang dan pelaut dari Portugis yang menyatakan bahwa negeri Tampun Roban telah muncul kembali dan membangun peradaban baru dengan hasil alamnya yang berlimpah.
Tome Pires, dari Portugis menulis naskah laporan resmi kepada Raja Emanuel pada tahun 1512 – 1515 Masehi. Naskah ini kemudian dikenal dengan Suma Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins (Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina). Naskah ini berisi tentang kehidupan di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk tentang Tanjungpura dan Lawai. Tome Pires menggambarkan Lawai sebagai negeri yang banyak intan, dan didirikan oleh seorang yang bergelar Patee Basinga bersama istrinya dari Songkhra. Anaknya yang dari istri keturunan Raja Funan menjadi Miharaja Sarunai, dan seorang anaknya lagi menjadi Mahapatih di Wilwatikta atau Majapahit.
Pedro Teixeira, pada tahun 1586 menulis perjalannannya di Asia. Dalam tulisannya, ia menyinggung tentang keberadaan pasukan yang menurut sumber dari Bangsa Portugis sebelumnya sangat sulit ditaklukkan dengan berbagai perlengkapan perang yang lengkap dari besi yang disebut Dangk(‘)raat.
Keberadaan pasukan Dangk(‘)raat yang berpakaian perang dari besi tersebut tidak sebanyak pada abad-abad sebelumnya, sebagaimana informasi yang telah ia dapatkan, namun pasukan Dangk(‘)raat ini sangat sulit didekati oleh orang asing. Tulisannya kemudian dipublikasikan menjadi sebuah buku di Amsterdam tahun 1610 M. Penyebutan Bangsa Portugis yaitu Dangk(‘)raat, menjadi penyebutan bangsa-bangsa asing lainnya yang memasuki Kalimantan terhadap orang-orang Kalimantan. Istilah Dangk(‘)raat pada masa-masa berikutnya kemudian terlogatkan menjadi Darat atau Dayak yang artinya Keras atau Kuat.
Emanuel Godhino de Eredia, tahun 1597 – 1600 menulis tentang Goa dan Malaka, dan menjelaskan tentang Banjarmasin, Sukadana, dan Lawai. Sukadana dan Lawai dipimpin oleh anak Raja Wilwatikta atau Majapahit dari istrinya anak Raja Melayu. Anak Raja Majapahit tersebut menguasai Lawai setelah menikahi Ratu Lawai atau Junjung Buih. Ratu Lawai menjadi Ratu di Lawai menggantikan suaminya yang wafat yang bernama Patee Bacinga. Patee Bacinga mendirikan pelabuhan Lawai. Salah satu anaknya dari istri yang berasal dari Funan menjadi Miharaja Sarunai, anaknya dari Ratu Lawai menjadi Mahapatih Majapahit, anaknya yang lain menjadi penguasa Kapuhas, sedangkan anaknya yang lain lagi menggantikan Ratu Lawai menjadi penguasa Lawai.

Ringkasan Buku Nan Sarunai

Kamis, 09 November 2017

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 3

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 3

Sekitar tahun 956 Masehi, seorang ahli sejarah dan geografi dari Arab yang bernama al-Mas’udi menulis tentang identifikasi wilayah geografis Tampun Roban. Al-Mas’udi telah mengunjungi berbagai negeri di Asia Tenggara. Pada periode ini Tampun Roban telah disebut sebagai Tampun Juah. Penyebutan negeri Tampun Roban dengan istilah Tampun Juah telah dimulai sejak abad ke-5 Masehi.
Pada tahun 1154 Masehi, salah seorang geografer Arab yang bernama al-Idrisi mengumpulkan informasi tentang Samudera Hindia dan wilayah Timur Jauh, termasuk Tampun Roban dari para pedagang dan penjelajah Arab yang mewarisi informasi geografi klasik dan peta dunia yang paling akurat pada waktu itu. Berdasarkan informasi-informasi tersebut, al-Idrisi menggambar ulang peta dunia yang kemudian diserahkannya kepada Raja Normandy, Roger II dari Sisilia. Peta yang digambar oleh al-Idrisi ini kemudian menjadi peta dunia yang paling akurat untuk tiga abad berikutnya. Peta yang ditulis dalam bahasa Arab itu memuat informasi-informasi dan komentar-komentar dari para pedagang dan para penjelajah Arab.
Dalam informasi-informasi dan komentar-komentar tersebut terdapat penjelasan tentang kondisi negeri-negeri di wilayah Asia Tenggara, dan salah satunya adalah tentang Tampun Juah yang merupakan penyebutan untuk Tampun Roban, yang disebutkan sebagai negeri lumbung energi dan banyak menghasilkan kamfer, lilin dan sarang burung walet.
Informasi-informasi dan komentar-komentar tersebut juga menyebutkan bahwa pada abad ke-5 Masehi, Tampun Roban atau Tampun Juah telah mengatur sistim pemerintahan dengan beberapa gelar jabatan negerinya, yaitu :
1.         Miharaja, adalah penyebutan penguasa pusat negeri Tampun Roban atau Tampun Juah. Gelar Miharajanya adalah Rahadyan, sedangkan ratu atau permaisurinya disebut Miharatu dengan gelar Prameswari.
2.         Anak-anak raja atau putra mahkota ataupun pangeran bergelar Urya atau Arya.
3.         Dibawah Miharaja terdapat beberapa raja dengan gelar Patee dan Radyan. Patee menguasai negeri diwilayah daratan, sedangkan Radyan menguasai negeri wilayah air atau lautan.
4.         Dibawah Patee dan Radyan terdapat penguasa wilayah yang bergelar Demung atau Demong dan Kiyai. Demung bertanggungjawab terhadap wilayah daratan, dan Kiyai bertanggungjawab terhadap wilayah air atau lautan.
5.         Demung dan Kiyai membawahi beberapa jabatan yaitu Tamanggung atau Temenggung, Kanduran dan Rangga.
6.         Bidang pertahanan dan keamanan, jabatan tertingginya bergelar Pangkal Lima atau Panglima.
7.         Pangkal Lima atau Panglima membawahi beberapa jabatan yaitu Cinga’ atau Singa, Ria, Macan dan Jaga.
8.         Bidang hukum dan pengadilan adat serta agama, jabatan tertingginya bergelar Mangku dan membawahi beberapa jabatan yaitu Ngabeh atau Ngabehi ataupun Mas Ngabehi dan Dambung.

Dalam catatan-catatan kuno para penjelajah dan pedagang, menyebut Tampun Roban atau Tampun Juah dengan sebutan Warunadwipa yang artinya pulau Dewa Laut. Pulau ini dikatakan banyak menyimpan harta karun. Dalam berita-berita China atau T’ai P’ing Huan Yu Chi disebut dengan nama Chin Li P’i Shih, atau yang berarti Nusa Kencana atau P’ulo Chung atau Pulau Hujung Tanah. Para pedagang biasanya juga melakukan barter dengan para penduduk, dan mereka mendapatkan guci-guci keramik yang bernilai sangat tinggi. Disebutkan juga bahwa para penduduknya telah lama mengenal sistim baca tulis atau aksara, yang dikatakan begitu banyak jenisnya tersebut.


Ringkasan Buku Nan Sarunai

Rabu, 08 November 2017

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 2

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 2

Menurut Caludius Ptolemaeus namun sering dikenal dengan Ptolemy, salah seorang ahli geografi, astronom dan astrolog yang hidup pada periode tahun 90 – 168 Masehi, dan telah membuat peta Tampun Roban pada tahun 150 Masehi, menyatakan bahwa di negeri Tampun Roban terdapat 500 kota dan desa, pelabuhan Tampun Roban berada diwilayah selatan. Terdapat 10 kota yang paling terkenal di Tampun Roban, yang salah satunya merupakan tempat tinggal raja Tampun Roban. Di pedalamannya terdapat sebuah danau. Banyak terdapat taman yang indah dengan hiasan bunga-bunga Sarunai atau Wedelia Biflora yang banyak tumbuh di negeri Tampun Roban. Dan tumbuhan ini berkhasiat sebagai obat menyembuhkan berbagai penyakit. Pada masa itu negeri Tampun Roban memiliki populasi sebanyak 200.000 orang.
Lautnya berwarna kehijauan, dan terdapat banyak karang di dasarnya, sehingga kemudi kapal dapat tersangkut apabila mengenainya ketika berlayar di atasnya. Di wilayah selatan negeri Tampun Roban terbagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah sungai. Bagian yang satu dipenuhi oleh binatang buas dan gajah, dan yang lainnya menghasilkan sumber daya emas, intan, karang, mutiara, batu mulia dan permata.
Tanah negerinya subur, dan rakyatnya memiliki umur yang panjang lebih dari seratus tahun. Rajanya memakai pakaian yang dipenuhi oleh bulu-bulu Rhinoplax vigil atau burung enggang dengan perhiasan emas, intan dan permata yang memenuhi pakaiannya. Raja negerinya memiliki hubungan dan perdagangan dengan bangsa China daratan, karena dahulu setelah terjadi banjir besar bangsa China daratan berasal dari Tampun Roban. Rakyatnya gemar bernyanyi dan menari dengan alat-alat musik yang terdiri dari beberapa tali. Olahraga yang paling populer adalah berburu macan dan gajah.
Sedangkan di wilayah tengah negeri Tampun Roban adalah tempat berkumpulnya majelis kerakyatan Tampun Roban. Terdapat sebuah bangunan megah yang dihiasi berbagai macam ukiran. Bangunannya memanjang dan menjulang tinggi, serta didalamnya dipenuhi ukiran dari emas dan terdapat patung besar diatasnya. Majelis kerakyatan merupakan tempat berkumpulnya perwakilan dari negeri Thang Raya dan negeri Benua Raya untuk merumuskan serta menyusun sistim pemerintahan, hukum dan pengadilan adat serta tata cara dalam pelaksanaan agama.
kesemua wilayah tersebut berpusat di wilayah Gunung Niut. Mengkayang merupakan daratan tertinggi yang selalu tertutupi oleh awan sehingga disebut Mengkayang. Mengkayang memiliki arti negeri Dewa atau negeri khayangan, namun ada juga yang menyebutnya negeri diatas awan karena selalu tertupi oleh awan karena posisi daratannya yang sangat tinggi. Dan Mengkayang kemudian terlogatkan menjadi Bengkayang. Negeri Thang Raya dalam peta Ptolemy disebutkan sebagai negeri Anurogrammum yang berarti Bangsa Pemuja Rhinoplax vigil atau Burung Enggang, yang oleh orang-orang Portugis disebut negeri Daangk(‘)raat yang berarti keras atau kuat, yang kemudian terlogatkan menjadi Darat atau Dayak.

