DIARY 1997
Kamis, 8 Mei 1997.
Selepas makan malam aku, Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya
bersantai di depan rumah Yudi. Setelah cukup lama kami mengobrol santai, datang
beberapa orang teman Yudi yang mengajaknya bersantai ke pantai Tanjung Batu.
Yudi kemudian meminta izin Pak Ngah Sanif untuk membawaku ikut bersantai juga
ke pantai Tanjung Batu. Pak Ngah Sanif mengizinkan namun ia ingin ikut serta
untuk menjagaku. Kami pun selanjutnya berjalan ke pantai Tanjung Batu. Di
pantai Tanjung Batu kami singgah ke sebuah pondok jualan milik temannya Pak
Ngah Sanif.
Orang-orang di pantai Tanjung Batu hampir merata kenal dengan
Pak Ngah Sanif. Karena jika ada kejadian aneh yang menimpa pengunjung Tanjung
Batu, Pak Ngah Sanif lah yang selalu mereka panggil untuk menyelesaikan hal
tersebut.
Di pondok jualan yang tak berdinding milik temannya Pak Ngah
Sanif ini kami duduk santai. Yudi dan teman-temannya bersantai di tumpukan batu
besar diluar pondok. Aku duduk didalam pondok menghadap ke pantai yang penuh
dengan tumpukan batu besar, dan Pak Ngah Sanif duduk berjarak satu meja
dibelakangku bersama temannya, si pemilik pondok jualan itu. Pak Ngah Sanif
terlihat sangat asyik mengobrol dengan temannya itu.
Aku sangat menikmati suasana malam di tepi pantai saat itu.
Suara ombak dan tiupan angin seperti alunan musik yang menghibur hatiku. Untuk
beberapa saat aku hanyut dalam suasana. Hingga mataku tertuju pada sebuah batu
besar didepan yang tidak jauh dari pondok tempatku duduk. Ku lihat Rina sedang
berdiri diatas batu besar itu. Tubuhnya membelakangi laut dan memandangiku
sambil tersenyum. Ku lihat ia melambai-lambaikan tangannya memanggilku.
Seakan jiwaku telah terkuasai oleh senyum dan lambaian
tangannya, aku pun hendak berdiri untuk pergi menghampirinya. Namun ku rasakan
tubuhku berat sekali seperti ada sesuatu yang menahannya sehingga aku tidak
dapat berdiri. Aku terus mencoba untuk berdiri, namun tetap tidak bisa. Karena
aku tidak juga menghampirinya sehingga ku lihat Rina bergerak perlahan ke
arahku. Ku rasakan mataku saat itu tidak bisa berpaling dari tatapan matanya.
Rina yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos
putih bergambar dan celana jeans biru ketat perlahan-lahan bergerak semakin
mendekatiku.
Hingga semakin dekat kulihat Rina secara perlahan berubah.
Kulitnya yang putih itu dipenuhi darah. Di leher sebelah kirinya terlihat luka
yang menganga sangat besar. Terlihat darah bercucuran dari luka tersebut.
Telinga kirinya tidak ada, dan terlihat luka besar menganga melewati mata
kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya juga dipenuhi darah. Tangan kirinya
terlihat hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari
telunjuk yang tinggal setengah. Pada dada sebelah kanan terlihat luka yang juga
menganga, begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama
dengan darah yang bercucuran.
Seketika itu juga ku rasakan ubun-ubun dan tengkukku terasa
dingin, dan semakin dingin ketika ku lihat Rina yang telah berubah sangat
menakutkan bergerak perlahan semakin mendekatiku. Rasa dingin itu kemudian
menjalar ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku. Jantungku seakan berhenti
berdetak dan aku sulit bernafas karena seperti tertahan sesuatu. Tubuhku terasa
sangat tegang dan kaku serta pandangan mataku tetap tertuju kepada tatapan
matanya yang telah berubah sangat tajam dan mengerikan.
Aku benar-benar tidak bisa mengedipkan mataku apalagi
memalingkannya. Ketika Rina yang terlihat sangat mengerikan itu hampir
mendekatiku, tiba-tiba saja pandangan mataku tertutup sesuatu dan tengkukku
terasa panas. Rupanya Pak Ngah Sanif yang mengetahui sedang terjadi susuatu
padaku langsung bergerak cepat menutup mataku dengan tangannya dan tangannya
yang satunya lagi menekan tengkukku.
Meski Pak Ngah Sanif asyik mengobrol dengan temannya itu, ia
terus mengawasiku sehingga ia tahu bahwa sedang terjadi sesuatu padaku. Pak
Ngah Sanif sambil menutup mataku dan menekan tengkukku, kemudian membacakan
sesuatu ke ubun-ubunku sehingga ubun-ubunku terasa panas dari yang sebelumnya
terasa sangat dingin.
Setelah selesai membacakan sesuatu ke ubun-ubunku, Pak Ngah
Sanif menarik tangannya yang menutupi mataku ke arah bawah. Bersamaan dengan
tarikan tangannya ke arah bawah, maka ku rasakan seperti ada hawa panas yang
mengalir ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku sehingga hilanglah hawa
dingin yang ku rasakan sebelumnya. Jatungku yang terasa terhenti langsung
berdetak kencang, begitu juga nafasku langsung berderu dengan cepat.
Rina yang wujudnya sangat menakutkan tidak terlihat lagi
dalam pandanganku. Pandangan mataku pun sudah dapat ku alihkan dan tubuhku
dapat di gerakkan, meski jiwaku masih ku rasakan linglung dan jantungku masih
terasa berdetak kencang. Nafasku pun masih turun naik dengan cepat.
Setelah yakin bahwa aku telah sadar, Pak Ngah Sanif langsung
memegang tanganku dan segera membawaku pulang. Yudi dan teman-temannya yang
sedang asyik mengobrol di luar pondok dan melihat hal tersebut langsung
menghentikan obrolan mereka. Mereka tanpa banyak berkata langsung mengikuti Pak
Ngah Sanif yang berjalan cepat menarik tanganku untuk membawaku pulang. Saat
itu aku masih merasakan linglung.
Kami tanpa sempat berpamitan dengan pemilik pondok jualan tempat
kami bersantai langsung pergi begitu saja. Tapi pemilik pondok sangat mengerti
situasi demikian karena para penjual di kawasan Tanjung Batu sangat mengenal
Pak Ngah Sanif dan mengerti jika Pak Ngah Sanif berbuat demikian berarti ada
sesuatu yang membahayakan para pengunjung kawasan wisata tersebut.
Pak Ngah Sanif dengan menarik tanganku, berjalan cepat membawaku
pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Pak Ngah Sanif langsung menyuruh ibunya
Yudi mempersiapkan air satu ember. Tanpa membuka pakaianku Pak Ngah Sanif
langsung memandikanku.
Ketika akan memandikanku, Pak Ngah Sanif membacakan sesuatu
sambil memegang timba yang berisi air yang diambilnya dari ember tersebut.
Selanjutnya ia menyiramkan air ke bagian tengah tubuhku sebanyak tiga kali, dan
ke arah kanan dan kiri tubuhku masing-masing tiga kali. Selesai Pak Ngah Sanif
memandikanku, linglung yang ku rasakan hilang. Jantung dan nafasku normal
kembali. Aku merasa benar-benar telah sadar sepenuhnya.
Setelah Pak Ngah Sanif memandikanku, aku disuruhnya mengganti
pakaianku yang basah. Aku menurutinya dan mengganti pakaianku. Setelah itu aku
duduk di ruang tengah bersama Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya. Pak Ngah
Sanif kemudian bertanya kepadaku apa yang telah ku lihat tadi.
Aku pun menjelaskan bahwa tadi ku lihat Rina dalam wujud yang
sangat mengerikan. Rina yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya,
memakai kaos putih bergambar dan celana jeans biru ketat bergerak perlahan
mendekatiku secara perlahan juga berubah wujudnya. Kulitnya yang putih dipenuhi
darah.
Di leher sebelah kirinya terdapat luka yang menganga sangat
besar dan darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan
terdapat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan
celananya dipenuhi darah. Tangan kirinya hampir putus. Jari-jari tangan
kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah. Dada
sebelah kanannya terdapat luka yang menganga, begitu juga pada pinggang dan
paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang bercucuran.
Mendengar penjelasanku itu, Pak Ngah Sanif menganggukkan
kepalanya. Yudi dan orangtuanya saling berpandangan. Selanjutnya Pak Ngah Sanif
menjelaskan jika seperti itu penggambaran yang terlihat dari mataku maka wujud
Rina itu seperti mayat yang ditemukan di kawasan Tanjung Batu. Beberapa bulan
yang lalu warga menemukan mayat wanita di pondok tempat ku duduk pada malam
itu.
Wanita tersebut menggunakan pakaian dan dipenuhi luka seperti
yang telah ku jelaskan. Wanita itu memang dibunuh seseorang, namun tidak
diketahui siapa pelakunya. Tentang identitas wanita itu masih simpang siur, ada
yang mengatakan wanita itu berasal dari Pemangkat namun ada juga yang
mengatakan berasal dari Singkawang. Hingga kini tidak tahu bagaimana kelanjutan
penemuan mayat itu apakah pelaku pembunuhnya telah diketahui.
Sebelum kejadian yang telah menimpaku, memang telah ada beberapa
orang baik para penjual ataupun pengunjung kawasan Tanjung Batu yang melihat
penampakan wujud wanita yang sesuai penggambaranku itu.
Agar tidak semakin membahayakan jiwaku, Pak Ngah Sanif
menyuruhku untuk besok pulang ke Pontianak, dan nanti jangan dulu datang ke
kawasan Tanjung Batu hingga aku benar-benar telah lepas dari pengaruh Rina. Aku
pun menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu. Namun untuk besok pulang, Pak Ngah
Sanif dan Yudi akan mengantarku hingga melewati batas kota Singkawang karena Pak
Ngah Sanif khawatir Rina akan mengikutiku. Aku pun kembali menuruti perkataan
Pak Ngah Sanif itu.
Setelah berkata demikian, Pak Ngah Sanif menyuruhku tidur
karena besok selepas Sholat Shubuh aku akan melakukan perjalanan jauh untuk
kembali pulang ke Pontianak. Aku menuruti perkataan Pak Ngah Sanif dan bersama
Yudi langsung masuk ke kamar untuk tidur. Rupanya Pak Ngah Sanif juga tidur di
kamar Yudi, ia tidur di dekatku. Pak Ngah Sanif berkata bahwa ia tidur
didekatku untuk menjagaku selama aku tidur agar tidak di ganggu Rina dan supaya
tidurku bisa pulas sehingga besok aku bisa bangun dengan segar. Maka malam itu
aku benar-benar merasakan tertidur pulas.
--- oOo ---
Sengsaramu tak pernah
ku saksikan,
Kepedihanmu tak dapat
kurasakan,
Siapa dirimu wahai
gadis...?
Mengapa kisah hidupmu
mesti berakhir tragis...?
Mengapa masamu
terhenti dalam kepedihan...?
Apa yang sebenarnya
terjadi padamu wahai gadis...?
Siapa yang membawamu
dalam kemelut tragedi ini...?
Aku hanya dapat
mengenalmu,
Dalam duniaku yang
senyap ini...
Selamat jalan wahai
gadis...
Engkau abadi dalam
tragedi ini...
Pontianak, 4 Juli 1997
Jum’at 11:30 Malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar