Senin, 13 April 2020

4 Simbol Spiritual Di Kalimantan


--- 4 SIMBOL SPIRITUAL DI KALIMANTAN ---
SIMBOL POHON KEHIDUPAN
DALAM BERBAGAI AGAMA & BUDAYA DI DUNIA
Dalam keyakinan masyarakat Kalimantan pada masa dahulu, terdapat 4 simbol Spiritual yang menjadi lambang Agama atau Kepercayaan masyarakat Kalimantan, yaitu :
1. Pohon Batang Garing / Kharing
Berdasarkan makna dasarnya, Pohon Batang Garing / Kharing bermakna Pohon Kehidupan. Berdasarkan sumber tertulis di Indoneisa, simbol Pohon Kehidupan pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kutai, yang merupakan sumber tertulis atau Prasasti tertua. Pohon Kehidupan ini disebut sebagai Kalpataru. Dalam Prasasti ini menyebutkan kebaikan budi sang Mulawarman yang berwujud sedekah dalam jumlah banyak. Karena banyaknya jumlah sedekah itu maka dapat diibaratkan seperti sedekah kehidupan atau Pohon Kalpawrksa.
Keberadaan Prasasti Kutai ini sebagai Prasasti tertua di Indonesia membuktikan bahwa sejak masa dahulu, simbol Pohon Kehidupan menjadi simbol keagamaan masyarakat Kalimantan. Artinya agama Pohon Kehidupan beserta unsur-unsur spiritualnya yang diyakini sebagai agama permulaan di muka bumi yang dibawa oleh manusia pertama dari Surga telah dianut oleh masyarakat Kalimantan sejak masa dahulu. Berbagai unsur spiritual dalam keagamaan Pohon Kehidupan tersebut kemudian berkembang menjadi berbagai adat dan budaya di Kalimantan.
Simbol Pohon Batang Garing atau Kharing menjadi identitas yang melekat pada diri masyarakat Kalimantan sehingga sering disebut bahwa simbol tersebut adalah simbolnya agama Dayak yang dikenal dengan sebutan agama Kaharingan.
Dalam Aksara awalnya, kata Pohon Kehidupan ini berabjad awal “Kh”, yaitu pengucapannya ditekan didalam tenggorokan “Kharing”. Karena rumitnya pengucapan tersebut sehingga lafal yang paling mudah menyebutnya adalah Garing atau Haring.
Terminologi kata “Kaharingan” dalam artian sebagai nama agama, pertama kali muncul pada tanggal 17 April 1944, dalam tulisan Tjilik Riwut yang berjudul Kaharingan (Riwut, 1944). Kemudian pada 1945, saat Jepang berkuasa, dalam tulisannya “Beberapa Keterangan Tentang Bangsa Dajak”, ia dengan jelas memakai istilah “Agama Dajak Kaharingan”.
Sekitar pertengahan tahun 1945, pemerintah militer Jepang di Banjarmasin ingin mengetahui kejelasan nama dari agama yang dianut oleh orang Dayak. Karena sepengetahuan mereka orang-orang Dayak tidak hanya beragama Islam atau Kristen tetapi juga menganut “agama tersendiri”. Untuk itu, maka dipanggillah menghadap dua orang Dayak Ngaju yang bernama Yohanes Salilah dan W.A. Samat. Salilah dengan spontan menjelaskan bahwa nama agama orang Dayak adalah “Kaharingan” yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”.
Sejak saat itu, istilah Kaharingan diadopsi oleh pemerintah militer Jepang di Banjarmasin sebagai nama tersendiri untuk menyebut nama agama yang dianut oleh orang Dayak. Jadi sejak itu pula, semua orang Dayak yang tidak beragama Islam atau Kristen disebut beragama Kaharingan.
Sebelum resmi disebut Kaharingan, agama kuno masyarakat Kalimantan ini disebut “Dayak”. Hal tersebut berdasarkan publikasi dari Gazeta Domes pada bulan April dan Mei tahun 1602, yaitu tertulis, “Setelah penaklukan bangsa Melahuy terhadap wilayah Sriwijaya membuat Kapuas menjadi semakin besar. Dan memotong kepala terhadap orang asing semakin banyak sehingga menyulitkan untuk menyampaikan agama ke wilayah pedalaman Borneo. Karena rakyatnya kuat mempertahankan agama nenek moyangnya yang mereka sebut sebagai agama Dayak yaitu agama Dieng dan Dio yang mereka maknai sebagai agama sempurna di langit dan bumi”.
Kata “Dayak” yang berdampingan dengan “Dieng – Dio” juga terdapat dalam pahatan pada Aksara di Batu Sampai Sanggau dan Batu Pahat Sekadau. Kedua pahatan aksara tersebut lebih cocok disebut sebagai Aksara Dayak, karena tema utama dalam kedua pahatan Aksara tersebut adalah tentang “Dayak–Dieng–Dio”, yang bermakna “Kesempurnaan – Langit – Bumi”. Bahkan kata-kata tersebut menjadi pembuka dalam kedua pahatan Aksara tersebut.
Berdasarkan catatan Thomas Bowrey, yaitu seorang pedagang Inggris, yang pada tahun 1701 menyusun kamus Melayu ke Inggris pertama, menggambarkan peta penyebaran asal mula bahasa Melayu adalah bermula dari kawasan kedua pahatan Akasara tersebut yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Jika merujuk pada Prasasti Yupa Kutai, yang merupakan sumber tertulis atau Prasasti tertua, bahwa asal muasal Melayu berasal dari kata Malaya, dan permulaannya muncul yaitu dalam Prasasti Yupa Kutai dengan nomor Invetaris D 175 atau Prasasti Muarakaman V. Dalam Prasasti itu disebutkan adanya upacara persembahan di pegunungan yang tinggi (Parwatam) sebagai tempat permulaan Negeri (Pamalaya).
2. Palang Silang
Palang Silang adalah simbol yang bermakna sebagai tempat berkumpulnya berbagai semangat kehidupan. Semangat itu berhubungan dengan semangat suci para Leluhur yang diyakini memberi pengaruh pada kehidupan dan perilaku anak keturunannya. Simbol Palang Silang ini biasanya ditempatkan pada atap tempat tinggal atau rumah dan menjadi hiasan utama atau hiasan ciri khas rumah-rumah masyarakat Dayak, agar rumahnya selalu dilindungi oleh semangat para Leluhur. Selain itu, penempatan hiasan Palang Silang diatap rumah diyakini sebagai tempat berkumpulnya rezeki, kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan.
3. Dhug
Dhug adalah simbol yang bermakna sebagai Payung Pelindung dalam perjalanan suci menuju surga. Pada pengertian yang lainnya disebutkan bahwa Dhug bermakna sebagai Payung Pelindung yang terdapat pada singgasana atau tempat duduk di Surga. Pada istilah lainnya, Dhug disebut juga sebagai Chatra yang bermakna Payung Kebesaran Raja. Dhug sering ditempatkan pada area pemakaman dan berbentuk tiang memanjang, namun sering juga ditempatkan pada bangunan pemakaman. Dhug diyakini telah wujud sejak lama dalam peradaban masyarakat Kalimantan, sehingga dikelompokkan dalam salah satu peninggalan pada masa Megalitikum. Dhug diyakini dapat melindungi dan membimbing arwah atau roh seseorang dalam perjalanannya menuju ke Surga.
4. Tajau
Tajau adalah simbol yang bermakna sebagai tempat Asali atau tempat asal usul Sumber Kehidupan. Tajau ini berbentuk tempayan dan menjadi benda yang sangat disakralkan oleh masyarakat Dayak. Tajau ini biasanya juga sebagai tempat menyimpan tulang belulang orang yang telah meninggal dunia dan ditempatkan di area pemakaman. Selain itu, Tajau juga merupakan salah satu peninggalan pada masa Megalitikum sehingga wujudnya telah ada sejak masa dahulu.

Minggu, 12 April 2020

Mande' Bedil Keraja'


MANDE’ BEDIL KERAJA’
--- Ritual Tolak Bala Kerajaan Tayan ---
Tomi, S.Pd.,M.E.

Ritual Mande’ Bedil Keraja’ adalah tradisi yang sudah dilakukan nenek moyang Keraton Tayan, yang dilakukan setahun sekali pada bulan Muharram. Pada zaman dahulu, air dari ritual mandi Bedil ini dibagikan kepada masyarakat untuk disiram pada tanaman di ladang maupun kebun. Setelah Ritual Mande’ Bedil Keraja’ diikuti dengan Ritual Perang Ketupat.
Mande’ Bedil Keraja’ adalah sebuah ritual adat yang sudah berlangsung lama atau sejak Kerajaan Tayan berdiri di zaman Raja Pertama Gusti Lekar yang beristrikan Encik Periuk. Tetapi sempat tidak dilaksanakan, dan terakhir dilakukan tahun 1982. Kini kembali dilakukan dalam rangka untuk melestarikan seni dan budaya Keraton Tayan dan untuk membangkitkan industri pariwisata Tayan.
Zaman dahulu Bedil kerajaan juga bisa dimandikan selain pada satu Muharram, seperti bila negeri dilanda kekeringan, atau diserang wabah penyakit, serta bala bencana, yang biasanya ada isyarat mimpi yang dialamatkan kepada raja atau pemimpin sesepuh negeri. Kemudian air dari memandikan Bedil kerajaan itu, dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit manakala ada wabah, atau dapat digunakan untuk memupuk tanaman padi yang juga sebagai air tolak bala.
Mandi Bedil kerajaan bisa dilakukan di dalam keraton dan bisa juga di luar, tetapi tempatnya ditentukan, yakni di Muara Sungai Tayan persis diujung Tanjung yang merupakan salah satu situs sejarah Kerajaan Tayan, yang dilanjutkan dengan Perang Ketupat, sebagai rangkaian dari Mandi Bedil Kerajaan.
Dinamakan Perang Ketupat, yakni sebagai bentuk simbolik tolak bala yang kemungkinan melanda negeri Kerajaan Tayan. Bentuknya saling melemparkan ketupat Tolak Bala, antara kelompok warga di pinggir sungai dengan rombongan warga yang menggunakan motor air.
Prosesi Ritual Perang Ketupat diselenggarakan di Muara Sungai Tayan hingga menuju Istana Keraton Pakunegara Tayan di Desa Pedalaman yang berjarak sekitar satu kilometer dari pusat kerjaan. Ketupat yang digunakan untuk perang ketupat, yakni hasil penyerahan dari warga sebanyak 21 buah tiap rumah tangga secara sukarela. Ketupat tolak bala tersebut bentuknya berbeda dengan ketupat pada umumnya. Ketupat yang diserahkan itu, penyisihan dari hasil panen dan hanya 21 buah setiap kepala keluarga. Dalam Perang Ketupat tersebut melibatkan seluruh unsur masyarakat, tanpa membedakan suku, agama, dan menjadi tradisi bersama, termasuk tamu Kerajaan yang hadir.
Dalam tradisi Ritual Perang Ketupat tersebut, terdapat gendering yang ditabuh warga Suku Dayak di Dusun Entangi, Desa Empetai yang sudah dilakukan sejak turun temurun menjadi bagian dari tradisi perang ketupat yang merupakan simbolik dari tradisi kearifan lokal.

Jumat, 10 April 2020

ASAL MUASAL MELAYU


ASAL MUASAL MELAYU
--- ASAL MUASAL ZAPIN MELAYU ---
Tomi, S.Pd.,M.E.

Asal muasal Melayu berasal dari kata Malaya, dan permulaannya muncul yaitu dalam Prasasti Yupa Kutai dengan nomor Invetaris D 175 atau Prasasti Muarakaman V. Dalam Prasasti itu disebutkan adanya upacara persembahan di pegunungan tinggi (Parwatam) sebagai tempat permulaan Negeri (Pamalaya).
Jadi dalam Prasasti Muarakaman V atau Prasasti Yupa Kutai nomor D 175 tersebut telah jelas disebutkan bahwa nama negeri tempat pelaksanaan Persembahan di pegunungan yang tinggi atau Parwatam adalah Pamalaya, meskipun kemudian Prasasti tersebut disebut Prasasti Kutai karena ditemukan di Kutai. Berdasarkan Prasasti ini maka permulaan istilah Malaya atau Melayu muncul dalam Prasasti Yupa Kutai dan pada kawasan ditemukannya Prasasti tersebut.
Makna yang terkandung dalam Prasasti Yupa Kutai merupakan hasil terjemahan dari JG. de Casparis, yang merujuk pada Kroniks Fa Hsien, yaitu catatan salah seorang Pendeta Buddha berbangsa China yang melakukan perjalanan ke Varuna Dvipa (Pulau Dewa Laut / Kalimantan) tahun 399-414 Masehi. Artinya bahwa perkiraan tahun keberadaan Prasasti Yupa Kutai ini disebutkan sekitar 400 Masehi belum sepenuhnya dilakukan kajian sejarah yang mendalam, karena bisa jadi bahwa keberadaan Prasasti Yupa Kutai ini lebih tua dari tahun 400 Masehi yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, merujuk pada pendapat JG. de Casparis, yaitu melihat dari ciri-ciri gaya penulisannya, ia menamakan aksara Kutai ini sebaga Early Pallawa atau Pallawa Tua yang diperkirakan berasal sekitar tahun 400 M atau setengah abad sebelumnya. Pendapat de Casparis ini belum menghitung masa keberadaan Kudungga dan Aswawarman.
Berdasarkan Arca Perunggu yang ditemukan di Kota Bangun, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, bahwa keberadaan pemerintahan di kawasan ini telah ada sejak abad ke-2 Masehi. Arca ini tersimpan di Paris, dan disebutkan sebagai peninggalan abad ke-2 Masehi. Kota Bangun merupakan sebuah daerah yang memiliki sejarah peradaban lama. Kawasan ini dalam sejarahnya adalah bekas wilayah Kerajaan Sri Bangun dengan Rajanya yang paling terkenal bernama “Qeva”, atau jika dibaca untuk sekarang ini adalah “Siwa”.
Arca ini disebutkan dalam bentuk ritual Pardavam Pamala Pallava Palva. Sebutan yang sama dalam ritual yang tertulis dalam Prasasti Yupa Kutai dan Batu Pahat Sekadau. Artinya, keberadaan Arca ini pada lokasi yang sama di kawasan Kutai sebagai salah satu “Pembantah” bahwa Prasasti Yupa Kutai merupakan peninggalan abad ke-4 Masehi, tetapi lebih tua dari itu, yang setara dengan permulaan Masehi, bahkan sepertinya jauh sebelum Masehi.
Pallava atau Pallawa yang menjadi bentuk Aksara yang terpahatkan pada Prasasti Yupa Kutai, jika merujuk pada sejarah tentang Pallava atau Pallawa itu sendiri disebutkan berasal dari Dinasti Pallawa yang baru muncul pada abad ke-4 Masehi. Bagaimana mungkin Dinasti yang baru muncul pada abad ke-4 bisa langsung menyebar peradabannya pada masa yang sama di Kalimantan.
Dinasti Pallava atau Pallawa adalah dinasti Tamil di India Selatan yang memerintah di wilayah Tamil Nadu utara dan wilayah Andhra Pradesh selatan, dengan ibu kotanya terletak di Kanchipuram pada abad ke-4 hingga 9 Masehi. Kaum kerabat Pallava berasal dari komunitas Kuruba atau Kurumba. Pada mulanya menghuni di wilayah Guntur di Andhra Pradesh. Kawasan ini kini masih dirujuk sebagai Palnadu atau Pallava Nadu.
Perkataan "Pallava" berarti “Persia”, karena disebutkan bahwa dinasti ini asal usulnya adalah orang Persia yang membentuk dinasti di Tamil Nadu. Pada riwayat lainnya disebutkan bahwa “Pallava” berarti cabang. Karena lokasi negerinya di gugusan pegunungan tinggi pada percabangan dua perairan besar. Sedangkan pada riwayat lainnya lagi disebutkan bahwa “Pallava” atau “Palva” berarti “Berpuasa pada masa Purnama”.
Kemudian dalam sejarah lainnya, kata Pallava juga pernah diucapkan oleh Maha Patih Gajah Mada dalam sumpahnya yang akan menyatukan Nusantara. Pada tahun 1334 Masehi, Gajah Mada dinobatkan sebagai Maha Patih Wilwatikta. Ketika penobatannya menjadi Maha Patih Wilwatikta, Gajah Mada dengan mengangkat Keris Pusaka bernama Surya Penuluh milik Kertarajasa Jayawardhana, pendiri Kerajaan Majapahit yang ia dapatkan dari pemberian Putra Jaya, Raja Tanjung Pura, mengangkat sumpah bakti dan kesetiaan kepada Wilwatikta.
Dalam sumpahnya, Gajah Mada menyatakan untuk mempersatukan Nusantara dibawah naungan Wilwatikta. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Amukti Pallava. Sumpah Gajah Mada itu sangat menggemparkan. Disebut Amukti Pallava karena merupakan kata-kata yang menjadi penekanan utama dalam sumpahnya yang bermakna berhenti berpuasa. Artinya kata Pallava dalam sumpah Gajah Mada ini bermakna Puasa. Makna yang sama dengan dasar makna dari kata Pallava yang telah diuraikan sebelumnya.
Tekad Gajah Mada yang begitu lantang menyampaikan akan berhenti berpuasa jika telah berhasil mempersatukan Nusantara, mengisyaratkan bahwa kehidupan Gajah Mada sudah terbiasa dengan perilaku berpuasa ini yang merupakan rutinitas ibadah suci orang Pallava. Hal ini juga menunjukkan bahwa Gajah Mada ini berasal dari Dinasti Pallava. Dan pada masa itu Dinasti Pallava merupakan salah satu dinasti yang telah tersebar di berbagai penjuru dunia, sehingga dengan mudah Gajah Mada menyatukan Nusantara.
Berdasarkan catatan Thomas Bowrey, yaitu seorang pedagang Inggris, yang pada tahun 1701 menyusun kamus Melayu ke Inggris pertama, menggambarkan peta penyebaran asal mula bahasa Melayu adalah bermula dari Kalimantan. Jika dilihat pada peta yang telah dibuat oleh Bowrey maka asal mula bahasa Melayu berasal dari kawasan keberadaan pahatan Akasara di Batu Sampai Sanggau dan Batu Pahat Sekadau, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa Prasasti Yupa Kutai adalah rekam sejarah pada masa dahulu. Prasasti Yupa Kutai merupakan Transkrip Purbakala yang telah diakui keotentikannya dalam menjelaskan situasi peradaban masyarakat Nusantara pada masa dahulu. Prasasti Yupa Kutai adalah sumber tertulis tertua di Nusantara. Artinya sebagai Kerajaan tertua di Nusantara, maka Kerajaan Kutai merupakan sumber awal proses peradaban sejarah dan kebudayaan di Nusantara.
Bukankah demikian? Setiap yang tertua, tentunya akan mempengaruhi proses perkembangan baik bentuk, ciri dan perilaku bagi mereka-mereka yang lebih muda. Karena mustahil jika yang muda-muda membawa pengaruh kepada yang lebih tua. Sehingga setiap yang ada di Nusantara ini adalah hasil dari pengaruh peradaban Sejarah dan Kebudayaan tertua di Nusantara yang dalam hal ini adalah Kerajaan Kutai yang telah diakui sebagai Kerajaan tertua di Nusantara.

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...