Minggu, 12 November 2017

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 4

KALIMANTAN DALAM SEJARAH KUNO DUNIA 4

Menurut catatan Wang Dayuan, seorang penjelajah China yang menulis catatan perjalanannya di Asia tahun 1349 Masehi. Catatan ini kemudian dikenal dengan Dao Yi Zhi Lue : A Brief Account of Island Barbarians, menuliskan bahwa Bangsa Tampun Roban atau Tampun Juah di Kalimantan berpakaian terbuat dari besi dan logam.
Dalam catatannya itu Ia menyebutnya juga sebagai Bangsa Gelang-gelang karena rakyatnya memakai gelang-gelang besi yang menutupi tubuh. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa prajurit Tampun Roban berpakaian dan berperisai dari besi dan logam ketika menaklukkan Madagaskar dan ketika ekspedisi Pamalayu tahun 1275 Masehi. Prajurit-prajurit ini membawa simbol-simbol beberapa bendera yaitu bendera berwarna Merah, Kuning dan Biru serta simbol Matahari. Pada periode ini, Tampun Roban atau Tampun Juah telah dikenal dengan sebutan Sarunai, dan rajanya bergelar Miharaja Rahadyan Anyan, anak penguasa atau raja Lawai yang bernama Patee Basinga dari Istrinya yang merupakan keturunan Raja Funan. Setelah Patee Basinga wafat, ia digantikan oleh istrinya yang berasal dari Songkhra, yang kemudian bergelar Ratu Lawai atau Junjung Buih.
Emanuel Godhino de Eredia, pada tahun 1597 – 1600 ketika berkunjung ke Banjarmasin, Sukadana, dan Lawai menuliskan bahwa Bangsa Portugis menyebut orang Kalimantan dengan sebutan Dangk(‘)raat yang berarti Keras atau Kuat, karena pada periode abad ke 7 hingga ke 9 M Bangsa Portugis menemukan pasukan yang sulit ditaklukkan di Kalimantan dengan seluruh tubuh tertutupi oleh pakaian dari besi dan logam dengan perisai yang juga terbuat dari besi dan logam. Sebelumnya Bangsa Portugis mendapat informasi dari pedagang dan pelaut dari Portugis yang menyatakan bahwa negeri Tampun Roban telah muncul kembali dan membangun peradaban baru dengan hasil alamnya yang berlimpah.
Tome Pires, dari Portugis menulis naskah laporan resmi kepada Raja Emanuel pada tahun 1512 – 1515 Masehi. Naskah ini kemudian dikenal dengan Suma Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins (Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina). Naskah ini berisi tentang kehidupan di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk tentang Tanjungpura dan Lawai. Tome Pires menggambarkan Lawai sebagai negeri yang banyak intan, dan didirikan oleh seorang yang bergelar Patee Basinga bersama istrinya dari Songkhra. Anaknya yang dari istri keturunan Raja Funan menjadi Miharaja Sarunai, dan seorang anaknya lagi menjadi Mahapatih di Wilwatikta atau Majapahit.
Pedro Teixeira, pada tahun 1586 menulis perjalannannya di Asia. Dalam tulisannya, ia menyinggung tentang keberadaan pasukan yang menurut sumber dari Bangsa Portugis sebelumnya sangat sulit ditaklukkan dengan berbagai perlengkapan perang yang lengkap dari besi yang disebut Dangk(‘)raat.
Keberadaan pasukan Dangk(‘)raat yang berpakaian perang dari besi tersebut tidak sebanyak pada abad-abad sebelumnya, sebagaimana informasi yang telah ia dapatkan, namun pasukan Dangk(‘)raat ini sangat sulit didekati oleh orang asing. Tulisannya kemudian dipublikasikan menjadi sebuah buku di Amsterdam tahun 1610 M. Penyebutan Bangsa Portugis yaitu Dangk(‘)raat, menjadi penyebutan bangsa-bangsa asing lainnya yang memasuki Kalimantan terhadap orang-orang Kalimantan. Istilah Dangk(‘)raat pada masa-masa berikutnya kemudian terlogatkan menjadi Darat atau Dayak yang artinya Keras atau Kuat.
Emanuel Godhino de Eredia, tahun 1597 – 1600 menulis tentang Goa dan Malaka, dan menjelaskan tentang Banjarmasin, Sukadana, dan Lawai. Sukadana dan Lawai dipimpin oleh anak Raja Wilwatikta atau Majapahit dari istrinya anak Raja Melayu. Anak Raja Majapahit tersebut menguasai Lawai setelah menikahi Ratu Lawai atau Junjung Buih. Ratu Lawai menjadi Ratu di Lawai menggantikan suaminya yang wafat yang bernama Patee Bacinga. Patee Bacinga mendirikan pelabuhan Lawai. Salah satu anaknya dari istri yang berasal dari Funan menjadi Miharaja Sarunai, anaknya dari Ratu Lawai menjadi Mahapatih Majapahit, anaknya yang lain menjadi penguasa Kapuhas, sedangkan anaknya yang lain lagi menggantikan Ratu Lawai menjadi penguasa Lawai.

Ringkasan Buku Nan Sarunai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...