Kamis, 31 Oktober 2019

Panembahan Paku Negara Ade' Muhammad Arief


PANEMBAHAN PAKU NEGARA
ADE’ MUHAMMAD ARIEF

Panembahan Paku Negara Ade’ Muhammad Arief adalah salah seorang Raja Sanggau yang tercatat telah memerintah Kerajaan Sanggau pada tanggal 5 Agustus 1940 yaitu dengan di syahkannya Undang-Undang Kerajaan atau Hukum Adat Kerajaan oleh Temenggung Penghulu Haji Mas Mahmud dan Raden Penghulu Haji Abang Ahmad yang terdiri dari 71 Pasal Hukum Adat Kerajaan, 3 Pasal Pergantian Raja, 2 Pasal pemberian nama dan gelar, 1 Pasal tentang kewajiban mematuhi Hukum Kerajaan, serta 79 Pasal Hukum Adat bagi Bumi Putra yaitu rakyat yang bukan keturunan Bangsawan yaitu meliputi Orang Darat, Orang Laut dan Teluk Rantau (pendatang).
Dalam akta pengesyahan tersebut terdapat nama Panembahan Paku Negara Ade’ Muhammad Arief sebagai Raja Sanggau. Kemudian pada masa penjajahan Jepang tetap dijadikan Penembahan Sanggau yang ditandai dengan surat pengangkatan dari Commander Japanese Government Borneo Barat yang bernama Mr. S. Izumi pada tanggal 5 Maret 1942. Hingga akhirnya beliau di Sungkup Jepang dan dibunuh di Mandor.
Panembahan Ade’ Muhammad Arief adalah anak dari Panembahan Paku Negara Haji Muhammad Said, yang di syahkan menjadi Raja Sanggau oleh Penghulu Sanggau sebagai Pasak Sanggau berdasarkan Surat permintaan dari Kerajaan Belanda tanggal 21 Juni 1910 Nomor 10 tentang permintaan kepada Penghulu Sanggau untuk mengesyahkan Raja Sanggau.
Pemerintahan Panembahan Paku Negara Haji Muhammad Said berakhir pada tahun 1921 berdasarkan Surat permintaan dari Kerajaan Belanda tanggal 8 Januari 1921 tentang permintaan kepada Penghulu Sanggau untuk mengesyahkan Pangeran Ratu Muhammad Thahir bin Panembahan Muhammad Ali menjadi Raja Sanggau, dengan terjemahannya sebagai berikut :
Sanggau pada hari ke 28 bersamaan bulan Rabiul Akhir pada 1339 tahun Islam, bersamaan 8 Januari tahun 1921.
Disampaikan kepada yang mulia Temenggung Penghulu Sanggau Pangeran Haji Mas Machmud Temenggung Penghulu Sanggau dan Pangeran Penghulu Haji Abang Achmad Temenggung Penghulu Sanggau.
Atas nama baginda raja, bahwa menurut ini daripada Seri Paduka yang dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas tanah Hindia Belanda menjadi tanda keterangan maka dengan surat putusan dari Gubernement Hindia Nederlands yang tertulis pada 14 hari bulan Agustus tahun 1920 telah meminta kepada yang dipertuan agung Temenggung Penghulu Sanggau Pangeran Haji Mas Machmud dan Pangeran Penghulu Haji Abang Achmad untuk mengesyahkan Pangeran Ratu Muhammad Thahir bin Panembahan Muhammad Ali sebagai raja Sanggau menggantikan Panembahan Paku Negara Haji Muhammad Said Panembahan di Tanah Sanggau. Serta dimintakan kepada Temenggung Penghulu Sanggau akan menyebutkan dan menyuratkan namanya sebagai Panembahan Sanggau. Syahdan adalah diberi perintah kepada segala orang yang akan didalam itu akan mengaku dengan sepatutnya kepada Pangeran Ratu yang tersebut didalam pangkatnya yang baru itu adanya sesuai pengesahan Temenggung Penghulu Sanggau.

Panembahan Paku Negara Ade’ Muhammad Arief menikah dengan Putri Raden Penghulu Haji Abang Achmad yang bernama Dayang Masni. Dari pernikahan ini lahirlah Almarhum Bapak H. Achmad Arief (Long Kayi) tanggal 11 Mei 1928 di Kampung Kantu’ Sanggau.
Ketika masa hidupnya, Almarhum Bapak H. Achmad Arief menyampaikan bahwa salah satu alasan keengganannya menjadi Raja Sanggau adalah karena Beliau belum baik dalam membaca Al-Qur’an.
Dalam Undang-Undang Kerajaan Sanggau atau Hukum Adat Kerajaan telah diatur persyaratan menjadi Raja yaitu telah sempurna Rukun Islamnya yaitu telah menunaikan Ibadah Haji dan dapat membaca Al-Qur’an dengan baik hingga Khatam di hadapan Hakim sebagaimana yang tercantum dalam Hukum Adat Kerajaan Pasal 6, yang berbunyi :
Aturan Adat Istiadat diatas pergantian Raja yang memerintah didalam Negeri Sanggau, menurut aturan adatnya yang telah ditetapkan diatas segala anak cucu segala darah Raja-Raja, maka siapa saja anak cucu pergantian kepada baharu melainkan tetaplah adatnya seperti pembuka suaranya 70 Rial, dan adat pengsupannya 7 Tahil, dan sempurna mengerjakan Agama Islam, dan mengerjakan khatam membaca Qur’an secara baik kepada hadapan Hakim. Demikianlah aturan hukum didalam AlQur’an dari zaman dahulu kala sampai sekarang ini, barang siapa yang tiada suka itulah yang membawa kezaliman seperti Firman Allah :
Artinya : “Janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi walimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Jika yang akan menjadi Raja Sanggau tersebut lebih dari baik membaca Qur’annya yaitu sangat fasih dan hafal Qur’an dan Hadits, fasih Hukum Islam dan Hukum Adat, maka Raja Sanggau tersebut berhak untuk dikaruniai gelar Sultan yang memiliki makna sebagai Wali Allah, sebagaimana yang tercantum dalam Hukum Adat Kerajaan Pasal 7, yang berbunyi :
Aturan Adat Istiadat diatas pergantian Raja yang memerintah didalam Negeri Sanggau yang telah ditetapkan diatas segala anak cucu segala darah Raja-Raja, maka siapa saja anak cucu pergantian kepada baharu melainkan telah sempurna hukum Islam, dan sempurna aturan adat, dan fasih hafal Kitab Allah Ta’ala dan Hadist Rasulullah SAW, maka dikurniai Sultan dalam pangkatnya karena ia membawa bahu harum bertambah harum buat memadukan memerintah didalam Negeri Sanggau dan Agama Islam seperti Firman Allah demikian bunyinya :
Artinya : “Wali Allah yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”.

Adapun untuk menentukan Zuriat pengganti Raja di atur dalam Hukum Adat Kerajaan Pasal 5, yang berbunyi :
Aturan Adat Istiadat diatas pergantian Raja yang memerintah didalam Negeri Sanggau, menurut aturan adatnya melainkan mengambil Zuriat pengganti Raja dari sebelah Bapa Ibunya, jikalau tidak ditemukan Zuriat dari sebelah Bapanya melainkan diambil Zuriat dari sebelah Ibunya. Jikalau tidak ditemukan Zuriat dari sebelah Bapa Ibunya, melainkan diambil Zuriat dari sodara sedarah seperti firman Allah didalam Al-Qur’an, demikian bunyinya :
Artinya : “Berpeganglah kamu semuanya kepada Allah, janganlah bercerai berai, ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika dahulu saling bermusuhan, Allah mempersatukanmu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

Senin, 28 Oktober 2019

Penghulu Sanggau


PENGHULU SANGGAU

Penghulu Sanggau merupakan salah seorang Pasak Sanggau yang memiliki kewenangan untuk mengesyahkan Raja-Raja Sanggau. Sebagaimana yang terdapat dalam Surat Kerajaan Belanda Tanggal 27 Desember 1910 Nomor 25/8 dengan terjemahannya sebagai berikut :
“Atas nama Baginda Raja, memperhatikan surat wasiat tanggal 18 September 1910 dari yang dipertuan Agung Tumenggung Penghulu Sanggau pangeran Tumenggung Haji Mas Saleh bin pangeran Mas Madil dengan menunjuk pengganti yang dipertuan Agung kepada anaknya yaitu pangeran Haji Mas Mahmud sebagai Tumenggung Penghulu Sanggau.
Kita atas nama baginda raja yang dipertuan Besar Gubernur Jenderal Hindia Belanda sesuai surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda pada 4 Desember 1910 nomor 32 Menyetujui / Mengakui surat wasiat tersebut diatas sesuai dengan keputusan ini menyebutkan namanya pangeran Haji Mas Mahmud sebagai Tumenggung Penghulu Sanggau dan diberi perintah kepada segala orang akan mengakui dengan sepatutnya mengikuti kepada pangeran Tumenggung Penghulu tersebut memberi keputusan dan pertimbangan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda atas seorang pribumi yang berhak menjadi raja dan mengesyahkan menjadi raja di landschap Sanggau. Petikan keputusan ini akan disampaikan kepada yang berkepentingan untuk dipatuhi.”

