MANDE’
BEDIL KERAJA’
--- Ritual Tolak
Bala Kerajaan Tayan ---
Tomi, S.Pd.,M.E.
Ritual Mande’
Bedil Keraja’ adalah tradisi
yang sudah dilakukan nenek moyang Keraton Tayan, yang dilakukan setahun sekali
pada bulan Muharram. Pada zaman dahulu, air dari ritual mandi Bedil ini
dibagikan kepada masyarakat untuk disiram pada tanaman di ladang maupun kebun. Setelah
Ritual Mande’ Bedil Keraja’ diikuti dengan Ritual Perang Ketupat.
Mande’ Bedil
Keraja’ adalah sebuah ritual adat yang sudah berlangsung lama atau sejak
Kerajaan Tayan berdiri di zaman Raja Pertama Gusti Lekar yang beristrikan Encik
Periuk. Tetapi
sempat tidak dilaksanakan, dan terakhir dilakukan tahun 1982. Kini kembali
dilakukan dalam rangka untuk melestarikan seni dan budaya Keraton Tayan dan untuk
membangkitkan industri pariwisata Tayan.
Zaman
dahulu Bedil kerajaan juga bisa dimandikan selain pada satu Muharram, seperti
bila negeri dilanda kekeringan, atau diserang wabah penyakit, serta bala
bencana, yang biasanya ada isyarat mimpi yang dialamatkan kepada raja atau
pemimpin sesepuh negeri. Kemudian air dari memandikan Bedil kerajaan itu, dapat
digunakan untuk menyembuhkan penyakit manakala ada wabah, atau dapat digunakan
untuk memupuk tanaman padi yang juga sebagai air tolak bala.
Mandi Bedil
kerajaan bisa dilakukan di dalam keraton dan bisa juga di luar, tetapi
tempatnya ditentukan, yakni di Muara Sungai Tayan persis diujung Tanjung yang
merupakan salah satu situs sejarah Kerajaan Tayan, yang dilanjutkan dengan
Perang Ketupat, sebagai rangkaian dari Mandi Bedil Kerajaan.
Dinamakan Perang
Ketupat, yakni sebagai bentuk simbolik tolak bala yang kemungkinan melanda
negeri Kerajaan Tayan. Bentuknya saling melemparkan ketupat Tolak Bala, antara kelompok
warga di pinggir sungai dengan rombongan warga yang menggunakan motor air.
Prosesi
Ritual Perang Ketupat diselenggarakan di Muara Sungai Tayan hingga menuju
Istana Keraton Pakunegara Tayan di Desa Pedalaman yang berjarak sekitar satu
kilometer dari pusat kerjaan. Ketupat yang digunakan untuk perang ketupat,
yakni hasil penyerahan dari warga sebanyak 21 buah tiap rumah tangga secara
sukarela. Ketupat tolak bala tersebut bentuknya berbeda dengan ketupat pada
umumnya. Ketupat yang diserahkan itu, penyisihan dari hasil panen dan hanya 21
buah setiap kepala keluarga. Dalam Perang Ketupat tersebut melibatkan seluruh
unsur masyarakat, tanpa membedakan suku, agama, dan menjadi tradisi bersama,
termasuk tamu Kerajaan yang hadir.
Dalam tradisi Ritual Perang
Ketupat tersebut, terdapat gendering yang ditabuh warga Suku Dayak di Dusun
Entangi, Desa Empetai yang sudah dilakukan sejak turun temurun menjadi bagian
dari tradisi perang ketupat yang merupakan simbolik dari tradisi kearifan
lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar