Minggu, 14 Januari 2018

HIKAYAT BURUNG TINGGANG


HIKAYAT BURUNG TINGGANG

Tersebutlah hikayat dari Tanah Kalimantan, tentang awal mula penciptaan alam dan kehidupan dimuka bumi, bahwa setelah terciptanya bumi, dimana belum terdapat manusia yang mendiami bumi, terdapat sebuah sungai yang besar dan panjang di Tanah Kalimantan. Sungai yang besar dan memanjang itu berkelok  dan bercabang, serta menyebar di seluruh penjuru pulau. Sungai tersebut berkelok-kelok tak ubahnya seekor naga yang meliuk-liuk dan membelah daratan. Air sungai tersebut berasal dari ketinggian pegunungan yang pada saat sekarang ini disebut sebagai pegunungan Muller. Pegunungan Muller merupakan jajaran pegunungan yang pada saat ini berada di batas provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Air yang berasal dari ketinggian pegunungan Muller tersebut mengalir dan membentuk empat anak sungai seperti sebuah pohon silsilah keluarga. Anak pertama ke arah barat yang disebut Kapuas, anak kedua ke arah timur yang disebut Mahakam, anak ketiga dan keempat ke arah tengah dan selatan yang disebut Barito. Sungai Kapuas dan Sungai Mahakam memilih bermuara ke Selat Karimata, sementara Sungai Barito mengambil jalur lain ke Laut Jawa. Masing-masing sesuai urutannya dan telah tercatat sebagai sungai terpanjang di Indonesia.
Keempat anak sungai tersebut mengemban misi untuk menghidupi alam yang dilalui dan dikepungnya. Sebab itulah, maka daratan yang dilalui oleh keempat sungai tersebut disebut KALIMANTAN, yang bermakna “Kali” berarti sungai dan “Mantan” berarti besar. Dilain riwayat ada yang mengatakan bahwa Kalimantan berarti Sungai Intan, karena didasar sungainya banyak terdapat intan sehingga membuat air sungainya terlihat gelap. Namun ada pula riwayat yang mengatakan bahwa Kalimantan berarti bekas Sungai besar.
Tersebutlah Ranying Mahatalla Langit atau Tuhan Yang Maha Esa menurunkan dua butir telur burung yaitu telur burung Tinggang dan burung Elang dengan wadah emas atau Palangka Bulau yang dihiasi dengan Kalingkang atau kain bersulamkan emas di Datah Takasiang Rakaui Sungai Malahui, yaitu di atas sebuah batu granit hitam di hulu sungai Rakaui yang bermuara di sungai Malahui atau yang sekarang disebut sebagai Sungai Melawi di daerah Kalimantan Barat. Telur Burung Tinggang kemudian bernama Litih atau Tiung Layang, yang kemudian menjadi Jata atau mendiami dan menguasai alam atas, dan menjaga keseimbangan dengan alam bawah.
Adapun Litih atau Tiung Layang ataupun Jata, ketika masih berbentuk sebutir telur, maka menetaslah telur tersebut dan terciptalah seekor burung yang disebut sebagai Tatu Hyang. Tatu Hyang dalam bahasa Sangen atau bahasa Sangiang memiliki arti Permulaan Kehidupan Nenek Moyang. Burung Tatu Hyang kemudian terlogatkan menjadi Burung Tinggang atau Burung Enggang atau bahasa latinnya Rhinoplax vigil.
Burung Tinggang, ketika menetas dari telurnya, terbang kesana kemari untuk mencari air kehidupan. Pencarian air kehidupan itu merupakan perintah dari Ranying Mahatalla Langit agar Burung Tinggang dapat menjelma menjadi seorang manusia yang akan mengabdi dan menjaga alam dan kehidupan di bumi. Burung Tinggang terbang menyusuri Sungai Malahui atau Sungai Melawi mengikuti petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit.
Hingga disuatu wilayah yang tertutupi oleh kabut hitam, Burung Tinggang mendapat petunjuk untuk turun ke wilayah tersebut. Namun Burung Tinggang tidak mampu untuk turun ke wilayah tersebut akibat kabut yang terlalu hitam. Burung Tinggang merasakan sesak dan kesakitan ketika berusaha menembus kabut hitam tersebut.
Ketika situasi semakin sulit, maka Burung Tinggang mendapat petunjuk dari Ranying Mahatalla Langit untuk mengucapkan kata-kata dalam bahasa Sangen atau bahasa Sangiang yaitu “Mukei Hyang” yang kira-kira artinya “Tuhan berkata... Jadi, maka terjadilah...!”.
Maka atas kehendak dari Ranying Mahatalla Langit, kabut hitam yang menghalangi, perlahan-lahan memudar tertiup angin dan menghilang. Dan terlihatlah oleh Burung Tinggang sebuah daratan dengan aliran sungai yang airnya berwarna hitam namun dihiasi kelipan cahaya. Kelipan cahaya dari air sungai yang berwarna hitam itu adalah kelipan intan yang membentang didasar sungai. Pada daratan itu, terlihat pula pancaran cahaya disebuah tempat. Dengan sisa-sisa tenaganya, Burung Tinggang segera turun ke daratan itu dan langsung menuju ke tempat dimana pancaran cahaya tersebut terlihat.
Sesampainya ditempat pancaran cahaya itu, Burung Tinggang segera meminum dan mandi di mata air tersebut, hingga ia merasakan tubuhnya semakin pulih dan kuat. Didaratan tersebut, Litih atau Tiung Layang merasakan sangat nyaman dan tentram. Litih kemudian melakukan Balampah dan daratan tempat sumber mata air kehidupan tersebut kemudian disebut Mukei Hyang yang kemudian terlogatkan menjadi Moncank atau Mengkiang.
Adapun Burung Tinggang ketika terbang kesana kemari mencari sumber air kehidupan, sempat singgah di Negeri khayangan Atas dan Negeri Khayangan Bawah. Kedua Negeri Khayangan itu tertutupi awan. Di Negeri Khayangan Atas, Burung Tinggang melihat wujud dirinya yang sedang bertahtah diatas sebuah batu granit hitam berhiaskan intan. Burung Tinggang kemudian turun untuk bertemu dengan dirinya sendiri. Negeri Khayangan Atas dalam bahasa Sangen atau Sangiang disebut Mengkah Hyang, yang artinya Singgasana Nenek Moyang atau Negeri Khayangan Atas. Nama Mengkah Hyang kemudian terlogatkan menjadi Mengkayang, atau yang sekarang disebut Bengkayang.
Sedangkan di Negeri Khayangan Bawah, Burung Tinggang melihat cermin dirinya yang sedang bertahtah diatas sebuah batu granit hitam berhiaskan intan. Negeri Khayangan Bawah itu dalam bahasa Sangen atau Sangiang disebut Kenyah Hyang, yang artinya Cermin Nenek Moyang atau Negeri Khayangan Bawah. Kenyah Hyang kemudian terlogatkan menjadi Kenyalang, atau yang sekarang disebut Serawak.

Ringkasan buku Burung Tinggang : Asal Muasal Tanah Mengkiang












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...