Asal Mula Nama Gunung Tiong Kandang
Pada zaman purbakala dahulu, pulau Kalimantan ini adalah
lautan luas, daratan yang terlihat hanyalah beberapa gunung tinggi dan puncak
anak-anaknya yang salah satunya adalah Gunung Niut. Adapun Gunung Niut puncaknya
menjulang tinggi hingga ke awan dan memiliki beberapa anak gunung yang
diantaranya adalah Gunung Tiong Kandang dan Gunung Lancak.
Diatas Gunung Lancak terdapat sebuah kampung
yang besar bernama Kampung Lancak. Di kampung itu terdapat seorang kaya raya
bernama Linggi yang tinggal bersama ibunya. Harta kekayaan Linggi didapatkannya
dari warisan ayahnya. Linggi memiliki perilaku yang buruk. Pekerjaan yang
disenangi Linggi setiap harinya hanyalah bermain judi dan menyabung ayam
sehingga harta peninggalan ayahnya itu habis akibat kegemarannya tersebut.
Pada suatu hari ibunya berkata kepadanya,
“Linggi...”, kata ibunya, “berhentilah engkau berbuat pekerjaan yang tidak baik
itu, karena berjudi dan menyabung ayam adalah pekerjaan yang buruk dan hanya
menyia-nyiakan harta dan waktumu saja. Apalagi harta warisan ayahmu itu tinggal
sedikit karena pekerjaan burukmu itu”, kata ibunya lagi menasehati Linggi.
Mendapatkan nasehat dari ibunya tersebut membuat Linggi
menjadi gusar, ia tidak terima di nasehati demikian. Linggi pun menjawab
perkataan baik ibunya tersebut dengan kasar sehingga membuat ibunya marah dan
berkata, “baiklah jika engkau tidak mau mendengarkan nasehat ibu. Lebih baik
engkau pergi saja dari kampung ini daripada engkau terus menerus berbuat
hal-hal yang tidak baik dalam kampung ini”, kata ibunya dengan kesal.
Mendengar perkataan ibunya yang telah kesal itu membuat
Linggi semakin tidak senang dan ia pun pergi meninggalkan ibunya begitu saja
tanpa lagi menghiraukan perkataan ibunya yang telah kesal melihat perilaku
buruknya itu. Hingga suatu hari, Linggi hendak bermain judi dan menyabung ayam,
namun tidak ada lagi harta dari warisan ayahnya yang bisa ia pertaruhkan. Ia
membongkar segala benda di rumahnya yang dapat ia jadikan bahan taruhan, namun
tidak ada lagi barang berharga yang tersisa. Ia hanya menemukan segenggam asam
kandis saja yang merupakan bahan masakan milik ibunya.
Karena kuatnya kegemaran berjudi dan menyabung ayam, segenggam
asam kandis itu pun dibawanya juga untuk bahan taruhan. Sedangkan asam kandis tersebut
adalah benda milik ibunya yang sering dipergunakan sebagai bahan untuk memasak
makanan. Setelah Linggi pergi membawa segenggam asam kandis tersebut untuk
bahan taruhan berjudi dan menyabung ayam, maka ibunya Linggi pulang ke rumah.
Ibunya tersebut akan memasak makanan, namun ia tidak menemukan segenggam asam
kandis yang selalu disimpannya. Maka terbesitlah perasaan bahwa barangkali
segenggam asam kandis tersebut telah diambil oleh Linggi sebagai bahan taruhan
berjudi dan menyabung ayam. Akibat perasaan tersebut, ibunya Linggi semakin
kecewa dan marah, ia pun tidak jadi untuk memasak makanan.
Menjelang petang, Linggi pun pulang ke rumah setelah puas
berjudi dan menyabung ayam. Tanpa rasa bersalah Linggi langsung saja membuka
tudung saji untuk mencari makanan karena perutnya telah lapar, namun didalam
tudung saji tersebut tidak ada sedikitpun makanan karena ibunya tidak bisa
memasak makanan hari itu. Linggi pun menjadi marah dan membuang tudung saji
itu.
Mendengar suara ribut di dapur, maka ibunya
Linggi yang sedang berada di dalam biliknya segera keluar dan pergi ke dapur.
Maka terlihatlah oleh ibunya bahwa tudung saji telah tergeletak di lantai,
sehingga marah lah ibunya itu kepada Linggi, “apa yang engkau cari Linggi?
tidak ada makanan hari ini, karena asam kandis punya ibu untuk bahan memasak
makanan telah engkau ambil!”, kata ibunya sambil mengambil tudung saji yang
tergelatak di lantai.
Mendapatkan jawaban ibunya seperti itu,
membuat Linggi semakin marah. Ia pun mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat
ibunya hilang kesabaran dan melemparkan tudung saji itu sehingga tersungkuplah
kepala Linggi sambil berkata, “dasar anak Tiong! semoga Tuhan melipat lidahmu
hingga keluh”.
Pada masa dahulu, orang tua yang sangat marah
akan mengeluarkan kalimat “dasar anak Tiong!”, yang berarti bahwa orang tua itu
sudah hilang kesabarannya karena si anak tidak mau mendengar kata-kata orang
tuanya. Anak yang selalu membantah perkataan orang tuanya akan disamakan dengan
burung Tiong yang bersuara ribut dan nyaring serta tidak bisa diam. Dan burung
Tiong akan diam atau dapat diatur agar tidak selalu bersuara nyaring dan ribut
jika sudah keluh atau kaku lidahnya. Makanya orang tua yang telah marah kepada
anak-anak mereka yang selalu membantah akan berkata “semoga Tuhan melipat
lidahmu hingga keluh”.
Linggi yang telah tersungkup tudung saji dan
di sumpah ibunya agar seperti burung Tiong yang keluh atau kaku lidahnya tidak
terima dengan sumpah ibunya tersebut. Ia kemudian pergi dari rumahnya dan
mencari sebuah sampan kecil untuk pergi meninggalkan kampungnya tersebut.
Ketika mencari sebuah sampan kecil, Linggi sempat membawa barang-barang
perbekalan dan makanan untuk bekalnya dalam perjalanan. Maka pada saat itu juga
ia mengayuh sampannya dengan fikiran yang kusut dan hati yang berat pergi meninggalkan
kampung halaman tempat tumpah darahnya dan tempat ia dilahirkan.
Setelah beberapa hari lamanya Linggi terapung-rapung
ditengah lautan dengan tidak tentu tujuan dan haluannya, maka pada suatu hari
ia terdampar ditepi sebuah pulau yang tidak dikenalinya. Maka terfikirlah
Linggi tentang nasibnya tersebut, bahwa daripada ia terkatung-katung ditengah
lautan yang tidak tentu arah tujuan, akan lebih baik jika ia mengadu nasib di
daratan pulau tersebut jika ia dapat bertemu dengan perkampungan manusia
ataupun perkampungan Dewa. Linggi berkata pada dirinya sendiri bahwa ia hanya
menyiksa dirinya saja jika terus terkatung-katung ditengah lautan.
Linggi terus berkata dalam hatinya, jika
nasibnya baik tentu ia akan mendapatkan kehidupan yang baik, tapi jika nasibnya
tidak baik, maka bisa saja ia mati di tengah lautan. Demikianlah Linggi berkata
dalam hatinya yang sedang kebingungan itu. Maka dengan tekad yang kuat hendak
mengadu nasib ke daratan, Linggi pun segera mengemas barang-barangnya dan turun
ke daratan. Linggi berjalan melewati gunung dan lembah tanpa arah yang pasti.
Setelah beberapa hari ia berjalan melintasi
daratan, atas takdir Tuhan Yang Maha Kuasa maka bertemulah ia dengan sebuah
kampung. Sesampainya di kampung itu, Linggi mencoba bertamu pada sebuah rumah
yang dihuni oleh tiga orang yaitu seorang bapak dan ibu serta seorang anak
gadisnya. Linggi selanjutnya dengan sopan menyapa yang punya rumah, dan si
bapak pemilik rumah dengan ramah mempersilahkan Linggi masuk ke rumahnya.
Melihat Linggi bukan berasal dari kampungnya,
maka bertanyalah si bapak kepada Linggi, “Tuan juragan datang dari mana?
Siapakah nama tuan juragan ini dan berasal dari mana?”, si bapak pemilik rumah
bertanya dengan ramah.
“Saya bernama Linggi dan datang dari tanah
seberang. Negeri saya bernama Lancak”, jawab Linggi dengan sopan. “Bapak siapa
namanya? Kampung apakah ini?”, tanya Linggi kepada si bapak pemilik rumah.
“Nama saya Wasesa, istri saya bernama Serinah
dan anak perempuan saya ini bernama Galuh”, jawab si bapak.
“Adapun kampung ini bernama kampung Karang
Wangi dan negerinya bernama Pasundan”, sambung si bapak itu lagi. Selanjutnya
berbincang-bincang lah mereka tentang hal ikhwal masing-masing.
Sekian lama berbincang-bincang, terbitlah
keinginan Linggi untuk tinggal di rumah tersebut. Selain itu, rupanya selama berbincang-bincang
dengan si bapak pemilik rumah, Linggi selalu melirik anak gadis bapak itu.
Linggi pun merasa jatuh hati dan mencoba mengutarakan perasaannya kepada si
bapak pemilik rumah. Linggi menyampaikan keinginannya untuk tinggal di rumah
tersebut dan melamar Galuh, anak gadis bapak tersebut. Keinginan Linggi itu
dikabulkan oleh bapak tersebut. Maka sejak itu, tinggallah Linggi di rumah
tersebut, dan beberapa hari kemudian Linggi dinikahkan dengan Galuh.
Setelah menikah dan tinggal bersama Wasesa,
Linggi diajarkan berladang dan membuat sawah. Tekad Linggi yang kuat untuk
merubah nasib hidupnya, dan rasa cintanya yang mendalam kepada Galuh, membuat
Linggi belajar dengan tekun cara berladang dan membuat sawah. Linggi bekerja
keras mengurus ladang dan sawahnya. Berkat ketekunannya itu, ladang dan
sawahnya mendapat hasil yang berlimpah. Ia kemudian menjadi orang terkaya di
kampung tersebut. Pada suatu hari Linggi dan istrinya sedang duduk di beranda
rumahnya. Maka berkatalah Linggi kepada istrinya bahwa ia terpikir untuk pulang
ke kampung halamannya.
Linggi merasakan kerinduan pada ibunya di Kampung
Lancak yang telah lama ia tinggalkan. Dan ia berniat untuk pulang melihat
ibunya tersebut. Ia pun mengutarakan untuk membawa serta istrinya ke Kampung
Lancak untuk bertemu dengan ibunya. Istrinya menyetujui keinginan Linggi itu.
Dan beberapa hari berikutnya, berangkatlah Linggi dan istrinya ke Kampung
Lancak menggunakan sebuah Ajong atau kapal layar besar. Linggi yang telah
menjadi orang kaya raya itu membawa banyak anak buah untuk mengemudikan Ajong
besarnya tersebut.
Dalam Ajong besarnya, Linggi memuat berbagai
barang dagangan yang akan dijualnya jika bertemu perkampungan penduduk dalam
perjalanan. Linggi juga memuat berbagai barang berharga yang mahal harganya
untuk nanti dijual di kampungnya. Pada bagian hulu Ajong, disangkutkannya
sebuah sangkar yang berisi dua ekor burung, yaitu seekor burung Tiong atau
burung Beo dan seekor burung Kandang atau burung Murai.
Sangkar kedua ekor burung itu disangkutkannya
di hulu Ajong untuk memberitahukan sesuatu yaitu burung Tiong akan berbunyi
jika Ajong melewati teluk dan tanjung, sehingga tahulah Linggi bahwa Ajongnya
itu sedang berada di sebuah teluk atau tanjung. Sedangkan burung Kandang akan
berbunyi nyaring pada waktu pagi hari sehingga anak buah Linggi yang
mengemudikan Ajong segera bangun dari tidurnya dan kembali mengemudikan
Ajongnya itu.
Setelah beberapa hari dalam perjalanan, Ajong
Linggi tiba di Kampung Lancak. Orang-orang kampung Lancak berkeluaran dari
rumah untuk melihat Ajong Linggi yang megah tersebut. Selain itu banyak juga
yang berkerumunan ingin membeli barang-barang yang dijual Linggi.
Diantara kerumunan penduduk itu, terdapat
seorang perempuan tua yang berusaha ingin melihat-lihat Ajong dan barang-barang
yang dijual Linggi. Perempuan tua tersebut sangat renta dan berpenampilan buruk
rupa, yang tidak lain adalah ibunya Linggi. Dia tertegun melihat kemegahan
Ajong dan banyaknya barang-barang berharga yang dibawa Linggi. Hingga ketika ia
mengamati rupa dan penampilan juragan Ajong, maka kenallah ia bahwa juragan
Ajong itu adalah anaknya sendiri yaitu Linggi yang telah bertahun lamanya pergi
dari kampungnya. Ia pun berteriak keras memanggil-manggil nama Linggi, “anakku
Linggi...! anakku Linggi...!”.
Linggi yang sedang bersama istrinya itu
mendengar teriakan tersebut. Namun ia terkejut ketika melihat rupa dan
penampilan ibunya tersebut telah sangat buruk dan tidak terurus. Sedangkan
dahulunya ibunya tersebut sangat cantik. Linggi pun merasa malu terhadap
istrinya karena melihat ibunya yang renta dan buruk itu. Untuk menutupi rasa
malunya, maka diusirlah ibunya itu dari Ajongnya. Namun ibunya tetap berkeras
berada di atas Ajong dan terus menerus berteriak memanggil nama Linggi.
Karena ibunya tidak juga mau turun dari
Ajongnya, maka ditendang dan dipukulnya ibunya tersebut hingga tersungkur.
Linggi bahkan menyuruh anak buahnya untuk memukul dan menyeret ibunya turun
dari Ajong hingga berdarahlah wajah dan tubuhnya.
Dengan bercucuran darah dan air mata, maka
berjalan pulanglah ibunya itu ke rumah yang sekarang telah menjadi gubuk reot.
Sesampainya di rumah, ibunya itu menangis sekeras-kerasnya sambil berkata,
“jika juragan Ajong itu memang benar Linggi anak kandungnya, maka tidak aku relakan
ia mengisap air susuku. Dan mudah-mudahan karam Ajongnya karena telah durhaka
kepadaku”.
Dengan takdir Yang Maha Kuasa, maka
bergemuruhlah kilat dan halilintar yang kemudian menyambar Ajong Linggi hingga
karam. Ketika Ajong tersebut karam, sangkar yang berisi burung Tiong dan
Kandang terbawa gelombang air dan tersangkut di dahan kayu sebuah gunung.
Selanjutnya gunung itu disebut Gunung Tiong Kandang. Sangkar itu hingga kini
masih terdapat di puncak Gunung Tiong Kandang dan telah menjadi batu bersama
serpihan pecahan Ajong Linggi yang telah menjadi empat buah batu yaitu Batu
Pengasih, Batu Peninjau, Batu Belawang dan Batu Pedagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar