EDELWEISS DI TENGAH BELUKAR
Linda Dalam Bingkai Durjana
Pertengahan tahun 1996 aku lulus SMA,
meski harus melewati masa-masa ujian sekolah yang berat. Yaaa... ku rasakan
sangat berat. Dengan situasi pertikaianku dengan orangtua yang tidak menyetujui
aku untuk melanjutkan sekolah ke STSI Surakarta. Aku telah mempersiapkan diri
sejak di kelas dua untuk dapat pergi ke Sekolah Seni di Surakarta itu, karena
aku bercita-cita ingin menjadi Koreografer Tari. Permulaan aku menyukai
seni Tari ketika aku di kelas 1 SMA. Aku bersekolah di Jurusan Pariwisata, dan
pada saat itu ada Program Wisata Remaja ke Lampung dari Departemen Pariwisata,
Pos dan Telekomunikasi.
Aku termasuk salah seorang murid yang di rekomendasikan oleh
wali kelasku untuk mengikuti program tersebut. Namun dalam seleksi, di
persyaratkan pesertanya harus bisa menampilkan seni. Aku sempat bingung pada
saat itu, seni apa yang bisa aku tampilkan dalam seleksi itu. Wali kelasku
memberikan saran agar aku menampilkan seni tari tradisional saja.
Aku semakin bingung, karena aku seorang laki-laki dan
belum pernah menari sebelumnya. Sedangkan menari itu adalah kegiatan kaum
perempuan. Apalagi aku hanya punya waktu tidak lebih dari seminggu untuk bisa
menari, karena seleksi peserta dilaksanakan minggu depan. Namun wali kelasku
seakan memaksa agar aku bisa menari tarian tradisional. Dalam keadaan bingung,
aku pun mengiyakan permintaan wali kelasku itu. Maka aku berusaha mencari teman
yang bisa mengajarkan aku untuk menari.
Syukurnya ada seorang teman perempuan sekelasku yang
juga di tunjuk oleh wali kelas untuk mengikuti seleksi tersebut pernah
mengikuti salah satu Sanggar Tari di Pontianak. Mengetahui aku sedang
kebingungan karena di suruh wali kelas untuk bisa menampilkan tarian tradisional pada seleksi peserta Wisata Remaja
minggu depan, ia pun menyampaikan kepadaku bahwa ia bersedia mengajarkan
aku tarian tradisional.
Namun ia juga tidak yakin apakah aku bisa dengan cepat
menguasai tarian tersebut dalam waktu kurang dari seminggu. Apalagi aku ini
laki-laki, dan belum pernah menari sebelumnya, sehingga akan sulit bagiku
menguasai tarian yang umumnya merupakan kegiatan kaum perempuan. Walaupun ia
sendiri tidak yakin, tapi ia tetap menyemangatiku bahwa banyak juga laki-laki
yang pandai menari. Aku pun antara yakin dan tidak dengan diriku sendiri
berusaha menyemangati diriku sendiri.
Maka pada hari itu, aku mulai belajar menari di rumah
teman ku itu. Ia mengajarkan aku tari Padang, yaitu Tari Rantak. Sungguh
sulitnya aku belajar menari saat itu, tapi aku coba yakinkan diri, bahwa aku
bisa mempelajarinya. Perlahan-lahan aku coba belajar setelah pulang sekolah
hingga malam hari di rumah temanku ini.
Setelah empat hari aku belajar, akhirnya Tari Rantak
itu berhasil juga ku hafalkan. Hari berikutnya ku perdalami lagi, dan satu
minggu aku dapat menguasai Tari tersebut. Hingga pada hari seleksi, aku dinyatakan lulus sebagai peserta Wisata Remaja ke Lampung oleh panitia. Ini lah awal mula aku
menyukai seni tari, yang selanjutnya aku bergabung pada salah satu Sanggar Tari
di Pontianak.
Sampailah ketika aku lulus sekolah, aku bingung
menentukan tujuan akan kemana. Rencanaku yang menggebu-gebu akan bersekolah ke
STSI Surakarta kandas, karena menurut orangtuaku menjadi seniman itu tidak
dapat menghidupi diri. Mereka menghendaki agar aku melanjutkan kuliah di
Pontianak. Dengan berat hati, akhirnya aku mendaftarkan diri pada Perguruan
Tinggi di Pontianak yang di inginkan orangtuaku, dan aku lulus dalam seleksi
penerimaan Mahasiswa baru di Perguruan Tinggi tersebut.
Ketika menunggu waktunya mulai perkuliahan, aku lebih
menyibukkan diri di Sanggar. Aku terus berusaha melupakan hasratku untuk melanjutkan
ke sekolah seni. Namun semakin ku lupakan, semakin kuat gejolak dalam hatiku,
hingga ku rasakan bahwa ada pemberontakan dalam jiwaku. Aku pun mulai
mengurangi kegiatanku di Sanggar dan mulai berpikir untuk mencari pekerjaan.
Maka mulai lah aku memasukkan lamaran ke beberapa
Travel dan Hotel di Pontianak. Ketika aku memasukkan lamaran ini,
orangtuaku mengetahuinya dan sangat marah sekali, karena mereka menghendaki
agar aku konsentrasi kuliah saja, jangan dulu bekerja. Tapi aku tidak peduli, aku
tetap terus memasukkan surat lamaran, karena aku ingin mengalihkan hasrat dalam
hatiku yang telah menimbulkan memberontak dalam jiwaku.
Agustus 1996, perkuliahanku dimulai. Dua minggu
setelah aku mulai kuliah, datang surat panggilan wawancara dari Travel dan
Hotel yang telah ku masukkan surat lamaran. Surat panggilan itu diantar ke
rumahku dan diterima oleh orangtuaku. Orangtuaku marah sekali karena aku masih
memasukkan lamaran pekerjaan, apalagi salah satu panggilan wawancara itu dari
Hotel yang menurut orangtuaku bukan tempat yang baik untuk bekerja.
Aku pun berusaha memberi pengertian bahwa panggilan
wawancara dari Hotel tersebut merupakan salah satu Hotel ternama di Pontianak.
Namun orangtuaku tidak mau mengerti dan meminta agar aku tidak datang pada
panggilan wawancara tersebut. Tapi aku tetap berkeras bahwa aku ingin bekerja,
dan tidak ingin kuliah.
Melihat kerasnya keinginanku itu, makin marahlah
orangtuaku dan berkata bahwa jika aku tetap berkeras ingin bekerja dan berhenti
kuliah, maka aku harus keluar dari rumah. Aku langsung tersentak mendengar
perkataan orangtuaku itu. Seketika pikiranku buntu, dan tidak tahu harus
bagaimana.
Meski dalam kondisi pikiran yang tidak menentu, aku
tetap datang pada panggilan wawancara di Travel dan Hotel tempatku memasukkan
surat lamaran. Namun dalam wawancara itu manajemen Travel menyampaikan bahwa
jam bekerja di Travel tersebut dari pagi hingga sore. Pikiranku yang sedang
tidak menentu itu menjadi kalut, karena jika demikian kondisinya, berarti aku
harus berhenti kuliah.
Aku kemudian menyampaikan kepada manajemen Travel
bahwa aku juga sedang kuliah, dan perkuliahannya dari pagi hingga jam 2 siang.
Mendengar penyampaianku, manajemen Travel memutuskan untuk tidak menerimaku
bekerja di Travel itu. Aku pun menerima keputusan itu.
Namun pada wawancara dengan manajemen Hotel, rupanya
mereka dapat menerima kondisiku yang sedang kuliah. Manajemen Hotel memutuskan
menerimaku bekerja di Hotel tersebut sebagai Kasir dibawah tanggung jawab
Bagian Akuntansi dan bekerja pada sift sore atau malam.
Jam bekerja pada Hotel tersebut terdiri dari tiga
sift, dengan masing-masing sift selama 8 jam, yaitu sift pagi dimulai jam 7 pagi
hingga jam 3 sore, sift sore dimulai jam 3 sore hingga jam 11 malam, dan sift
malam dimulai jam 11 malam hingga jam 7 pagi. Seminggu sekali aku mendapat hak
off yaitu libur sehari. Selain itu, aku juga harus melewati masa training
selama 3 bulan untuk kemudian dipertimbangkan menjadi pegawai penuh di Hotel
tersebut.
----- o0o -----
September 1996, aku mulai bekerja sebagai Kasir pada
salah satu Hotel ternama di Pontianak. Pada bulan pertama ku bekerja, aku
ditugaskan bekerja pada sift malam yaitu dari jam 11 malam hingga jam 7 pagi.
Sepulang kerja, aku langsung ke kampus untuk mengikuti perkuliahan. Sebagai
Kasir, selama 3 hari sekali aku di rolling pada beberapa tempat yaitu di Lobby
Hotel, Restoran, Executive Lounge dan Bar & Karaoke.
Kamis, 12 September 1996, hari pertamaku bertugas di
Bar & Karaoke. Inilah permulaanku mengenal lika liku gemerlapnya dunia
malam. Hari pertamaku bekerja di tempat itu ku lewati dengan kecanggungan yang
luar biasa. Namun aku harus mulai membiasakan diri dengan hiruk pikuknya
situasi Bar & Karaoke yang riuh dengan musik dan gemerlap lampu di sana
sini.
