Jumat, 10 Januari 2020

DIARY 1997


DIARY 1997

Kamis, 8 Mei 1997.
Selepas makan malam aku, Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya bersantai di depan rumah Yudi. Setelah cukup lama kami mengobrol santai, datang beberapa orang teman Yudi yang mengajaknya bersantai ke pantai Tanjung Batu. Yudi kemudian meminta izin Pak Ngah Sanif untuk membawaku ikut bersantai juga ke pantai Tanjung Batu. Pak Ngah Sanif mengizinkan namun ia ingin ikut serta untuk menjagaku. Kami pun selanjutnya berjalan ke pantai Tanjung Batu. Di pantai Tanjung Batu kami singgah ke sebuah pondok jualan milik temannya Pak Ngah Sanif.
Orang-orang di pantai Tanjung Batu hampir merata kenal dengan Pak Ngah Sanif. Karena jika ada kejadian aneh yang menimpa pengunjung Tanjung Batu, Pak Ngah Sanif lah yang selalu mereka panggil untuk menyelesaikan hal tersebut.
Di pondok jualan yang tak berdinding milik temannya Pak Ngah Sanif ini kami duduk santai. Yudi dan teman-temannya bersantai di tumpukan batu besar diluar pondok. Aku duduk didalam pondok menghadap ke pantai yang penuh dengan tumpukan batu besar, dan Pak Ngah Sanif duduk berjarak satu meja dibelakangku bersama temannya, si pemilik pondok jualan itu. Pak Ngah Sanif terlihat sangat asyik mengobrol dengan temannya itu.
Aku sangat menikmati suasana malam di tepi pantai saat itu. Suara ombak dan tiupan angin seperti alunan musik yang menghibur hatiku. Untuk beberapa saat aku hanyut dalam suasana. Hingga mataku tertuju pada sebuah batu besar didepan yang tidak jauh dari pondok tempatku duduk. Ku lihat Rina sedang berdiri diatas batu besar itu. Tubuhnya membelakangi laut dan memandangiku sambil tersenyum. Ku lihat ia melambai-lambaikan tangannya memanggilku.
Seakan jiwaku telah terkuasai oleh senyum dan lambaian tangannya, aku pun hendak berdiri untuk pergi menghampirinya. Namun ku rasakan tubuhku berat sekali seperti ada sesuatu yang menahannya sehingga aku tidak dapat berdiri. Aku terus mencoba untuk berdiri, namun tetap tidak bisa. Karena aku tidak juga menghampirinya sehingga ku lihat Rina bergerak perlahan ke arahku. Ku rasakan mataku saat itu tidak bisa berpaling dari tatapan matanya. Rina yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan celana jeans biru ketat perlahan-lahan bergerak semakin mendekatiku.
Hingga semakin dekat kulihat Rina secara perlahan berubah. Kulitnya yang putih itu dipenuhi darah. Di leher sebelah kirinya terlihat luka yang menganga sangat besar. Terlihat darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan terlihat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya juga dipenuhi darah. Tangan kirinya terlihat hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah. Pada dada sebelah kanan terlihat luka yang juga menganga, begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang bercucuran.
Seketika itu juga ku rasakan ubun-ubun dan tengkukku terasa dingin, dan semakin dingin ketika ku lihat Rina yang telah berubah sangat menakutkan bergerak perlahan semakin mendekatiku. Rasa dingin itu kemudian menjalar ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku. Jantungku seakan berhenti berdetak dan aku sulit bernafas karena seperti tertahan sesuatu. Tubuhku terasa sangat tegang dan kaku serta pandangan mataku tetap tertuju kepada tatapan matanya yang telah berubah sangat tajam dan mengerikan.
Aku benar-benar tidak bisa mengedipkan mataku apalagi memalingkannya. Ketika Rina yang terlihat sangat mengerikan itu hampir mendekatiku, tiba-tiba saja pandangan mataku tertutup sesuatu dan tengkukku terasa panas. Rupanya Pak Ngah Sanif yang mengetahui sedang terjadi susuatu padaku langsung bergerak cepat menutup mataku dengan tangannya dan tangannya yang satunya lagi menekan tengkukku.
Meski Pak Ngah Sanif asyik mengobrol dengan temannya itu, ia terus mengawasiku sehingga ia tahu bahwa sedang terjadi sesuatu padaku. Pak Ngah Sanif sambil menutup mataku dan menekan tengkukku, kemudian membacakan sesuatu ke ubun-ubunku sehingga ubun-ubunku terasa panas dari yang sebelumnya terasa sangat dingin.
Setelah selesai membacakan sesuatu ke ubun-ubunku, Pak Ngah Sanif menarik tangannya yang menutupi mataku ke arah bawah. Bersamaan dengan tarikan tangannya ke arah bawah, maka ku rasakan seperti ada hawa panas yang mengalir ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku sehingga hilanglah hawa dingin yang ku rasakan sebelumnya. Jatungku yang terasa terhenti langsung berdetak kencang, begitu juga nafasku langsung berderu dengan cepat.
Rina yang wujudnya sangat menakutkan tidak terlihat lagi dalam pandanganku. Pandangan mataku pun sudah dapat ku alihkan dan tubuhku dapat di gerakkan, meski jiwaku masih ku rasakan linglung dan jantungku masih terasa berdetak kencang. Nafasku pun masih turun naik dengan cepat.
Setelah yakin bahwa aku telah sadar, Pak Ngah Sanif langsung memegang tanganku dan segera membawaku pulang. Yudi dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di luar pondok dan melihat hal tersebut langsung menghentikan obrolan mereka. Mereka tanpa banyak berkata langsung mengikuti Pak Ngah Sanif yang berjalan cepat menarik tanganku untuk membawaku pulang. Saat itu aku masih merasakan linglung.
Kami tanpa sempat berpamitan dengan pemilik pondok jualan tempat kami bersantai langsung pergi begitu saja. Tapi pemilik pondok sangat mengerti situasi demikian karena para penjual di kawasan Tanjung Batu sangat mengenal Pak Ngah Sanif dan mengerti jika Pak Ngah Sanif berbuat demikian berarti ada sesuatu yang membahayakan para pengunjung kawasan wisata tersebut.
Pak Ngah Sanif dengan menarik tanganku, berjalan cepat membawaku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Pak Ngah Sanif langsung menyuruh ibunya Yudi mempersiapkan air satu ember. Tanpa membuka pakaianku Pak Ngah Sanif langsung memandikanku.
Ketika akan memandikanku, Pak Ngah Sanif membacakan sesuatu sambil memegang timba yang berisi air yang diambilnya dari ember tersebut. Selanjutnya ia menyiramkan air ke bagian tengah tubuhku sebanyak tiga kali, dan ke arah kanan dan kiri tubuhku masing-masing tiga kali. Selesai Pak Ngah Sanif memandikanku, linglung yang ku rasakan hilang. Jantung dan nafasku normal kembali. Aku merasa benar-benar telah sadar sepenuhnya.
Setelah Pak Ngah Sanif memandikanku, aku disuruhnya mengganti pakaianku yang basah. Aku menurutinya dan mengganti pakaianku. Setelah itu aku duduk di ruang tengah bersama Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya. Pak Ngah Sanif kemudian bertanya kepadaku apa yang telah ku lihat tadi.
Aku pun menjelaskan bahwa tadi ku lihat Rina dalam wujud yang sangat mengerikan. Rina yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan celana jeans biru ketat bergerak perlahan mendekatiku secara perlahan juga berubah wujudnya. Kulitnya yang putih dipenuhi darah.
Di leher sebelah kirinya terdapat luka yang menganga sangat besar dan darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan terdapat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya dipenuhi darah. Tangan kirinya hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah. Dada sebelah kanannya terdapat luka yang menganga, begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang bercucuran.
Mendengar penjelasanku itu, Pak Ngah Sanif menganggukkan kepalanya. Yudi dan orangtuanya saling berpandangan. Selanjutnya Pak Ngah Sanif menjelaskan jika seperti itu penggambaran yang terlihat dari mataku maka wujud Rina itu seperti mayat yang ditemukan di kawasan Tanjung Batu. Beberapa bulan yang lalu warga menemukan mayat wanita di pondok tempat ku duduk pada malam itu.
Wanita tersebut menggunakan pakaian dan dipenuhi luka seperti yang telah ku jelaskan. Wanita itu memang dibunuh seseorang, namun tidak diketahui siapa pelakunya. Tentang identitas wanita itu masih simpang siur, ada yang mengatakan wanita itu berasal dari Pemangkat namun ada juga yang mengatakan berasal dari Singkawang. Hingga kini tidak tahu bagaimana kelanjutan penemuan mayat itu apakah pelaku pembunuhnya telah diketahui.
Sebelum kejadian yang telah menimpaku, memang telah ada beberapa orang baik para penjual ataupun pengunjung kawasan Tanjung Batu yang melihat penampakan wujud wanita yang sesuai penggambaranku itu.
Agar tidak semakin membahayakan jiwaku, Pak Ngah Sanif menyuruhku untuk besok pulang ke Pontianak, dan nanti jangan dulu datang ke kawasan Tanjung Batu hingga aku benar-benar telah lepas dari pengaruh Rina. Aku pun menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu. Namun untuk besok pulang, Pak Ngah Sanif dan Yudi akan mengantarku hingga melewati batas kota Singkawang karena Pak Ngah Sanif khawatir Rina akan mengikutiku. Aku pun kembali menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah berkata demikian, Pak Ngah Sanif menyuruhku tidur karena besok selepas Sholat Shubuh aku akan melakukan perjalanan jauh untuk kembali pulang ke Pontianak. Aku menuruti perkataan Pak Ngah Sanif dan bersama Yudi langsung masuk ke kamar untuk tidur. Rupanya Pak Ngah Sanif juga tidur di kamar Yudi, ia tidur di dekatku. Pak Ngah Sanif berkata bahwa ia tidur didekatku untuk menjagaku selama aku tidur agar tidak di ganggu Rina dan supaya tidurku bisa pulas sehingga besok aku bisa bangun dengan segar. Maka malam itu aku benar-benar merasakan tertidur pulas.

--- oOo ---

Sengsaramu tak pernah ku saksikan,
Kepedihanmu tak dapat kurasakan,
Siapa dirimu wahai gadis...?
Mengapa kisah hidupmu mesti berakhir tragis...?
Mengapa masamu terhenti dalam kepedihan...?
Apa yang sebenarnya terjadi padamu wahai gadis...?
Siapa yang membawamu dalam kemelut tragedi ini...?
Aku hanya dapat mengenalmu,
Dalam duniaku yang senyap ini...
Selamat jalan wahai gadis...
Engkau abadi dalam tragedi ini...

Pontianak, 4 Juli 1997
Jum’at 11:30 Malam

----- o0o -----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...