Sabtu, 23 November 2019

Asal Muasal Kalingkang : Tenunan Tradisioal Sanggau


ASAL MUASAL KALINGKANG
TENUNAN TRADISIONAL SANGGAU

Kalingkang adalah seni kerajinan tradisional yang dimulai dari menenun kain dari serat kayu, kapas, sutra, dan lainnya, dilanjutkan dengan menyulam benang emas atau perak dengan sangat rapat sehingga tidak terlihat lagi kain sebagai dasarnya, memiliki makna yang sangat penting pada masa dahulu.
Pada masa Kerajaan dahulunya, sulaman Kalingkang memiliki wujud berbagai bentuk, mulai dari bentuk manusia, binatang, pohon atau tumbuhan, serta berbagai benda dan makhluk suci memiliki arti penting dalam menyampaikan pesan antar kerajaan. Motif-motif pada sulaman Kalingkang menjadi media komunikasi antar Kerajaan menyampaikan pesan atau informasi penting.
Sebagai kerajinan tangan tradisional yang dimulai dari menenun serat kayu, kapas, sutra, dan lainnya sehingga menjadi sehelai kain yang dilanjutkan dengan menyulam kain tersebut dengan benang emas dan perak, Kalingkang pada masa dahulu merupakan kerajinan tangan milik seluruh lapisan masyarakat. Namun seiring berkembangnya zaman, Kalingkang kemudian lebih diidentikkan sebagai kerajinan tangan tradisional dari kalangan bangsawan. Hal tersebut dikarenakan rumitnya proses pembuatan Kalingkang yang dimulai dari menenun atau membentuk kain hingga menyulamnya sehingga hanya masyarakat dari kalangan bangsawan saja yang memiliki waktu cukup banyak untuk membuatnya, karena mereka tidak disusahkan harus mencari nafkah karena telah tersediakan oleh kerajaan.
Sedangkan bagi rakyat biasa akan sulit untuk tetap membuat Kalingkang ini, karena kondisi kehidupan mereka yang harus tetap mencari nafkah seperti berladang, bertani, mencari ikan, berburu dan sebagainya yang biasanya dilakukan dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Dan ketika malam hari, mereka telah lelah sehingga waktu yang dipergunakan adalah beristirahat dan tidur sehingga akan sulit untuk tetap membuat kerajinan Kalingkang ini.
Selain itu harga benang emas dan perak yang sangat mahal sehingga hanya kalangan bangsawan saja yang sanggup membelinya. Sedangkan bagi kalangan rakyat biasa akan kesulitan membeli benang emas dan perak yang sangat mahal itu, karena penghasilan pendapatan mereka tidak akan cukup untuk membelinya karena telah habis untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Jumat, 15 November 2019

Seminar Kajian Penentuan Hari Jadi Sanggau


SEMINAR KAJIAN PENENTUAN HARI JADI SANGGAU

Seminar Kajian Penentuan Hari Jadi Sanggau dilaksanakan pada hari Senin tanggal 14 Desember 2015 bertempat di Ruang Musyawarah Lantai 1 Kantor Bupati Sanggau. Seminar ini dihadiri oleh Perwakilan SKPD Kabupaten Sanggau, Tokoh Masyarakat, Organisasi Masyarakat, Perwakilan Kelompok Masyarakat, serta unsur lain yang terkait yang dianggap memahami sejarah, dan proses Penetapan Hari Jadi Kota Sanggau.
Seminar ini dipimpin oleh Wakil Bupati Sanggau, Bapak Drs. Yohanes Ontot, M.Si., dengan Notulisnya Kepala Bagian Tata Pemerintahan, Bapak Suis, S.Sos.,M.Si. Dalam seminar ini menghadirkan 2 (dua) orang Narasumber, yaitu Bapak Masri Sareb Putra (Budayawan) dan Bapak Tomi, S.Pd, yang merupakan Penulis Sejarah Sanggau, dengan Moderatornya Sekundus Rintih, SE.
Setelah dilakukan pembahasan dan diskusi terhadap materi atau topik diatas selanjutnya seluruh peserta memutuskan dan dapat menyepakati beberapa hal yang kemudian ditetapkan dalam Berita Acara yang menjadi Keputusan Akhir Kegiatan Seminar, yaitu :
Dasar Penentuan Hari Jadi Kota Sanggau ini adalah sebagai berikut :
1)        Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan keleluasaan kepada daerah kabupaten / kota untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan adanya otonomi yang lebih luas yang diberikan oleh Undang-Undang tersebut maka daerah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan termasuk pula kewenangan untuk menetapkan hari jadi suatu daerah. Kabupaten Sanggau termasuk salah satu daerah yang sedang berupaya menentukan penetapan hari jadi daerahnya.
2)        Dalam menetapkan hari jadi sebuah daerah, berbagai cara dapat dilakukan. Yang sering atau lazim adalah mencari dan melacak serta menemukan momentum penting yang mempunyai makna dalam perjalanan sejarah daerah tersebut.
3)        Menetapkan hari jadi adalah juga proses memilih suatu tanggal yang dianggap paling mendekati kemungkinan faktual, yang kemudian disepakati untuk dijadikan keputusan bersama. Dalam pemilihan fakta itulah sebagai dasar mencari suatu tonggak sejarah Kabupaten Sanggau yang akan dijadikan sebagai Hari Jadi. Untuk mencari satu fakta sejarah harus meneliti serangkaian fakta-fakta sejarah yang saling berangkaian antara sejarah diluar Kabupaten Sanggau dengan sejarah di dalam Kabupaten Sanggau sendiri sehingga memiliki makna yang didasarkan pada adanya temuan data mengenai sebuah pembentukan pemerintahan Kerajaan Sanggau pada masa lalu melalui permulaan pembangunan kota, pendirian wilayah atau bangunan, benda-benda bersejarah dan cerita-cerita rakyat.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas dan berdasarkan kajian yang bersumber dari sejarah kerajaan diluar Kabupaten Sanggau maupun sejarah didalam Kabupaten Sanggau yang berhasil dikumpulkan baik dalam bentuk dokumen sejarah yang otentik, cerita-cerita rakyat, silsilah Kerajaan Sanggau, benda-benda bersejarah dan riwayat pembangunan wilayah, maka ditemukan hasil sebagai berikut :
a)        Nama Sanggau berasal dari nama Terusan atau Sungai Sangao yang ditumbuhi pohon sangao yaitu sejenis beletik atau rambutan. Sungai Sanggau ini sekarang berlokasi dibelakang Masjid Jami’ Kantu’, disamping rumah meriam Segentar Alam.
b)        Yang memberi nama Sanggau adalah Sultan pertama bergelar Sultan Awwaludin karena pemberian gelar pada bulan Rabi’ul Awwal.
c)        Untuk memotong akar Pohon Sangao, Sultan Awwaludin membuat pedang dari Mongol yang disebut Pedang Tan Cam. Pemotongan akar pohon Sangao dilaksanakan pada hari Ahad bertepatan pada hari keempat setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW yaitu tanggal 16 Rabiu’ul Awwal. Pedang Tancam kemudian diukir dengan angka tahun dan hari pelaksanaan yang kebetulan sama, sehingga tahun pada masa tersebut adalah tahun 1616.
d)        Adapun ringkasan Cerita Rakyatnya yaitu : “Pada tahun 1605 Masehi, Abang Terka atau Abang Awal berusaha menghidupkan kembali Kerajaan Kapuhas yang runtuh setelah terkayaunya Patee Gumantar pada tahun 1375 Masehi. Abang Awal adalah anaknya Demong Minyak. Demong Minyak adalah anaknya Demong Karang. Demong Karang adalah anaknya Demong Nutub dari Embau Hulu Kapuas. Demong Nutub adalah anaknya Demong Irawan atau Jubair Irawan I, pendiri Kerajaan Sintang. Demong Irawan adalah anaknya Aji Melayu atau Aji Inderawangsa dengan Putong Kempat. Aji Melayu bersaudara kandung dengan Aji Sriwangsa, ayah kandung Dara Nante. Adapun Abang Terka atau Abang Awal kemudian menikah dengan Dayang Puasa atau Nyai Sura dari Kampung Kantu’, yang pada masa itu telah menjadi janda karena Kiyai Patee Gemuk meninggal dunia ketika Abang Renggang masih kecil. Abang Awal menyatukan keturunan Danum dan Dakdudak, Belang Pinggang, Puyang Belawan, Belang Patung, Belang Bau, Bui Nasi dan Singa Guntur Baju Binduh, yang merupakan pendiri Kampung Kantu’. Kerabat Kapuhas kemudian membangun kembali Kampung Kantu’ dan membangun istana berbentuk susunan bata merah dan batu di wilayah mungguk yang sekarang telah menjadi makam Abang Tabrani dan Abang Usman. Selanjutnya mereka membuat torus atau terusan dari Sungai Kapuhas menuju istana, untuk jalan bidar-bidar kerajaan. Lokasi torus atau terusannya sekarang berada di samping rumah meriam atau dibelakang Masjid Jami’ Kantu’. Namun pembuatan terusan ini terhambat oleh akar Pohon Sangao yaitu sejenis Pohon Rambutan atau Beletik. Pembuatan terusan itu terpaksa di hentikan beberapa waktu. Posisi batang Pohon Sangao ini sekarang telah di bangun tiang bendera di depan Keraton Surya Negara Sanggau. Para kerabat Kapuas dari Embau Hulu menyarankan untuk membuat pedang khusus guna memotong akar Pohon Sangao. Abang Awal menerima saran tersebut dan mengirim beberapa orang dari Marga Tan untuk pergi ke Negeri Mongol. Setahun kemudian, para utusan bermarga Tan ini kembali ke Kantu’ dengan membawa pedang pesanan Abang Awal. Ketika rombongan Marga Tan pulang dari Negeri Mongol ke Kampung Kantu’, ikut serta rombongan Bangsa Hakka dari Fujian yang dipimpin oleh Jong Pak Kung Kung. Jong Pak Kung Kung selanjutnya bersama Bangsa Hakka pindah ke wilayah yang sekarang disebut Bodok. Para kerabat Kapuas kemudian melanjutkan lagi pekerjaan pembuatan terusan yang selama satu tahun telah terhenti. Maka pada tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1025 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 3 April 1616 Masehi akar Pohon Sangao yang telah menghambat pembuatan terusan berhasil di potong. Pedang dari Negeri Mongol itu kemudian disebut Pedang Tan Cam. Setelah akar Pohon Sangao berhasil di singkirkan maka beberapa waktu kemudian terusan yang akan digunakan sebagai jalan bidar istana selesai di kerjakan, bersamaan dengan selesai juga dibangunnya istana Kerajaan yang berbentuk susunan bata merah dan batu. Selanjutnya istana Kerajaan yang baru tersebut dipergunakan oleh para kerabat Kapuas sebagai tempat menobatkan Abang Awal menjadi Sultan Negeri Kapuhas bergelar Sultan Awwaludin pelanjut Kerajaan Kapuhas Patee Gumantar di Bakule Rajank atau Mempawah. Ketika penobatan Abang Awal menjadi Sultan Negeri Kapuhas, hadir utusan dari Kesultanan Banjar bernama Penghulu Muhammad Shaman dan Penghulu Encik Shomad dari Serawak untuk membaiat gelar Abang Awal sebagai Sultan. Setelah penobatan tersebut, Penghulu Muhammad Shaman menjadi Penghulu di Negeri Kapuhas, dan menyebarkan Agama Islam di Melawi, Sintang, Kapuas Hulu dan Sanggau. Penghulu Muhammad Shaman selanjutnya menjadi Leluhur para Penghulu di Negeri Sintang dan Sanggau. Ketika acara penobatan tersebut Sultan Awwaludin memberi nama terusan yang baru dibangun itu dengan nama Sungai Sangao yang berasal dari nama Pohon Sangao, yang sekarang disebut Sungai Sanggau. Penamaan terusan itu dengan Sungai Sanggau sebagai pengingat peristiwa sulitnya menyingkirkan akar Pohon Sangao sehingga terpaksa harus dihentikannya pembuatan terusan bagi jalan bidar-bidar istana selama satu tahun. Sultan Awwaludin juga bertitah dengan menyebut wilayah tempat keberadaan Sungai Sangao ini dengan Sangao atau Sanggau. Selanjutnya, Sultan Awwaludin memerintahkan untuk mengukir pedang Tan Cam dengan angka 1616, karena angka tersebut sebagai pengingat bahwa awal mula berdirinya Sanggau pada tahun Masehi yang kebetulan bersamaan dengan tanggal Hijriah berhasil dipotong dan diangkatnya akar Pohon Sangao, yaitu tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1025 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 3 April 1616 Masehi”.

Berdasarkan hasil kajian dari berbagai sumber tersebut maka peserta Seminar menentukan dan menyepakati bahwa “Hari Jadi Kota Sanggau ditetapkan pada hari Senin tanggal 3 April 1616”. Hasil dari Seminar Kajian Penentuan Hari Jadi Sanggau ini selanjutnya diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau atau Perda Nomor 3 Tahun 2016 Tentang HARI JADI KOTA SANGGAU.

Sabtu, 09 November 2019

Hukum Adat Kerajaan Sanggau



HUKUM ADAT KERAJAAN SANGGAU

Bismillahirrahmaanirrahim,
Dalam rangka moment 12 Rabiu’ul Awwal atau bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, saya persembahkan Hasil Karya berjudul Hukum Adat Kerajaan Sanggau yang merupakan hasil tulisan ulang dari Kitab Hukum Undang-Undang Kerajaan Sanggau. Saya tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk Melaunching buku ini, namun semoga dengan mempostingnya di FB ini sebagai usaha termudah dan sangat sederhana untuk memperkenalkan buku ini kepada khalayak. Karena buku ini memiliki banyak manfaat bagi masyarakat Adat, khususnya masyarakat Adat Kabupaten Sanggau.
Bulan Rabi’ul Awwal, selain sebagai bulan yang sakral bagi Umat Muslim yaitu sebagai bulan Kelahiran Nabi Muhammad SAW, bulan ini memiliki nilai historis bagi keberadaan Kerajaan Sanggau, karena permulaan Kerajaan Sanggau di deklarasikan yaitu pada tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1025 Hijriah, sebagaimana yang tertulis dalam publikasi dari Weeckelycke Courante Van Europa tanggal 12 Agustus 1638, menuliskan bahwa Kerajaan Sanggau berdiri pada tahun 1616, sesuai dengan hari keenam belas bulan Rabiul Awwal tahun 1025 Hijriah oleh Sultan Awwaludin. Kemudian berdasarkan Nota Van Toelichting tanggal 25 Oktober 1869 diterjemahkan yaitu Sanggau berdiri dalam tahun 1616, yang sesuai dengan hari keenam belas bulan Rabiul Awwal tahun 1025 dari era Islam oleh Sultan Awwaludin putranya Pangeran Minyak bin Demang Karang bin Demang Nutup. Sultan Awwaluddin disyahkan menjadi Raja Sanggau oleh Penghulu Muhammad Shaman dari Kesultanan Banjarmasin dan Penghulu Encik Shomad dari Serawak.
Penghulu Muhammad Shaman merupakan Ulama penyebar Islam di Melawi, Sintang dan Sanggau, dan selanjutnya menjadi Leluhur Penghulu di Kerajaan Sanggau. Penghulu Muhammad Shaman dan Encik Shomad kemudian bergelar Pasak Sanggau karena sebagai orang yang berwenang mengesyahkan Raja-Raja Sanggau.
Pada masa berdirinya Kerajaan Sanggau ini telah disusun Undang-Undang Kerajaan atau Hukum Adat Kerajaan Sanggau oleh Penghulu Muhammad Shaman dan Encik Shomad. Hukum Adat Kerajaan Sanggau ini mengalami berbagai penyesuaian pada masing-masing pemerintahan Kerajaan Sanggau. Hingga terakhir pada masa Pemerintahan Kerajaan Sanggau terdapat 77 Pasal Hukum Adat Kerajaan yang terdiri dari 71 Pasal Hukum Adat Kerajaan, 3 Pasal Pergantian Raja, 2 Pasal pemberian nama dan gelar, 1 Pasal tentang kewajiban mematuhi Hukum Kerajaan, serta 80 Pasal Hukum Adat bagi kaum Bumi Putra yaitu masyarakat Kerajaan yang meliputi 79 Pasal Hukum Adat dan 1 Pasal Penjelasan, yang di syahkan oleh Temenggung Penghulu Haji Mas Mahmud dan Raden Penghulu Haji Abang Ahmad pada masa Panembahan Ade’ Muhammad Arief tanggal 5 Agustus 1940. Undang-Undang Kerajaan atau Hukum Adat Kerajaan ini hingga kini masih terjaga dengan baik dalam arsip dokumen warisan Penghulu Sanggau, meskipun kondisinya telah rapuh. Buku Hukum Adat Kerajaan Sanggau ini merupakan menulisan ulang dari Kitab Hukum Undang-Undang Kerajaan Sanggau sebagai upaya penyelamatan warisan berharga dari masa Kerajaan Sanggau.
Selain itu buku Hukum Adat Kerajaan Sanggau ini juga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak penegak Hukum seperti TNI, Polri dan sebagainya untuk mempertimbangkan tindakan yang bijak jika berhadapan dengan kasus-kasus Hukum yang melibatkan unsur-unsur masyarakat Adat. Pasal-pasal dalam Hukum Adat Kerajaan Sanggau ini dapat menjadi acuan dalam mengambil tindakan dengan tetap perpedoman pada Adat masyarakat setempat, dan melaksanakan tanggung jawab sebagai penegak Hukum yang melaksanakan Undang-Undang dan aturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Pada masa dahulu, Hukum Adat Kerajaan Sanggau ini menjadi pedoman dalam setiap menyelesaikan permasalahan dan wajib dipatuhi, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 77, yang berbunyi:
Syahdan aturan atas anak cucu darah Raja-Raja, dan anak cucu darah Mas, dan anak cucu darah Bumi Putera kebanyakan disampaikan wajib turut patuh Aturan Adat Istiadat dalam Negeri Kerajaan Sanggau sebagai mana dari zaman dahulu kala sampai sekarang ini dalam memutuskan setiap perkara; jangan berbantah-bantah dengan perkara yang tidak patut punya dasar dan tidak jelas perkara ujung pangkal dan begitu asal muasalnya karena wajib merujuk pada ini Aturan Adat Istiadat Negeri Kerajaan Sanggau sebagaimana diperbuat oleh Raja-Raja yang dahulu seperti Firman Allah demikian bunyinya :
Artinya : ”Taatilah Allah dan taatilah Rasul Muhammad SAW, dan Penguasa Negeri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul Muhammad SAW, jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya”.

Dalam buku ini juga terlampir empat Surat dari Kerajaan Belanda tentang permintaan kepada Penghulu Sanggau untuk mengesyahkan Raja-Raja Sanggau, karena demikianlah Aturan Kerajaan dan Hukum Adatnya bahwa Penghulu Sanggau sebagai Pasak Sanggau adalah pihak yang berwenang menentukan Zuriat Pengganti Raja yang kemudian mengesyahkannya sebagai Raja Sanggau.

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...