Minggu, 29 Desember 2019

UMAYRAH ITU JINGGA : Antara Zahara, Elisa & Kematian


UMAYRAH ITU JINGGA
ANTARA ZAHARA, ELISA & KEMATIAN

Dua hari berikutnya setelah pertemuanku dengan Zahara, aku menyempatkan diri untuk menjenguknya lagi di rumah sakit Soedarso. Saat itu sudah hampir Maghrib. Aku memasuki ruangan tempat Zahara di rawat. Dan terlihat Bibinya sedang menyuapinya makan saat itu. Melihat kedatanganku, Zahara sangat senang. Aku pun berdiri di ujung dekat tempat tidurnya sambil menunggunya selesai disuapkan makan oleh Bibinya.
Selesai makan, Zahara meminta Bibinya untuk mengambil sesuatu dari lemari kecil di dekat tempat tidurnya. Bibinya pun mengambilkan benda tersebut dan memberikan kepadanya. Setelah memberikan benda itu kepada Zahara, Bibinya pergi keluar untuk memberikan kesempatan kepada kami berbicara berdua.
Sambil memegang sesuatu yang terbungkus dalam sebuah plastik hitam, Zahara bertanya mengapa aku baru menjenguknya lagi. Ku katakan bahwa aku ada kesibukan dua hari ini. Zahara pun hanya menganggukkan kepalanya saja mendengar jawabanku itu. Selanjutnya ia mengeluarkan benda yang terbungkus dalam plastik hitam itu. Rupanya benda itu adalah sebuah buku diari.
Sambil memegang buku diari itu, Zahara berkata bahwa ia meminta maaf karena tidak bisa mengembalikan buku diariku yang pernah dipinjamnya. Aku pun berkata bahwa aku sudah tidak ingat lagi dengan buku diariku itu, dan tidak apa-apa jika ia tidak bisa mengembalikan buku diariku itu.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia sangat senang membaca tulisanku saat itu meskipun hanya selembar saja, tetapi selalu dibacanya berulang kali. Setelah tidak bertemu lagi denganku, buku diariku itu di lanjutkannya dengan tulisannya hingga habis satu buku. Namun pada tahun 1993, rumahnya terbakar dan buku diariku itu juga ikut terbakar, padahal buku diariku itu sudah terisi semuanya dengan tulisan-tulisannya tentang berbagai kisah dan curahan hatinya pada masa-masa itu.
Tahun 1997, ketika ia mulai terkena penyakit Sifilis, ia teringat kepada buku diariku yang telah terbakar bersama rumahnya. Ia pun membeli buku diari baru untuk tempatnya menumpahkan perasaannya. Dan buku diari itu sedang dipegangnya saat itu. Namun buku diarinya yang baru itu belum penuh semuanya, karena ia menulisnya ketika sedang susah hati atau merasa kesepian saja. Ia pun memintaku untuk menerima buku diarinya itu sebagai ganti buku diariku yang pernah dipinjamnya namun ikut terbakar bersama rumahnya.
Zahara kemudian memberikan buku diari itu yang kulitnya berwarna kuning gelap kepadaku. Aku pun menerimanya. Sambil memberikannya kepadaku, Zahara berkata agar aku mau melanjutkan menulis buku diari itu hingga penuh. Aku pun berkata bahwa aku akan melanjutkan menulisnya hingga penuh. Selanjutnya kami berbincang-bincang tentang kesembuhan penyakit yang telah lama dideritanya.
Setelah cukup lama kami berbincang-bincang, aku pun berkata bahwa aku akan pulang. Zahara mengiyakan, namun kembali ia meminta dengan nada memaksa agar aku dapat datang lagi menjenguknya.
Aku pun berkata bahwa aku akan mengusahakan untuk menjenguknya lagi. Rupanya jawabanku itu terlihat belum memuaskannya, ia mengulang permintaannya agar aku dapat menjenguknya lagi. Kembali ku katakan bahwa aku akan menjenguknya lagi. Namun kembali Zahara terlihat seperti tidak yakin jika aku akan datang lagi menjenguknya. Setelah berkali-kali ku katakan bahwa aku akan datang menjenguknya lagi barulah Zahara terlihat senang.
Selanjutnya aku berpamitan akan pulang. Namun ketika aku berpamitan, Zahara memintaku untuk mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”, Zahara mengatakan bahwa ia rindu mendengar aku mengucapkan kata-kata itu, yang dulunya selalu menjadi bahan untuk menertawakanku.
Aku sambil tersenyum mengatakan bahwa enggan untuk mengucapkannya. Namun Zahara memaksa sambil berkata bahwa ia sangat ingin mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Zahara juga berkata bahwa logat “R” berkaratku dalam mengucapkan kata-kata itu sangat membahagiakan hatinya, dan sebagai penghibur baginya yang sedang sakit itu.
Mendengar perkataan Zahara itu, aku pun mengabulkan permintaannya. Aku langsung mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”. Setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Zahara langsung tertawa. Selama aku bertemunya di rumah sakit, baru kali itu aku melihatnya tertawa lepas dan terlihat sangat bahagia. Hatiku pun ikut senang melihatnya.
Kemudian kembali Zahara meminta aku untuk mengulanginya lagi menyebut kata-kata itu. Aku pun kembali mengulanginya menyebut kata-kata itu lagi, karena hatiku senang melihatnya dapat tertawa lepas dan dapat melupakan sakitnya itu walau hanya sesaat. Setelah ku ucapkan kata-kata itu lagi, kembali Zahara tertawa, ia sangat bahagia sekali saat itu. Seakan-akan ia dapat melupakan sakit yang dideritanya walau hanya sesaat. Dan aku seperti melihat Zahara yang dulu yang sangat cantik dimataku.
Setelah puas membuat Zahara tertawa, aku pun berpamitan untuk pulang karena telah lewat waktu membesuk. Kembali Zahara berpesan agar aku datang lagi menjenguknya. Aku mengiyakan pesannya itu.
Selanjutnya aku keluar dari ruangan tempatnya di rawat sambil membawa buku diari milik Zahara yang diberikannya kepadaku, dan diluar aku juga berpamitan dengan Bibinya. Setelah itu aku berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso untuk pulang ke rumahku.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan membuka buku diari milik Zahara. Pada balik kulit buku terdapat nama Elisa Kharismawati. Rupanya nama sebenarnya Zahara adalah Elisa Kharismawati. Zahara itu ternyata hanya nama panggilannya saja ketika dulu dia aktif di Remaja Masjil Al-Falah.
Aku kemudian membuka lagi lembaran buku diari Zahara itu. Pada lembar berikutnya terdapat tulisannya yang meyebutkan bahwa buku diari itu sebagai pengganti buku diari milikku si “R” berkarat yang pernah dipinjamnya dahulu tetapi telah terbakar ketika rumahnya terbakar tahun 1993. Ia juga menulis sangat rindu mendengar logat “R” berkaratku. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri membaca tulisannya itu.
Berikutnya tulisan-tulisannya tentang keluh kesah tentang penyakitnya. Dan pada tulisan terakhir ia menulis “Surga atau Neraka ada pada pasanganmu. Jika ingin masuk surga, carilah pasangan yang Sholeh. Jika ingin masuk neraka, carilah pasangan yang bejat. Dan aku telah salah memilih pasangan. Aku telah salah mencintai orang, yang ternyata telah membawaku ke neraka. Dan neraka itu sudah ku rasakan di dunia ini”.
Aku terpaku membaca tulisannya yang terakhir itu. Untuk beberapa saat aku merenungi kata-kata tersebut. Setelah itu aku mengulanginya membaca dari lembar pertama lagi. Buku diari milik Zahara itu belum sampai setengah buku terisi. Dan pada malam itu aku membacanya berulang kali hingga aku tertidur.
Hari-hari berikutnya aku berencana akan menjenguk Zahara lagi, tapi selalu saja ada halangan sehingga rencanaku itu selalu gagal. Dan lebih dari 2 minggu aku belum bisa menjenguk Zahara di rumah sakit. Barulah pada hari Selasa 11 Mei 1999 aku sempat singgah ke rumah sakit untuk menjenguk Zahara, itu pun waktunya sudah hampir jam 7 malam.
Aku pun bergegas memasuki ruangan tempat Zahara di rawat. Tapi ketika aku telah masuk didalam, aku bingung karena tempat Zahara dirawat telah berganti dengan orang lain.
Aku bertanya pada orang yang ada di tempat itu kemana pasien yang sebelumnya di rawat di tempat itu. Namun orang yang ada di tempat itu tidak tahu kemana pasien sebelumnya apakah dipindahkan ke tempat lain atau telah pulang.
Mendengar jawaban dari orang itu, hatiku antara bimbang dan senang. Bimbang karena aku belum tahu jika Zahara masih dirawat, kemana ia dipindahkan. Hatiku senang, jika ternyata Zahara telah pulang berarti ia telah sembuh dari penyakitnya. Namun kemudian ada seorang keluarga pasien yang tempat tidurnya beberapa tempat dari tempat Zahara dirawat menyampaikan bahwa pasien yang di rawat sebelumnya telah meninggal dunia kurang lebih dua minggu yang lalu.
Aku tersentak mendengar penyampaian keluarga pasien itu. Pikiranku langsung kalut dan tidak percaya tentang itu. Melihat aku mulai kalut, keluarga pasien itu berusaha menenangkan, dan mengatakan barangkali ia salah, mungkin bukan pasien yang ku maksud itu yang telah meninggal dunia. Ia pun menyuruhku menanyakan langsung kepada perawat penjaga agar aku mendapatkan penjelasan yang tepat tentang pasien yang ku maksud.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung menemui perawat penjaga di bagian tengah ruangan tersebut. Dengan pikiranku yang mulai kalut, aku pun bertanya tentang pasien yang bernama Zahara yang sebelumnya di rawat di ruangan itu.
Perawat yang menjaga mulai mencari nama pasien yang bernama Zahara dari buku data pasien yang pernah dan sedang di rawat di ruangan itu. Rupanya tidak ada yang namanya Zahara yang pernah dirawat. Aku pun semakin kalut bagaimana bisa Zahara yang lebih dua minggu yang lalu ku temui di rawat ruangan itu tidak ada namanya dalam buku data pasien.
Dengan situasiku yang semakin kalut, aku pun berusaha menjelaskan posisi tempat Zahara di rawat. Ternyata aku yang salah menyebutkan nama, karena yang ada itu adalah namanya Elisa Kharismawati bukan Zahara. Mendengar perkataan perawat penjaga, barulah aku teringat bahwa nama Zahara yang sebenarnya adalah Elisa Kharismawati. Aku pun kembali bertanya kepada perawat penjaga kemana pasien yang bernama Elisa Kharismawati itu, apakah di pindahkan ke ruangan lain atau telah pulang.
Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati telah meninggal dunia pada hari Sabtu 22 April 1999 jam 8 pagi. Pikiranku langsung kosong saat itu setelah mendengar perkataan perawat penjaga itu bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati telah meninggal dunia. Aku sungguh tidak percaya itu akhirnya terjadi.
Kaki dan tubuhku pun terasa bergetar. Aku seperti tak dapat mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar tidak menyangka Zahara telah meninggal dunia. Untuk beberapa saat aku hanya dapat terdiam. Perawat penjaga juga hanya bisa terdiam melihatku yang sangat syok mendengar penjelasannya itu.
Setelah beberapa saat aku terdiam, dengan berusaha mengendalikan perasaanku, aku pun kembali bertanya dibawa kemana pasien tersebut ketika meninggal dunia. Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien tersebut dibawa oleh keluarganya, dan ia pun memberikan nama dan alamat keluarganya itu kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas keluar dari ruangan dan menuju keluar rumah sakit Soedarso.
Dengan perasaan tidak karuan, langsung saja aku pergi ke alamat yang telah diberikan oleh perawat penjaga, yaitu di salah satu gang di jalan Putri Dara Hitam. Sesampainya di gang tersebut, ku cari rumah yang dimaksud. Rumah itu pun kudapatkan dan rupanya rumah itu sepi, tidak ada orang didalamnya. Aku pun kemudian bertanya ke tetangga disebelahnya kemana orang yang ada di rumah tersebut. Tetangga itu pun berkata bahwa orang yang tinggal di rumah itu sedang berkerja dan nanti sekitar jam 11 malam baru pulang.
Aku pun kembali bertanya dimana tempatnya berkerja. Tetangga itu menjawab bahwa ia berkerja di Jawi Ria di Sungai Jawi. Setelah mendapat jawaban tersebut, aku pun berterima kasih dan langsung menuju ke Jawi Ria.
Sesampainya di Jawi Ria, aku langsung bertanya kepada karyawan yang berkerja di tempat itu nama seseorang yang sedang ku cari. Karyawan di Jawi Ria itu segera memanggil orang yang ku maksud tersebut. Orang yang ku maksud itu pun keluar dan rupanya adalah Bibinya Zahara yang selama ia sakit menjaganya di rumah sakit.
Ketika melihatku, Bibinya Zahara yang telah mengenalku itu terlihat berusaha tersenyum, meskipun sangat jelas ia masih memendam kesedihan. Aku pun langsung berkata bahwa aku tadi ke rumah sakit untuk menjenguk Zahara dan ternyata Zahara telah meninggal dunia. Bibinya Zahara dengan nada yang berusaha menahan perasaan membenarkan perkataanku itu, bahwa Zahara telah meninggal dunia lebih dua minggu yang lalu.
Kembali aku bertanya dimana Zahara di makamkan. Bibinya Zahara menjawab bahwa Zahara di makamkan di pemakaman depan Asrama Hidayat, dan ia menjelaskan posisi makamnya di pemakaman itu.
Bibinya Zahara sepertinya melihat aku akan pergi ke makamnya Zahara malam itu juga, ia pun dengan perlahan berkata sebaiknya aku pergi besok saja karena sudah malam dan menunjukkan waktu hampir jam 9 malam, akan sulit bagiku mencari makamnya Zahara.
Kembali ia berkata sebaiknya aku pulang saja dahulu, besok baru pergi ke makamnya Zahara. Aku tidak dapat berkata apa-apa saat itu, dan hanya dapat terdiam. Pikiranku sangat kacau saat itu, dan wajahku terlihat sangat kalut.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia harus kembali berkerja dan memintaku untuk pulang dan menenangkan diri. Aku pun mengiyakan perkataan Bibinya Zahara itu. Aku segera pergi dari Jawi Ria. Namun aku tidak langsung pulang ke rumah. Dengan motorku, aku berputar-putar melewati jalan di wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat. Entah berapa kali aku hanya berputar-putar saja melewati jalan itu dengan pikiran dan perasaanku yang kalut. Hingga kemudian aku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku berusaha menenangkan diri di dalam kamarku. Sambil memegang buku diari milik Zahara, aku hanya duduk bersandar di tempat tidur. Hatiku pun sudah tidak sabaran menunggu pagi untuk pergi ke makamnya Zahara. Malam itu aku tak dapat memejamkan mata apalagi untuk tidur. Pikiranku masih terbayang-bayang wajah Zahara dan kenangan saat pertemuan pertamaku dengan Zahara ketika di Masjid Al-Falah dahulu terus terbayang dalam ingatanku.
Rabu, 12 Mei 1999, selepas Sholat Shubuh aku telah bersiap-siap untuk pergi melihat makam Zahara. Aku menunggu hingga langit terlihat terang.
Sepanjang malam aku gelisah dan tidak bisa tidur. Hingga jam setengah lima pagi ku lihat langit telah terang. Aku pun bergegas pergi ke makam Zahara di depan Asrama Hidayat.
Sesampainya di wilayah pemakaman, langsung ku cari makamnya Zahara sesuai penjelasan Bibinya Zahara tadi malam. Makam yang masih baru itu pun dari jauh telah terlihat. Dengan perasaan yang berkecamuk, aku pun semakin berjalan mendekati makam itu dan terlihatlah tulisan pada nisan di makam itu “Elisa Kharismawati”. Aku langsung terpaku melihat nisan itu. Dan tanpa dapat sanggup ku bendung, air mataku pun tumpah. Aku benar-benar tidak menyangka ini terjadi.
Dengan terisak, aku memanjatkan do’a bagi arwah Zahara. Setelah berdo’a, cukup lama aku hanya dapat terdiam sambil tak berhenti terisak memandang makam dan nisannya Zahara.
Hingga kemudian aku memegang nisannya dan berkata bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian buku diarinya itu. Dan aku akan mengisi buku diarinya itu hingga penuh. Sungguh kehadirannya yang singkat itu telah ikut mewarnai jalan hidupku.
Selanjutnya aku pergi dari makamnya Zahara, dan meninggalkan wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat itu. Sepanjang jalan air mataku tak berhenti keluar. Wajah Zahara dengan jilbab merah mudanya yang rapi terus terbayang dalam pikiranku.
Selamat jalan wahai Umayrah, gadis manis berpipi kemerah-merahan. Dan selamat jalan Jingga. Ini akhir Diarimu, namun menjadi awal Diariku.

--- o0o ---

Mungkin maut ini telah memisahkan
Aku dan kamu
Barangkali Takdir telah menetapkan
Perpisahan aku dan kamu
Bisa jadi jalan hidup
Aku dan kamu tidak tergaris menyatu
Lalu untuk apa pertemuan itu...?
Untuk apa perkenalan itu...?
Hanya meninggalkan jejak-jejak luka
Yang semakin bernanah dalam jiwaku
Menciptakan lukisan kepedihan yang selalu ku lihat
Sepanjang waktu, sepanjang masa,
Pada kanvas ruang hidupku...

Hidup ini memang tidak adil,
Memisahkan kamu dengan ku
Setelah sandiwara manis yang telah kita ciptakan
Ketika peran romantis penuh cinta dan kasih sayang
Yang telah kita perankan...

Kehidupan ini menjadi durjana,
Ketika merenggut dirimu dari sanubari hidupku
Setelah kamu dibiarkannya hidup dan berkembang
Menghiasi hari-hari sepiku...
Syukur ini berubah Ingkar,
Setelah apa yang terjadi
Antara aku dan kamu
Yang terpisah oleh hidup dan kematian

Untuk Sebuah Nama
Yang tak mungkin ku jumpai lagi
pada kehidupan nyata ini...
Akan tetap ku tunggu kehadiranmu
Dalam khayalan tak bertepiku...
Dalam mimpi-mimpi panjangku...
Hanya untuk ku membisikkan
Sesuatu ke telingamu...
“Andai waktu ini dapat kembali”

Pontianak, 5 Juni 1999
Sabtu, 12:00 Malam

--- o0o ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...