Dalam Surat Kerajaan Belanda tersebut menyebutkan permintaan Kerajaan Hindia Belanda kepada Temenggung Penghulu Sanggau yaitu pangeran Haji Mas Mahmud bin Haji Mas Saleh bin pangeran Mas Madil untuk mengesyahkan salah seorang pribumi menjadi Raja Sanggau. Selain Haji Mas Mahmud, terdapat beberapa orang lagi yang menjabat sebagai Penghulu Sanggau yaitu Haji Abang Muhammad Yusuf yang bergelar Pangeran Temenggung Penghulu dan Haji Abang Ahmad yang bergelar Raden Penghulu.
Selain berwenang untuk mengesyahkan Raja-Raja Sanggau, Penghulu Sanggau juga menyusun dan mengkaji Undang-Undang Kerajaan atau yang disebut dengan Hukum Adat Kerajaan. Hingga terakhir pada masa Pemerintahan Kerajaan Sanggau terdapat 71 Pasal Hukum Adat Kerajaan dan 79 Pasal Hukum Adat bagi Orang Darat, yang di syahkan oleh Temenggung Penghulu Haji Mas Mahmud dan Raden Penghulu Haji Abang Ahmad pada masa Panembahan Ade’ Muhammad Arief tanggal 5 Agustus 1940.
Undang-Undang Kerajaan atau Hukum Adat Kerajaan ini hingga kini masih terjaga dengan baik dalam arsip dokumen warisan Penghulu Sanggau, meskipun kondisinya telah rapuh. Hanya sayangnya tidak ada satu pun Lembaga Adat di Kabupaten Sanggau yang tertarik atau berusaha mengangkat kembali Undang-Undang Kerajaan ini yang merupakan warisan turun temurun Kerajaan Sanggau sejak masa dahulu.

Sabtu, 26 Oktober 2019

Aksara Batu Sampai Sanggau


AKSARA BATU SAMPAI SANGGAU

Aksara Batu Sampai Sanggau merupakan aksara yang terpahatkan pada Batu Sampai di Tanjung Sekayam Kabupaten Sanggau. Aksara tersebut memiliki kemiripan dengan Aksara yang terdapat dalam Jimat milik warisan orang-orang tua Tobak’ng. Jimat tersebut disebut sebagai Gholiks karena Aksara atau tulisan Jimatnya disebut tulisan Gholiks. Metode dan bentuk penulisan Jimatnya disebutkan sebagai metode penulisan dari warisan Bangsa atau Orang Gholiks pada masa dahulu sehingga Jimat dan tulisannya disebut sebagai Aksara Gholiks. Dengan kata lain bahwa Aksara Gholiks merupakan salah satu dari sisa-sisa peninggalan bangsa Gholiks.
Gholiks kata dasarnya berasal dari kata Gholij yang memiliki makna Batu atau Darat, kemudian terlogatkan menjadi Gholiks. Gholiks merupakan nama salah satu kelompok suku tertua di Kalimantan. Suku ini dahulunya adalah suku terbesar di negeri Thang Raya. Mereka membangun tempat tinggal di wilayah bebatuan, pemukiman mereka menjulang tinggi dan terbuat dari batu.
Untuk sekarang ini, orang Gholiks mayoritas bermukim di Kecamatan Beduai, Kabupaten Sanggau. Di Kecamatan Beduai juga terdapat salah satu peninggalan orang Gholiks yaitu sebuah gua yang disebut Gua Thang Raya. Gua itu berlokasi di Desa Thang Raya. Gua Thang Raya merupakan sisa-sisa pemukiman bangsa Gholiks di negeri Thang Raya yang hancur ketika terjadinya letusan Gunung Niut. Gua Thang Raya hingga kini masih terpelihara dengan baik.
Adapun cara membaca Aksara Batu Sampai Sanggau mengikuti cara membaca jimat orang Tobak’ng yang dibunyikan sebagai Pomang atau Mantra yang diucapkan adalah dari kiri ke kanan dengan terdapat tanda bacanya berbunyi “Diing’ d’oo’, Hyaa Kaiinangaxaii zaa’oona’ rhiinayith”. Diing’ berarti Langit dan Bumi, dan D’oo’ berarti Keduanya, dan menurut keyakinan bahwa kehidupan di alam semesta ini tidak lepas dari hubungan yang harmonis antara Langit dan Bumi. Hubungan tersebut tidak bisa terpisahkan sehingga terdapat kata D’oo’ yang berarti keduanya. Artinya terdapat hubungan timbal balik atau sebab akibat, yaitu segala sesuatu dibumi ini merupakan pemberian dari Langit sehingga wajib di syukuri. Langit meminta manusia untuk menjaga kehidupan di bumi sehingga terpelihara ketentraman dan kedamaian. Tulisan berikutnya yaitu “Hyaa Kaiinangaxaii zaa’oona’ rhiinayith” yang memiliki arti “Tuhan Yang Maha Permulaan dan Maha Berkuasa Menciptakan Kehidupan”.
Aksara Batu Sampai Sanggau ini memiliki hubungan dengan Aksara Batu Pahat Sekadau karena pada salah satu Aksaranya memiliki bunyi dan makna yang sama serta merujuk pada suatu maksud yang hanya ada di Kalimantan. Pada Aksara Batu Sampai Sanggau bermakna sebagai Pujian dan Pengakuan sedangkan pada Aksara Batu Pahat Sekadau bermakna sebagai Perintah Kepada masyarakat pada kawasan tersebut pada masa itu.
Kedua bentuk Aksara ini bukanlah Pallawa maupun Sansekerta, karena tidak memiliki kemiripan dengan bentuk Pallawa dan Sansekerta. Kedua bentuk Aksara ini merupakan Aksara milik masyarakat Kalimantan. Aksaranya yang terpahatkan pada bongkahan batu besar yang tidak bisa dipindah-pindahkan memperkuat bahwa pada masa dahulu kawasan tersebut memiliki peradaban yang tinggi karena telah memiliki Aksara atau Budaya Tulis Menulis.

Jumat, 25 Oktober 2019

Linda Dalam Bingkai Durjana


EDELWEISS DI TENGAH BELUKAR
Linda Dalam Bingkai Durjana

Pertengahan tahun 1996 aku lulus SMA, meski harus melewati masa-masa ujian sekolah yang berat. Yaaa... ku rasakan sangat berat. Dengan situasi pertikaianku dengan orangtua yang tidak menyetujui aku untuk melanjutkan sekolah ke STSI Surakarta. Aku telah mempersiapkan diri sejak di kelas dua untuk dapat pergi ke Sekolah Seni di Surakarta itu, karena aku bercita-cita ingin menjadi Koreografer Tari. Permulaan aku menyukai seni Tari ketika aku di kelas 1 SMA. Aku bersekolah di Jurusan Pariwisata, dan pada saat itu ada Program Wisata Remaja ke Lampung dari Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.
Aku termasuk salah seorang murid yang di rekomendasikan oleh wali kelasku untuk mengikuti program tersebut. Namun dalam seleksi, di persyaratkan pesertanya harus bisa menampilkan seni. Aku sempat bingung pada saat itu, seni apa yang bisa aku tampilkan dalam seleksi itu. Wali kelasku memberikan saran agar aku menampilkan seni tari tradisional saja.
Aku semakin bingung, karena aku seorang laki-laki dan belum pernah menari sebelumnya. Sedangkan menari itu adalah kegiatan kaum perempuan. Apalagi aku hanya punya waktu tidak lebih dari seminggu untuk bisa menari, karena seleksi peserta dilaksanakan minggu depan. Namun wali kelasku seakan memaksa agar aku bisa menari tarian tradisional. Dalam keadaan bingung, aku pun mengiyakan permintaan wali kelasku itu. Maka aku berusaha mencari teman yang bisa mengajarkan aku untuk menari.
Syukurnya ada seorang teman perempuan sekelasku yang juga di tunjuk oleh wali kelas untuk mengikuti seleksi tersebut pernah mengikuti salah satu Sanggar Tari di Pontianak. Mengetahui aku sedang kebingungan karena di suruh wali kelas untuk bisa menampilkan tarian tradisional pada seleksi peserta Wisata Remaja minggu depan, ia pun menyampaikan kepadaku bahwa ia bersedia mengajarkan aku tarian tradisional.
Namun ia juga tidak yakin apakah aku bisa dengan cepat menguasai tarian tersebut dalam waktu kurang dari seminggu. Apalagi aku ini laki-laki, dan belum pernah menari sebelumnya, sehingga akan sulit bagiku menguasai tarian yang umumnya merupakan kegiatan kaum perempuan. Walaupun ia sendiri tidak yakin, tapi ia tetap menyemangatiku bahwa banyak juga laki-laki yang pandai menari. Aku pun antara yakin dan tidak dengan diriku sendiri berusaha menyemangati diriku sendiri.
Maka pada hari itu, aku mulai belajar menari di rumah teman ku itu. Ia mengajarkan aku tari Padang, yaitu Tari Rantak. Sungguh sulitnya aku belajar menari saat itu, tapi aku coba yakinkan diri, bahwa aku bisa mempelajarinya. Perlahan-lahan aku coba belajar setelah pulang sekolah hingga malam hari di rumah temanku ini.
Setelah empat hari aku belajar, akhirnya Tari Rantak itu berhasil juga ku hafalkan. Hari berikutnya ku perdalami lagi, dan satu minggu aku dapat menguasai Tari tersebut. Hingga pada hari seleksi, aku dinyatakan lulus sebagai peserta Wisata Remaja ke Lampung oleh panitia. Ini lah awal mula aku menyukai seni tari, yang selanjutnya aku bergabung pada salah satu Sanggar Tari di Pontianak.
Sampailah ketika aku lulus sekolah, aku bingung menentukan tujuan akan kemana. Rencanaku yang menggebu-gebu akan bersekolah ke STSI Surakarta kandas, karena menurut orangtuaku menjadi seniman itu tidak dapat menghidupi diri. Mereka menghendaki agar aku melanjutkan kuliah di Pontianak. Dengan berat hati, akhirnya aku mendaftarkan diri pada Perguruan Tinggi di Pontianak yang di inginkan orangtuaku, dan aku lulus dalam seleksi penerimaan Mahasiswa baru di Perguruan Tinggi tersebut.
Ketika menunggu waktunya mulai perkuliahan, aku lebih menyibukkan diri di Sanggar. Aku terus berusaha melupakan hasratku untuk melanjutkan ke sekolah seni. Namun semakin ku lupakan, semakin kuat gejolak dalam hatiku, hingga ku rasakan bahwa ada pemberontakan dalam jiwaku. Aku pun mulai mengurangi kegiatanku di Sanggar dan mulai berpikir untuk mencari pekerjaan.
Maka mulai lah aku memasukkan lamaran ke beberapa Travel dan Hotel di Pontianak. Ketika aku memasukkan lamaran ini, orangtuaku mengetahuinya dan sangat marah sekali, karena mereka menghendaki agar aku konsentrasi kuliah saja, jangan dulu bekerja. Tapi aku tidak peduli, aku tetap terus memasukkan surat lamaran, karena aku ingin mengalihkan hasrat dalam hatiku yang telah menimbulkan memberontak dalam jiwaku.
Agustus 1996, perkuliahanku dimulai. Dua minggu setelah aku mulai kuliah, datang surat panggilan wawancara dari Travel dan Hotel yang telah ku masukkan surat lamaran. Surat panggilan itu diantar ke rumahku dan diterima oleh orangtuaku. Orangtuaku marah sekali karena aku masih memasukkan lamaran pekerjaan, apalagi salah satu panggilan wawancara itu dari Hotel yang menurut orangtuaku bukan tempat yang baik untuk bekerja.
Aku pun berusaha memberi pengertian bahwa panggilan wawancara dari Hotel tersebut merupakan salah satu Hotel ternama di Pontianak. Namun orangtuaku  tidak  mau  mengerti  dan  meminta agar aku tidak datang pada panggilan wawancara tersebut. Tapi aku tetap berkeras bahwa aku ingin bekerja, dan tidak ingin kuliah.
Melihat kerasnya keinginanku itu, makin marahlah orangtuaku dan berkata bahwa jika aku tetap berkeras ingin bekerja dan berhenti kuliah, maka aku harus keluar dari rumah. Aku langsung tersentak mendengar perkataan orangtuaku itu. Seketika pikiranku buntu, dan tidak tahu harus bagaimana.
Meski dalam kondisi pikiran yang tidak menentu, aku tetap datang pada panggilan wawancara di Travel dan Hotel tempatku memasukkan surat lamaran. Namun dalam wawancara itu manajemen Travel menyampaikan bahwa jam bekerja di Travel tersebut dari pagi hingga sore. Pikiranku yang sedang tidak menentu itu menjadi kalut, karena jika demikian kondisinya, berarti aku harus berhenti kuliah.
Aku kemudian menyampaikan kepada manajemen Travel bahwa aku juga sedang kuliah, dan perkuliahannya dari pagi hingga jam 2 siang. Mendengar penyampaianku, manajemen Travel memutuskan untuk tidak menerimaku bekerja di Travel itu. Aku pun menerima keputusan itu.
Namun pada wawancara dengan manajemen Hotel, rupanya mereka dapat menerima kondisiku yang sedang kuliah. Manajemen Hotel memutuskan menerimaku bekerja di Hotel tersebut sebagai Kasir dibawah tanggung jawab Bagian Akuntansi dan bekerja pada sift sore atau malam.
Jam bekerja pada Hotel tersebut terdiri dari tiga sift, dengan masing-masing sift selama 8 jam, yaitu sift pagi dimulai jam 7 pagi hingga jam 3 sore, sift sore dimulai jam 3 sore hingga jam 11 malam, dan sift malam dimulai jam 11 malam hingga jam 7 pagi. Seminggu sekali aku mendapat hak off yaitu libur sehari. Selain itu, aku juga harus melewati masa training selama 3 bulan untuk kemudian dipertimbangkan menjadi pegawai penuh di Hotel tersebut.