Ringkasan Buku Nan Sarunai

Selasa, 07 November 2017

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA

Menurut Gaius Plinius Secundus atau yang lebih dikenal dengan Pliny dan Strabo pada periode 64 / 63 SM – 79 Masehi, menyatakan bahwa rakyat negeri Tampun Roban memiliki tradisi tato yang paling kuno. Negeri ini kaya dengan mineral logam seperti emas, intan, perak, tembaga, dan batu mulia. Wanitanya cantik-cantik dan tersohor ke penjuru dunia.
Dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Tampun Roban, Rhinoplax vigil atau burung Enggang  dipuja-puja oleh masyarakatnya, karena dipercayai sebagai burung utusan para dewa dengan tugas menyampaikan pesan suci. Dalam keyakinan mereka, bahwa burung-burung tersebut memberikan contoh kehidupan dalam hal kesetiaan pasangan suami-istri dan tanggungjawabnya dalam keluarga.
Masyarakat Tampun Roban mengajarkan anak-anak mereka untuk tidak menyakiti atau membunuh burung suci tersebut. Perbuatan tersebut dianggap tabu. Dalam hal melaut, masyarakat di Tampun Roban tidak mengamati bintang, tetapi mereka membawa burung Enggang ke laut, yang dibiarkan bebas terbang dari waktu ke waktu, dan tinggal mengikutinya saja karena pasti kembali ke daratan tempat asalnya.
Pada masa itu, dibawah Negeri Tampun Roban juga banyak terdapat lorong-lorong bawah tanah yang saling berhubungan antara wilayah timur, wilayah barat, wilayah utara dan wilayah selatan. Lorong-lorong bawah tanah ini juga melewati kawasan bawah laut. Lorong-lorong bawah tanah ini sebagai jalur air agar tidak terkena banjir, dan sebagai jalur lahar gunung api jika terjadi tumpahan lahar, selain itu juga sebagai jalan rahasia untuk menyelamatkan diri jika terjadi penyerangan dari negeri lain.
Menurut Pliny, ketika masa pemerintahan Raja Claudius di Romawi tahun 41 – 54 Masehi, seorang budak yang telah bebas, bernama Annius Plocamus, yang bertugas bertani untuk kas pendapatan Laut Merah, saat berlayar di sekitar Arabia terbawa oleh angin kencang dari arah sebelah utara Carmania. Selama 15 hari ia terdampar di Hippuri, yaitu nama sebuah pelabuhan di selatan negeri Tampun Roban yang sekarang disebut Banjar Masin. Selama di negeri Tampun Roban, Annius Plocamus diterima secara manusiawi dan dengan hormat disambut oleh Miharaja Tampun Roban. Annius Plocamus memerlukan waktu selama enam bulan untuk mempelajari bahasa negeri Tampun Roban. Terlebih lagi, Miharaja Tampun Roban sangat terkesan dengan karakter yang agung dan sangat berwibawa.
Annius Plocamus tetap tinggal disana untuk beberapa waktu lebih lama, kemudian ia meminta kepada Miharaja Tampun Roban agar diizinkan mengajak beberapa orang dari Tampun Roban ke Romawi untuk berkenalan dengan pemerintahnya, sekaligus untuk melihat kondisi negeri Romawi. Miharaja Tampun Roban akhirnya mengizinkannya dan Annius Plocamus kemudian membawa utusan dari Tampun Roban ke Romawi, yang terdiri dari 4 orang dan dipimpin oleh seorang petinggi Tampun Roban yang bernama Cinga’ Rachia atau Singa Rachia.
Strabo mengumpulkan banyak informasi terinci dari utusan Tampun Roban yang dipimpin oleh Cinga’ Rachia atau Singa Rachia itu. Di negeri Tampun Roban terdapat sebuah danau di pedalamannya dengan kelilingnya 375 mil, tempat asalnya yaitu sungai yang mengalir melalui kota dan terdiri dari 3 saluran, yang tersempit 5 stadia lebarnya dan yang terlebar 15 stadia.
Aliran sungai ini bermuara ke utara menuju pantai besar. Banyak terdapat emas, intan, karang, mutiara dan batu mulia. Tanahnya sangat subur dan digarap dengan cermat. Masyarakat negeri Tampun Roban menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam berburu harimau dan gajah, sangat gemar memancing dan menangkap kura-kura yang cangkangnya begitu besar, saking besarnya kura-kura tersebut sehingga dibawah cangkangnya dapat menjadi tempat tinggal orang dan seluruh keluarga. Negeri dan rakyatnya adalah maritim dan mereka sangat komersial serta gemar bernyanyi dan menari.
Negeri Tampun Roban mengalami dua musim panas dan dua musim dingin, karena mengangkangi kedua sisi garis khatulistiwa. Rakyat Tampun Roban dapat melihat bintang-bintang utara, dan matahari terbit di sebelah kiri dan tenggelam di sebelah kanan. Banyak terdapat pulau dengan air lautnya yang dangkal, tidak lebih dari 6 langkah, tetapi pada tempat tertentu kedalamannya luar biasa.

Ringkasan Buku Nan Sarunai

Minggu, 05 November 2017

ASAL MUASAL ORANG MELAYU PONTIANAK

ASAL MUASAL ORANG MELAYU PONTIANAK
Pada tahun 1305 Masehi, Raja Dharmasraya mengutus pasukan untuk menyelamatkan Raja Jambi yang kerajaannya sedang di landa peperangan. Tapi pasukannya ini salah memilih jalan, mereka malah tiba di Kerajaan Siak yang juga sedang dilanda peperangan. Rombongan pasukan Dharmasraya ini tidak pernah kembali ke Dharmasraya. Raja Dharmasraya kemudian meminta bantuan Sayyid Kubu di Kerajaan Solot. Sayyid Kubu terkenal ahli melacak jejak dan membangun benteng dari tanah yang disebut Kubu. Pasukan Dharmasraya berhasil ditemukan Sayyid Kubu di Bukit Dua Belas bersama Raja Tanjung Pura Siak Bahulun dan pasukan Siak.
Siak Bahulun adalah anaknya Raja Siak yang menikah dengan Ratu Betung, Ratu Tanjung Pura. Ratu Betung adalah keturunan Raja Tanjung Pura bernama Hyang Ta. Wafatnya Raja Hyang Ta tidak meninggalkan keturunan laki-laki sehingga untuk beberapa generasi Kerajaan Tanjung Pura di perintah oleh seorang Ratu. Ketika Ratu Betung menaiki tahta, suaminya Siak Bahulun yang lebih banyak memimpin Tanjung Pura.
Kepemimpinan seorang Ratu di Tanjung Pura bukan hanya terjadi setelah wafanya Raja Hyang Ta. Ketika Raja Tanjung Pura bernama Krisyna Pandita wafat, juga tidak mewariskan keturunan laki-laki. Pemerintahan di Kerajaan Tanjung Pura kemudian dilanjutkan oleh Putrinya Krisyna Pandita. Kemudian berlanjut kepada Cucu Perempuan Krisyna Pandita yang menikah dengan putra bungsu Sang Purba bernama Sang Satiaka.
Sang Purba merupakan anaknya Nila Pahlawan yaitu Raja Minangkabau yang menikah dengan Putrinya Nila Utama yaitu Raja Palembang. Dari pernikahan Sang Purba dan Putrinya Nila Utama di anugerahi empat orang putra, yang pertama dinamai Sang Maniaka menjadi Raja di Bintan. Putra kedua Sang Jaya Mantaka. Putra ketiga Sang Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka yang menikah dengan Cucu perempuan Krisyna Pandita Raja Tanjung Pura.
Dari pernikahan Cucu Perempuan Krisyna Pandita dengan Sang Satiaka lahirlah seorang putri bernama Ratu Cuka yang kemudian melanjutkan memimpin Kerajaan Tanjung Pura. Ratu Cuka selanjutnya menikah dengan Pangeran Bintan Putin anaknya Sang Maniaka Raja Bintan. Setelah menikah Ratu Cuka bergelar Ratu Bintan Cuka.
Dari pernikahan Ratu Bintan Cuka dan Pangeran Bintan Putin lahirlah seorang putra bernama Hyang Ta. Dengan lahirnya Hyang Ta, Kerajaan Tanjung Pura kembali di pimpin oleh seorang Raja. Namun Raja Hyang Ta tidak memiliki keturunan laki-laki hingga ke Cicitnya, sehingga beberapa generasi Kerajaan Tanjung Pura di pimpin oleh seorang Ratu. Dari Cicit Raja Hyang Ta lahirlah Ratu Betung yang kemudian menikah dengan Putra Raja Siak bernama Siak Bahulun.
Bertemunya rombongan pasukan Kerajaan Dharmasraya dengan Sayyid Kubu menimbulkan masalah baru, karena ternyata rombongan pasukan Dharmasraya ini telah salah melaksanakan tugas dari Raja Dharmasraya. Pada waktu itu Raja Dharmasraya mengutus rombongan pasukannya untuk menyelamatkan Raja Kerajaan Jambi yang sedang berperang. Tapi rombongan pasukan ini salah memilih jalan, mereka malah tiba di wilayah Kerajaan Siak yang juga sedang dilanda perang. Pada masa itu, Kemaharajaan Sriwijaya sedang mengalami keruntuhan. Runtuhnya Kemaharajaan Sriwijaya di Sumatera ini akibat serangan dari Kerajaan Wilwatikta atau Majapahit yang di bantu oleh Kerajaan Chola dan berimbas terjadinya peperangan diantara kerajaan-kerajaan yang bernaung dibawah Sriwijaya, diantaranya adalah Kerajaan Jambi dan Kerajaan Siak. Pasukan Dharmasraya salah melaksanakan tugas karena mengira Siak Bahulun adalah Raja Jambi. Karena telah salah melaksanakan tugasnya, maka pasukan Dharmasraya tidak berani pulang ke Dharmasraya karena merasa malu dan takut di hukum oleh Raja Dharmasraya.
Selanjutnya sebagian pasukan Dharmasraya memutuskan mengikuti Siak Bahulun ke Tanjung Pura bersama Sayyid Kubu yang juga sedang mencari rombongan Aji Melayu dari Kerajaan Sangkra, sedangkan yang lainnya menetap di Bukit Dua Belas. Namun di wilayah lautan Kalimantan, kapal rombongan tersebut terserang badai dan terdampar di wilayah Pantai Kakap.
Mereka kemudian menetap sementara waktu di wilayah Pantai Kakap sambil memperbaiki kapal yang rusak. Namun pemukiman mereka di serang Adik kembar Ratu Betung yang bernama Pangeran Sidang Penape atau Kenyanye, yang juga merupakan Raja Bajak Laut bergelar Kapkap, yang bermarkas di pulau Maya Karimata dan Tanjung Salai.
Pemukiman rombongan Sayyid Kubu dan Siak Bahulun yang merupakan rombongan pasukan Dharmasraya dan Siak diserang Pangeran Sidang Penape menggunakan meriam yang disebut Cetbang, sehingga mereka tercerai berai. Siak Bahulun tertangkap oleh pasukan bajak lautnya Pangeran Sidang Penape, yang kemudian diselamatkan oleh Singa Pati Bangi. Sedangkan Sayyid Kubu dan beberapa orang pengikutnya berhasil menyelamatkan diri di wilayah yang sekarang disebut Kubu. Adapun tempat itu disebut Kubu karena terdapat benteng dari tanah yang dibangun Sayyid Kubu untuk bersembunyi dari kejaran pasukan bajak lautnya Pangeran Sidang Penape.
Sebagian rombongan pasukan Dharmasraya dan Siak yang berhasil menyelamatkan diri kemudian membangun pemukiman baru di wilayah yang sekarang ini disebut Jeruju. Rombongan pasukan dari Dharmasraya dan Siak di Jeruju ini menjadi asal muasal Orang Melayu Pontianak.
Adapun wilayah yang ditempati oleh rombongan pasukan Dharmasraya dan Siak disebut Jeruju karena wilayah itu banyak terdapat tumbuhan Jeruju atau Acanthus Ilicifolius. Tumbuhan Jeruju memiliki batang yang bulat silindris, daunnya memanjang, berduri panjang dan runcing serta berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Duri-duri tumbuhan Jeruju ini yang digunakan oleh rombongan dari Dharmasraya dan Siak sebagai senjata ketika menaklukkan Bangsa Pontiant yang selanjutnya merebut wilayah Daratan yang sekarang disebut Sheng Hie. Karena datang dari wilayah yang dipenuhi tumbuhan Jeruju dan menggunakan senjata dari duri-duri tumbuhan Jeruju sehingga mereka disebut sebagai Orang Jeruju. Dari bahasa Orang-orang Jeruju ini yang merupakan pencampuran antara bahasa Orang Dharmasraya dan Siak yang kemudian menjadi bahasa Melayu Pontianak.
Selanjutnya, pada tahun 1320 Masehi, Orang-orang Jeruju yang dipimpin oleh seseorang bergelar Datuk Panglima Jeruju Merah menyerang pemukiman Bangsa Pontiant di Daratan Sheng Hie. Bangsa Pontiant ini telah menempati wilayah Daratan Sheng Hie sejak abad ke-9 Masehi. Bangsa Pontiant pada masa tersebut dipimpin oleh Lau Biqiun. Akibat serangan itu, Bangsa Pontiant menyingkir dari wilayah daratan Sheng Hie dan mengungsi ke Banokng, yaitu tempat istrinya Lau Biqiun yang bernama Dara Ollakng. Dara Ollakng adalah putrinya Singa Takalokng Banokng, yang juga merupakan cucuknya Harakng Batur, yaitu saudara kandungnya Raja Agokng Amalo’ Batur, Raja terakhir Negeri Thang Raya.

ASAL MUASAL TUGU KHATULISTIWA PONTIANAK

ASAL MUASAL TUGU KHATULISTIWA PONTIANAK

Pada permulaan tahun 1700-an Masehi, Bangsa Pontiant yang telah bermukim di sepanjang Daratan Sheng Hie sejak abad ke-9 Masehi terkena bencana berupa bayi-bayi yang baru dilahirkan sering menangis berkepanjangan tanpa diketahui sebabnya dan tiba-tiba berhenti. Ketika tangisan berhenti, mereka dapati bayi-bayi itu telah menghilang begitu saja tanpa diketahui kemana perginya. Bencana tersebut terjadi hingga bertahun lamanya.
Peristiwa itu tersebar hingga ke penjuru wilayah sehingga kejadian bayi yang berhenti menangis dan tiba-tiba menghilang ini disebut orang sebagai “Pontiant Anak” yang artinya “Anak Bangsa Pontiant Menghilang”. Namun ada juga yang mengartikan sebagai “Anak Dalam Ayunan Berhenti Menangis”. Peristiwa yang terjadi selama bertahun itu menyebabkan masyarakat Bangsa Pontiant tidak bertambah. Demong Pontiant pada masa itu telah berusaha untuk menangkal bencana tersebut, namun segala usaha dan upayanya selalu gagal, bahkan bencana tersebut makin tidak terkendali.
Akibatnya adalah Bangsa Pontiant semakin tahun semakin berkurang karena meninggal dunia, sedangkan bayi-bayi yang diharapkan sebagai penerus keturunan Bangsa Pontiant sering menghilang begitu saja ketika sedang dalam ayunan. Bahkan sebagian orang-orang Pontiant yang tidak tahan dengan kondisi itu kemudian memutuskan meninggalkan tempat itu, sehingga Bangsa Pontiant semakin sedikit.
Berdasarkan petunjuk dari Pemangku adat Bangsa Pontiant, bahwa bayi-bayi mereka sering menghilang dalam ayunan secara ghaib karena diambil oleh mahkluk-makhluk halus. Untuk sebab musabab munculnya bencana makhluk halus itu terdapat riwayat yang menyatakan bahwa awal mulanya ketika sekelompok Orang-orang Jeruju yang pada masa tersebut telah bermukim di wilayah pedalaman Jeruju mencari intan. Menurut petunjuk yang telah mereka dapatkan bahwa diseberang daratan Jeruju terdapat intan yang tertimbun tanah. Orang-orang Jeruju itu kemudian pergi ke seberang daratan yang sekarang telah dibangun tugu Khatulistiwa. Daratan itu mereka gali, dan intan yang mereka maksudkan berhasil mereka dapatkan dalam sebuah lubang yang tertimbun tanah. Intan yang berhasil ditemukan oleh Orang-orang Jeruju dalam bentuk bongkahan yang sangat besar. Setelah mereka mengambil intan tersebut, maka terjadilah bencana yang kemudian menimpa Bangsa Pontiant.
Sementara itu di Negeri Matan Tanjungpura kedatangan seorang Ulama bernama Habib Husein AlQadri. Suatu hari Sultan Matan mengadakan perjamuan. Dalam acara perjamuan itu terjadi peristiwa Saiyid Hasyim AlYahya merusak sebuah kacip besi berukiran kepala ular.
Kacip yang telah patah tersebut diambil oleh Habib Husein AlQadri, kemudian kacip tersebut ia usap-usap dengan air liurnya sehingga kacip yang patah itu kembali utuh sediakala. Kejadian karomah Habib Husein AlQadri itu tersiar ke pelosok negeri, hingga terdengar juga oleh Bangsa Pontiant di Daratan Dermaga Sheng Hie. Demong Pontiant kemudian mengirim beberapa orang utusan untuk menemui Habib Husein AlQadri guna menolong mengatasi bencana yang telah menimpa mereka. Rupanya tidak seorang pun dari mereka yang mengerti arah menuju Negeri Matan Tanjung Pura. Namun Pemangku adat Bangsa Pontiant membekali mereka dengan nasi yang dibungkus dengan daun dan berpesan bahwa jika bungkusan itu terbuka maka disitulah tempat yang mereka tuju.
Maka berangkatlah beberapa orang utusan Bangsa Pontiant tersebut. Namun di tengah perjalanan para utusan ini tersesat. Berhari-hari mereka mendayung sampan hingga di suatu tempat mereka dapati bungkus nasi tersebut sedikit terbuka. Mereka beranggapan barangkali ditempat tersebut lah keberadaan Habib Husein AlQadri.
Selanjutnya mereka tambat sampan-sampan mereka dan berjalan melintasi daratan. Namun telah jauh mereka berjalan tapi tidak juga memukan negeri yang dicari. Hingga mereka merasakan kehausan dan menemukan sebuah air terjun yang sangat bening airnya. Mereka kemudian meminum air tersebut. Setelah puas minum, kembali mereka dapati bungkusan yang mereka bawa telah terbuka lebar. Tempat air terjun itu kemudian mereka sebut sebagai “Pontiant Tapau” yang berarti “Bungkusan Nasi Orang Pontiant”. Mereka selanjutnya menetap di tempat itu dan tidak pernah kembali ke tempat asal mereka.
Sementara itu, bertahun sudah Bangsa Pontiant menunggu kedatangan para utusan yang mereka kirim untuk meminta bantuan Habib Husein AlQadri di Negeri Matan Tanjung Pura namun yang di tunggu tidak juga kembali. Akhirnya mereka kembali mengirim utusan untuk pergi ke Negeri Matan Tanjung Pura.
Utusan kedua ini berangkat dan bernasib baik karena berhasil menemukan Negeri Matan Tanjung Pura. Namun para utusan kedua ini terpaksa menelan kekecewaan karena Habib Husein AlQadri ternyata telah berhijrah ke Negeri Mempawah. Utusan kedua itu kembali ke tempat asalnya dan menyampaikan berita bahwa Habib Husein AlQadri sekarang berada di Negeri Mempawah. Tanpa buang waktu, maka Demong Pontiant segera mengirim beberapa orang utusan menuju Negeri Mempawah.
Orang-orang utusan dari Demong Pontiant tersebut akhirnya berhasil bertemu dengan Habib Husein AlQadri yang pada saat itu baru beberapa bulan menetap di Negeri Mempawah. Para utusan Bangsa Pontiant kemudian menyampaikan permasalahan berupa bencana bayi-bayi sering menangis berkepanjangan kemudian menghilang secara ghaib yang terjadi selama bertahun-tahun. Mereka berharap Habib Husein AlQadri bersedia menolong melepaskan bencana yang telah bertahun mereka alami. Selanjutnya Habib Husein AlQadri berangkat bersama para utusan Bangsa Pontiant menuju daerah Daratan Dermaga Sheng Hie. Sesampainya disana, Habib Husein AlQadri mendapati begitu banyak makhluk halus yang telah mengganggu dan mencuri bayi-bayi Bangsa Pontiant yang baru dilahirkan.
Gangguan makhluk-makhluk halus tersebut sangat dahsyat. Dan dalam tafakurnya, Habib Husein AlQadri mendapat petunjuk untuk mencari Tiang Cahaya Penyangga Langit dan melaksanakan ibadah ditempat itu. Karena hanya dengan berdo’a dari tempat itu saja para makhluk halus itu dapat di usir dari kawasan itu. Habib Husein AlQadri bersama Demong Pontiant dan beberapa orang Bangsa Pontiant selanjutnya mencari Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut. Pada hari Isnin tanggal 18 Jumadil Tsani 1160 Hijriah atau bertepatan tanggal 26 Juni 1747 Masehi, Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut ditemukan. Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut keluar dari sebuah lubang besar didaratan bekas tempat Orang-orang Jeruju menggali intan.
Habib Husein AlQadri kemudian beribadah dan berdo’a di tempat itu. Selepas beribadah, bayi-bayi Bangsa Pontiant tidak lagi menangis berkepanjangan dan tidak lagi menghilang secara ghaib. Makhluk halus juga tidak lagi mengganggu masyarakat Bangsa Pontiant dan bencana yang mereka alami terhenti.
Habib Husein AlQadri kemudian menutup lubang besar bekas galian intan itu dan menancapkan sebatang kayu besar di tempat keluarnya Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut dan menamakannya dengan “Pontiant Anak” atau sekarang disebut “Pontianak”. Atas jasanya yang telah berhasil menghilangkan bencana yang menimpa Bangsa Pontiant, maka Raja Landak pada masa itu yang bernama Raja Tua atau bergelar Raja Sanca Nata Kusuma Tua memberikan wilayah Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut kepada Habib Husein AlQadri. Wilayah ini saat sekarang lebih di kenal dengan sebutan Batu Layang. Sebatang kayu besar yang ditancapkan Habib Husein AlQadri untuk sekarang ini telah menjadi Tugu Khatulistiwa Pontianak.
Beberapa puluh tahun kemudian yaitu pada tanggal 31 maret 1928, batang kayu besar yang ditancapkan oleh Habib Husein AlQadri ditambah dengan tanda panah oleh Tim Ekspedisi Geografi Internasional. Hal itu berdasarkan catatan dari Van En W oleh Opzihter Wiese yang dikutip dari Bijdragentot de Geographie dari Chep Van den topographieschen dient in Nederlandsch Indie tahun 1941, bahwa Den 31 Sten Maart 1928 telah datang ekspedisi internasional di Pontianak yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda, yang bertujuan meneliti kayu besar yang berdiri tegak di Siantan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan penentuan titik atau tonggak garis khatulistiwa di Pontianak. Pada saat itu metode yang dipergunakan oleh tim ekspedisi internasional adalah metode Astronomi dan ilmu Falaq yaitu berpatokan pada benda-benda alam seperti rasi bintang.
Pada tahun 1930, batang kayu besar disempurnakan berbentuk tonggak, lingkaran dan tanda panah. Pada tahun 1938 dikembangkan lagi bentuk dan maknanya oleh F Silaban. Bangunan inilah yang sekarang disebut tugu Khatulistiwa, yang berbentuk empat kayu belian berwarna hitam pekat berukuran sekitar 30 cm. Dua yang didepan mengarah ke barat tercatat memiliki tinggi 3,05 meter. Dua dibagian belakangnya setinggi 4,40 meter dan menopang tiga rangkaian lingkaran. Sebuah anak panah berukuraan 2,15 meter yang menunjukkan arah barat seolah menembus rangkaian lingkaran tersebut. Di bawah anak panah terdapat sebuah plat bertuliskan 1090 20’ OLv Gr, yang artinya garis di Khatulistiwa di kota Pontianak bertepatan dengan 109 derajat  garis Bujur Timur 20 Menit. 00 detik GMT. Pada lingkaran terluar di sisi bagian atas terdapat tulisan Euenaar, begitu juga di bawahnya.
Pada tahun 1990, Tugu Khatulistiwa direnovasi dan di kembangkan dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli. Di atas bangunan kubah dibuat duplikat tugu dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu yang aslinya. Di dalam kubah duplikat bangunan ini juga terdapat penjelasan sejarah, foto-foto serta informasi yang berkenaan dengan titik kulminasi tugu ini.
Pada Maret 2005, Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan penelitian dengan menggunakan alat dan tekhnologi terbaru dalam menentukan lokasi titik nol garis Khatulistiwa Pontianak. Hasilnya menunjukkan, posisi tepat Tugu Khatulistiwa saat ini berada pada 0 derajat, 0 menit, 3,809 detik lintang utara dan 109 derajat, 19 menit, 19,9 detik bujur timur. Sementara posisi 0 derajat, 0 menit dan 0 detik ternyata melewati taman atau tepatnya 117 meter ke arah Sungai Kapuas atau arah Selatan dari tugu.
Posisi titik perpotongan antara pusat matahari dengan garis khatulistiwa berada pada posisi 1090 2011 dan 00″ Bujur T, atau yang dikenal dengan titik kulminasi ini secara tepat hanya terjadi pada dua kesempatan, yaitu pada tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September setiap tahunnya. Di dua kesempatan tersebut, terjadi fenomena alam yang unik, dimana menjelang tengah hari semua benda yang tegak berdiri di sekitar tugu tidak memiliki bayangan. Pada saat fenomena alam yang unik ini terjadi selalu diadakan festival titik kulminasi di Pontianak.

GUNUNG TIONG KANDANG : ASAL MUASAL ORANG MANGKIT

GUNUNG TIONG KANDANG
ASAL MUASAL ORANG MANGKIT

Gunung Tiong Kandang terletak di Desa Temiang Mali Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau. Di Gunung Tiong Kandang terdapat dusun yang bernama Dusun Mangkit, yang merupakan tempat pemukiman orang-orang Mangkit. Orang-orang Mangkit dahulunya adalah Bangsa Gholiks yang bermukim di negeri Thang Raya, yang pada zaman dahulunya terletak di kaki Gunung Niut. Ketika terjadi letusan Gunung Niut, beberapa kelompok Bangsa Gholiks menyelamatkan diri ke Gunung Tiong Kandang. Mereka merupakan kelompok pasukan perang negeri Thang Raya yang sangat handal memanjat dan mengendarai gajah sehingga disebut Mangkit.




SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...