HIKAYAT
BURUNG TINGGANG
Tersebutlah hikayat dari
Tanah Kalimantan, tentang awal mula penciptaan alam dan kehidupan dimuka bumi,
bahwa setelah terciptanya bumi, dimana belum terdapat manusia yang mendiami
bumi, terdapat sebuah sungai yang besar dan panjang di Tanah Kalimantan. Sungai yang besar dan memanjang itu
berkelok dan bercabang, serta menyebar di seluruh penjuru pulau. Sungai
tersebut berkelok-kelok tak ubahnya seekor naga yang meliuk-liuk dan membelah
daratan. Air sungai tersebut berasal dari
ketinggian pegunungan yang pada saat sekarang ini disebut sebagai pegunungan
Muller. Pegunungan Muller merupakan jajaran pegunungan yang pada saat ini
berada di batas provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Air yang berasal dari ketinggian pegunungan Muller tersebut
mengalir dan membentuk empat anak sungai seperti sebuah pohon silsilah
keluarga. Anak pertama ke arah barat yang disebut Kapuas, anak kedua ke arah timur yang disebut Mahakam, anak ketiga dan keempat ke arah tengah dan selatan yang
disebut Barito. Sungai Kapuas dan
Sungai Mahakam memilih bermuara ke Selat Karimata,
sementara Sungai Barito mengambil jalur lain ke Laut Jawa. Masing-masing sesuai urutannya dan telah tercatat
sebagai sungai terpanjang di Indonesia.
Keempat anak sungai tersebut mengemban misi untuk menghidupi
alam yang dilalui dan dikepungnya. Sebab itulah, maka daratan yang dilalui oleh
keempat sungai tersebut disebut KALIMANTAN,
yang bermakna “Kali” berarti sungai dan “Mantan” berarti besar.
Dilain riwayat ada yang mengatakan bahwa Kalimantan berarti Sungai Intan, karena didasar sungainya
banyak terdapat intan sehingga membuat air sungainya terlihat gelap. Namun ada
pula riwayat yang mengatakan bahwa Kalimantan berarti bekas Sungai besar.
Tersebutlah Ranying Mahatalla Langit atau Tuhan Yang Maha Esa
menurunkan dua butir telur
burung yaitu telur burung Tinggang dan burung Elang dengan wadah emas atau
Palangka Bulau yang dihiasi dengan Kalingkang atau kain bersulamkan emas
di Datah Takasiang Rakaui Sungai
Malahui, yaitu di atas sebuah batu granit hitam di hulu sungai Rakaui yang
bermuara di sungai Malahui atau yang sekarang disebut sebagai Sungai Melawi di
daerah Kalimantan Barat. Telur
Burung Tinggang kemudian bernama Litih atau Tiung Layang, yang kemudian menjadi
Jata atau mendiami dan menguasai alam atas, dan menjaga keseimbangan dengan
alam bawah.
Adapun Litih atau Tiung
Layang ataupun Jata, ketika masih berbentuk sebutir telur, maka menetaslah
telur tersebut dan terciptalah seekor burung yang disebut sebagai Tatu Hyang. Tatu Hyang dalam bahasa
Sangen atau bahasa Sangiang memiliki arti Permulaan
Kehidupan Nenek Moyang. Burung Tatu Hyang kemudian terlogatkan menjadi
Burung Tinggang atau Burung Enggang atau bahasa latinnya Rhinoplax vigil.
Burung Tinggang, ketika
menetas dari telurnya, terbang kesana kemari untuk mencari air kehidupan.
Pencarian air kehidupan itu merupakan perintah dari Ranying Mahatalla Langit
agar Burung Tinggang dapat menjelma menjadi seorang manusia yang akan mengabdi
dan menjaga alam dan kehidupan di bumi. Burung Tinggang terbang menyusuri
Sungai Malahui atau Sungai Melawi mengikuti petunjuk dari Ranying Mahatalla
Langit.
Hingga disuatu wilayah yang
tertutupi oleh kabut hitam, Burung Tinggang mendapat petunjuk untuk turun ke
wilayah tersebut. Namun Burung Tinggang tidak mampu untuk turun ke wilayah
tersebut akibat kabut yang terlalu hitam. Burung Tinggang merasakan sesak dan
kesakitan ketika berusaha menembus kabut hitam tersebut.
Ketika situasi semakin
sulit, maka Burung Tinggang mendapat petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit
untuk mengucapkan kata-kata dalam bahasa Sangen atau bahasa Sangiang yaitu “Mukei Hyang” yang kira-kira artinya “Tuhan berkata... Jadi, maka terjadilah...!”.
Maka atas kehendak dari
Ranying Mahatalla Langit, kabut hitam yang menghalangi, perlahan-lahan memudar
tertiup angin dan menghilang. Dan terlihatlah oleh Burung Tinggang sebuah
daratan dengan aliran sungai yang airnya berwarna hitam namun dihiasi kelipan
cahaya. Kelipan cahaya dari air sungai yang berwarna hitam itu adalah kelipan
intan yang membentang didasar sungai. Pada daratan itu, terlihat pula pancaran
cahaya disebuah tempat. Dengan sisa-sisa tenaganya, Burung Tinggang segera
turun ke daratan itu dan langsung menuju ke tempat dimana pancaran cahaya
tersebut terlihat.
Sesampainya ditempat
pancaran cahaya itu, Burung Tinggang segera meminum dan mandi di mata air
tersebut, hingga ia merasakan tubuhnya semakin pulih dan kuat. Didaratan
tersebut, Litih atau Tiung Layang merasakan sangat nyaman dan tentram. Litih
kemudian melakukan Balampah dan daratan tempat sumber mata air kehidupan
tersebut kemudian disebut Mukei Hyang
yang kemudian terlogatkan menjadi Moncank atau Mengkiang.
Adapun Burung Tinggang
ketika terbang kesana kemari mencari sumber air kehidupan, sempat singgah di
Negeri khayangan Atas dan Negeri Khayangan Bawah. Kedua Negeri Khayangan itu
tertutupi awan. Di Negeri Khayangan Atas, Burung Tinggang melihat wujud dirinya
yang sedang bertahtah diatas sebuah batu granit hitam berhiaskan intan. Burung
Tinggang kemudian turun untuk bertemu dengan dirinya sendiri. Negeri Khayangan
Atas dalam bahasa Sangen atau Sangiang disebut Mengkah Hyang, yang artinya
Singgasana Nenek Moyang atau Negeri Khayangan Atas. Nama Mengkah Hyang kemudian
terlogatkan menjadi Mengkayang, atau yang sekarang disebut Bengkayang.
Sedangkan di Negeri
Khayangan Bawah, Burung Tinggang melihat cermin dirinya yang sedang bertahtah
diatas sebuah batu granit hitam berhiaskan intan. Negeri Khayangan Bawah itu
dalam bahasa Sangen atau Sangiang disebut Kenyah Hyang, yang artinya Cermin
Nenek Moyang atau Negeri Khayangan Bawah. Kenyah Hyang kemudian terlogatkan
menjadi Kenyalang, atau yang sekarang disebut Serawak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar