--- 4 SIMBOL SPIRITUAL DI KALIMANTAN ---
SIMBOL POHON KEHIDUPAN
DALAM BERBAGAI AGAMA & BUDAYA DI DUNIA
SIMBOL POHON KEHIDUPAN
DALAM BERBAGAI AGAMA & BUDAYA DI DUNIA
Dalam keyakinan masyarakat Kalimantan pada masa dahulu, terdapat 4 simbol Spiritual yang menjadi lambang Agama atau Kepercayaan masyarakat Kalimantan, yaitu :
1. Pohon Batang Garing / Kharing
Berdasarkan makna dasarnya, Pohon Batang Garing / Kharing bermakna Pohon Kehidupan. Berdasarkan sumber tertulis di Indoneisa, simbol Pohon Kehidupan pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kutai, yang merupakan sumber tertulis atau Prasasti tertua. Pohon Kehidupan ini disebut sebagai Kalpataru. Dalam Prasasti ini menyebutkan kebaikan budi sang Mulawarman yang berwujud sedekah dalam jumlah banyak. Karena banyaknya jumlah sedekah itu maka dapat diibaratkan seperti sedekah kehidupan atau Pohon Kalpawrksa.
Keberadaan Prasasti Kutai ini sebagai Prasasti tertua di Indonesia membuktikan bahwa sejak masa dahulu, simbol Pohon Kehidupan menjadi simbol keagamaan masyarakat Kalimantan. Artinya agama Pohon Kehidupan beserta unsur-unsur spiritualnya yang diyakini sebagai agama permulaan di muka bumi yang dibawa oleh manusia pertama dari Surga telah dianut oleh masyarakat Kalimantan sejak masa dahulu. Berbagai unsur spiritual dalam keagamaan Pohon Kehidupan tersebut kemudian berkembang menjadi berbagai adat dan budaya di Kalimantan.
Simbol Pohon Batang Garing atau Kharing menjadi identitas yang melekat pada diri masyarakat Kalimantan sehingga sering disebut bahwa simbol tersebut adalah simbolnya agama Dayak yang dikenal dengan sebutan agama Kaharingan.
Dalam Aksara awalnya, kata Pohon Kehidupan ini berabjad awal “Kh”, yaitu pengucapannya ditekan didalam tenggorokan “Kharing”. Karena rumitnya pengucapan tersebut sehingga lafal yang paling mudah menyebutnya adalah Garing atau Haring.
Terminologi kata “Kaharingan” dalam artian sebagai nama agama, pertama kali muncul pada tanggal 17 April 1944, dalam tulisan Tjilik Riwut yang berjudul Kaharingan (Riwut, 1944). Kemudian pada 1945, saat Jepang berkuasa, dalam tulisannya “Beberapa Keterangan Tentang Bangsa Dajak”, ia dengan jelas memakai istilah “Agama Dajak Kaharingan”.
Sekitar pertengahan tahun 1945, pemerintah militer Jepang di Banjarmasin ingin mengetahui kejelasan nama dari agama yang dianut oleh orang Dayak. Karena sepengetahuan mereka orang-orang Dayak tidak hanya beragama Islam atau Kristen tetapi juga menganut “agama tersendiri”. Untuk itu, maka dipanggillah menghadap dua orang Dayak Ngaju yang bernama Yohanes Salilah dan W.A. Samat. Salilah dengan spontan menjelaskan bahwa nama agama orang Dayak adalah “Kaharingan” yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”.
Sejak saat itu, istilah Kaharingan diadopsi oleh pemerintah militer Jepang di Banjarmasin sebagai nama tersendiri untuk menyebut nama agama yang dianut oleh orang Dayak. Jadi sejak itu pula, semua orang Dayak yang tidak beragama Islam atau Kristen disebut beragama Kaharingan.
Sebelum resmi disebut Kaharingan, agama kuno masyarakat Kalimantan ini disebut “Dayak”. Hal tersebut berdasarkan publikasi dari Gazeta Domes pada bulan April dan Mei tahun 1602, yaitu tertulis, “Setelah penaklukan bangsa Melahuy terhadap wilayah Sriwijaya membuat Kapuas menjadi semakin besar. Dan memotong kepala terhadap orang asing semakin banyak sehingga menyulitkan untuk menyampaikan agama ke wilayah pedalaman Borneo. Karena rakyatnya kuat mempertahankan agama nenek moyangnya yang mereka sebut sebagai agama Dayak yaitu agama Dieng dan Dio yang mereka maknai sebagai agama sempurna di langit dan bumi”.
Kata “Dayak” yang berdampingan dengan “Dieng – Dio” juga terdapat dalam pahatan pada Aksara di Batu Sampai Sanggau dan Batu Pahat Sekadau. Kedua pahatan aksara tersebut lebih cocok disebut sebagai Aksara Dayak, karena tema utama dalam kedua pahatan Aksara tersebut adalah tentang “Dayak–Dieng–Dio”, yang bermakna “Kesempurnaan – Langit – Bumi”. Bahkan kata-kata tersebut menjadi pembuka dalam kedua pahatan Aksara tersebut.
Berdasarkan catatan Thomas Bowrey, yaitu seorang pedagang Inggris, yang pada tahun 1701 menyusun kamus Melayu ke Inggris pertama, menggambarkan peta penyebaran asal mula bahasa Melayu adalah bermula dari kawasan kedua pahatan Akasara tersebut yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Jika merujuk pada Prasasti Yupa Kutai, yang merupakan sumber tertulis atau Prasasti tertua, bahwa asal muasal Melayu berasal dari kata Malaya, dan permulaannya muncul yaitu dalam Prasasti Yupa Kutai dengan nomor Invetaris D 175 atau Prasasti Muarakaman V. Dalam Prasasti itu disebutkan adanya upacara persembahan di pegunungan yang tinggi (Parwatam) sebagai tempat permulaan Negeri (Pamalaya).
2. Palang Silang
Palang Silang adalah simbol yang bermakna sebagai tempat berkumpulnya berbagai semangat kehidupan. Semangat itu berhubungan dengan semangat suci para Leluhur yang diyakini memberi pengaruh pada kehidupan dan perilaku anak keturunannya. Simbol Palang Silang ini biasanya ditempatkan pada atap tempat tinggal atau rumah dan menjadi hiasan utama atau hiasan ciri khas rumah-rumah masyarakat Dayak, agar rumahnya selalu dilindungi oleh semangat para Leluhur. Selain itu, penempatan hiasan Palang Silang diatap rumah diyakini sebagai tempat berkumpulnya rezeki, kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan.
3. Dhug
Dhug adalah simbol yang bermakna sebagai Payung Pelindung dalam perjalanan suci menuju surga. Pada pengertian yang lainnya disebutkan bahwa Dhug bermakna sebagai Payung Pelindung yang terdapat pada singgasana atau tempat duduk di Surga. Pada istilah lainnya, Dhug disebut juga sebagai Chatra yang bermakna Payung Kebesaran Raja. Dhug sering ditempatkan pada area pemakaman dan berbentuk tiang memanjang, namun sering juga ditempatkan pada bangunan pemakaman. Dhug diyakini telah wujud sejak lama dalam peradaban masyarakat Kalimantan, sehingga dikelompokkan dalam salah satu peninggalan pada masa Megalitikum. Dhug diyakini dapat melindungi dan membimbing arwah atau roh seseorang dalam perjalanannya menuju ke Surga.
4. Tajau
Tajau adalah simbol yang bermakna sebagai tempat Asali atau tempat asal usul Sumber Kehidupan. Tajau ini berbentuk tempayan dan menjadi benda yang sangat disakralkan oleh masyarakat Dayak. Tajau ini biasanya juga sebagai tempat menyimpan tulang belulang orang yang telah meninggal dunia dan ditempatkan di area pemakaman. Selain itu, Tajau juga merupakan salah satu peninggalan pada masa Megalitikum sehingga wujudnya telah ada sejak masa dahulu.
1. Pohon Batang Garing / Kharing
Berdasarkan makna dasarnya, Pohon Batang Garing / Kharing bermakna Pohon Kehidupan. Berdasarkan sumber tertulis di Indoneisa, simbol Pohon Kehidupan pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kutai, yang merupakan sumber tertulis atau Prasasti tertua. Pohon Kehidupan ini disebut sebagai Kalpataru. Dalam Prasasti ini menyebutkan kebaikan budi sang Mulawarman yang berwujud sedekah dalam jumlah banyak. Karena banyaknya jumlah sedekah itu maka dapat diibaratkan seperti sedekah kehidupan atau Pohon Kalpawrksa.
Keberadaan Prasasti Kutai ini sebagai Prasasti tertua di Indonesia membuktikan bahwa sejak masa dahulu, simbol Pohon Kehidupan menjadi simbol keagamaan masyarakat Kalimantan. Artinya agama Pohon Kehidupan beserta unsur-unsur spiritualnya yang diyakini sebagai agama permulaan di muka bumi yang dibawa oleh manusia pertama dari Surga telah dianut oleh masyarakat Kalimantan sejak masa dahulu. Berbagai unsur spiritual dalam keagamaan Pohon Kehidupan tersebut kemudian berkembang menjadi berbagai adat dan budaya di Kalimantan.
Simbol Pohon Batang Garing atau Kharing menjadi identitas yang melekat pada diri masyarakat Kalimantan sehingga sering disebut bahwa simbol tersebut adalah simbolnya agama Dayak yang dikenal dengan sebutan agama Kaharingan.
Dalam Aksara awalnya, kata Pohon Kehidupan ini berabjad awal “Kh”, yaitu pengucapannya ditekan didalam tenggorokan “Kharing”. Karena rumitnya pengucapan tersebut sehingga lafal yang paling mudah menyebutnya adalah Garing atau Haring.
Terminologi kata “Kaharingan” dalam artian sebagai nama agama, pertama kali muncul pada tanggal 17 April 1944, dalam tulisan Tjilik Riwut yang berjudul Kaharingan (Riwut, 1944). Kemudian pada 1945, saat Jepang berkuasa, dalam tulisannya “Beberapa Keterangan Tentang Bangsa Dajak”, ia dengan jelas memakai istilah “Agama Dajak Kaharingan”.
Sekitar pertengahan tahun 1945, pemerintah militer Jepang di Banjarmasin ingin mengetahui kejelasan nama dari agama yang dianut oleh orang Dayak. Karena sepengetahuan mereka orang-orang Dayak tidak hanya beragama Islam atau Kristen tetapi juga menganut “agama tersendiri”. Untuk itu, maka dipanggillah menghadap dua orang Dayak Ngaju yang bernama Yohanes Salilah dan W.A. Samat. Salilah dengan spontan menjelaskan bahwa nama agama orang Dayak adalah “Kaharingan” yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”.
Sejak saat itu, istilah Kaharingan diadopsi oleh pemerintah militer Jepang di Banjarmasin sebagai nama tersendiri untuk menyebut nama agama yang dianut oleh orang Dayak. Jadi sejak itu pula, semua orang Dayak yang tidak beragama Islam atau Kristen disebut beragama Kaharingan.
Sebelum resmi disebut Kaharingan, agama kuno masyarakat Kalimantan ini disebut “Dayak”. Hal tersebut berdasarkan publikasi dari Gazeta Domes pada bulan April dan Mei tahun 1602, yaitu tertulis, “Setelah penaklukan bangsa Melahuy terhadap wilayah Sriwijaya membuat Kapuas menjadi semakin besar. Dan memotong kepala terhadap orang asing semakin banyak sehingga menyulitkan untuk menyampaikan agama ke wilayah pedalaman Borneo. Karena rakyatnya kuat mempertahankan agama nenek moyangnya yang mereka sebut sebagai agama Dayak yaitu agama Dieng dan Dio yang mereka maknai sebagai agama sempurna di langit dan bumi”.
Kata “Dayak” yang berdampingan dengan “Dieng – Dio” juga terdapat dalam pahatan pada Aksara di Batu Sampai Sanggau dan Batu Pahat Sekadau. Kedua pahatan aksara tersebut lebih cocok disebut sebagai Aksara Dayak, karena tema utama dalam kedua pahatan Aksara tersebut adalah tentang “Dayak–Dieng–Dio”, yang bermakna “Kesempurnaan – Langit – Bumi”. Bahkan kata-kata tersebut menjadi pembuka dalam kedua pahatan Aksara tersebut.
Berdasarkan catatan Thomas Bowrey, yaitu seorang pedagang Inggris, yang pada tahun 1701 menyusun kamus Melayu ke Inggris pertama, menggambarkan peta penyebaran asal mula bahasa Melayu adalah bermula dari kawasan kedua pahatan Akasara tersebut yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Jika merujuk pada Prasasti Yupa Kutai, yang merupakan sumber tertulis atau Prasasti tertua, bahwa asal muasal Melayu berasal dari kata Malaya, dan permulaannya muncul yaitu dalam Prasasti Yupa Kutai dengan nomor Invetaris D 175 atau Prasasti Muarakaman V. Dalam Prasasti itu disebutkan adanya upacara persembahan di pegunungan yang tinggi (Parwatam) sebagai tempat permulaan Negeri (Pamalaya).
2. Palang Silang
Palang Silang adalah simbol yang bermakna sebagai tempat berkumpulnya berbagai semangat kehidupan. Semangat itu berhubungan dengan semangat suci para Leluhur yang diyakini memberi pengaruh pada kehidupan dan perilaku anak keturunannya. Simbol Palang Silang ini biasanya ditempatkan pada atap tempat tinggal atau rumah dan menjadi hiasan utama atau hiasan ciri khas rumah-rumah masyarakat Dayak, agar rumahnya selalu dilindungi oleh semangat para Leluhur. Selain itu, penempatan hiasan Palang Silang diatap rumah diyakini sebagai tempat berkumpulnya rezeki, kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan.
3. Dhug
Dhug adalah simbol yang bermakna sebagai Payung Pelindung dalam perjalanan suci menuju surga. Pada pengertian yang lainnya disebutkan bahwa Dhug bermakna sebagai Payung Pelindung yang terdapat pada singgasana atau tempat duduk di Surga. Pada istilah lainnya, Dhug disebut juga sebagai Chatra yang bermakna Payung Kebesaran Raja. Dhug sering ditempatkan pada area pemakaman dan berbentuk tiang memanjang, namun sering juga ditempatkan pada bangunan pemakaman. Dhug diyakini telah wujud sejak lama dalam peradaban masyarakat Kalimantan, sehingga dikelompokkan dalam salah satu peninggalan pada masa Megalitikum. Dhug diyakini dapat melindungi dan membimbing arwah atau roh seseorang dalam perjalanannya menuju ke Surga.
4. Tajau
Tajau adalah simbol yang bermakna sebagai tempat Asali atau tempat asal usul Sumber Kehidupan. Tajau ini berbentuk tempayan dan menjadi benda yang sangat disakralkan oleh masyarakat Dayak. Tajau ini biasanya juga sebagai tempat menyimpan tulang belulang orang yang telah meninggal dunia dan ditempatkan di area pemakaman. Selain itu, Tajau juga merupakan salah satu peninggalan pada masa Megalitikum sehingga wujudnya telah ada sejak masa dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar