Rabu, 15 November 2017

ASAL MULA NAMA GUNUNG TIONG KANDANG

Asal Mula Nama Gunung Tiong Kandang

Pada zaman purbakala dahulu, pulau Kalimantan ini adalah lautan luas, daratan yang terlihat hanyalah beberapa gunung tinggi dan puncak anak-anaknya yang salah satunya adalah Gunung Niut. Adapun Gunung Niut puncaknya menjulang tinggi hingga ke awan dan memiliki beberapa anak gunung yang diantaranya adalah Gunung Tiong Kandang dan Gunung Lancak.
Diatas Gunung Lancak terdapat sebuah kampung yang besar bernama Kampung Lancak. Di kampung itu terdapat seorang kaya raya bernama Linggi yang tinggal bersama ibunya. Harta kekayaan Linggi didapatkannya dari warisan ayahnya. Linggi memiliki perilaku yang buruk. Pekerjaan yang disenangi Linggi setiap harinya hanyalah bermain judi dan menyabung ayam sehingga harta peninggalan ayahnya itu habis akibat kegemarannya tersebut.
Pada suatu hari ibunya berkata kepadanya, “Linggi...”, kata ibunya, “berhentilah engkau berbuat pekerjaan yang tidak baik itu, karena berjudi dan menyabung ayam adalah pekerjaan yang buruk dan hanya menyia-nyiakan harta dan waktumu saja. Apalagi harta warisan ayahmu itu tinggal sedikit karena pekerjaan burukmu itu”, kata ibunya lagi menasehati Linggi.
Mendapatkan nasehat dari ibunya tersebut membuat Linggi menjadi gusar, ia tidak terima di nasehati demikian. Linggi pun menjawab perkataan baik ibunya tersebut dengan kasar sehingga membuat ibunya marah dan berkata, “baiklah jika engkau tidak mau mendengarkan nasehat ibu. Lebih baik engkau pergi saja dari kampung ini daripada engkau terus menerus berbuat hal-hal yang tidak baik dalam kampung ini”, kata ibunya dengan kesal.
Mendengar perkataan ibunya yang telah kesal itu membuat Linggi semakin tidak senang dan ia pun pergi meninggalkan ibunya begitu saja tanpa lagi menghiraukan perkataan ibunya yang telah kesal melihat perilaku buruknya itu. Hingga suatu hari, Linggi hendak bermain judi dan menyabung ayam, namun tidak ada lagi harta dari warisan ayahnya yang bisa ia pertaruhkan. Ia membongkar segala benda di rumahnya yang dapat ia jadikan bahan taruhan, namun tidak ada lagi barang berharga yang tersisa. Ia hanya menemukan segenggam asam kandis saja yang merupakan bahan masakan milik ibunya.
Karena kuatnya kegemaran berjudi dan menyabung ayam, segenggam asam kandis itu pun dibawanya juga untuk bahan taruhan. Sedangkan asam kandis tersebut adalah benda milik ibunya yang sering dipergunakan sebagai bahan untuk memasak makanan. Setelah Linggi pergi membawa segenggam asam kandis tersebut untuk bahan taruhan berjudi dan menyabung ayam, maka ibunya Linggi pulang ke rumah. Ibunya tersebut akan memasak makanan, namun ia tidak menemukan segenggam asam kandis yang selalu disimpannya. Maka terbesitlah perasaan bahwa barangkali segenggam asam kandis tersebut telah diambil oleh Linggi sebagai bahan taruhan berjudi dan menyabung ayam. Akibat perasaan tersebut, ibunya Linggi semakin kecewa dan marah, ia pun tidak jadi untuk memasak makanan.
Menjelang petang, Linggi pun pulang ke rumah setelah puas berjudi dan menyabung ayam. Tanpa rasa bersalah Linggi langsung saja membuka tudung saji untuk mencari makanan karena perutnya telah lapar, namun didalam tudung saji tersebut tidak ada sedikitpun makanan karena ibunya tidak bisa memasak makanan hari itu. Linggi pun menjadi marah dan membuang tudung saji itu.
Mendengar suara ribut di dapur, maka ibunya Linggi yang sedang berada di dalam biliknya segera keluar dan pergi ke dapur. Maka terlihatlah oleh ibunya bahwa tudung saji telah tergeletak di lantai, sehingga marah lah ibunya itu kepada Linggi, “apa yang engkau cari Linggi? tidak ada makanan hari ini, karena asam kandis punya ibu untuk bahan memasak makanan telah engkau ambil!”, kata ibunya sambil mengambil tudung saji yang tergelatak di lantai.
Mendapatkan jawaban ibunya seperti itu, membuat Linggi semakin marah. Ia pun mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat ibunya hilang kesabaran dan melemparkan tudung saji itu sehingga tersungkuplah kepala Linggi sambil berkata, “dasar anak Tiong! semoga Tuhan melipat lidahmu hingga keluh”.
Pada masa dahulu, orang tua yang sangat marah akan mengeluarkan kalimat “dasar anak Tiong!”, yang berarti bahwa orang tua itu sudah hilang kesabarannya karena si anak tidak mau mendengar kata-kata orang tuanya. Anak yang selalu membantah perkataan orang tuanya akan disamakan dengan burung Tiong yang bersuara ribut dan nyaring serta tidak bisa diam. Dan burung Tiong akan diam atau dapat diatur agar tidak selalu bersuara nyaring dan ribut jika sudah keluh atau kaku lidahnya. Makanya orang tua yang telah marah kepada anak-anak mereka yang selalu membantah akan berkata “semoga Tuhan melipat lidahmu hingga keluh”.
Linggi yang telah tersungkup tudung saji dan di sumpah ibunya agar seperti burung Tiong yang keluh atau kaku lidahnya tidak terima dengan sumpah ibunya tersebut. Ia kemudian pergi dari rumahnya dan mencari sebuah sampan kecil untuk pergi meninggalkan kampungnya tersebut. Ketika mencari sebuah sampan kecil, Linggi sempat membawa barang-barang perbekalan dan makanan untuk bekalnya dalam perjalanan. Maka pada saat itu juga ia mengayuh sampannya dengan fikiran yang kusut dan hati yang berat pergi meninggalkan kampung halaman tempat tumpah darahnya dan tempat ia dilahirkan.
Setelah beberapa hari lamanya Linggi terapung-rapung ditengah lautan dengan tidak tentu tujuan dan haluannya, maka pada suatu hari ia terdampar ditepi sebuah pulau yang tidak dikenalinya. Maka terfikirlah Linggi tentang nasibnya tersebut, bahwa daripada ia terkatung-katung ditengah lautan yang tidak tentu arah tujuan, akan lebih baik jika ia mengadu nasib di daratan pulau tersebut jika ia dapat bertemu dengan perkampungan manusia ataupun perkampungan Dewa. Linggi berkata pada dirinya sendiri bahwa ia hanya menyiksa dirinya saja jika terus terkatung-katung ditengah lautan.
Linggi terus berkata dalam hatinya, jika nasibnya baik tentu ia akan mendapatkan kehidupan yang baik, tapi jika nasibnya tidak baik, maka bisa saja ia mati di tengah lautan. Demikianlah Linggi berkata dalam hatinya yang sedang kebingungan itu. Maka dengan tekad yang kuat hendak mengadu nasib ke daratan, Linggi pun segera mengemas barang-barangnya dan turun ke daratan. Linggi berjalan melewati gunung dan lembah tanpa arah yang pasti.
Setelah beberapa hari ia berjalan melintasi daratan, atas takdir Tuhan Yang Maha Kuasa maka bertemulah ia dengan sebuah kampung. Sesampainya di kampung itu, Linggi mencoba bertamu pada sebuah rumah yang dihuni oleh tiga orang yaitu seorang bapak dan ibu serta seorang anak gadisnya. Linggi selanjutnya dengan sopan menyapa yang punya rumah, dan si bapak pemilik rumah dengan ramah mempersilahkan Linggi masuk ke rumahnya.
Melihat Linggi bukan berasal dari kampungnya, maka bertanyalah si bapak kepada Linggi, “Tuan juragan datang dari mana? Siapakah nama tuan juragan ini dan berasal dari mana?”, si bapak pemilik rumah bertanya dengan ramah.
“Saya bernama Linggi dan datang dari tanah seberang. Negeri saya bernama Lancak”, jawab Linggi dengan sopan. “Bapak siapa namanya? Kampung apakah ini?”, tanya Linggi kepada si bapak pemilik rumah.
“Nama saya Wasesa, istri saya bernama Serinah dan anak perempuan saya ini bernama Galuh”, jawab si bapak.
“Adapun kampung ini bernama kampung Karang Wangi dan negerinya bernama Pasundan”, sambung si bapak itu lagi. Selanjutnya berbincang-bincang lah mereka tentang hal ikhwal masing-masing.
Sekian lama berbincang-bincang, terbitlah keinginan Linggi untuk tinggal di rumah tersebut. Selain itu, rupanya selama berbincang-bincang dengan si bapak pemilik rumah, Linggi selalu melirik anak gadis bapak itu. Linggi pun merasa jatuh hati dan mencoba mengutarakan perasaannya kepada si bapak pemilik rumah. Linggi menyampaikan keinginannya untuk tinggal di rumah tersebut dan melamar Galuh, anak gadis bapak tersebut. Keinginan Linggi itu dikabulkan oleh bapak tersebut. Maka sejak itu, tinggallah Linggi di rumah tersebut, dan beberapa hari kemudian Linggi dinikahkan dengan Galuh.
Setelah menikah dan tinggal bersama Wasesa, Linggi diajarkan berladang dan membuat sawah. Tekad Linggi yang kuat untuk merubah nasib hidupnya, dan rasa cintanya yang mendalam kepada Galuh, membuat Linggi belajar dengan tekun cara berladang dan membuat sawah. Linggi bekerja keras mengurus ladang dan sawahnya. Berkat ketekunannya itu, ladang dan sawahnya mendapat hasil yang berlimpah. Ia kemudian menjadi orang terkaya di kampung tersebut. Pada suatu hari Linggi dan istrinya sedang duduk di beranda rumahnya. Maka berkatalah Linggi kepada istrinya bahwa ia terpikir untuk pulang ke kampung halamannya.
Linggi merasakan kerinduan pada ibunya di Kampung Lancak yang telah lama ia tinggalkan. Dan ia berniat untuk pulang melihat ibunya tersebut. Ia pun mengutarakan untuk membawa serta istrinya ke Kampung Lancak untuk bertemu dengan ibunya. Istrinya menyetujui keinginan Linggi itu. Dan beberapa hari berikutnya, berangkatlah Linggi dan istrinya ke Kampung Lancak menggunakan sebuah Ajong atau kapal layar besar. Linggi yang telah menjadi orang kaya raya itu membawa banyak anak buah untuk mengemudikan Ajong besarnya tersebut.
Dalam Ajong besarnya, Linggi memuat berbagai barang dagangan yang akan dijualnya jika bertemu perkampungan penduduk dalam perjalanan. Linggi juga memuat berbagai barang berharga yang mahal harganya untuk nanti dijual di kampungnya. Pada bagian hulu Ajong, disangkutkannya sebuah sangkar yang berisi dua ekor burung, yaitu seekor burung Tiong atau burung Beo dan seekor burung Kandang atau burung Murai.
Sangkar kedua ekor burung itu disangkutkannya di hulu Ajong untuk memberitahukan sesuatu yaitu burung Tiong akan berbunyi jika Ajong melewati teluk dan tanjung, sehingga tahulah Linggi bahwa Ajongnya itu sedang berada di sebuah teluk atau tanjung. Sedangkan burung Kandang akan berbunyi nyaring pada waktu pagi hari sehingga anak buah Linggi yang mengemudikan Ajong segera bangun dari tidurnya dan kembali mengemudikan Ajongnya itu.
Setelah beberapa hari dalam perjalanan, Ajong Linggi tiba di Kampung Lancak. Orang-orang kampung Lancak berkeluaran dari rumah untuk melihat Ajong Linggi yang megah tersebut. Selain itu banyak juga yang berkerumunan ingin membeli barang-barang yang dijual Linggi.
Diantara kerumunan penduduk itu, terdapat seorang perempuan tua yang berusaha ingin melihat-lihat Ajong dan barang-barang yang dijual Linggi. Perempuan tua tersebut sangat renta dan berpenampilan buruk rupa, yang tidak lain adalah ibunya Linggi. Dia tertegun melihat kemegahan Ajong dan banyaknya barang-barang berharga yang dibawa Linggi. Hingga ketika ia mengamati rupa dan penampilan juragan Ajong, maka kenallah ia bahwa juragan Ajong itu adalah anaknya sendiri yaitu Linggi yang telah bertahun lamanya pergi dari kampungnya. Ia pun berteriak keras memanggil-manggil nama Linggi, “anakku Linggi...! anakku Linggi...!”.
Linggi yang sedang bersama istrinya itu mendengar teriakan tersebut. Namun ia terkejut ketika melihat rupa dan penampilan ibunya tersebut telah sangat buruk dan tidak terurus. Sedangkan dahulunya ibunya tersebut sangat cantik. Linggi pun merasa malu terhadap istrinya karena melihat ibunya yang renta dan buruk itu. Untuk menutupi rasa malunya, maka diusirlah ibunya itu dari Ajongnya. Namun ibunya tetap berkeras berada di atas Ajong dan terus menerus berteriak memanggil nama Linggi.
Karena ibunya tidak juga mau turun dari Ajongnya, maka ditendang dan dipukulnya ibunya tersebut hingga tersungkur. Linggi bahkan menyuruh anak buahnya untuk memukul dan menyeret ibunya turun dari Ajong hingga berdarahlah wajah dan tubuhnya.
Dengan bercucuran darah dan air mata, maka berjalan pulanglah ibunya itu ke rumah yang sekarang telah menjadi gubuk reot. Sesampainya di rumah, ibunya itu menangis sekeras-kerasnya sambil berkata, “jika juragan Ajong itu memang benar Linggi anak kandungnya, maka tidak aku relakan ia mengisap air susuku. Dan mudah-mudahan karam Ajongnya karena telah durhaka kepadaku”.
Dengan takdir Yang Maha Kuasa, maka bergemuruhlah kilat dan halilintar yang kemudian menyambar Ajong Linggi hingga karam. Ketika Ajong tersebut karam, sangkar yang berisi burung Tiong dan Kandang terbawa gelombang air dan tersangkut di dahan kayu sebuah gunung. Selanjutnya gunung itu disebut Gunung Tiong Kandang. Sangkar itu hingga kini masih terdapat di puncak Gunung Tiong Kandang dan telah menjadi batu bersama serpihan pecahan Ajong Linggi yang telah menjadi empat buah batu yaitu Batu Pengasih, Batu Peninjau, Batu Belawang dan Batu Pedagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...