UMAYRAH ITU
JINGGA
ANTARA ZAHARA,
ELISA & KEMATIAN
Dua hari berikutnya setelah
pertemuanku dengan Zahara, aku menyempatkan diri untuk menjenguknya lagi di
rumah sakit Soedarso. Saat itu sudah hampir Maghrib. Aku memasuki ruangan
tempat Zahara di rawat. Dan terlihat Bibinya sedang menyuapinya makan saat itu.
Melihat kedatanganku, Zahara sangat senang. Aku pun berdiri di ujung dekat
tempat tidurnya sambil menunggunya selesai disuapkan makan oleh Bibinya.
Selesai makan, Zahara meminta Bibinya untuk mengambil
sesuatu dari lemari kecil di dekat tempat tidurnya. Bibinya pun mengambilkan benda tersebut dan memberikan kepadanya.
Setelah memberikan benda itu kepada Zahara, Bibinya pergi keluar untuk
memberikan kesempatan kepada kami berbicara berdua.
Sambil memegang sesuatu yang terbungkus dalam sebuah
plastik hitam, Zahara bertanya mengapa aku baru menjenguknya lagi. Ku katakan
bahwa aku ada kesibukan dua hari ini. Zahara pun hanya menganggukkan kepalanya
saja mendengar jawabanku itu. Selanjutnya ia mengeluarkan benda yang terbungkus
dalam plastik hitam itu. Rupanya benda itu adalah sebuah buku diari.
Sambil memegang buku diari itu, Zahara berkata bahwa
ia meminta maaf karena tidak bisa mengembalikan buku diariku yang pernah
dipinjamnya. Aku pun berkata bahwa aku sudah tidak ingat lagi dengan buku
diariku itu, dan tidak apa-apa jika ia tidak bisa mengembalikan buku diariku
itu.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia sangat senang
membaca tulisanku saat itu meskipun hanya selembar saja, tetapi selalu
dibacanya berulang kali. Setelah tidak bertemu lagi denganku, buku diariku itu
di lanjutkannya dengan tulisannya hingga habis satu buku. Namun pada tahun
1993, rumahnya terbakar dan buku diariku itu juga ikut terbakar, padahal buku
diariku itu sudah terisi semuanya dengan tulisan-tulisannya tentang
berbagai kisah dan curahan hatinya pada masa-masa itu.
Tahun 1997, ketika ia mulai terkena penyakit Sifilis,
ia teringat kepada buku diariku yang telah terbakar bersama rumahnya. Ia pun
membeli buku diari baru untuk tempatnya menumpahkan perasaannya. Dan buku diari
itu sedang dipegangnya saat itu. Namun buku diarinya yang baru itu belum penuh semuanya,
karena ia menulisnya ketika sedang susah hati atau merasa kesepian saja. Ia pun memintaku untuk
menerima buku diarinya itu sebagai ganti buku diariku yang pernah dipinjamnya
namun ikut terbakar bersama rumahnya.
Zahara kemudian memberikan buku diari itu yang
kulitnya berwarna kuning gelap kepadaku. Aku pun menerimanya. Sambil
memberikannya kepadaku, Zahara berkata agar aku mau melanjutkan menulis buku
diari itu hingga penuh. Aku pun berkata bahwa aku akan melanjutkan menulisnya
hingga penuh. Selanjutnya kami berbincang-bincang tentang kesembuhan
penyakit yang telah lama dideritanya.
Setelah cukup lama kami berbincang-bincang, aku pun
berkata bahwa aku akan pulang. Zahara mengiyakan, namun kembali ia meminta
dengan nada memaksa agar aku dapat datang lagi menjenguknya.
Aku pun berkata bahwa aku akan mengusahakan untuk
menjenguknya lagi. Rupanya jawabanku itu terlihat belum memuaskannya, ia
mengulang permintaannya agar aku dapat menjenguknya lagi. Kembali ku katakan
bahwa aku akan menjenguknya lagi. Namun kembali Zahara terlihat seperti
tidak yakin jika aku akan datang lagi menjenguknya. Setelah berkali-kali ku katakan bahwa
aku akan datang menjenguknya lagi barulah Zahara terlihat senang.
Selanjutnya aku berpamitan akan pulang. Namun ketika
aku berpamitan, Zahara memintaku untuk mengucapkan kata-kata “Ular
melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”, Zahara mengatakan bahwa ia rindu
mendengar aku mengucapkan kata-kata itu, yang dulunya selalu menjadi bahan
untuk menertawakanku.
Aku sambil tersenyum mengatakan bahwa enggan untuk
mengucapkannya. Namun Zahara memaksa sambil berkata bahwa ia sangat ingin
mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Zahara juga berkata bahwa logat “R”
berkaratku dalam mengucapkan kata-kata itu sangat membahagiakan hatinya, dan
sebagai penghibur baginya yang sedang sakit itu.
Mendengar perkataan Zahara itu, aku pun mengabulkan
permintaannya. Aku langsung mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar
dipagar rumah Pak Umar”. Setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Zahara langsung
tertawa. Selama aku bertemunya di rumah sakit, baru kali itu aku melihatnya
tertawa lepas dan terlihat sangat bahagia. Hatiku pun ikut senang melihatnya.
Kemudian kembali Zahara meminta aku untuk mengulanginya lagi menyebut kata-kata itu. Aku pun kembali mengulanginya
menyebut kata-kata itu lagi, karena hatiku senang melihatnya dapat tertawa
lepas dan dapat melupakan sakitnya itu walau hanya sesaat. Setelah ku ucapkan
kata-kata itu lagi, kembali Zahara tertawa, ia sangat bahagia sekali saat itu.
Seakan-akan ia dapat melupakan sakit yang dideritanya walau hanya sesaat. Dan
aku seperti melihat Zahara yang dulu yang sangat cantik dimataku.
Setelah puas membuat Zahara tertawa, aku pun
berpamitan untuk pulang karena telah lewat waktu membesuk. Kembali Zahara berpesan
agar aku datang lagi menjenguknya. Aku mengiyakan pesannya itu.
Selanjutnya aku keluar dari ruangan tempatnya di rawat
sambil membawa buku diari milik Zahara yang diberikannya kepadaku, dan diluar
aku juga berpamitan dengan Bibinya. Setelah itu aku berjalan keluar dari rumah
sakit Soedarso untuk pulang ke rumahku.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan
membuka buku diari milik Zahara. Pada balik kulit buku terdapat nama Elisa Kharismawati.
Rupanya nama sebenarnya Zahara adalah Elisa Kharismawati. Zahara itu ternyata
hanya nama panggilannya saja ketika dulu dia aktif di Remaja Masjil Al-Falah.
Aku kemudian membuka lagi lembaran buku diari Zahara
itu. Pada lembar berikutnya terdapat tulisannya yang meyebutkan bahwa buku
diari itu sebagai pengganti buku diari milikku si “R” berkarat yang pernah
dipinjamnya dahulu tetapi telah terbakar ketika rumahnya terbakar tahun 1993.
Ia juga menulis sangat rindu mendengar logat “R” berkaratku. Aku hanya bisa
senyum-senyum sendiri membaca tulisannya itu.
Berikutnya tulisan-tulisannya tentang keluh kesah
tentang penyakitnya. Dan pada tulisan terakhir ia menulis “Surga atau Neraka ada
pada pasanganmu. Jika ingin masuk surga, carilah pasangan
yang Sholeh. Jika ingin masuk neraka, carilah pasangan yang bejat. Dan aku
telah salah memilih pasangan. Aku telah salah mencintai orang, yang ternyata
telah membawaku ke neraka. Dan neraka itu sudah ku rasakan di dunia ini”.
Aku terpaku membaca tulisannya yang terakhir itu.
Untuk beberapa saat aku merenungi kata-kata tersebut. Setelah itu aku mengulanginya
membaca dari lembar pertama lagi. Buku diari milik Zahara itu belum sampai
setengah buku terisi. Dan pada malam itu aku membacanya berulang kali hingga
aku tertidur.
Hari-hari berikutnya aku berencana akan menjenguk
Zahara lagi, tapi selalu saja ada halangan sehingga rencanaku itu selalu gagal.
Dan lebih dari 2 minggu aku belum bisa menjenguk Zahara di rumah sakit. Barulah
pada hari Selasa 11 Mei 1999 aku sempat singgah ke rumah sakit untuk menjenguk
Zahara, itu pun waktunya sudah hampir jam 7 malam.
Aku pun bergegas memasuki ruangan tempat Zahara di
rawat. Tapi ketika aku telah masuk didalam, aku bingung karena tempat Zahara
dirawat telah berganti dengan orang lain.
Aku bertanya pada orang yang ada di tempat itu kemana
pasien yang sebelumnya di rawat di tempat itu. Namun orang yang ada di tempat
itu tidak tahu kemana pasien sebelumnya apakah dipindahkan ke tempat lain atau
telah pulang.
Mendengar jawaban dari orang itu, hatiku antara
bimbang dan senang. Bimbang karena aku belum tahu jika Zahara masih dirawat,
kemana ia dipindahkan. Hatiku senang, jika ternyata Zahara telah pulang berarti
ia telah sembuh dari penyakitnya. Namun kemudian ada seorang keluarga pasien yang
tempat tidurnya beberapa tempat dari tempat Zahara dirawat menyampaikan bahwa pasien yang di rawat
sebelumnya telah meninggal dunia kurang lebih dua minggu yang lalu.
Aku tersentak mendengar penyampaian keluarga pasien itu. Pikiranku langsung kalut
dan tidak percaya tentang itu. Melihat aku mulai kalut, keluarga pasien itu berusaha
menenangkan, dan mengatakan barangkali ia salah, mungkin bukan
pasien yang ku maksud itu yang telah meninggal dunia. Ia pun menyuruhku
menanyakan langsung kepada perawat penjaga agar aku mendapatkan penjelasan yang
tepat tentang pasien yang ku maksud.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung menemui
perawat penjaga di bagian tengah ruangan tersebut. Dengan pikiranku yang mulai
kalut, aku pun bertanya tentang pasien yang bernama Zahara yang sebelumnya di
rawat di ruangan itu.
Perawat yang menjaga mulai mencari nama pasien yang
bernama Zahara dari buku data pasien yang pernah dan sedang di rawat di ruangan
itu. Rupanya tidak ada yang namanya Zahara yang pernah dirawat. Aku pun semakin
kalut bagaimana bisa Zahara yang lebih dua minggu yang lalu ku temui di rawat
ruangan itu tidak ada namanya dalam buku data pasien.
Dengan situasiku yang semakin kalut, aku pun berusaha
menjelaskan posisi tempat Zahara di rawat. Ternyata aku yang salah menyebutkan
nama, karena yang ada itu adalah namanya Elisa Kharismawati bukan Zahara.
Mendengar perkataan perawat penjaga, barulah aku teringat bahwa nama Zahara
yang sebenarnya adalah Elisa Kharismawati. Aku pun kembali bertanya
kepada perawat penjaga kemana pasien yang bernama Elisa Kharismawati itu,
apakah di pindahkan ke ruangan lain atau telah pulang.
Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien yang
bernama Elisa Kharismawati telah meninggal dunia pada hari Sabtu 22 April 1999
jam 8 pagi. Pikiranku langsung kosong saat itu setelah mendengar
perkataan perawat penjaga itu bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati
telah meninggal dunia. Aku sungguh tidak percaya itu akhirnya terjadi.
Kaki dan tubuhku pun terasa bergetar. Aku seperti tak
dapat mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar tidak menyangka Zahara telah
meninggal dunia. Untuk beberapa saat aku hanya dapat terdiam. Perawat penjaga
juga hanya bisa terdiam melihatku yang sangat syok mendengar penjelasannya itu.
Setelah beberapa saat aku terdiam, dengan berusaha
mengendalikan perasaanku, aku pun kembali bertanya dibawa kemana pasien
tersebut ketika meninggal dunia. Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien
tersebut dibawa oleh keluarganya, dan ia pun memberikan nama dan alamat
keluarganya itu kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku
bergegas keluar dari ruangan dan menuju keluar rumah sakit Soedarso.
Dengan perasaan tidak karuan, langsung saja aku pergi
ke alamat yang telah diberikan oleh perawat penjaga, yaitu di salah satu gang
di jalan Putri Dara Hitam. Sesampainya di gang tersebut, ku cari
rumah yang dimaksud. Rumah itu pun kudapatkan dan rupanya rumah itu sepi, tidak
ada orang didalamnya. Aku pun kemudian bertanya ke tetangga
disebelahnya kemana orang yang ada di rumah tersebut. Tetangga itu pun berkata
bahwa orang yang tinggal di rumah itu sedang berkerja dan nanti sekitar jam 11
malam baru pulang.
Aku pun kembali bertanya dimana tempatnya berkerja.
Tetangga itu menjawab bahwa ia berkerja di Jawi Ria di Sungai Jawi. Setelah mendapat jawaban
tersebut, aku pun berterima kasih dan langsung menuju ke Jawi Ria.
Sesampainya di Jawi Ria, aku langsung bertanya kepada
karyawan yang berkerja di tempat itu nama seseorang yang sedang ku cari.
Karyawan di Jawi Ria itu segera memanggil orang yang ku maksud tersebut. Orang yang ku maksud itu
pun keluar dan rupanya adalah Bibinya Zahara yang selama ia sakit menjaganya di
rumah sakit.
Ketika melihatku, Bibinya Zahara yang telah mengenalku
itu terlihat berusaha tersenyum, meskipun sangat jelas ia masih memendam
kesedihan. Aku pun langsung berkata bahwa aku tadi ke rumah sakit untuk
menjenguk Zahara dan ternyata Zahara telah meninggal dunia. Bibinya Zahara
dengan nada yang berusaha menahan perasaan membenarkan perkataanku itu, bahwa
Zahara telah meninggal dunia lebih dua minggu yang lalu.
Kembali aku bertanya dimana Zahara di makamkan.
Bibinya Zahara menjawab bahwa Zahara di makamkan di pemakaman depan Asrama
Hidayat, dan ia menjelaskan posisi makamnya di pemakaman itu.
Bibinya Zahara sepertinya melihat aku akan pergi ke
makamnya Zahara malam itu juga, ia pun dengan perlahan berkata sebaiknya aku
pergi besok saja karena sudah malam dan menunjukkan waktu hampir jam 9 malam, akan sulit
bagiku mencari makamnya Zahara.
Kembali ia berkata sebaiknya aku pulang saja dahulu,
besok baru pergi ke makamnya Zahara. Aku tidak dapat berkata apa-apa saat itu,
dan hanya dapat terdiam. Pikiranku sangat kacau saat itu, dan wajahku terlihat
sangat kalut.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia harus kembali
berkerja dan memintaku untuk pulang dan menenangkan diri. Aku pun mengiyakan
perkataan Bibinya Zahara itu. Aku segera pergi dari Jawi Ria. Namun aku tidak
langsung pulang ke rumah. Dengan motorku, aku berputar-putar melewati jalan di
wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat. Entah berapa kali aku hanya berputar-putar saja
melewati jalan itu dengan pikiran dan perasaanku yang kalut. Hingga kemudian
aku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku berusaha menenangkan diri di
dalam kamarku. Sambil memegang buku diari milik Zahara, aku hanya duduk
bersandar di tempat tidur. Hatiku pun sudah tidak sabaran menunggu pagi untuk
pergi ke makamnya Zahara. Malam itu aku tak dapat memejamkan mata apalagi untuk
tidur. Pikiranku masih terbayang-bayang wajah Zahara dan kenangan saat pertemuan pertamaku dengan
Zahara ketika di Masjid Al-Falah dahulu terus terbayang dalam ingatanku.
Rabu, 12 Mei 1999, selepas Sholat Shubuh aku telah
bersiap-siap untuk pergi melihat makam Zahara. Aku menunggu hingga langit
terlihat terang.
Sepanjang malam aku gelisah dan tidak bisa tidur.
Hingga jam setengah lima pagi ku lihat langit telah terang. Aku pun bergegas
pergi ke makam Zahara di depan Asrama Hidayat.
Sesampainya di wilayah pemakaman, langsung ku cari
makamnya Zahara sesuai penjelasan Bibinya Zahara tadi malam. Makam yang masih
baru itu pun dari jauh telah terlihat. Dengan perasaan yang berkecamuk, aku pun
semakin berjalan mendekati makam itu dan terlihatlah tulisan pada nisan di
makam itu “Elisa Kharismawati”. Aku langsung terpaku melihat nisan itu. Dan
tanpa dapat sanggup ku bendung, air mataku pun tumpah. Aku benar-benar tidak
menyangka ini terjadi.
Dengan terisak, aku memanjatkan do’a bagi arwah
Zahara. Setelah berdo’a, cukup lama aku hanya dapat terdiam sambil tak berhenti
terisak memandang makam dan nisannya Zahara.
Hingga kemudian aku memegang nisannya dan berkata
bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian buku diarinya itu. Dan aku akan
mengisi buku diarinya itu hingga penuh. Sungguh kehadirannya yang singkat itu
telah ikut mewarnai jalan hidupku.
Selanjutnya aku pergi dari makamnya Zahara, dan
meninggalkan wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat itu. Sepanjang jalan air
mataku tak berhenti keluar. Wajah Zahara dengan jilbab merah mudanya yang rapi terus
terbayang dalam pikiranku.
Selamat jalan wahai Umayrah, gadis manis
berpipi kemerah-merahan. Dan selamat jalan Jingga. Ini akhir Diarimu, namun
menjadi awal Diariku.
--- o0o ---
Mungkin maut ini telah memisahkan
Aku dan kamu
Barangkali Takdir telah menetapkan
Perpisahan aku dan kamu
Bisa jadi jalan hidup
Aku dan kamu tidak tergaris menyatu
Lalu untuk apa pertemuan itu...?
Untuk apa perkenalan itu...?
Hanya meninggalkan jejak-jejak luka
Yang semakin bernanah dalam jiwaku
Menciptakan lukisan kepedihan yang selalu ku lihat
Sepanjang waktu, sepanjang masa,
Pada kanvas ruang hidupku...
Hidup ini memang tidak adil,
Memisahkan kamu dengan ku
Setelah sandiwara manis yang telah kita ciptakan
Ketika peran romantis penuh cinta dan kasih sayang
Yang telah kita perankan...
Kehidupan ini menjadi durjana,
Ketika merenggut dirimu dari sanubari hidupku
Setelah kamu dibiarkannya hidup dan berkembang
Menghiasi hari-hari sepiku...
Syukur ini berubah Ingkar,
Setelah apa yang terjadi
Antara aku dan kamu
Yang terpisah oleh hidup dan kematian
Untuk Sebuah Nama
Yang tak mungkin ku jumpai lagi
pada kehidupan nyata ini...
Akan tetap ku tunggu kehadiranmu
Dalam khayalan tak bertepiku...
Dalam mimpi-mimpi panjangku...
Hanya untuk ku membisikkan
Sesuatu ke telingamu...
“Andai waktu ini dapat kembali”
Pontianak, 5 Juni 1999
Sabtu, 12:00 Malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar