KERAJAAN SINJANG
DALAM TABIR SEJARAH
Pada masa sekarang ini, nama kerajaan ini sangat asing
terdengar. Sedangkan kontribusi masyarakatnya terhadap tegaknya Marwah NKRI di
perbatasan Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat sangat besar. Masyarakat Sinjang
menjadi penjaga kawasan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Masyarakat
Sinjang memiliki rasa Nasionalis yang tinggi terhadap NKRI. Jauh sebeleum kemerdekaan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesi) masyarakat Sinjang telah terlebih dahulu mengibarkan
bendera merah putih tepatnya sebelum hari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kerajaan Sinjang pada masa dahulu berlokasi di kawasan
pegunungan Sinjang. Kawasan pegunungan ini pada masa dahulunya merupakan satu
gugusan pegunungan dalam kawasan Gunung Niut. Seiring perjalanan waktu,
masyarakat Sinjang kemudian dikenal dengan sebutan Suku Bi Sikukng. Sinjang
atau Sikukng memiliki makna “Generasi Terakhir atau Terjauh”.
Jika ditelusuri lebih lanjut tentang riwayat suku ini disebut
Sinjang atau Sikukng maka akan ditemukan tiga nama kerajaan lainnya lagi yaitu Kerajaan
Bawakng yang bermakna “Buah”, Kerajaan Panggau Libau atau dikenal dengan nama
Kerajaan Wijaya Pura di Sungai Rejang, dan Kerajaan Keokng-Kanakng yang
berlokasi di kawasan pengunungan Tiong Kandang Kabupaten Sanggau. Suku Sikukng
ini memiliki hubungan yang erat dengan ketiga kerajaan tersebut. Karena
hubungannya dengan ketiga kerajaan tersebutlah sehingga Kerajaan ini disebut
Sinjang atau Sikukng yang berarti “Generasi Terakhir atau Terjauh”.
Jika merujuk pada publikasi dari Weeckelycke Courante Van Europa tanggal 12 Agustus
1638, bahwa pada periode tahun 1394, di Kalimantan terdapat 112
Kerajaan, dan keempat kerajaan yang disebutkan diatas termasuk didalamnya.
Dalam publikasi Weeckelycke Courante
Van Europa itu menuliskan tentang telah terjadinya pembatasan terhadap
hubungan dengan imperium asing setelah raja Arya Satry menyepakati perjanjian
bersama 112 raja di seluruh daratan Borneo pada tahun 1394 di lokasi suci
Tampun Bejuah. Tampun Bejuah ini merupakan tempat perpindahan ketika keruntuhan
Kerajaan Laway yang menjadi Tampun Roban bagi warisan leluhur imperium raja
Kapuas. Pada masa dahulu Tampun Roban telah ada sebelum kemunculan Kerajaan
Laway sebagai kawasan incaran imperium eropa yang kaya sumber alam. Selain itu
angkatan perangnya yang termasur dan sulit di tundukkan oleh imperium asing.
Adapun suku Bi Sikukng, untuk sekarang ini lebih dikenal
dengan sebutan Sungkung, meskipun masyarakat Bi Sikukng sendiri kurang setuju
dengan penyebutan “Sungkung” ini karena menurut mereka Sikukng adalah sebuah
nama yang mempunyai arti sakral peninggalan nenek moyang mereka, yang tidak
bisa diganti begitu saja. Istilah Sungkung sendiri mempunyai arti “bulatan
rotan” untuk anting-anting yang berasal dari bahasa Tionghoa Kek. Penyebutan
Sungkung diberikan pada jaman penumpasan PGRS-PARAKU tahun 1965-1970-an. Pada
masa itu orang-orang Tionghoa begitu juga para tentara, lidah mereka sulit
menyebut Sikukng, sehingga kemudian terlogatkan menjadi Sungkung hingga saat
ini.
Ketika telah disebut suku Sungkung, pada umumnya orang
mengetahui bahwa suku ini yang bermukim
di dataran tinggi puncak bukit dan dataran
tinggi gunung di perbatasan Sarawak
Malaysia dengan Kalimantan Barat Indonesia.
Adapun pemukiman Suku Sungkung
di kabupaten Bangkayang, disebut Sungkung
Kompleks lu’u, Sungkung Medeng, Sungkung Senebeh dan Sungkung Daun. Masyarakat suku Sungkung, juga ada yang menyebut diri
mereka sebagai Sihkoy, sedangkan
menurut etnis lain di luar wilayah mereka menyebut mereka sebagai Sungkung.
Adapun tempat pemukiman lainnya suku Bi Sikukng ini adalah di Kampung
Badat Lama terletak paling ujung dan paling tinggi dari kampung-kampung lainnya
di Kecamatan Entikong. Kamudian kampung Entabang, Suruh Tembawang, Sekajang,
Gun, dan Badat Baru. Kampung-kampung tersebut juga disebut Sungkung Komplek
karena merupakan masih satu keturunan suku Bi Sikukng. Bahasa yang mereka
gunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa Begais.
Pada masa dahulu, ketika suku Bi Sikukng ini masih menyatu dalam
kawasan Kerajaan Sinjang, terdapat putra Mahkota kerajaannya yang ikut dalam
Ekspedisi Pamalayu tahun 1293 yaitu Lipot Limang dan Slutok Slunukng dengan
membawa banyak pasukan Sinjang, yaitu anak-anaknya Abaeh Siang Nyinukng atau
bergelar Raja Semangat Petara. Selepas Ekspedisi Pamalayu tahun 1293 Masehi,
Lipot Limang kembali ke negeri asalnya di Gunung Sijakng Singulikng di
Bengkayang. Sedangkan Slutok
Slunukng bersama anaknya, Patee Palanggok, tidak kembali ke Negeri Bengkayang.
Ayah dan anak tersebut kemudian menetap di wilayah Menyuke.
Selanjutnya, Patee Palanggok memiliki beberapa orang anak, yang salah
seorangnya benama Singa Patee yang kemudian menetap di Sembiu. Singa Patee memiliki
beberapa orang anak, salah seorangnya bernama Patee Raja Rungkap Tobak’ng. Ketika
berdirinya Kerajaan Lawai tahun 1325 Masehi, Patee Raja Rungkap Tobak’ng
dinobatkan oleh Kerajaan Lawai sebagai salah seorang Raja dari Sepuluh Raja dan
diberikan wilayah yang kemudian disebut Tobak’ng, yang sekarang berada di
kawasan Kabupaten Sanggau. Adapun Singa Patee, Ketika terjadi perang antara
Negeri Kapuhas dengan Majapahit pada tahun 1380 Masehi, Singa Patee berpindah
ke Kalong.
Ciri khas utama suku Bi Sikukng ini adalah kaum wanitanya yang
memakai gelang tembaga
dengan panjang gelang antara ± 15-20 cm melingkar pada ke-dua betis, kemudian
dipakaikan juga ke-dua pergelangan tangan dengan ukuran gelang ± 10 cm serta
pada leher dipakaikan kalung manik-manik yang menutupi penuh panjang leher
mereka. Hal ini menjadi identitas yang membedakan suku Bi Sikukng dengan suku
Dayak lainnya, juga sebagai simbol status sosial menandakan keluarga terpandang.
Menggunakan gelang tembaga harus dilakukan ketika mereka
masih kecil yaitu dimulai ketika berumur 8 tahun hingga meninggal nanti. Namun
gelang tembaga tersebut dapat di wariskan kepada anak-anak perempuan mereka,
jika di saat umur yang sudah lanjut usia dan ia berniat perhiasan tersebut
dapat di pakai generasinya maka ia harus melepas perhiasan tersebut sebelum ia
meninggal, sehingga dapat digunakan oleh penerusnya. Apabila ia tidak sempat
melepas perhiasan tersebut dan meninggal, maka sangat pantang melepas gelang
tembaga yang masih melekat kepada tubuh orang yang sudah meninggal. Sehingga akan
terbawa dalam proses pengurusan jenazahnya.
Adapun perhiasan-perhiasan suku Bi Sikukng memiliki nama-nama
tersendiri dalam bahasa Begais. Berikut ini nama-nama perhiasan yang di kenakan
oleh perempuan Bi Sikukng :
1)
Ikat
kepala disebut Mayyo.
2)
Kain
Selempang disebut Sampay.
3)
Gelang
tembaga pada pinggang disebut Set / Siset / Kising.
4)
Gelang
Kayu disebut Kalak.
5)
Kalung
Manik-manik disebut Tumih.
6)
Gelang
Kuningan pada Kaki disebut Asounk.
7)
Gelang
Kuningan pada Tangan disebut Kaaeyep.