Minggu, 12 April 2020

Mande' Bedil Keraja'


MANDE’ BEDIL KERAJA’
--- Ritual Tolak Bala Kerajaan Tayan ---
Tomi, S.Pd.,M.E.

Ritual Mande’ Bedil Keraja’ adalah tradisi yang sudah dilakukan nenek moyang Keraton Tayan, yang dilakukan setahun sekali pada bulan Muharram. Pada zaman dahulu, air dari ritual mandi Bedil ini dibagikan kepada masyarakat untuk disiram pada tanaman di ladang maupun kebun. Setelah Ritual Mande’ Bedil Keraja’ diikuti dengan Ritual Perang Ketupat.
Mande’ Bedil Keraja’ adalah sebuah ritual adat yang sudah berlangsung lama atau sejak Kerajaan Tayan berdiri di zaman Raja Pertama Gusti Lekar yang beristrikan Encik Periuk. Tetapi sempat tidak dilaksanakan, dan terakhir dilakukan tahun 1982. Kini kembali dilakukan dalam rangka untuk melestarikan seni dan budaya Keraton Tayan dan untuk membangkitkan industri pariwisata Tayan.
Zaman dahulu Bedil kerajaan juga bisa dimandikan selain pada satu Muharram, seperti bila negeri dilanda kekeringan, atau diserang wabah penyakit, serta bala bencana, yang biasanya ada isyarat mimpi yang dialamatkan kepada raja atau pemimpin sesepuh negeri. Kemudian air dari memandikan Bedil kerajaan itu, dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit manakala ada wabah, atau dapat digunakan untuk memupuk tanaman padi yang juga sebagai air tolak bala.
Mandi Bedil kerajaan bisa dilakukan di dalam keraton dan bisa juga di luar, tetapi tempatnya ditentukan, yakni di Muara Sungai Tayan persis diujung Tanjung yang merupakan salah satu situs sejarah Kerajaan Tayan, yang dilanjutkan dengan Perang Ketupat, sebagai rangkaian dari Mandi Bedil Kerajaan.
Dinamakan Perang Ketupat, yakni sebagai bentuk simbolik tolak bala yang kemungkinan melanda negeri Kerajaan Tayan. Bentuknya saling melemparkan ketupat Tolak Bala, antara kelompok warga di pinggir sungai dengan rombongan warga yang menggunakan motor air.
Prosesi Ritual Perang Ketupat diselenggarakan di Muara Sungai Tayan hingga menuju Istana Keraton Pakunegara Tayan di Desa Pedalaman yang berjarak sekitar satu kilometer dari pusat kerjaan. Ketupat yang digunakan untuk perang ketupat, yakni hasil penyerahan dari warga sebanyak 21 buah tiap rumah tangga secara sukarela. Ketupat tolak bala tersebut bentuknya berbeda dengan ketupat pada umumnya. Ketupat yang diserahkan itu, penyisihan dari hasil panen dan hanya 21 buah setiap kepala keluarga. Dalam Perang Ketupat tersebut melibatkan seluruh unsur masyarakat, tanpa membedakan suku, agama, dan menjadi tradisi bersama, termasuk tamu Kerajaan yang hadir.
Dalam tradisi Ritual Perang Ketupat tersebut, terdapat gendering yang ditabuh warga Suku Dayak di Dusun Entangi, Desa Empetai yang sudah dilakukan sejak turun temurun menjadi bagian dari tradisi perang ketupat yang merupakan simbolik dari tradisi kearifan lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...