Sabtu, 14 September 1996, hari ketigaku bertugas di
Bar & Karaoke. Sekitar pukul 1 dini hari, aku yang bertugas sebagai Kasir,
dihampiri oleh dua orang wanita cantik yang menanyakan nama seseorang apakah
telah datang atau belum. Aku yang masih baru, tidak tahu nama yang mereka
tanyakan itu. Maka aku pun bertanya kepada salah seorang temanku yang telah lama bertugas sebagai Waitress di Hotel
tersebut. Dari temanku itu aku diberitahu bahwa nama yang ditanyakan oleh kedua
wanita cantik itu adalah seorang pengusaha yang sering berkunjung ke Bar &
Karaoke di Hotel tempatku bekerja. Dan pada saat itu, orang tersebut belum datang.
Sedangkan kedua wanita cantik itu merupakan langganan bookingan dari pengunjung
Hotel. Kedua wanita cantik itu bernama Tante Yanti dan Tante Linda. Inilah awal
mula aku mengenal Tante Linda.
Setelah mendapat penjelasan dari temanku itu,
selanjutnya ku sampaikan kepada Tante Yanti dan Tante Linda bahwa orang yang
mereka maksud belum datang. Mendengar penjelasanku itu, mereka kemudian duduk
di deretan meja bar tidak jauh dari meja kasirku. Sambil merokok mereka
menunggu orang yang mereka maksud datang. Terlihat mereka sangat akrab bahkan
bisa dikatakan sangat intim. Bagi mataku yang baru melihat pemandangan demikian
sangat ganjil. Tapi temanku yang berkerja sebagai Bartender dan Waitress tidak
hirau dengan perilaku kedua wanita itu yang sangat ganjil bagiku. Bagi teman-temanku
pemandangan itu bukan
pemandangan aneh karena sudah sering mereka lihat.
Aku yang merasa aneh dengan perilaku kedua wanita itu,
sering mencuri-curi lirikan. Mereka sepertinya tahu jika aku sedang memperhatikan
mereka, namun mereka tidak peduli. Mereka terus bercengkrama dengan intim,
seakan tidak ada orang lain di sekitar mereka.
Hampir 15 menit kemudian, orang yang mereka maksud
datang. Langsung saja Tante Yanti dan Tante Linda merangkul dan menciumnya.
Mereka tidak risih melakukan hal tersebut, justru aku yang merasa malu melihat
tingkah mereka. Selanjutnya mereka langsung menuju salah satu ruangan Karaoke
yang rupanya telah di persiapkan karena ruangan tersebut merupakan ruangan langganan
yang selalu dipesan orang itu. Sambil merangkul Tante Yanti dan Tante Linda di
kiri dan kanannya, orang itu menuju ruangan Karaoke yang tertutup dan tidak
bisa terlihat dari luar.
Sekitar dua jam didalam ruangan Karaoke itu, ku lihat
orang itu keluar sambil digandeng Tante Yanti dan Tante Linda. Mereka langsung
menuju lift, dan naik ke tingkat atas Hotel. Dari temanku yang Bartender, baru
ku ketahui bahwa mereka pergi ke kamar Hotel di tingkat atas yang sering di
booking oleh orang tersebut.
Minggu kedua bulan Oktober 1996, untuk kesekian
kalinya aku bertugas di Bar & Karaoke. Jika hari biasa, karyawan yang
bertugas sebanyak empat orang yaitu satu orang Bartender, dua orang Waitress
dan satu Kasir yaitu aku. Namun jika hari libur atau malam-malam yang ramai,
karyawan yang bertugas ditambah dua yaitu dua orang Waitress sehingga menjadi
empat orang Waitress.
Malam itu karena kurang ramai pengunjungnya sehingga
satu orang Waitress izin tidak masuk. Namun pada malam itu, ruangan Karaoke
nomor 5 memesan banyak makanan dan minuman. Temanku Waitress yang hanya
bertugas seorang diri itu menjadi kelabakan membawakan pesanan makanan dan
minuman ke ruangan nomor 5 itu. Ia pun meminta kesediaanku untuk membantunya
membawakan makanan dan minuman yang banyak itu ke ruangan nomor 5. Aku yang
sedang tidak sibuk pada saat itu tidak keberatan membantunya. Kami kemudian
menuju ruangan nomor 5.
Setiap ruangan Karaoke terdapat tombol yang berada di
dinding samping pintu ruangan untuk memberitahukan bahwa karyawan Bar & Karaoke akan masuk untuk mengantarkan
makanan dan minuman. Karena pintu-pintu ruangan Karaoke jika ada pengunjungnya
selalu dikunci dari dalam oleh pengunjung yang memakai ruangan Karaoke itu.
Sehingga orang lain tidak bisa langsung masuk ke ruangan tersebut.
Setelah memencet tombol yang ada di dinding samping
pintu ruangan itu, tidak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka. Temanku yang
Waitress kemudian masuk ke dalam ruangan dan aku mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di dalam, jantungku langsung berdebar kencang, karena ku lihat ada
delapan wanita dengan kondisi hampir telanjang sedang berpesta pora dan
bernyanyi. Bau alkohol dan asap rokok tercium memenuhi ruangan. Dan ku lihat
ada Tante Yanti dan Tante Linda dalam ruangan itu yang juga dengan kondisi
hampir telanjang sedang berjoget dengan girang. Bahkan beberapa wanita ku lihat
sedang asyik bercumbu di ruangan itu. Tanpa menghiraukan keberadaan ku dan
temanku yang mengantarkan makanan dan minuman, mereka tetap asyik dengan
kesenangan mereka.
Ku lihat temanku biasa-biasa saja dengan pemandangan seperti itu, aku yang merasakan risih dan canggung karena baru kali
itu ku lihat pemandangan yang seperti itu. Setelah meletakkan makanan dan
minuman pesanan kedelapan wanita itu, kami langsung ke luar ruangan. Temanku
kemudian melanjutkan tugasnya melayani pengunjung yang lainnya, aku langsung
duduk di tempat Kasir dengan pikiranku yang dipenuhi hal-hal macam-macam karena
telah melihat pemandangan yang tidak pernah ku duga.
Lewat jam 3 subuh, kedelapan wanita dalam ruangan
nomor 5 itu terlihat keluar sudah menggunakan pakaian mereka. Salah seorang
wanita kemudian menghampiri meja Kasirku dan bertanya berapa biaya pemakaian
ruangan Karaoke serta makanan dan minuman yang telah mereka pesan. Aku segera
mencetak bill tagihan dan kuberikan kepada wanita itu, yang kemudian
menandatangan bill tagihan itu dan mencantumkan nomor kamarnya. Selanjutnya
wanita itu berkata bahwa bill tagihan itu dimasukkan dalam tagihan kamar hotel
atas namanya.
Setelah memberikan kembali bill tagihan itu kepadaku,
wanita tersebut langsung menuju lift dan diikuti teman-temannya yang lain. Mereka bergiliran masuk ke dalam lift, empat
wanita termasuk Tante Linda masuk terlebih dahulu dan lift naik menuju ke
tingkat atas hotel. Tidak lama kemudian lift terbuka, dan empat wanita lainnya
termasuk Tante Yanti masuk ke dalam lift dan menuju ke tingkat atas hotel.
Akhir Oktober 1996, aku kembali bertugas di Bar &
Karaoke. Saat itu pengunjung Bar & Karaoke tidak begitu ramai. Sekitar jam
1 malam, ku lihat Tante Linda masuk ke Bar & Karaoke dan menghampiri meja
Kasirku. Kepadaku Tante Linda meminta ditelponkan kamar nomor 210 untuk
disampaikan kepada orang di kamar itu bahwa ia telah berada di Bar &
Karaoke. Aku segera menelpon kamar nomor 210 dan menyampaikan bahwa Tante Linda
telah menunggunya di Bar & Karaoke. Namun orang yang menerima telponku itu
mengatakan bahwa Tante Linda dimintanya langsung naik ke kamarnya yang berada
di lantai tiga. Aku pun mengiyakan perkataan orang itu dan langsung menutup
telponku.
Selanjutnya ku sampaikan kepada Tante Linda bahwa
orang di kamar hotel nomor 210 itu memintanya langsung naik ke kamarnya di
lantai tiga. Tapi rupanya Tante Linda meminta diantarkan menuju kamar nomor 210 itu, alasannya karena
ia merasa tidak nyaman dan takut melewati lorong yang berada di lantai tiga itu
seorang diri. Karena situasi saat itu tidak begitu ramai pengunjung dan aku
juga tidak begitu sibuk, maka setelah ku berpesan kepada temanku Bartender yang
bertugas tidak jauh dari meja ku, aku segera mengantarkan Tante Linda naik ke
lantai tiga menggunakan lift.
Selama berada dalam lift, aku diam dan tidak berani
melihat ke Tante Linda. Kepalaku menunduk dan terasa sekali aku sangat tegang
saat itu. Melihat aku begitu tegang, Tante Linda berkata agar aku santai saja
karena ia seorang Lesbian, dan tidak tertarik dengan laki-laki. Ia menjadi
pelayan nafsu laki-laki hanya untuk mencari uang. Mendengar perkataan Tante
Linda itu, aku berusaha membuat diriku sesantai mungkin, meskipun usaha ku itu
gagal.
Sekeluarnya dari lift, kami langsung menuju kamar
nomor 210. Kamar itu ku ketuk, dan pintu kamar itu terbuka. Aku terkejut bukan
main setelah melihat orang yang membuka pintu itu adalah salah seorang Dosen ku
di kampus. Aku berusaha mengalihkan wajahku agar tidak dikenali oleh Dosen
ku itu. Tapi rupanya Dosen ku itu memang tidak mengenal ku, karena di kampus
aku kurang di kenal Dosen. Setiap kuliah aku hanya datang, duduk, diam dan
duduk pada barisan belakang akibat aku tidak bersemangat kuliah saat itu. Aku
juga malas berinteraksi di kampus dan tidak peduli dengan nilai yang akan ku
dapatkan. Setiap kuliah yang ku tunggu hanya waktu habis, kemudian meminta
paraf Dosen pada DHK ku sebagai bukti aku hadir kuliah, selanjutnya aku pergi
meninggalkan kampus.
Setelah yakin bahwa Dosen ku itu tidak mengenaliku,
aku menjadi lega. Selanjutnya ku tinggalkan Tante Linda di kamar nomor 210 itu.
Aku kembali turun ke meja Kasirku di Bar & Karaoke.
----- o0o -----
Sekitar jam 5 subuh, telpon di meja Kasirku berbunyi.
Telpon itu pun ku angkat, dan rupanya telpon dari kamar nomor 210 yang meminta
agar aku menjemput Tante Linda untuk dibawa turun. Setelah telpon di tutup, aku
segera pergi ke kamar 210 yang berada di lantai tiga itu melalui lift. Ketika
melewati lorong menuju kamar nomor 210 itu seorang diri, ku rasakan sangat
tidak nyaman. Memang benar kata Tante Linda bahwa melewati lorong itu seorang
diri terasa sangat mencekam. Seakan-akan aku ingin berlari saja agar cepat
sampai di kamar nomor 210.
Dengan mempercepat langkahku, sampai juga aku di depan
kamar 210. Kamar itu ku ketuk. Aku sempat menunggu beberapa waktu, hingga pintu
kamar terbuka dan Tante Linda keluar dari kamar itu, pintu kamar itu pun
langsung di tutup. Aku dan Tante Linda segera melewati lorong dan menuju ke lift
untuk turun ke Bar & Karaoke.
Ketika di dalam lift, Tante Linda mengeluarkan
selembar uang 50.000 dan memberikannya kepada ku sambil berkata bahwa ia
barusan mendapat rezeki banyak karena telah melayani tamu di Kamar 210 itu sebanyak tiga Rate.
Istilah Rate adalah penyebutan pelayanan untuk sekali main bagi tamu hotel yang
menggunakan jasa wanita panggilan. Tiga Rate berarti Tante Linda telah melayani
tamu di kamar 210 itu sebanyak tiga kali main.
Aku menolak uang yang diberikan Tante Linda itu, namun
Tante Linda terus memaksa, tetapi aku tetap menolaknya. Hingga akhirnya Tante
Linda memasukkan uang itu ke saku bajuku. Setelah kami keluar dari lift, Tante
Linda langsung pergi keluar dari Bar & Karaoke, dan aku kembali ke meja
Kasirku untuk mempersiapkan laporan keuanganku hari itu. Setelah selesai, aku
menunggu waktunya pulang jam 7 pagi, untuk kemudian bersiap-siap ke kampus
karena aku ada kuliah jam 7:30 hari itu.
----- o0o -----
Selasa, 29 Oktober 1996, hari kedua di penghujung
bulan Oktober aku bertugas di Bar & Karaoke. Sebelum jam 11 malam telah
tiba di Bar & Karaoke, aku langsung mempersiapkan meja Kasirku, agar jika
ada pengunjung yang masuk ke Bar & Karaoke bisa segera aku layani. Namun
malam itu belum ada seorang pengunjung pun yang masuk ke Bar & Karaoke.
Sambil menunggu pengunjung yang masuk, aku mengobrol santai dengan temanku
Bartender yang meja tempatnya bertugas menyatu dengan meja Kasirku. Sedangkan
teman-temanku lainnya yang bertugas sebagai Waitress asyik menonton TV yang ada
di ruangan Bar & Karaoke.
Sekitar jam setengah dua belas malam lewat, ku lihat
Tante Linda keluar dari lift. Sepertinya ia barusan turun dari kamar di lantai
atas hotel. Setelah keluar dari lift, Tante Linda langsung menghampiri meja
Bartender. Aku dan temanku Bartender yang sedang mengobrol santai seketika itu
juga menghentikan obrolan kami.
Sesampainya di meja Bartender, Tante Linda bertanya
kepada temanku Bartender apakah Tante Yanti sudah turun apa belum. Temanku menjawab bahwa ia belum ada melihat Tante
Yanti turun. Mendapat jawaban demikian, Tante Linda kemudian duduk di deretan
meja Bartender dan memesan segelas Draught Beer sambil menyalakan sebatang
rokok.
Temanku Bartender segera mengambilkannya segelas
Draught Beer dan memberikannya ke Tante Linda. Sambil menikmati rokoknya, Tante
Linda meneguk Draught Beer itu. Untuk beberapa saat Tante Linda terlihat asyik
dengan rokok dan Draught Beernya itu. Hingga kemudian ia melihatku duduk
terdiam di meja Kasirku yang jaraknya tidak jauh dari tempatnya duduk dan
bertanya apakah aku sudah punya pacar atau belum. Maka ku jawab bahwa aku sudah
punya pacar.
Tente Linda selanjutnya berkata denga nada sepertinya
marah dan aku tidak tahu ia marah kepada siapa bahwa aku jangan merusak pacarku
itu. Jangan menjadi laki-laki bajingan yang bisanya merusak perempuan. Aku
hanya bisa menganggukkan kepalaku saja dengan senyum yang ku paksa, karena
terlihat sekali nada perkataannya sangat marah. Setelah berkata demikian, Tante
Linda kembali diam dan asyik menghisap rokoknya sambil meneguk Draught Beernya.
Tak lama kemudian ia kembali bertanya, selain berkerja
apa saja kegiatanku. Maka ku jawab bahwa aku berkerja sambil kuliah. Mendengar
jawabanku itu Tante Linda terlihat sedikit mengangguk. Dan tahu-tahu ia
berpindah duduk mendekati meja Kasirku. Posisinya berhadapan denganku, dengan hanya
terpisahkan meja Kasirku.
Melihat Tante Linda berpindah duduk di hadapanku,
temanku Bartender langsung pergi bergabung dengan teman-temanku lainnya yang
sedang asyik menonoton TV karena belum juga ada pengunjung lain yang masuk ke
Bar & Karaoke saat itu.
Sesampainya di hadapanku, Tante Linda menawarkan
rokoknya kepadaku, ku jawab bahwa aku tidak merokok. Tante Linda tertawa
mendengar jawabanku itu. Selanjutnya sambil terus menghisap rokok dan meneguk
Draught Beernya, Tante Linda berkata bahwa ia dulu pernah kuliah, tapi
berantakan. Tante Linda kemudian menceritakan kisahnya kepadaku.
Tante Linda lahir tahun 1968, ia berumur 28 tahun saat
tahun 1996 ini. Bintangnya Taurus. Ia berasal dari Sumatera Barat, dan merupakan anak orang
terpandang disana. Tahun 1987 ia kuliah ke Jogja, pada sebuah Perguruan
Tinggi ternama di Jogja, dan mengambil Jurusan Ekonomi. Di Jogja ia ngekost.
Pada semester 4 ia berkenalan dengan kakak tingkatnya yang beda jurusan
dengannya. Kakak tingkatnya ini kuliah di jurusan Sospol. Dan berasal dari
Jakarta. Pada saat itu kakak tingkatnya ini sedang menyusun skripsi. Setelah
berkenalan ia kemudian berpacaran dengan kakak tingkatnya ini.
Pacaran yang dijalaninya sudah terlalu jauh, karena ia
sangat mencintai kakak tingkatnya sehingga apa pun yang diinginkan kakak
tingkatnya itu selalu dituruti dan diberikannya. Karena perasaan cintanya
sehingga ia pindah kost dan tinggal sekamar dengan kakak tingkatnya itu dan
berhubungan seperti suami istri. Tempat kost kakak tingkatnya itu berupa deretan
kamar-kamar petak sehingga penghuni kamar bisa bebas membawa siapa saja untuk
tinggal di kamar itu, karena pemilik kost tidak tinggal di kawasan itu.
Memasuki semester 5, ia hamil. Kakak tingkatnya
bernama Arifin yang disebutnya “Si Bajingan” sedang persiapan ujian Skripsi. Ia kemudian menyampaikan kepada Arifin bahwa ia
telah hamil dan meminta pertanggung jawabannya. Arifin berjanji akan
menikahinya. Tapi beberapa hari setelah Arifin selesai ujian Skripsi, tahu-tahu
Arifin tidak ada pulang ke kost tempat mereka tinggal.
Hampir seminggu ia menunggu Arifin pulang ke kost,
tapi tidak kunjung pulang. Ia kemudian mencari Arifin dengan bertanya kepada
teman-teman Arifin yang masih ada di kampus. Dari teman-temannya itu, ia
mendapat informasi bahwa Arifin telah pulang ke Jakarta beberapa hari yang
lalu.
Berkecamuk perasaannya saat itu setelah mendapat
informasi itu. Rasa kecewa dan marah yang teramat sangat karena telah
dicampakkan dan ditinggal pergi “Si Bajingan” Arifin begitu saja setelah ia
hamil. Ia kemudian memberanikan diri pergi ke Jakarta untuk mencari alamat
Arifin yang didapatnya dari salah seorang teman Arifin. Sesampainya di Jakarta,
dengan bersusah payah ia berhasil menemukan rumah Arifin. Rupanya Arifin adalah
anak seorang Pejabat Tinggi di Jakarta saat itu. Rumahnya sangat megah dengan
pagar tinggi di depannya.
Terdapat penjaga rumah yang berada di
pos penjagaan di depan rumahnya. Setelah sempat dipersulit oleh
penjaga rumah, dan ia berkeras untuk bertemu dengan Arifin sebentar saja, ia
akhirnya diperbolehkan masuk melewati pagar yang tinggi itu untuk bertemu
Arifin tetapi hanya di pos penjagaan saja.
Setelah cukup lama menunggu, Arifin keluar dan
menemuinya di pos penjagaan. Ketika bertemu, Tante Linda menagih janji Arifin
yang akan bertanggung jawab atas kehamilannya dan akan menikahinya. Tapi Arifin
mengelak dan tidak mau menikahi Tante Linda. Arifin bahkan menyuruh penjaga
rumahnya untuk mengusir Tante Linda dari tempatnya. Tanpa rasa bersalah dan
berdosa, Arifin pergi begitu saja masuk kembali ke dalam rumah meninggalkan
Tante Linda di pos penjagaan.
Tante Linda berusaha mengejar Arifin, tapi di tahan
oleh si penjaga rumah, bahkan ia diseret keluar dari tempat itu. Tante Linda berusaha
berontak dari tarikan si penjaga rumah yang memaksanya untuk keluar dari tempat
itu dan terus menerus berteriak meminta pertanggung jawaban Arifin, tapi Arifin
tidak memperdulikannya.
Dalam kondisi terseret, Tante Linda berusaha
melepaskan diri dari cengkraman tangan si penjaga rumah yang menyeretnya, tapi
sia-sia saja. Ia kemudian di dorong keluar dari pagar yang tinggi itu. Setelah
ia berada di luar pagar, pintu pagar itu pun langsung tertutup. Tante Linda
hanya bisa berteriak sejadi-jadinya memanggil nama Arifin sambil
menggedor-gedor pagar tinggi yang pintunya telah tertutup itu. Setelah cukup
lama ia berada di luar pagar, akhirnya ia menyerah dan pasrah dengan nasib yang
menimpanya. Tante Linda pun pulang kembali Jogja.
Hari-hari berikutnya ia lewati dengan kesuraman. Ia
tidak berani memberitahukan kepada orangtuanya di Sumatera Barat, apalagi harus
pulang dengan kondisinya sedang hamil. Karena tidak ingin mengingat
kepedihannya terhadap perlakuan Arifin, Tante Linda kemudian pindah kost dari
tempat kostnya bersama Arifin. Dua minggu setelah ia pindah kost, Tante Linda
menggugurkan kandungannya melalui seorang bidan yang dibayarnya sebesar 650
ribu. Ketika menggugurkan kandungannya itu, Tante Linda sakit hampir sebulan
lamanya. Namun setelah itu ia pulih kembali.
Semester itu pun dilaluinya dengan mata kuliah yang
hampir semua tidak lulus sehingga ia harus mengulang mata kuliah yang banyak
tidak lulus itu.
Setelah pengalaman perihnya dengan Arifin, Tante Linda
seperti menutup hati untuk laki-laki. Ia menjauh setiap ada laki-laki yang akan
mengenalnya dan akan mengakrabkan diri dengannya. Namun memasuki semester 7,
hatinya mulai sedikit terbuka lagi setelah ia berkenalan dengan seseorang
bernama Rinto.
Rinto berumur dua belas tahun lebih tua dari Tante
Linda saat itu. Rinto seorang karyawan pada salah satu perusahaan swasta di
Semarang, dan ditugaskan sebagai pimpinan cabang di Jogja. Keramahan Rinto
mampu meluluhkan hati Tante Linda sehingga ia mau membuka hatinya lagi untuk
laki-laki.
Selama hari-harinya bersama Rinto, pengalaman perihnya
bersama Arifin mulai terlupakan. Rinto dengan keceriahan dan candanya telah
menghibur luka hatinya. Hingga semakin hari Tante Linda semakin dekat dengan
Rinto dan akhirnya timbullah rasa cinta dalam hatinya. Rinto mengetahui jika
Tante Linda mulai mencintainya sehingga ia mengungkapkan keinginannya untuk menjadi kekasih Tante Linda, dan
Tante Linda menerimanya. Setelah Tante Linda menjalin asmara
dengan Rinto, semangat hidupnya bangkit kembali.
Namun dalam jalinan asmaranya dengan Rinto, Tante
Linda tidak mau segampangnya menyerahkan dirinya seperti kebodohan yang pernah
ia lakukan kepada Arifin. Ia selalu menjaga jarak agar tidak terjadi hubungan
yang melampaui batas. Rinto yang terlihat sangat sopan itu juga memperlakukan
Tante Linda dengan baik.
Bulan-bulan berikutnya hubungan mereka sudah pada
rencana untuk menikah. Tante Linda sangat bahagia saat itu ketika mendengar
bahwa Rinto berencana akan menemui orangtuanya di Sumatera Barat untuk melamar
dan menikahinya. Mereka mulai mempersiapkan keperluan untuk rencana mereka itu.
Suatu hari Rinto mengajak Tante Linda pergi ke luar
kota. Dengan alasan untuk berlibur, Rinto membujuk Tante Linda untuk ikut
dengannya. Awalnya Tante Linda menolak tapi karena Rinto terus membujuknya
sehingga ia luluh juga dan bersedia ikut Rinto ke luar kota. Sebelum pergi
Tante Linda telah menyampaikan kepada Rinto bahwa sebelum malam mereka sudah
harus kembali ke tempat kost Tante Linda di Jogja. Rinto pun menyetujuinya.
Dengan mobil milik Rinto, mereka pergi ke luar kota hari itu.
Selama di luar kota mereka lalui dengan canda tawa.
Tante Linda sangat bahagia saat itu. Ketika waktu telah menunjukkan jam 4 sore,
Tante Linda mengajak Rinto untuk pulang ke Jogja. Tapi Rinto membujuknya untuk
sebelum malam saja pulang ke Jogja. Tante Linda yang sedang bahagia hatinya
saat itu mengikut saja.
Ketika hari telah malam, kembali Tante Linda mengajak
Rinto untuk pulang, tapi kembali Rinto menahannya sehingga pada malam itu
mereka masih di luar kota. Ketika waktu telah menunjukkan jam 10
malam, Tante Linda kembali mengajak Rinto untuk pulang. Tetapi terlihat Rinto
seperti enggan untuk pulang ke Jogja.
Tante Linda mulai merasa bimbang, perasaan hatinya
yang sebelumnya bahagia mulai di hinggapi rasa khawatir. Tante Linda mulai timbul
rasa curiga bahwa Rinto sedang merencanakan sesuatu tetapi ia berusaha
berpikiran positif. Tidak mungkin Rinto berencana hal yang tidak baik terhadap
dirinya.
Ketika jam 11 malam, Rinto dengan mobilnya membawa
Tante Linda kearah pulang menuju Jogja, tetapi belum juga jauh mereka berjalan
dan jarak perbatasan Joga masih jauh, tahu-tahu Rinto membelokkan arah sehingga
mereka semakin jauh ke luar kota. Selama satu jam mereka di dalam mobil.
Tante Linda mulai tidak bisa menyembunyikan rasa
bimbangnya dan terus menerus bertanya mengapa mereka berjalan makin jauh ke
luar kota. Namun alasan Rinto agar bisa lebih lama bersama Tante Linda saat
itu. Mendengar perkataan Rinto itu Tante Linda berusaha menenangkan hatinya.
Setelah mereka makin jauh berjalan ke luar kota, Rinto
kemudian mengajak Tante Linda untuk menginap di sebuah hotel. Tante Linda
menolaknya, tapi Rinto terus membujuk karena hari telah lewat tengah malam dan
sangat berbahaya jika mereka tetap melanjutkan perjalanan untuk pulang ke
Jogja. Tante Linda tetap berkeras menolaknya dan ingin di antar pulang ke
Jogja. Tapi Rinto yang mahir merayu akhirnya melunakkan hati Tante Linda. Ia
menyetujui untuk menginap di hotel tetapi Rinto harus memesan dua buah kamar.
Rinto mengiyakan keinginan Tante Linda itu. Maka singgahlah mobil
mereka pada sebuah hotel. Tapi rupanya Rinto hanya memesan satu kamar saja. Kembali mereka berdebat,
tapi Rinto yang bermulut manis itu kembali melunakkan hati Tante Linda sehingga
Tante Linda masih memegang kepercayaan kepada Rinto bahwa tidak mungkin Rinto
akan berbuat macam-macam kepadanya.
Tapi ketika telah berada di dalam kamar hotel, Rinto
membujuk Tante Linda untuk berhubungan intim. Tante Linda menolak keinginan
Rinto itu. Tapi lagi-lagi Rinto membujuk bahwa bukankah ia akan melamar dan
menikahi Tante Linda sehingga tidak ada yang perlu Tante Linda khawatirkan,
mereka akan tetap menikah. Mendengar perkataan Rinto itu, Tante Linda akhirnya
pasrah. Ia menyerahkan dirinya. Rinto pun dengan leluasa melampiaskan
birahinya.
Selepas mereka berhubungan intim, tanpa terduga oleh
Tante Linda, Rinto mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan, yaitu Tante
Linda rupanya sudah tidak perawan lagi. Meski sakit hatinya mendengar
perkataan Rinto tersebut tapi Tante Linda berusaha menjelaskan masa lalunya.
Rinto sepertinya bisa menerima penjelasan itu, tapi penjelasan Tante Linda ini
menjadi senjata Rinto untuk menggauli Tante Linda untuk kedua kalinya.
Tante Linda sempat menahan Rinto bahwa cukup sekali
saja mereka berhubungan intim saat itu tapi Rinto memaksa sambil mengatakan
bahwa untuk apa Tante Linda menolak sedangkan ia sudah tidak perawan lagi. Dan
ia masih menerima keadaan Tante Linda itu. Mendengar perkataan Rinto itu Tante
Linda kembali pasrah. Maka kembali Tante Linda di gauli saat itu. Malam itu
hati Tante Linda berkecamuk, ia terpaksa harus menjadi tempat pelampiasan
birahi Rinto, padahal hatinya menolak karena takut terjadi hal yang sama
seperti yang pernah dilakukan Arifin kepadanya. Dan malam itu harus dilalui
Tante Linda dengan tiga kali Rinto menggaulinya.
Keesokan harinya mereka kembali ke Jogja. Tapi
hari-hari berikutnya bagai bencana bagi kehidupan Tante Linda. Rinto yang
sebelumnya bersikap sopan dan ramah itu berubah bagai iblis yang memperlakukan Tante Linda bagai budak
birahinya.
Tante Linda yang telah berada dalam cengkeraman Rinto
itu semakin tak berdaya, ia hanya bisa pasrah menuruti syahwat Rinto sambil
berharap Rinto akan benar-benar melamar dan menikahinya.
Suatu hari datang seorang wanita dan seorang remaja
perempuan ke kost Tante Linda. Dengan amarah yang luar biasa mereka mencari
Tante Linda sambil mengatakan bahwa Tante Linda telah merusak rumah tangganya.
Rupanya wanita tersebut adalah istrinya Rinto dan remaja perempuan itu adalah
anaknya Rinto. Istri dan anaknya Rinto mengamuk di kost nya Tante Linda. Mereka
menjambak rambut Tante Linda dan memukulinya. Untunglah penghuni kost lainnya
dapat melerai sehingga Tante Linda terhindar dari amukan lebih parah dari istri
dan anaknya Rinto.
Dengan emosi dan bernada tinggi, istri dan anaknya
Rinto mengatakan agar Tante Linda tidak lagi merusak rumah tangganya. Tante
Linda dalam kondisi tidak berdaya hanya bisa terdiam. Setelah melampiaskan
kemarahannya, istri dan anaknya Rinto pergi dari tempat kostnya Tante Linda.
Begitu sakitnya hati Tante Linda saat itu karena telah di bohongi Rinto yang ternyata telah memiliki istri dan
anak. Namun perasaan yang lebih menyakitkan lagi adalah para penghuni kost
telah memvonis Tante Linda sebagai perempuan perusak rumah tangga orang.
Setelah kejadian itu, Tante Linda tidak pernah lagi
bertemu Rinto. Tapi ia harus menerima cemoohan orang yang menyebutnya sebagai
perempuan perusak rumah tangga orang. Malu tak terkira ia rasakan. Ia
dikucilkan oleh para penghuni kost dan masyarakat sekitarnya. Hingga Tante
Linda tidak tahan lagi mendapat perlakuan demikian, ia pun memutuskan pindah
dari tempat kostnya.
Setelah beberapa kali mencari, Tante Linda akhirnya mendapatkan
tempat kost yang baru. Dalam hatinya Tante Linda meyakinkan diri bahwa
orang-orang di tempat kostnya yang baru itu tidak mengetahui kisahnya sehingga
pindah dari tempat kost yang sebelumnya. Beberapa hari setelah pindah kost,
Tante Linda merasakan perubahan dalam dirinya. Ia mulai merasakan mual. Meski
dalam hatinya ia telah menduga apa yang telah terjadi tapi ia masih berharap
bahwa hal itu tidak terjadi.
Ia pun memberanikan diri untuk memeriksakan diri, dan
ternyata apa yang ditakutkannya itu benar-benar terjadi. Tante Linda kembali
hamil.
Mengetahui telah hamil lagi, Tante Linda menjadi
bimbang, apakah akan menggugurkan kehamilannya lagi atau tidak. Hingga dalam
hatinya lebih memilih untuk mempertahankan kehamilannya. Tapi hatinya susah
juga, karena ia sedang kuliah, dan untuk pulang ke Sumatera Barat itu tidak
mungkin karena orangtuanya akan memarahinya karena pulang membawa aib, apalagi
tidak ada laki-laki yang dapat di tuntutnya untuk bertanggung jawab karena Rinto
sudah tidak bisa ditemuinya lagi. Jika pun ia berkeras untuk mencari Rinto,
tentu istri dan anaknya tidak dapat menerima dan kembali ia akan di labrak
seperti sebelumnya. Selain itu belum tentu Rinto mau bertanggung jawab.
Dalam kepedihan hidup, Tante Linda berusaha bertahan
melewati hari sambil memantapkan hatinya untuk menentukan keputusan apa yang
akan ia ambil apakah tetap mempertahankan kehamilannya dan pulang ke Sumatera
Barat atau kembali menggugurkan kehamilannya dan melanjutkan kuliahnya.
Ketika di tempat kostnya yang baru, Tante Linda
berkenalan dengan seseorang bernama Jamal. Jamal ngekost di tempat yang sama
dengan Tante Linda. Kamar mereka hanya berjarak beberapa kamar saja.
Perkenalannya dengan Jamal hanya sebatas teman saja. Dan Tante Linda tidak tahu
apakah Jamal sedang kuliah atau telah berkerja. Tante Linda benar-benar
menganggap Jamal hanya teman saja sehingga Tante Linda tidak ingin tahu latar
belakang Jamal.
Selama mengekost di tempat itu, pertemanan mereka
semakin akrab. Tante Linda juga sedikit terhibur hatinya karena Jamal dapat
menjadi teman yang baik baginya. Hingga suatu ketika Jamal meminta Tante Linda
untuk menemaninya pulang ke Bantul dengan alasan untuk memberikan uang kepada
orangtuanya disana. Jamal mengatakan bahwa orangtuanya itu sedang sakit dan
memerlukan uang pada hari itu juga. Jamal juga berkata bahwa setelah ia
memberikan uang maka mereka langsung pulang lagi ke Jogja.
Tante Linda yang tidak punya perasaan curiga sedikit
pun kepada Jamal bersedia menemani Jamal ke Bantul. Maka pergilah hari itu mereka ke Bantul menggunakan mobil yang
disewa oleh Jamal. Namun kemudian pembicaraan Tante Linda terputus, karena ia
melihat Tante Yanti keluar dari lift bersama seorang laki-laki yang lagi-lagi
aku tahu orang itu siapa.
Selama dua bulan aku berkerja di hotel itu, telah
beberapa orang yang ku kenal yang ku temui, meskipun mereka tidak mengenalku.
Bahkan pernah aku melihat ayah temanku sekolah di SMA di Bar & Karaoke itu
bersama seorang wanita yang berpakaian minim. Ayah temanku ini sangat kenal
denganku, tetapi ia tidak melihatku karena posisi duduk ku yang terlindungi
meja kasir. Aku bersyukur juga ia tidak melihatku karena bisa repot juga urusannya
nanti. Aku bisa tidak enak untuk bermain ke rumah teman sekolah itu. Dan ayah
temanku bisa berubah sikapnya jika bertemu denganku nanti.
Setelah sempat menghabiskan Draught Beer nya, tanpa
berkata apa-apa Tante Linda langsung membayar Draught Beernya, selanjutnya
langsung menghampiri Tante Yanti yang barusan keluar dari lift bersama
laki-laki yang ku ketahui adalah orang Akademik di kampusku. Selanjutnya mereka
bertiga keluar dari Bar & Karaoke dan pergi entah kemana.
Sabtu, 2 November 1996, aku mendapat jadwal bertugas
di Restoran Hotel pada sift sore yaitu dimulai dari jam 3 sore hingga jam 11
malam. Hingga jam 11 malam waktunya aku pulang. Setelah menyelesaikan
laporan keuanganku hari itu, aku pun keluar melalui pintu belakang hotel untuk
mengambil motor Suzuki Jet Cooled ku yang ku parkirkan di belakang hotel.
Tempat parkir ini merupakan tempat khusus bagi kendaraan karyawan hotel.
Setelah menghidupkan motorku itu, aku langsung melaju keluar dari belakang
hotel menuju ke gerbang depan hotel untuk menuju ke Jalan Gajah Mada.
Ketika akan melewati gerbang hotel, ku lihat Tante
Linda berdiri disitu sepertinya sedang menunggu seseorang. Rupanya Tante Linda
melihatku dan langsung memanggilku untuk menghentikan laju motorku itu. Aku pun
segera berhenti.
Tante Linda kemudian menghampiriku dan bertanya aku
akan kemana. Maka ku jawab bahwa aku mau pulang. Tante Linda kemudian bertanya
lagi ke arah mana jalanku pulang. Ku jawab aku pulang ke arah Jeruju. Selanjutnya Tante Linda berkata bahwa ia ingin menumpang untuk pulang ke arah Jalan Merdeka, yang tentunya aku akan melewati
jalan itu menuju ke Jeruju. Tanpa menunggu persetujuanku, Tante Linda langsung naik ke
belakang motorku. Ia pun menyuruhku untuk menjalankan motorku.
Dengan perasaan gerogi yang luar biasa aku segera
menjalankan motorku. Tubuhku tegang sekali ketika menggonceng Tante Linda. Dan
Tante Linda sepertinya tahu bahwa aku sangat gerogi saat itu, tapi ia tidak
menghiraukannya. Ia dengan santainya sambil berkata bahwa orang yang biasa
menjemputnya barangkali tidak bisa datang sehingga belum juga muncul
menjemputnya hingga jam 11 malam itu. Ia biasanya pergi dan pulang bersama
Tante Yanti, tapi hari itu Tante Yanti sedang datang bulan sehingga tidak bisa
melayani pesanan dari tamu hotel, dan hanya berada di rumah kontrakan mereka
saja di kawasan Jalan Merdeka, sehingga hanya Tante Linda sendiri saja yang
datang ke hotel sejak jam 8 malam tadi karena ada tamu hotel yang memesan layanannya.
Tante Linda hanya melayani tamu hotel satu rate saja malam itu. Setelah selesai
melayani tamu, ia memutuskan untuk pulang. Aku hanya diam saja mendengar
penjelasan Tante Linda itu.
Selanjutnya, motorku pun melaju melewati Jalan Gajah
Mada. Ketika mendekati simpang Jalan Gajah Mada dan Diponegoro, dan akan
memasuki Jalan Pattimura, Tante Linda bertanya apakah aku sudah makan atau
belum. Belum sempat ku jawab, Tante Linda langsung mengajakku singgah ke Rumah
Makan Ayam Panas 29 yang berada sederetan tidak jauh dengan Kaisar Swalayan di
Jalan Pattimura. Rumah Makan Ayam Panas 29 ini buka 24 jam. Tante Linda berkata
ia sangat lapar saat itu. Motorku pun berbelok menuju Rumah Makan tersebut.
Setelah ku parkirkan motorku, kami pun turun dan memasuki Rumah Makan itu.
Tante Linda kemudian memesan makanan, selanjutnya ia mengajakku duduk pada meja
di dekat dinding. Aku pun mengikutinya.
Setelah duduk ia langsung menyalakan rokoknya sambil
menawarkannya juga kepadaku, tapi ku katakan bahwa aku tidak merokok. Tante
Linda hanya tersenyum saja saat itu. Sambil menunggu pesanan makanan kami
diantar oleh penjaga Rumah makan ia mengajakku mengobrol santai. Aku yang masih
gerogi itu hanya bisa menjadi pendengar yang baik saja mendengarkan obrolan
santainya. Hingga kemudian ku beranikan diri untuk bertanya tentang kelanjutan
cerita Tante Linda ketika pergi ke Bantul bersama Jamal.
Mendengar pertanyaanku itu, Tante Linda tertawa sambil
berkata bahwa rupanya aku masih mengingat ceritanya itu. Sambil tersenyum malu
aku mengiyakannya. Selanjutnya Tante Linda bertanya sampai dimana ceritanya
waktu itu. Aku pun menjelaskan secara ringkas hingga ketika Tante Linda
bersedia menemani Jamal untuk pergi ke rumah orangtua Jamal di Bantul.
----------
Belum sempat Tante Linda akan melanjutkan ceritanya,
makanan yang dipesannya datang, makanan itu pun diletakkan oleh si penjaga
rumah makan di meja tempat kami duduk. Tante Linda kemudian menyuruh untuk
makan terlebih dahulu, nanti selesai makan baru ia akan melanjutkan ceritanya.
Selesai makan Tante Linda melanjutkan ceritanya,
sambil menghisap rokoknya dalam-dalam dan terlihat ia berusaha untuk tegar,
Tante Linda mulai bercerita. Hari itu pergilah Tante Linda bersama Jamal ke
Bantul menggunakan mobil yang disewa Jamal. Sesampainya di Bantul, mereka
langsung menuju rumah Jamal. Jamal rupanya memegang kunci rumahnya, dan ketika
dibuka ternyata rumah itu tidak ada orang. Tante Linda bertanya dimana orangtua
Jamal yang sakit. Jamal menjawab bahwa orangtuanya sedang di rumah sakit
sehingga rumahnya tidak ada orang. Dan nanti mereka akan pergi ke rumah sakit
untuk bertemu orangtua Jamal.
Tante Linda yang tidak ada rasa curiga terhadap Jamal
percaya saja, ia kemudian duduk di ruang tamu. Sedangkan Jamal langsung masuk
ke dalam. Dan tak lama kemudian keluar membawa segelas air minum yang kemudian
diberikan kepada Tante Linda. Jamal menyuruh Tante Linda untuk meminumnya
dengan berkata bahwa tentunya Tante Linda haus setelah perjalanan jauh. Setelah
memberikan segelas air itu, Jamal duduk tidak jauh dari Tante Linda.
Tante Linda yang masih belum curiga itu langsung
meminum segelas air yang diberikan Jamal. Setelah minum, mereka
berbincang-bincang sesaat. Namun tak lama kemudian, Tante Linda merasakan
kepalanya pusing. Selanjutnya Tante Linda merasakan matanya mulai
berkunang-kunang dan kepalanya semakin pusing. Hingga kemudian ia merasakan
tubuhnya lemas sehingga ia kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi ruang tamu
itu. Rupanya Jamal telah memasukkan sesuatu ke dalam air minum yang di minum
oleh Tante Linda sehingga kepalanya menjadi pusing dan tubuhnya menjadi lemas.
Jamal yang melihat Tante Linda telah lemas itu
terlihat langsung menutup pintu dan menguncinya. Meski dalam kondisi telah
lemas, namun Tante Linda masih dapat melihat perbuatan Jamal selanjutnya. Jamal
terlihat mengangkat tubuhnya dan dibawa ke dalam sebuah kamar. Sesampainya di
dalam kamar, tubuh Tante Linda di baringkan Jamal pada tempat tidur dan Jamal
mulai melepas pakaian Tante Linda satu persatu. Selanjutnya Jamal melepas
pakaiannya sendiri. Tante Linda dalam kondisi telah lemas itu tak dapat berbuat
apa-apa. Ia kemudian menyaksikan Jamal mulai memperkosanya.
Tante Linda ingin menjerit tapi ia tak mampu. Hanya
air matanya saja meleleh dari sela-sela matanya melihat perbuatan biadab Jamal
terhadap dirinya. Untuk beberapa waktu Tante Linda yang sedang hamil muda itu
harus melewati siksaan perih karena Jamal sedang memperkosanya. Setelah
melampiaskan nafsu bejatnya, Jamal memakai kembali pakaiannya dan terlihat
keluar dari kamar. Tante Linda saat itu belum juga pulih, tubuhnya masih lemas
dan dibiarkan terbaring begitu saja tanpa pakaian sehelai pun oleh Jamal. Hati
Tante Linda menjerit, air matanya terus meleleh dari matanya.
Cukup lama Jamal keluar dari kamar membiarkan Tante
Linda yang terbaring lemas. Kemudian terlihat ia masuk lagi dengan membawa
beberapa orang yang rupanya itu teman-temannya. Ternyata ketika keluar dari
kamar tadi Jamal pergi menjemput teman-temannya. Dalam kondisi lemas, Tante
Linda mendengar cemoohan Jamal kepada Tante Linda dengan mengatakan kepada
teman-temannya itu bahwa ternyata Tante Linda sudah tidak perawan. Jamal juga
berkata bahwa Tante Linda adalah perempuan nakal sehingga sudah tidak perawan
lagi. Dan ia mempersilahkan teman-temannya itu untuk menikmati tubuh Tante
Linda karena pastinya sebagai perempuan nakal sudah terbiasa ia menjadi
pelampiasan nafsu laki-laki.
Teman-teman Jamal yang mendengar perkataannya itu
terlihat tertawa girang. Mereka selanjutnya satu persatu bergiliran memperkosa
Tante Linda yang telah tak berdaya itu. Maka bertambahlah siksaan yang
dirasakan oleh Tante Linda. Ia hanya bisa mengeluarkan air matanya saja melihat
teman-teman Jamal yang berjumlah enam orang itu bergiliran memperkosanya. Entah
berapa lama ia bertahan saat itu, hingga ia merasakan tidak sanggup lagi dan
akhirnya ia tak sadarkan diri.
----------
Tidak tahu berapa lama Tante Linda tidak sadarkan
diri. Ketika telah sadar, ia merasakan seluruh tubuhnya sakit sekali, meski ia
tidak merasakan lemas yang dirasakan sebelumnya. Tante Linda kemudian mencoba
untuk bangun dengan pandangan matanya yang berkunang-kunang. Ia merasakan
sangat nanar saat itu. Tubuhnya yang tanpa sehelai pakaian itu terlihat di
tumpahi cairan sperma di sana sini. Ketika bercerita, terlihat Tante Linda
berusaha untuk tegar sambil terus menerus menghisap rokoknya.
Dengan bersusah payah sambil menahan sakit di sekujur
tubuhnya yang tidak terkira, Tante Linda memakai pakaiannya yang tergeletak
begitu saja di lantai kamar. Ketika selesai memakai pakaiannya, Tante Linda
mendengar suara tertawa dari luar kamar. Rupanya Jamal dan teman-temannya
sedang bercanda kegirangan di luar kamar. Tante Linda merasakan ketakutan
sekali saat itu, pikirannya kosong, dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ia merasakan sangat syok. Akibat perasaan takut yang sangat luar biasa, Tante
Linda jatuh terduduk dengan pikirannya yang kosong. Ia hanya bisa menangis saja
saat itu.
Rupanya dari luar kamar terdengar jika Tante Linda
telah sadar, Jamal pun terlihat memasuki kamar. Tante Linda melihat Jamal
seperti melihat iblis ia takut luar biasa, tapi tak mampu berkata. Ia hanya
terduduk ketakutan sambil terus menangis.
Melihat Tante Linda telah sadar, Jamal memanggil
teman-temannya untuk kembali masuk ke kamar. Selanjutnya Jamal mendekati Tante
Linda yang sedang ketakutan itu, dengan tanpa berdosa berkata bahwa Tante Linda
sudah tidak perawan, sehingga tidak perlu ia takut. Nikmati saja apa yang
terjadi. Mendengar perkataan biadab Jamal itu Tante Linda hanya bisa menangis.
Rupanya perlakuan biadab Jamal dan teman-temannya
belum selesai. Mereka kembali menarik tubuh Tante Linda ke tempat tidur.
Selanjutnya mereka melepaskan kembali pakaian Tante Linda dan kembali
bergiliran memperkosa Tante Linda yang sedang hamil muda itu. Tante Linda yang
dalam kondisi ketakutan dengan sekujur tubuhnya sakit tidak terkira benar-benar
tidak berdaya. Ia harus kembali merasakan siksaan Jamal dan keenam temannya
bergiliran memperkosanya. Tante Linda tidak pingsan saat itu, hingga perbuatan
biadab itu berakhir. Sungguh siksaan yang sangat perih yang sulit dilupakannya
seumur hidup.
Selepas Jamal dan keenam temannya melampiaskan nafsu
biadabnya, mereka kemudian keluar kamar. Tante Linda hanya dapat terbaring
lemas di tempat tidur dengan sekujur tubuhnya semakin sakit. Pikirannya hampa
dan pandangan matanya kosong. Air matanya pun seakan mengering dan tidak dapat
keluar lagi. Kebencian dan kejijikannya terhadap laki-laki mulai timbul saat
itu. Cukup lama ia hanya terbaring lemas di tempat tidur saat itu, sambil terus
menerus menyesali nasib.
----------
Sekian lama kemudian, terlihat Jamal memasuki kamar.
Jamal dengan sebutan biadab menyebut Tante Linda sebagai ‘Perek’ menyuruhnya
untuk bangun dan memakai pakaiannya karena mereka akan pulang ke Jogja. Tante
Linda dengan pandangan kosongnya bersusah payah untuk bangun. Dalam kondisi
sekujur tubuh yang sakit dengan perlahan-lahan Tante Linda memakai kembali
pakaiannya. Selanjutnya dalam kondisi linglung ia keluar dari kamar. Rupanya
keenam teman Jamal sudah tidak ada lagi di rumah itu. Tanpa sepatah kata pun
Tante Linda langsung keluar dari rumah dan memasuki mobil yang kemudian diikuti
Jamal memasuki mobil. Mereka pun kembali pulang ke Jogja.
Sepanjang perjalanan pulang Tante Linda membisu dengan
pandangannya yang kosong. Ia tidak mau melihat Jamal yang Durjana dan terlihat
sangat menjijikkan dimatanya. Dengan dipenuhi rasa amarah dan dendam, hatinya
sangat menjerit. Ketika sampai di tempat kostnya di Jogja, Tante Linda langsung
turun menuju kamar kostnya. Ia tidak berkata apa-apa kepada si Durjana Jamal,
bahkan Jamal pun sudah tidak mau dilihatnya lagi karena bagai iblis dalam
pandangan matanya. Tante Linda selanjutnya hanya mengurung diri dalam kamar
kostnya. Dan memendam kisah pilu dari perbuatan durjana yang telah dialaminya.
Sejak itu ia tidak mau lagi bertemu si Durjana Jamal karena sangat menjijikkan
baginya.
----------
Setelah beberapa hari mengurung diri dalam kamar
kostnya, Tante Linda mulai merasakan sakit di sekujur tubuhnya telah berkurang,
ia kemudian berusaha menguatkan diri untuk bertahan dan pergi kuliah ke
kampusnya. Tapi perlakuan pedih harus ia alami ketika ke kampus. Rupanya Jamal
telah menyebarkan cerita kesana sini bahwa Tante Linda adalah ‘Perek’ dan sudah
tidak perawan. Sehingga beberapa mahasiswa dengan berani mengajaknya untuk
berhubungan intim. Bahkan yang lebih menyakitkan ada yang bertanya berapa
tarifnya satu malam. Ajakan yang menjijikkan itu tidak ditanggapinya. Ia terus
bertahan untuk tetap menyelesaikan kuliah meski saat itu kehamilannya makin
bertambah hari. Segala perkataan orang yang menyebutnya ‘Perek’ berusaha tidak
dihiraukannya.
Hingga ketika ia berkonsultasi tentang mata kuliahnya
kepada salah seorang dosennya, dan dosennya itu terang-terangan memintanya
untuk berhubungan intim jika ingin dilayani konsultasi mata kuliahnya itu
membuat semangatnya untuk menyelesaikan kuliah menjadi ambruk. Rupanya anggapan
kepada dirinya sebagai ‘Perek’ juga sampai di kalangan dosen-dosennya di kampus.
Permintaan menjijikkan dosennya itu tidak di tanggapinya, namun ia kemudian
dipersulit untuk berkonsultasi tentang mata kuliahnya. Ia pun semakin jijik
melihat laki-laki.
Situasinya yang dipersulit oleh dosennya itu lantaran
ia tidak menanggapi permintaan tidak senonoh dosennya itu membuatnya berpikir
lagi untuk tetap bertahan menyelesaikan kuliahnya. Ia akhirnya memutuskan untuk
memberanikan diri pulang ke Sumatera Barat dan menyampaikan kepada orangtuanya
tentang kehamilannya. Maka berhentilah Tante Linda dari kuliah yang telah
dijalaninya hingga menjelang akhir semester 7 saat itu. Ia pun pulang ke
Sumatera Barat.
----------
Ketika pulang ke Sumatera Barat, orangtuanya sangat
marah ketika mengetahui Tante Linda telah berhenti kuliah serta saat itu sedang
hamil dan tidak ada laki-laki yang dapat di tuntut pertanggung jawabannya.
Orangtua Tante Linda yang merupakan salah seorang terpandang di Sumatera Barat
sangat malu dengan kondisi Tante Linda. Tante Linda kemudian diusir dari rumah
karena dianggap membawa aib bagi orangtua dan keluarganya. Setelah diusir oleh
orangtuanya, Tante Linda tinggal di rumah salah seorang keluarganya. Tapi
rupanya orangtua Tante Linda mengetahui bahwa ia tinggal di rumah salah seorang
keluarganya. Orangtuanya itu kemudian menemui keluarganya itu dan melarang
untuk memberikan tempat tinggal bagi Tante Linda karena telah membawa aib bagi
keluarga besar mereka. Keluarganya itu tidak dapat berbuat apa-apa, dan
terpaksa meminta Tante Linda untuk pergi dari rumah mereka.
Dengan kepedihan hati, Tante Linda pergi dari rumah
keluarganya itu. Ia kemudian hidup terkatung-katung dengan membawa kehamilannya
yang semakin membesar. Ia berusaha berkerja apa saja hanya untuk menyambung
hidupnya saat itu. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Tante Yanti.
Tante Yanti adalah teman sekolah Tante Linda ketika di
SMP. Tante Yanti sangat perihatin melihat Tante Linda dengan perut membesar
berkerja serabutan untuk mencari nafkah. Ia pun membawa Tante Linda untuk
tinggal bersamanya. Saat itu Tante Yanti telah berkerja sebagai Wanita Tuna
Susila.
Bukan tanpa sebab Tante Yanti akhirnya berkerja
sebagai Wanita Tuna Susila, karena ia juga mengalami nasib yang sama
menyakitkannya dengan Tante Linda hanya situasinya saja yang berbeda. Tante
Linda kemudian menceritakan keseluruhan tentang kisah hidup Tante Yanti yang
dua kali menikah, dan kedua suaminya itu memiliki penyimpangan seksual. Kedua
suaminya itu tidak akan terangsang jika tidak melihat Tante Yanti di gauli
orang. Itulah awal mula Tante Yanti sangat membenci laki-laki. Ia kemudian lari
dari suaminya dan menjadi Lesbian. Meskipun sebagai Lesbian, Tante Yanti
kemudian berkerja sebagai Wanita Tuna Susila untuk mencari nafkah.
Selama tinggal bersama Tante Yanti, segala keperluan
hidup Tante Linda yang sedang hamil besar itu di tanggung oleh Tante Yanti. Ini
lah awal mula Tante Linda menjadi Lesbian. Kesamaan nasib yang mereka alami
menimbulkan kebencian mereka kepada laki-laki. Mereka pun saling jatuh cinta
dan menjalin asmara.
Sampailah waktunya Tante Linda melahirkan seorang anak
laki-laki. Namun beberapa hari setelah melahirkan, anaknya itu meninggal dunia.
Selanjutnya setelah pulih kesehatannya, Tante Linda mengikuti Tante Yanti
berkerja sebagai Wanita Tuna Susila. Hingga kemudian mereka mendapat tawaran untuk
berkerja di Kalimantan yaitu di Balikpapan dengan profesi yang sama yaitu
sebagai Wanita Tuna Susila. Lebih dua tahun mereka di Balikpapan. Hingga
kemudian pada tahun 1994 mereka mengikuti seseorang pergi ke Pontianak. Dan di
Pontianak lah kini mereka berkerja.
Setelah menyelesaikan ceritanya itu, Tante Linda
mengajakku pulang. Ia kemudian membayar makanan yang kami makan. Aku pun
berjalan menuju motorku dan menghidupkannya. Tante Linda kemudian naik
dibelakang motorku. Selanjutnya motorku melaju menuju Jalan Merdeka, dan
berbelok masuk pada sebuah gang tempat rumah kontrakan Tante Linda berada.
Motorku pun berhenti di depan rumah kontrakan tersebut.
Setelah Tante Linda turun dari motorku, ia sempat
menawarkan aku untuk singgah sebentar di rumah kontrakannya, tapi ku katakan
bahwa waktu telah lewat jam 2 subuh, dan aku harus tidur karena nanti jam 3
sore pada hari Minggu itu aku harus kembali masuk kerja. Tante Linda memahami
kondisiku itu. Ia pun mengucapkan terima kasih karena aku bersedia
mengantarkannya pulang dan menjadi teman sebagai tempatnya bercerita. Aku
dengan tersipu malu hanya menganggukkan kepalaku saja dan pamit untuk langsung
pulang. Selanjutnya aku menjalankan motorku dan melaju pulang ke rumahku di
Jeruju.
----------
Selasa, 19 November 1996, aku mendapat jadwal bertugas
pada sift malam di ruangan Executive Lounge yang tempatnya berada di Balkon
lantai satu. Hari sebelumnya yaitu Senin aku mendapat jatah off atau libur
kerja. Di ruangan Executive Lounge ini hanya ada tiga karyawan saja, yaitu dua
orang Waitress dan satu Kasir yaitu aku. Ruangan Executive Lounge ini kurang
begitu ramai karena harga makanannya sangat mahal dan yang disediakan adalah
makanan-makanan luar negeri sehingga orang-orang tertentu saja yang masuk ke
ruangan ini. Yang kebanyakan hanya ingin bersantai secara pribadi saja tanpa
ingin di ganggu oleh orang lain.
Sebelum jam 11 malam aku sudah masuk ke ruangan
Executive Lounge. Begitu pun kedua temanku yang bertugas sebagai Waitress. Aku
langsung mempersiapkan meja Kasirku. Setelah siap, aku duduk-duduk santai di
meja Kasirku, sedangkan kedua teman Waitressku duduk di dekat pintu masuk yang
berbentuk kaca sambil menunggu tamu yang masuk ke ruangan Executive Lounge.
Ketika aku sedang bersantai, ku lihat kedua teman
Waitressku yang duduk di dekat pintu masuk berdiri, sebagai tanda bahwa ada
tamu yang akan memasuki ruangan Executive Lounge itu. Karena pintu tersebut
berbentuk kaca sehingga aku dapat melihat tamu yang akan memasuki ruangan
Executive Lounge itu yaitu Tante Linda dan Tante Yanti. Kedua temanku Waitress
langsung membuka pintu kaca itu dan rupanya mereka mengenal Tante Linda dan
Tante Yanti. Setelah sempat berbicara sebentar, kedua temanku itu menutup
kembali pintu kaca itu dan kembali duduk. Sedangkan Tante Linda dan Tante Yanti
langsung berjalan ke arah meja Kasirku. Aku pun langsung berdiri sambil
tersenyum ramah sebagai kewajiban pelayanan dari karyawan hotel kepada setiap
tamu hotel. Begitu pun Tante Linda dan Tante Yanti terlihat tersenyum kepadaku.
Sesampainya di dekat meja Kasirku, Tante Linda berkata
bahwa kemarin ia mencariku dan rupanya aku kemarin off. Aku pun membenarkan
bahwa kemarin aku off. Tante Linda selanjutnya berkata bahwa ia dan Tante Yanti
nanti hari Kamis akan pindah berkerja ke Batam dan mereka ingin berpamitan
denganku. Selanjutnya Tante Linda mengeluarkan sesuatu dari tas yang
dipegangnya, yaitu sebuah kado berbentuk kotak kecil sambil berkata bahwa kado
itu untukku sebagai ungkapan terima kasihnya kepadaku yang telah menjadi teman
yang baik baginya. Tante Linda juga berkata bahwa isi didalam kado itu adalah
benda kesayangannya dan berharap aku menyukai benda itu, serta meminta aku
untuk menyimpannya sebagai tanda ia mengingatku sebagai teman terbaiknya.
Aku dengan sedikit terharu berkata bahwa aku akan
menyimpan benda itu meskipun saat itu aku belum tahu benda apa itu. Selanjutnya
Tante Linda berpamitan kepadaku sambil berkata bahwa jika ada waktu ia akan
mengabari keadaannya di Batam kepadaku, begitu juga jika nanti dia punya
kesempatan, ia akan kembali ke Pontianak untuk menemuiku. Aku sambil
menganggukan kepala mengiyakan perkataan Tante Linda itu.
Setelah Tante Yanti juga berpamitan kepadaku, mereka
berdua langsung keluar dari ruangan Executive Lounge. Itu lah saat terakhir aku
bertemu dengan Tante Linda dan Tante Yanti. Kado kecil dari Tante Linda
kemudian ku letakkan di meja Kasirku. Hingga kemudian jam 7 pagi tugasku
selesai. Setelah menyelesaikan laporan keuanganku hari itu, aku segera dan
kubawa kado kecil itu pulang ke rumah. Hari itu aku ada kuliah jam 11 siang.
Sesampainya di rumah, kado kecil itu ku buka, dan
rupanya didalam kado kecil itu berisi sehelai syal berwarna coklat muda dengan
motif-motif bunga. Aku selanjutnya menyimpan syal pemberian Tante Linda itu.
Syal inilah yang sering ku bawa kuliah ke kampus, dan syal inilah yang menjadi
teman kemana pun aku pergi.
Untuk Linda :
Ku tulis namamu pada dinding waktu,
agar abadi dalam ingatanku
Ku lukis wajahmu pada kanvas sanubari,
agar senyum indahmu tak pudar di telan hari
ku rajut kata-kata,
agar menjadi irama merdu yang menghibur sepanjang hidupmu
meski ku tahu, bahwa kau tak kan ku temui lagi
tapi di ujung mimpi lah
kita akan menyambung pertemuan kita lagi
Selamat jalan Linda...
hidup, memang harus tetap di jalani,
meski Sang Durjana terlalu kuat membelenggumu
tapi Tuhan tidak pernah tidur, dan tak akan tidur
Semoga kau dapatkan keadilan bagi hidupmu...
Pontianak, Jum’at 22 November 1996
11.30
malam