Jumat, 29 Mei 2020

Kerajaan Sinjang Dalam Tabir Sejarah


KERAJAAN SINJANG
DALAM TABIR SEJARAH

Pada masa sekarang ini, nama kerajaan ini sangat asing terdengar. Sedangkan kontribusi masyarakatnya terhadap tegaknya Marwah NKRI di perbatasan Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat sangat besar. Masyarakat Sinjang menjadi penjaga kawasan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Masyarakat Sinjang memiliki rasa Nasionalis yang tinggi terhadap NKRI. Jauh sebeleum kemerdekaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesi) masyarakat Sinjang telah terlebih dahulu mengibarkan bendera merah putih tepatnya sebelum hari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kerajaan Sinjang pada masa dahulu berlokasi di kawasan pegunungan Sinjang. Kawasan pegunungan ini pada masa dahulunya merupakan satu gugusan pegunungan dalam kawasan Gunung Niut. Seiring perjalanan waktu, masyarakat Sinjang kemudian dikenal dengan sebutan Suku Bi Sikukng. Sinjang atau Sikukng memiliki makna “Generasi Terakhir atau Terjauh”.
Jika ditelusuri lebih lanjut tentang riwayat suku ini disebut Sinjang atau Sikukng maka akan ditemukan tiga nama kerajaan lainnya lagi yaitu Kerajaan Bawakng yang bermakna “Buah”, Kerajaan Panggau Libau atau dikenal dengan nama Kerajaan Wijaya Pura di Sungai Rejang, dan Kerajaan Keokng-Kanakng yang berlokasi di kawasan pengunungan Tiong Kandang Kabupaten Sanggau. Suku Sikukng ini memiliki hubungan yang erat dengan ketiga kerajaan tersebut. Karena hubungannya dengan ketiga kerajaan tersebutlah sehingga Kerajaan ini disebut Sinjang atau Sikukng yang berarti “Generasi Terakhir atau Terjauh”.
Jika merujuk pada publikasi dari Weeckelycke Courante Van Europa tanggal 12 Agustus 1638, bahwa pada periode tahun 1394, di Kalimantan terdapat 112 Kerajaan, dan keempat kerajaan yang disebutkan diatas termasuk didalamnya. Dalam publikasi Weeckelycke Courante Van Europa itu menuliskan tentang telah terjadinya pembatasan terhadap hubungan dengan imperium asing setelah raja Arya Satry menyepakati perjanjian bersama 112 raja di seluruh daratan Borneo pada tahun 1394 di lokasi suci Tampun Bejuah. Tampun Bejuah ini merupakan tempat perpindahan ketika keruntuhan Kerajaan Laway yang menjadi Tampun Roban bagi warisan leluhur imperium raja Kapuas. Pada masa dahulu Tampun Roban telah ada sebelum kemunculan Kerajaan Laway sebagai kawasan incaran imperium eropa yang kaya sumber alam. Selain itu angkatan perangnya yang termasur dan sulit di tundukkan oleh imperium asing.
Adapun suku Bi Sikukng, untuk sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Sungkung, meskipun masyarakat Bi Sikukng sendiri kurang setuju dengan penyebutan “Sungkung” ini karena menurut mereka Sikukng adalah sebuah nama yang mempunyai arti sakral peninggalan nenek moyang mereka, yang tidak bisa diganti begitu saja. Istilah Sungkung sendiri mempunyai arti “bulatan rotan” untuk anting-anting yang berasal dari bahasa Tionghoa Kek. Penyebutan Sungkung diberikan pada jaman penumpasan PGRS-PARAKU tahun 1965-1970-an. Pada masa itu orang-orang Tionghoa begitu juga para tentara, lidah mereka sulit menyebut Sikukng, sehingga kemudian terlogatkan menjadi Sungkung hingga saat ini.
Ketika telah disebut suku Sungkung, pada umumnya orang mengetahui bahwa suku ini yang bermukim di dataran tinggi puncak bukit dan dataran tinggi gunung di perbatasan Sarawak Malaysia dengan Kalimantan Barat Indonesia. Adapun pemukiman Suku Sungkung di kabupaten Bangkayang, disebut Sungkung Kompleks lu’u, Sungkung Medeng, Sungkung Senebeh dan Sungkung Daun. Masyarakat suku Sungkung, juga ada yang menyebut diri mereka sebagai Sihkoy, sedangkan menurut etnis lain di luar wilayah mereka menyebut mereka sebagai Sungkung.
Adapun tempat pemukiman lainnya suku Bi Sikukng ini adalah di Kampung Badat Lama terletak paling ujung dan paling tinggi dari kampung-kampung lainnya di Kecamatan Entikong. Kamudian kampung Entabang, Suruh Tembawang, Sekajang, Gun, dan Badat Baru. Kampung-kampung tersebut juga disebut Sungkung Komplek karena merupakan masih satu keturunan suku Bi Sikukng. Bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa Begais.
Pada masa dahulu, ketika suku Bi Sikukng ini masih menyatu dalam kawasan Kerajaan Sinjang, terdapat putra Mahkota kerajaannya yang ikut dalam Ekspedisi Pamalayu tahun 1293 yaitu Lipot Limang dan Slutok Slunukng dengan membawa banyak pasukan Sinjang, yaitu anak-anaknya Abaeh Siang Nyinukng atau bergelar Raja Semangat Petara. Selepas Ekspedisi Pamalayu tahun 1293 Masehi, Lipot Limang kembali ke negeri asalnya di Gunung Sijakng Singulikng di Bengkayang. Sedangkan Slutok Slunukng bersama anaknya, Patee Palanggok, tidak kembali ke Negeri Bengkayang. Ayah dan anak tersebut kemudian menetap di wilayah Menyuke.
Selanjutnya, Patee Palanggok memiliki beberapa orang anak, yang salah seorangnya benama Singa Patee yang kemudian menetap di Sembiu. Singa Patee memiliki beberapa orang anak, salah seorangnya bernama Patee Raja Rungkap Tobak’ng. Ketika berdirinya Kerajaan Lawai tahun 1325 Masehi, Patee Raja Rungkap Tobak’ng dinobatkan oleh Kerajaan Lawai sebagai salah seorang Raja dari Sepuluh Raja dan diberikan wilayah yang kemudian disebut Tobak’ng, yang sekarang berada di kawasan Kabupaten Sanggau. Adapun Singa Patee, Ketika terjadi perang antara Negeri Kapuhas dengan Majapahit pada tahun 1380 Masehi, Singa Patee berpindah ke Kalong.
Ciri khas utama suku Bi Sikukng ini adalah kaum wanitanya yang memakai gelang tembaga dengan panjang gelang antara ± 15-20 cm melingkar pada ke-dua betis, kemudian dipakaikan juga ke-dua pergelangan tangan dengan ukuran gelang ± 10 cm serta pada leher dipakaikan kalung manik-manik yang menutupi penuh panjang leher mereka. Hal ini menjadi identitas yang membedakan suku Bi Sikukng dengan suku Dayak lainnya, juga sebagai simbol status sosial menandakan keluarga terpandang.
Menggunakan gelang tembaga harus dilakukan ketika mereka masih kecil yaitu dimulai ketika berumur 8 tahun hingga meninggal nanti. Namun gelang tembaga tersebut dapat di wariskan kepada anak-anak perempuan mereka, jika di saat umur yang sudah lanjut usia dan ia berniat perhiasan tersebut dapat di pakai generasinya maka ia harus melepas perhiasan tersebut sebelum ia meninggal, sehingga dapat digunakan oleh penerusnya. Apabila ia tidak sempat melepas perhiasan tersebut dan meninggal, maka sangat pantang melepas gelang tembaga yang masih melekat kepada tubuh orang yang sudah meninggal. Sehingga akan terbawa dalam proses pengurusan jenazahnya.
Adapun perhiasan-perhiasan suku Bi Sikukng memiliki nama-nama tersendiri dalam bahasa Begais. Berikut ini nama-nama perhiasan yang di kenakan oleh perempuan Bi Sikukng :
1)        Ikat kepala disebut Mayyo.
2)        Kain Selempang disebut Sampay.
3)        Gelang tembaga pada pinggang disebut Set / Siset / Kising.
4)        Gelang Kayu disebut Kalak.
5)        Kalung Manik-manik disebut Tumih.
6)        Gelang Kuningan pada Kaki disebut Asounk.
7)        Gelang Kuningan pada Tangan disebut Kaaeyep.

Meski keberadaan Kerajaan Sinjang ini telah tertutupi oleh tabir sejarah, namun jejak-jejak masa lalu hingga masa sekarangnya masih dapat ditelusuri. Karena peradaban masyarakat Sinjang atau Bi Sikukng ataupun Sungkung ini merupakan salah satu peradaban tertua di dunia, yang belum terhapus oleh zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...