----- o0o -----

September 1996, aku mulai bekerja sebagai Kasir pada salah satu Hotel ternama di Pontianak. Pada bulan pertama ku bekerja, aku ditugaskan bekerja pada sift malam yaitu dari jam 11 malam hingga jam 7 pagi. Sepulang kerja, aku langsung ke kampus untuk mengikuti perkuliahan. Sebagai Kasir, selama 3 hari sekali aku di rolling pada beberapa tempat yaitu di Lobby Hotel, Restoran, Executive Lounge dan Bar & Karaoke.
Kamis, 12 September 1996, hari pertamaku bertugas di Bar & Karaoke. Inilah permulaanku mengenal lika liku gemerlapnya dunia malam. Hari pertamaku bekerja di tempat itu ku lewati dengan kecanggungan yang luar biasa. Namun aku harus mulai membiasakan diri dengan hiruk pikuknya situasi Bar & Karaoke yang riuh dengan musik dan gemerlap lampu di sana sini.
Sabtu, 14 September 1996, hari ketigaku bertugas di Bar & Karaoke. Sekitar pukul 1 dini hari, aku yang bertugas sebagai Kasir, dihampiri oleh dua orang wanita cantik yang menanyakan nama seseorang apakah telah datang atau belum. Aku yang masih baru, tidak tahu nama yang mereka tanyakan itu. Maka aku pun bertanya kepada  salah seorang temanku yang telah lama bertugas sebagai Waitress di Hotel tersebut. Dari temanku itu aku diberitahu bahwa nama yang ditanyakan oleh kedua wanita cantik itu adalah seorang pengusaha yang sering berkunjung ke Bar & Karaoke di Hotel tempatku bekerja. Dan pada saat itu, orang tersebut belum datang. Sedangkan kedua wanita cantik itu merupakan langganan bookingan dari pengunjung Hotel. Kedua wanita cantik itu bernama Tante Yanti dan Tante Linda. Inilah awal mula aku mengenal Tante Linda.
Setelah mendapat penjelasan dari temanku itu, selanjutnya ku sampaikan kepada Tante Yanti dan Tante Linda bahwa orang yang mereka maksud belum datang. Mendengar penjelasanku itu, mereka kemudian duduk di deretan meja bar tidak jauh dari meja kasirku. Sambil merokok mereka menunggu orang yang mereka maksud datang. Terlihat mereka sangat akrab bahkan bisa dikatakan sangat intim. Bagi mataku yang baru melihat pemandangan demikian sangat ganjil. Tapi temanku yang berkerja sebagai Bartender dan Waitress tidak hirau dengan perilaku kedua wanita itu yang sangat ganjil bagiku. Bagi teman-temanku pemandangan itu bukan pemandangan aneh karena sudah sering mereka lihat.
Aku yang merasa aneh dengan perilaku kedua wanita itu, sering mencuri-curi lirikan. Mereka sepertinya tahu jika aku sedang memperhatikan mereka, namun mereka tidak peduli. Mereka terus bercengkrama dengan intim, seakan tidak ada orang lain di sekitar mereka.
Hampir 15 menit kemudian, orang yang mereka maksud datang. Langsung saja Tante Yanti dan Tante Linda merangkul dan menciumnya. Mereka tidak risih melakukan hal tersebut, justru aku yang merasa malu melihat tingkah mereka. Selanjutnya mereka langsung menuju salah satu ruangan Karaoke yang rupanya telah di persiapkan karena ruangan tersebut merupakan ruangan langganan yang selalu dipesan orang itu. Sambil merangkul Tante Yanti dan Tante Linda di kiri dan kanannya, orang itu menuju ruangan Karaoke yang tertutup dan tidak bisa terlihat dari luar.
Sekitar dua jam didalam ruangan Karaoke itu, ku lihat orang itu keluar sambil digandeng Tante Yanti dan Tante Linda. Mereka langsung menuju lift, dan naik ke tingkat atas Hotel. Dari temanku yang Bartender, baru ku ketahui bahwa mereka pergi ke kamar Hotel di tingkat atas yang sering di booking oleh orang tersebut.
Minggu kedua bulan Oktober 1996, untuk kesekian kalinya aku bertugas di Bar & Karaoke. Jika hari biasa, karyawan yang bertugas sebanyak empat orang yaitu satu orang Bartender, dua orang Waitress dan satu Kasir yaitu aku. Namun jika hari libur atau malam-malam yang ramai, karyawan yang bertugas ditambah dua yaitu dua orang Waitress sehingga menjadi empat orang Waitress.
Malam itu karena kurang ramai pengunjungnya sehingga satu orang Waitress izin tidak masuk. Namun pada malam itu, ruangan Karaoke nomor 5 memesan banyak makanan dan minuman. Temanku Waitress yang hanya bertugas seorang diri itu menjadi kelabakan membawakan pesanan makanan dan minuman ke ruangan nomor 5 itu. Ia pun meminta kesediaanku untuk membantunya membawakan makanan dan minuman yang banyak itu ke ruangan nomor 5. Aku yang sedang tidak sibuk pada saat itu tidak keberatan membantunya. Kami kemudian menuju ruangan nomor 5.
Setiap ruangan Karaoke terdapat tombol yang berada di dinding samping pintu ruangan untuk memberitahukan bahwa karyawan Bar & Karaoke akan masuk untuk mengantarkan makanan dan minuman. Karena pintu-pintu ruangan Karaoke jika ada pengunjungnya selalu dikunci dari dalam oleh pengunjung yang memakai ruangan Karaoke itu. Sehingga orang lain tidak bisa langsung masuk ke ruangan tersebut.
Setelah memencet tombol yang ada di dinding samping pintu ruangan itu, tidak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka. Temanku yang Waitress kemudian masuk ke dalam ruangan dan aku mengikutinya dari belakang. Sesampainya di dalam, jantungku langsung berdebar kencang, karena ku lihat ada delapan wanita dengan kondisi hampir telanjang sedang berpesta pora dan bernyanyi. Bau alkohol dan asap rokok tercium memenuhi ruangan. Dan ku lihat ada Tante Yanti dan Tante Linda dalam ruangan itu yang juga dengan kondisi hampir telanjang sedang berjoget dengan girang. Bahkan beberapa wanita ku lihat sedang asyik bercumbu di ruangan itu. Tanpa menghiraukan keberadaan ku dan temanku yang mengantarkan makanan dan minuman, mereka tetap asyik dengan kesenangan mereka.
Ku lihat temanku biasa-biasa saja dengan pemandangan  seperti itu, aku  yang  merasakan risih dan canggung karena baru kali itu ku lihat pemandangan yang seperti itu. Setelah meletakkan makanan dan minuman pesanan kedelapan wanita itu, kami langsung ke luar ruangan. Temanku kemudian melanjutkan tugasnya melayani pengunjung yang lainnya, aku langsung duduk di tempat Kasir dengan pikiranku yang dipenuhi hal-hal macam-macam karena telah melihat pemandangan yang tidak pernah ku duga.
Lewat jam 3 subuh, kedelapan wanita dalam ruangan nomor 5 itu terlihat keluar sudah menggunakan pakaian mereka. Salah seorang wanita kemudian menghampiri meja Kasirku dan bertanya berapa biaya pemakaian ruangan Karaoke serta makanan dan minuman yang telah mereka pesan. Aku segera mencetak bill tagihan dan kuberikan kepada wanita itu, yang kemudian menandatangan bill tagihan itu dan mencantumkan nomor kamarnya. Selanjutnya wanita itu berkata bahwa bill tagihan itu dimasukkan dalam tagihan kamar hotel atas namanya.
Setelah memberikan kembali bill tagihan itu kepadaku, wanita tersebut langsung menuju lift dan diikuti teman-temannya yang lain. Mereka bergiliran masuk ke dalam lift, empat wanita termasuk Tante Linda masuk terlebih dahulu dan lift naik menuju ke tingkat atas hotel. Tidak lama kemudian lift terbuka, dan empat wanita lainnya termasuk Tante Yanti masuk ke dalam lift dan menuju ke tingkat atas hotel.
Akhir Oktober 1996, aku kembali bertugas di Bar & Karaoke. Saat itu pengunjung Bar & Karaoke tidak begitu ramai. Sekitar jam 1 malam, ku lihat Tante Linda masuk ke Bar & Karaoke dan menghampiri meja Kasirku. Kepadaku Tante Linda meminta ditelponkan kamar nomor 210 untuk disampaikan kepada orang di kamar itu bahwa ia telah berada di Bar & Karaoke. Aku segera menelpon kamar nomor 210 dan menyampaikan bahwa Tante Linda telah menunggunya di Bar & Karaoke. Namun orang yang menerima telponku itu mengatakan bahwa Tante Linda dimintanya langsung naik ke kamarnya yang berada di lantai tiga. Aku pun mengiyakan perkataan orang itu dan langsung menutup telponku.
Selanjutnya ku sampaikan kepada Tante Linda bahwa orang di kamar hotel nomor 210 itu memintanya langsung naik ke kamarnya di lantai tiga. Tapi rupanya Tante  Linda  meminta diantarkan menuju kamar nomor 210 itu, alasannya karena ia merasa tidak nyaman dan takut melewati lorong yang berada di lantai tiga itu seorang diri. Karena situasi saat itu tidak begitu ramai pengunjung dan aku juga tidak begitu sibuk, maka setelah ku berpesan kepada temanku Bartender yang bertugas tidak jauh dari meja ku, aku segera mengantarkan Tante Linda naik ke lantai tiga menggunakan lift.
Selama berada dalam lift, aku diam dan tidak berani melihat ke Tante Linda. Kepalaku menunduk dan terasa sekali aku sangat tegang saat itu. Melihat aku begitu tegang, Tante Linda berkata agar aku santai saja karena ia seorang Lesbian, dan tidak tertarik dengan laki-laki. Ia menjadi pelayan nafsu laki-laki hanya untuk mencari uang. Mendengar perkataan Tante Linda itu, aku berusaha membuat diriku sesantai mungkin, meskipun usaha ku itu gagal.
Sekeluarnya dari lift, kami langsung menuju kamar nomor 210. Kamar itu ku ketuk, dan pintu kamar itu terbuka. Aku terkejut bukan main setelah melihat orang yang membuka pintu itu adalah salah seorang Dosen ku di kampus. Aku berusaha mengalihkan wajahku agar tidak dikenali oleh Dosen ku itu. Tapi rupanya Dosen ku itu memang tidak mengenal ku, karena di kampus aku kurang di kenal Dosen. Setiap kuliah aku hanya datang, duduk, diam dan duduk pada barisan belakang akibat aku tidak bersemangat kuliah saat itu. Aku juga malas berinteraksi di kampus dan tidak peduli dengan nilai yang akan ku dapatkan. Setiap kuliah yang ku tunggu hanya waktu habis, kemudian meminta paraf Dosen pada DHK ku sebagai bukti aku hadir kuliah, selanjutnya aku pergi meninggalkan kampus.
Setelah yakin bahwa Dosen ku itu tidak mengenaliku, aku menjadi lega. Selanjutnya ku tinggalkan Tante Linda di kamar nomor 210 itu. Aku kembali turun ke meja Kasirku di Bar & Karaoke.

----- o0o -----

Sekitar jam 5 subuh, telpon di meja Kasirku berbunyi. Telpon itu pun ku angkat, dan rupanya telpon dari kamar nomor 210 yang meminta agar aku menjemput Tante Linda untuk dibawa turun. Setelah telpon di tutup, aku segera pergi ke kamar 210 yang berada di lantai tiga itu melalui lift. Ketika melewati lorong menuju kamar nomor 210 itu seorang diri, ku rasakan sangat tidak nyaman. Memang benar kata Tante Linda bahwa melewati lorong itu seorang diri terasa sangat mencekam. Seakan-akan aku ingin berlari saja agar cepat sampai di kamar nomor 210.
Dengan mempercepat langkahku, sampai juga aku di depan kamar 210. Kamar itu ku ketuk. Aku sempat menunggu beberapa waktu, hingga pintu kamar terbuka dan Tante Linda keluar dari kamar itu, pintu kamar itu pun langsung di tutup. Aku dan Tante Linda segera melewati lorong dan menuju ke lift untuk turun ke Bar & Karaoke.
Ketika di dalam lift, Tante Linda mengeluarkan selembar uang 50.000 dan memberikannya kepada ku sambil berkata bahwa ia barusan mendapat rezeki banyak karena telah melayani tamu di Kamar 210 itu sebanyak tiga Rate. Istilah Rate adalah penyebutan pelayanan untuk sekali main bagi tamu hotel yang menggunakan jasa wanita panggilan. Tiga Rate berarti Tante Linda telah melayani tamu di kamar 210 itu sebanyak tiga kali main.
Aku menolak uang yang diberikan Tante Linda itu, namun Tante Linda terus memaksa, tetapi aku tetap menolaknya. Hingga akhirnya Tante Linda memasukkan uang itu ke saku bajuku. Setelah kami keluar dari lift, Tante Linda langsung pergi keluar dari Bar & Karaoke, dan aku kembali ke meja Kasirku untuk mempersiapkan laporan keuanganku hari itu. Setelah selesai, aku menunggu waktunya pulang jam 7 pagi, untuk kemudian bersiap-siap ke kampus karena aku ada kuliah jam 7:30 hari itu.

----- o0o -----

Selasa, 29 Oktober 1996, hari kedua di penghujung bulan Oktober aku bertugas di Bar & Karaoke. Sebelum jam 11 malam telah tiba di Bar & Karaoke, aku langsung mempersiapkan meja Kasirku, agar jika ada pengunjung yang masuk ke Bar & Karaoke bisa segera aku layani. Namun malam itu belum ada seorang pengunjung pun yang masuk ke Bar & Karaoke. Sambil menunggu pengunjung yang masuk, aku mengobrol santai dengan temanku Bartender yang meja tempatnya bertugas menyatu dengan meja Kasirku. Sedangkan teman-temanku lainnya yang bertugas sebagai Waitress asyik menonton TV yang ada di ruangan Bar & Karaoke.
Sekitar jam setengah dua belas malam lewat, ku lihat Tante Linda keluar dari lift. Sepertinya ia barusan turun dari kamar di lantai atas hotel. Setelah keluar dari lift, Tante Linda langsung menghampiri meja Bartender. Aku dan temanku Bartender yang sedang mengobrol santai seketika itu juga menghentikan obrolan kami.
Sesampainya di meja Bartender, Tante Linda bertanya kepada temanku Bartender apakah Tante Yanti sudah turun apa belum. Temanku menjawab bahwa ia belum ada melihat Tante Yanti turun. Mendapat jawaban demikian, Tante Linda kemudian duduk di deretan meja Bartender dan memesan segelas Draught Beer sambil menyalakan sebatang rokok.
Temanku Bartender segera mengambilkannya segelas Draught Beer dan memberikannya ke Tante Linda. Sambil menikmati rokoknya, Tante Linda meneguk Draught Beer itu. Untuk beberapa saat Tante Linda terlihat asyik dengan rokok dan Draught Beernya itu. Hingga kemudian ia melihatku duduk terdiam di meja Kasirku yang jaraknya tidak jauh dari tempatnya duduk dan bertanya apakah aku sudah punya pacar atau belum. Maka ku jawab bahwa aku sudah punya pacar.
Tente Linda selanjutnya berkata denga nada sepertinya marah dan aku tidak tahu ia marah kepada siapa bahwa aku jangan merusak pacarku itu. Jangan menjadi laki-laki bajingan yang bisanya merusak perempuan. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku saja dengan senyum yang ku paksa, karena terlihat sekali nada perkataannya sangat marah. Setelah berkata demikian, Tante Linda kembali diam dan asyik menghisap rokoknya sambil meneguk Draught Beernya.
Tak lama kemudian ia kembali bertanya, selain berkerja apa saja kegiatanku. Maka ku jawab bahwa aku berkerja sambil kuliah. Mendengar jawabanku itu Tante Linda terlihat sedikit mengangguk. Dan tahu-tahu ia berpindah duduk mendekati meja Kasirku. Posisinya berhadapan denganku, dengan hanya terpisahkan meja Kasirku.
Melihat Tante Linda berpindah duduk di hadapanku, temanku Bartender langsung pergi bergabung dengan teman-temanku lainnya yang sedang asyik menonoton TV karena belum juga ada pengunjung lain yang masuk ke Bar & Karaoke saat itu.
Sesampainya di hadapanku, Tante Linda menawarkan rokoknya kepadaku, ku jawab bahwa aku tidak merokok. Tante Linda tertawa mendengar jawabanku itu. Selanjutnya sambil terus menghisap rokok dan meneguk Draught Beernya, Tante Linda berkata bahwa ia dulu pernah kuliah, tapi berantakan. Tante Linda kemudian menceritakan kisahnya kepadaku.
Tante Linda lahir tahun 1968, ia berumur 28 tahun saat tahun 1996 ini. Bintangnya Taurus. Ia berasal dari Sumatera Barat, dan merupakan anak orang terpandang disana. Tahun 1987 ia kuliah ke Jogja, pada sebuah Perguruan Tinggi ternama di Jogja, dan mengambil Jurusan Ekonomi. Di Jogja ia ngekost. Pada semester 4 ia berkenalan dengan kakak tingkatnya yang beda jurusan dengannya. Kakak tingkatnya ini kuliah di jurusan Sospol. Dan berasal dari Jakarta. Pada saat itu kakak tingkatnya ini sedang menyusun skripsi. Setelah berkenalan ia kemudian berpacaran dengan kakak tingkatnya ini.
Pacaran yang dijalaninya sudah terlalu jauh, karena ia sangat mencintai kakak tingkatnya sehingga apa pun yang diinginkan kakak tingkatnya itu selalu dituruti dan diberikannya. Karena perasaan cintanya sehingga ia pindah kost dan tinggal sekamar dengan kakak tingkatnya itu dan berhubungan seperti suami istri. Tempat kost kakak tingkatnya itu berupa deretan kamar-kamar petak sehingga penghuni kamar bisa bebas membawa siapa saja untuk tinggal di kamar itu, karena pemilik kost tidak tinggal di kawasan itu.
Memasuki semester 5, ia hamil. Kakak tingkatnya bernama Arifin yang disebutnya “Si Bajingan” sedang persiapan ujian Skripsi. Ia kemudian menyampaikan kepada Arifin bahwa ia telah hamil dan meminta pertanggung jawabannya. Arifin berjanji akan menikahinya. Tapi beberapa hari setelah Arifin selesai ujian Skripsi, tahu-tahu Arifin tidak ada pulang ke kost tempat mereka tinggal.
Hampir seminggu ia menunggu Arifin pulang ke kost, tapi tidak kunjung pulang. Ia kemudian mencari Arifin dengan bertanya kepada teman-teman Arifin yang masih ada di kampus. Dari teman-temannya itu, ia mendapat informasi bahwa Arifin telah pulang ke Jakarta beberapa hari yang lalu.
Berkecamuk perasaannya saat itu setelah mendapat informasi itu. Rasa kecewa dan marah yang teramat sangat karena telah dicampakkan dan ditinggal pergi “Si Bajingan” Arifin begitu saja setelah ia hamil. Ia kemudian memberanikan diri pergi ke Jakarta untuk mencari alamat Arifin yang didapatnya dari salah seorang teman Arifin. Sesampainya di Jakarta, dengan bersusah payah ia berhasil menemukan rumah Arifin. Rupanya Arifin adalah anak seorang Pejabat Tinggi di Jakarta saat itu. Rumahnya sangat megah dengan pagar tinggi di depannya.
Terdapat penjaga rumah yang berada di pos penjagaan di depan rumahnya. Setelah sempat dipersulit oleh penjaga rumah, dan ia berkeras untuk bertemu dengan Arifin sebentar saja, ia akhirnya diperbolehkan masuk melewati pagar yang tinggi itu untuk bertemu Arifin tetapi hanya di pos penjagaan saja.
Setelah cukup lama menunggu, Arifin keluar dan menemuinya di pos penjagaan. Ketika bertemu, Tante Linda menagih janji Arifin yang akan bertanggung jawab atas kehamilannya dan akan menikahinya. Tapi Arifin mengelak dan tidak mau menikahi Tante Linda. Arifin bahkan menyuruh penjaga rumahnya untuk mengusir Tante Linda dari tempatnya. Tanpa rasa bersalah dan berdosa, Arifin pergi begitu saja masuk kembali ke dalam rumah meninggalkan Tante Linda di pos penjagaan.
Tante Linda berusaha mengejar Arifin, tapi di tahan oleh si penjaga rumah, bahkan ia diseret keluar dari tempat itu. Tante Linda berusaha berontak dari tarikan si penjaga rumah yang memaksanya untuk keluar dari tempat itu dan terus menerus berteriak meminta pertanggung jawaban Arifin, tapi Arifin tidak memperdulikannya.
Dalam kondisi terseret, Tante Linda berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan si penjaga rumah yang menyeretnya, tapi sia-sia saja. Ia kemudian di dorong keluar dari pagar yang tinggi itu. Setelah ia berada di luar pagar, pintu pagar itu pun langsung tertutup. Tante Linda hanya bisa berteriak sejadi-jadinya memanggil nama Arifin sambil menggedor-gedor pagar tinggi yang pintunya telah tertutup itu. Setelah cukup lama ia berada di luar pagar, akhirnya ia menyerah dan pasrah dengan nasib yang menimpanya. Tante Linda pun pulang kembali Jogja.
Hari-hari berikutnya ia lewati dengan kesuraman. Ia tidak berani memberitahukan kepada orangtuanya di Sumatera Barat, apalagi harus pulang dengan kondisinya sedang hamil. Karena tidak ingin mengingat kepedihannya terhadap perlakuan Arifin, Tante Linda kemudian pindah kost dari tempat kostnya bersama Arifin. Dua minggu setelah ia pindah kost, Tante Linda menggugurkan kandungannya melalui seorang bidan yang dibayarnya sebesar 650 ribu. Ketika menggugurkan kandungannya itu, Tante Linda sakit hampir sebulan lamanya. Namun setelah itu ia pulih kembali.
Semester itu pun dilaluinya dengan mata kuliah yang hampir semua tidak lulus sehingga ia harus mengulang mata kuliah yang banyak tidak lulus itu.
Setelah pengalaman perihnya dengan Arifin, Tante Linda seperti menutup hati untuk laki-laki. Ia menjauh setiap ada laki-laki yang akan mengenalnya dan akan mengakrabkan diri dengannya. Namun memasuki semester 7, hatinya mulai sedikit terbuka lagi setelah ia berkenalan dengan seseorang bernama Rinto.
Rinto berumur dua belas tahun lebih tua dari Tante Linda saat itu. Rinto seorang karyawan pada salah satu perusahaan swasta di Semarang, dan ditugaskan sebagai pimpinan cabang di Jogja. Keramahan Rinto mampu meluluhkan hati Tante Linda sehingga ia mau membuka hatinya lagi untuk laki-laki.
Selama hari-harinya bersama Rinto, pengalaman perihnya bersama Arifin mulai terlupakan. Rinto dengan keceriahan dan candanya telah menghibur luka hatinya. Hingga semakin hari Tante Linda semakin dekat dengan Rinto dan akhirnya timbullah rasa cinta dalam hatinya. Rinto mengetahui jika Tante Linda mulai mencintainya sehingga  ia  mengungkapkan keinginannya untuk menjadi kekasih Tante Linda, dan Tante Linda menerimanya. Setelah Tante Linda menjalin asmara dengan Rinto, semangat hidupnya bangkit kembali.
Namun dalam jalinan asmaranya dengan Rinto, Tante Linda tidak mau segampangnya menyerahkan dirinya seperti kebodohan yang pernah ia lakukan kepada Arifin. Ia selalu menjaga jarak agar tidak terjadi hubungan yang melampaui batas. Rinto yang terlihat sangat sopan itu juga memperlakukan Tante Linda dengan baik.
Bulan-bulan berikutnya hubungan mereka sudah pada rencana untuk menikah. Tante Linda sangat bahagia saat itu ketika mendengar bahwa Rinto berencana akan menemui orangtuanya di Sumatera Barat untuk melamar dan menikahinya. Mereka mulai mempersiapkan keperluan untuk rencana mereka itu.
Suatu hari Rinto mengajak Tante Linda pergi ke luar kota. Dengan alasan untuk berlibur, Rinto membujuk Tante Linda untuk ikut dengannya. Awalnya Tante Linda menolak tapi karena Rinto terus membujuknya sehingga ia luluh juga dan bersedia ikut Rinto ke luar kota. Sebelum pergi Tante Linda telah menyampaikan kepada Rinto bahwa sebelum malam mereka sudah harus kembali ke tempat kost Tante Linda di Jogja. Rinto pun menyetujuinya. Dengan mobil milik Rinto, mereka pergi ke luar kota hari itu.
Selama di luar kota mereka lalui dengan canda tawa. Tante Linda sangat bahagia saat itu. Ketika waktu telah menunjukkan jam 4 sore, Tante Linda mengajak Rinto untuk pulang ke Jogja. Tapi Rinto membujuknya untuk sebelum malam saja pulang ke Jogja. Tante Linda yang sedang bahagia hatinya saat itu mengikut saja.
Ketika hari telah malam, kembali Tante Linda mengajak Rinto untuk pulang, tapi kembali Rinto menahannya sehingga pada malam itu mereka masih di luar kota. Ketika waktu telah menunjukkan jam 10 malam, Tante Linda kembali mengajak Rinto untuk pulang. Tetapi terlihat Rinto seperti enggan untuk pulang ke Jogja.
Tante Linda mulai merasa bimbang, perasaan hatinya yang sebelumnya bahagia mulai di hinggapi rasa khawatir. Tante Linda mulai timbul rasa curiga bahwa Rinto sedang merencanakan sesuatu tetapi ia berusaha berpikiran positif. Tidak mungkin Rinto berencana hal yang tidak baik terhadap dirinya.
Ketika jam 11 malam, Rinto dengan mobilnya membawa Tante Linda kearah pulang menuju Jogja, tetapi belum juga jauh mereka berjalan dan jarak perbatasan Joga masih jauh, tahu-tahu Rinto membelokkan arah sehingga mereka semakin jauh ke luar kota. Selama satu jam mereka di dalam mobil.
Tante Linda mulai tidak bisa menyembunyikan rasa bimbangnya dan terus menerus bertanya mengapa mereka berjalan makin jauh ke luar kota. Namun alasan Rinto agar bisa lebih lama bersama Tante Linda saat itu. Mendengar perkataan Rinto itu Tante Linda berusaha menenangkan hatinya.
Setelah mereka makin jauh berjalan ke luar kota, Rinto kemudian mengajak Tante Linda untuk menginap di sebuah hotel. Tante Linda menolaknya, tapi Rinto terus membujuk karena hari telah lewat tengah malam dan sangat berbahaya jika mereka tetap melanjutkan perjalanan untuk pulang ke Jogja. Tante Linda tetap berkeras menolaknya dan ingin di antar pulang ke Jogja. Tapi Rinto yang mahir merayu akhirnya melunakkan hati Tante Linda. Ia menyetujui untuk menginap di hotel tetapi Rinto harus memesan dua buah kamar.
Rinto mengiyakan keinginan Tante Linda itu. Maka singgahlah mobil mereka pada sebuah hotel. Tapi rupanya Rinto hanya memesan satu kamar saja. Kembali mereka berdebat, tapi Rinto yang bermulut manis itu kembali melunakkan hati Tante Linda sehingga Tante Linda masih memegang kepercayaan kepada Rinto bahwa tidak mungkin Rinto akan berbuat macam-macam kepadanya.
Tapi ketika telah berada di dalam kamar hotel, Rinto membujuk Tante Linda untuk berhubungan intim. Tante Linda menolak keinginan Rinto itu. Tapi lagi-lagi Rinto membujuk bahwa bukankah ia akan melamar dan menikahi Tante Linda sehingga tidak ada yang perlu Tante Linda khawatirkan, mereka akan tetap menikah. Mendengar perkataan Rinto itu, Tante Linda akhirnya pasrah. Ia menyerahkan dirinya. Rinto pun dengan leluasa melampiaskan birahinya.
Selepas mereka berhubungan intim, tanpa terduga oleh Tante Linda, Rinto mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan, yaitu Tante Linda rupanya sudah tidak perawan lagi. Meski sakit hatinya mendengar perkataan Rinto tersebut tapi Tante Linda berusaha menjelaskan masa lalunya. Rinto sepertinya bisa menerima penjelasan itu, tapi penjelasan Tante Linda ini menjadi senjata Rinto untuk menggauli Tante Linda untuk kedua kalinya.
Tante Linda sempat menahan Rinto bahwa cukup sekali saja mereka berhubungan intim saat itu tapi Rinto memaksa sambil mengatakan bahwa untuk apa Tante Linda menolak sedangkan ia sudah tidak perawan lagi. Dan ia masih menerima keadaan Tante Linda itu. Mendengar perkataan Rinto itu Tante Linda kembali pasrah. Maka kembali Tante Linda di gauli saat itu. Malam itu hati Tante Linda berkecamuk, ia terpaksa harus menjadi tempat pelampiasan birahi Rinto, padahal hatinya menolak karena takut terjadi hal yang sama seperti yang pernah dilakukan Arifin kepadanya. Dan malam itu harus dilalui Tante Linda dengan tiga kali Rinto menggaulinya.
Keesokan harinya mereka kembali ke Jogja. Tapi hari-hari berikutnya bagai bencana bagi kehidupan Tante Linda. Rinto yang sebelumnya bersikap sopan dan ramah itu berubah bagai iblis yang memperlakukan Tante Linda bagai budak birahinya.
Tante Linda yang telah berada dalam cengkeraman Rinto itu semakin tak berdaya, ia hanya bisa pasrah menuruti syahwat Rinto sambil berharap Rinto akan benar-benar melamar dan menikahinya.
Suatu hari datang seorang wanita dan seorang remaja perempuan ke kost Tante Linda. Dengan amarah yang luar biasa mereka mencari Tante Linda sambil mengatakan bahwa Tante Linda telah merusak rumah tangganya. Rupanya wanita tersebut adalah istrinya Rinto dan remaja perempuan itu adalah anaknya Rinto. Istri dan anaknya Rinto mengamuk di kost nya Tante Linda. Mereka menjambak rambut Tante Linda dan memukulinya. Untunglah penghuni kost lainnya dapat melerai sehingga Tante Linda terhindar dari amukan lebih parah dari istri dan anaknya Rinto.
Dengan emosi dan bernada tinggi, istri dan anaknya Rinto mengatakan agar Tante Linda tidak lagi merusak rumah tangganya. Tante Linda dalam kondisi tidak berdaya hanya bisa terdiam. Setelah melampiaskan kemarahannya, istri dan anaknya Rinto pergi dari tempat kostnya Tante Linda. Begitu sakitnya hati Tante Linda saat  itu  karena  telah  di  bohongi Rinto yang ternyata telah memiliki istri dan anak. Namun perasaan yang lebih menyakitkan lagi adalah para penghuni kost telah memvonis Tante Linda sebagai perempuan perusak rumah tangga orang.
Setelah kejadian itu, Tante Linda tidak pernah lagi bertemu Rinto. Tapi ia harus menerima cemoohan orang yang menyebutnya sebagai perempuan perusak rumah tangga orang. Malu tak terkira ia rasakan. Ia dikucilkan oleh para penghuni kost dan masyarakat sekitarnya. Hingga Tante Linda tidak tahan lagi mendapat perlakuan demikian, ia pun memutuskan pindah dari tempat kostnya.
Setelah beberapa kali mencari, Tante Linda akhirnya mendapatkan tempat kost yang baru. Dalam hatinya Tante Linda meyakinkan diri bahwa orang-orang di tempat kostnya yang baru itu tidak mengetahui kisahnya sehingga pindah dari tempat kost yang sebelumnya. Beberapa hari setelah pindah kost, Tante Linda merasakan perubahan dalam dirinya. Ia mulai merasakan mual. Meski dalam hatinya ia telah menduga apa yang telah terjadi tapi ia masih berharap bahwa hal itu tidak terjadi.
Ia pun memberanikan diri untuk memeriksakan diri, dan ternyata apa yang ditakutkannya itu benar-benar terjadi. Tante Linda kembali hamil.
Mengetahui telah hamil lagi, Tante Linda menjadi bimbang, apakah akan menggugurkan kehamilannya lagi atau tidak. Hingga dalam hatinya lebih memilih untuk mempertahankan kehamilannya. Tapi hatinya susah juga, karena ia sedang kuliah, dan untuk pulang ke Sumatera Barat itu tidak mungkin karena orangtuanya akan memarahinya karena pulang membawa aib, apalagi tidak ada laki-laki yang dapat di tuntutnya untuk bertanggung jawab karena Rinto sudah tidak bisa ditemuinya lagi. Jika pun ia berkeras untuk mencari Rinto, tentu istri dan anaknya tidak dapat menerima dan kembali ia akan di labrak seperti sebelumnya. Selain itu belum tentu Rinto mau bertanggung jawab.
Dalam kepedihan hidup, Tante Linda berusaha bertahan melewati hari sambil memantapkan hatinya untuk menentukan keputusan apa yang akan ia ambil apakah tetap mempertahankan kehamilannya dan pulang ke Sumatera Barat atau kembali menggugurkan kehamilannya dan melanjutkan kuliahnya.
Ketika di tempat kostnya yang baru, Tante Linda berkenalan dengan seseorang bernama Jamal. Jamal ngekost di tempat yang sama dengan Tante Linda. Kamar mereka hanya berjarak beberapa kamar saja. Perkenalannya dengan Jamal hanya sebatas teman saja. Dan Tante Linda tidak tahu apakah Jamal sedang kuliah atau telah berkerja. Tante Linda benar-benar menganggap Jamal hanya teman saja sehingga Tante Linda tidak ingin tahu latar belakang Jamal.
Selama mengekost di tempat itu, pertemanan mereka semakin akrab. Tante Linda juga sedikit terhibur hatinya karena Jamal dapat menjadi teman yang baik baginya. Hingga suatu ketika Jamal meminta Tante Linda untuk menemaninya pulang ke Bantul dengan alasan untuk memberikan uang kepada orangtuanya disana. Jamal mengatakan bahwa orangtuanya itu sedang sakit dan memerlukan uang pada hari itu juga. Jamal juga berkata bahwa setelah ia memberikan uang maka mereka langsung pulang lagi ke Jogja.
Tante Linda yang tidak punya perasaan curiga sedikit pun kepada Jamal bersedia menemani Jamal ke Bantul. Maka pergilah hari itu mereka ke Bantul menggunakan mobil yang disewa oleh Jamal. Namun kemudian pembicaraan Tante Linda terputus, karena ia melihat Tante Yanti keluar dari lift bersama seorang laki-laki yang lagi-lagi aku tahu orang itu siapa.
Selama dua bulan aku berkerja di hotel itu, telah beberapa orang yang ku kenal yang ku temui, meskipun mereka tidak mengenalku. Bahkan pernah aku melihat ayah temanku sekolah di SMA di Bar & Karaoke itu bersama seorang wanita yang berpakaian minim. Ayah temanku ini sangat kenal denganku, tetapi ia tidak melihatku karena posisi duduk ku yang terlindungi meja kasir. Aku bersyukur juga ia tidak melihatku karena bisa repot juga urusannya nanti. Aku bisa tidak enak untuk bermain ke rumah teman sekolah itu. Dan ayah temanku bisa berubah sikapnya jika bertemu denganku nanti.
Setelah sempat menghabiskan Draught Beer nya, tanpa berkata apa-apa Tante Linda langsung membayar Draught Beernya, selanjutnya langsung menghampiri Tante Yanti yang barusan keluar dari lift bersama laki-laki yang ku ketahui adalah orang Akademik di kampusku. Selanjutnya mereka bertiga keluar dari Bar & Karaoke dan pergi entah kemana.
Sabtu, 2 November 1996, aku mendapat jadwal bertugas di Restoran Hotel pada sift sore yaitu dimulai dari jam 3 sore hingga jam 11 malam. Hingga jam 11 malam waktunya aku pulang. Setelah menyelesaikan laporan keuanganku hari itu, aku pun keluar melalui pintu belakang hotel untuk mengambil motor Suzuki Jet Cooled ku yang ku parkirkan di belakang hotel. Tempat parkir ini merupakan tempat khusus bagi kendaraan karyawan hotel. Setelah menghidupkan motorku itu, aku langsung melaju keluar dari belakang hotel menuju ke gerbang depan hotel untuk menuju ke Jalan Gajah Mada.
Ketika akan melewati gerbang hotel, ku lihat Tante Linda berdiri disitu sepertinya sedang menunggu seseorang. Rupanya Tante Linda melihatku dan langsung memanggilku untuk menghentikan laju motorku itu. Aku pun segera berhenti.
Tante Linda kemudian menghampiriku dan bertanya aku akan kemana. Maka ku jawab bahwa aku mau pulang. Tante Linda kemudian bertanya lagi ke arah mana jalanku pulang. Ku jawab aku pulang ke arah Jeruju. Selanjutnya Tante Linda berkata bahwa ia ingin menumpang untuk pulang ke arah Jalan Merdeka, yang tentunya aku akan melewati jalan itu menuju ke Jeruju. Tanpa menunggu persetujuanku, Tante Linda langsung naik ke belakang motorku. Ia pun menyuruhku untuk menjalankan motorku.
Dengan perasaan gerogi yang luar biasa aku segera menjalankan motorku. Tubuhku tegang sekali ketika menggonceng Tante Linda. Dan Tante Linda sepertinya tahu bahwa aku sangat gerogi saat itu, tapi ia tidak menghiraukannya. Ia dengan santainya sambil berkata bahwa orang yang biasa menjemputnya barangkali tidak bisa datang sehingga belum juga muncul menjemputnya hingga jam 11 malam itu. Ia biasanya pergi dan pulang bersama Tante Yanti, tapi hari itu Tante Yanti sedang datang bulan sehingga tidak bisa melayani pesanan dari tamu hotel, dan hanya berada di rumah kontrakan mereka saja di kawasan Jalan Merdeka, sehingga hanya Tante Linda sendiri saja yang datang ke hotel sejak jam 8 malam tadi karena ada tamu hotel yang memesan layanannya. Tante Linda hanya melayani tamu hotel satu rate saja malam itu. Setelah selesai melayani tamu, ia memutuskan untuk pulang. Aku hanya diam saja mendengar penjelasan Tante Linda itu.
Selanjutnya, motorku pun melaju melewati Jalan Gajah Mada. Ketika mendekati simpang Jalan Gajah Mada dan Diponegoro, dan akan memasuki Jalan Pattimura, Tante Linda bertanya apakah aku sudah makan atau belum. Belum sempat ku jawab, Tante Linda langsung mengajakku singgah ke Rumah Makan Ayam Panas 29 yang berada sederetan tidak jauh dengan Kaisar Swalayan di Jalan Pattimura. Rumah Makan Ayam Panas 29 ini buka 24 jam. Tante Linda berkata ia sangat lapar saat itu. Motorku pun berbelok menuju Rumah Makan tersebut. Setelah ku parkirkan motorku, kami pun turun dan memasuki Rumah Makan itu. Tante Linda kemudian memesan makanan, selanjutnya ia mengajakku duduk pada meja di dekat dinding. Aku pun mengikutinya.
Setelah duduk ia langsung menyalakan rokoknya sambil menawarkannya juga kepadaku, tapi ku katakan bahwa aku tidak merokok. Tante Linda hanya tersenyum saja saat itu. Sambil menunggu pesanan makanan kami diantar oleh penjaga Rumah makan ia mengajakku mengobrol santai. Aku yang masih gerogi itu hanya bisa menjadi pendengar yang baik saja mendengarkan obrolan santainya. Hingga kemudian ku beranikan diri untuk bertanya tentang kelanjutan cerita Tante Linda ketika pergi ke Bantul bersama Jamal.
Mendengar pertanyaanku itu, Tante Linda tertawa sambil berkata bahwa rupanya aku masih mengingat ceritanya itu. Sambil tersenyum malu aku mengiyakannya. Selanjutnya Tante Linda bertanya sampai dimana ceritanya waktu itu. Aku pun menjelaskan secara ringkas hingga ketika Tante Linda bersedia menemani Jamal untuk pergi ke rumah orangtua Jamal di Bantul.

----------

Belum sempat Tante Linda akan melanjutkan ceritanya, makanan yang dipesannya datang, makanan itu pun diletakkan oleh si penjaga rumah makan di meja tempat kami duduk. Tante Linda kemudian menyuruh untuk makan terlebih dahulu, nanti selesai makan baru ia akan melanjutkan ceritanya.
Selesai makan Tante Linda melanjutkan ceritanya, sambil menghisap rokoknya dalam-dalam dan terlihat ia berusaha untuk tegar, Tante Linda mulai bercerita. Hari itu pergilah Tante Linda bersama Jamal ke Bantul menggunakan mobil yang disewa Jamal. Sesampainya di Bantul, mereka langsung menuju rumah Jamal. Jamal rupanya memegang kunci rumahnya, dan ketika dibuka ternyata rumah itu tidak ada orang. Tante Linda bertanya dimana orangtua Jamal yang sakit. Jamal menjawab bahwa orangtuanya sedang di rumah sakit sehingga rumahnya tidak ada orang. Dan nanti mereka akan pergi ke rumah sakit untuk bertemu orangtua Jamal.
Tante Linda yang tidak ada rasa curiga terhadap Jamal percaya saja, ia kemudian duduk di ruang tamu. Sedangkan Jamal langsung masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian keluar membawa segelas air minum yang kemudian diberikan kepada Tante Linda. Jamal menyuruh Tante Linda untuk meminumnya dengan berkata bahwa tentunya Tante Linda haus setelah perjalanan jauh. Setelah memberikan segelas air itu, Jamal duduk tidak jauh dari Tante Linda.
Tante Linda yang masih belum curiga itu langsung meminum segelas air yang diberikan Jamal. Setelah minum, mereka berbincang-bincang sesaat. Namun tak lama kemudian, Tante Linda merasakan kepalanya pusing. Selanjutnya Tante Linda merasakan matanya mulai berkunang-kunang dan kepalanya semakin pusing. Hingga kemudian ia merasakan tubuhnya lemas sehingga ia kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi ruang tamu itu. Rupanya Jamal telah memasukkan sesuatu ke dalam air minum yang di minum oleh Tante Linda sehingga kepalanya menjadi pusing dan tubuhnya menjadi lemas.
Jamal yang melihat Tante Linda telah lemas itu terlihat langsung menutup pintu dan menguncinya. Meski dalam kondisi telah lemas, namun Tante Linda masih dapat melihat perbuatan Jamal selanjutnya. Jamal terlihat mengangkat tubuhnya dan dibawa ke dalam sebuah kamar. Sesampainya di dalam kamar, tubuh Tante Linda di baringkan Jamal pada tempat tidur dan Jamal mulai melepas pakaian Tante Linda satu persatu. Selanjutnya Jamal melepas pakaiannya sendiri. Tante Linda dalam kondisi telah lemas itu tak dapat berbuat apa-apa. Ia kemudian menyaksikan Jamal mulai memperkosanya.
Tante Linda ingin menjerit tapi ia tak mampu. Hanya air matanya saja meleleh dari sela-sela matanya melihat perbuatan biadab Jamal terhadap dirinya. Untuk beberapa waktu Tante Linda yang sedang hamil muda itu harus melewati siksaan perih karena Jamal sedang memperkosanya. Setelah melampiaskan nafsu bejatnya, Jamal memakai kembali pakaiannya dan terlihat keluar dari kamar. Tante Linda saat itu belum juga pulih, tubuhnya masih lemas dan dibiarkan terbaring begitu saja tanpa pakaian sehelai pun oleh Jamal. Hati Tante Linda menjerit, air matanya terus meleleh dari matanya.
Cukup lama Jamal keluar dari kamar membiarkan Tante Linda yang terbaring lemas. Kemudian terlihat ia masuk lagi dengan membawa beberapa orang yang rupanya itu teman-temannya. Ternyata ketika keluar dari kamar tadi Jamal pergi menjemput teman-temannya. Dalam kondisi lemas, Tante Linda mendengar cemoohan Jamal kepada Tante Linda dengan mengatakan kepada teman-temannya itu bahwa ternyata Tante Linda sudah tidak perawan. Jamal juga berkata bahwa Tante Linda adalah perempuan nakal sehingga sudah tidak perawan lagi. Dan ia mempersilahkan teman-temannya itu untuk menikmati tubuh Tante Linda karena pastinya sebagai perempuan nakal sudah terbiasa ia menjadi pelampiasan nafsu laki-laki.
Teman-teman Jamal yang mendengar perkataannya itu terlihat tertawa girang. Mereka selanjutnya satu persatu bergiliran memperkosa Tante Linda yang telah tak berdaya itu. Maka bertambahlah siksaan yang dirasakan oleh Tante Linda. Ia hanya bisa mengeluarkan air matanya saja melihat teman-teman Jamal yang berjumlah enam orang itu bergiliran memperkosanya. Entah berapa lama ia bertahan saat itu, hingga ia merasakan tidak sanggup lagi dan akhirnya ia tak sadarkan diri.

----------

Tidak tahu berapa lama Tante Linda tidak sadarkan diri. Ketika telah sadar, ia merasakan seluruh tubuhnya sakit sekali, meski ia tidak merasakan lemas yang dirasakan sebelumnya. Tante Linda kemudian mencoba untuk bangun dengan pandangan matanya yang berkunang-kunang. Ia merasakan sangat nanar saat itu. Tubuhnya yang tanpa sehelai pakaian itu terlihat di tumpahi cairan sperma di sana sini. Ketika bercerita, terlihat Tante Linda berusaha untuk tegar sambil terus menerus menghisap rokoknya.
Dengan bersusah payah sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya yang tidak terkira, Tante Linda memakai pakaiannya yang tergeletak begitu saja di lantai kamar. Ketika selesai memakai pakaiannya, Tante Linda mendengar suara tertawa dari luar kamar. Rupanya Jamal dan teman-temannya sedang bercanda kegirangan di luar kamar. Tante Linda merasakan ketakutan sekali saat itu, pikirannya kosong, dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia merasakan sangat syok. Akibat perasaan takut yang sangat luar biasa, Tante Linda jatuh terduduk dengan pikirannya yang kosong. Ia hanya bisa menangis saja saat itu.
Rupanya dari luar kamar terdengar jika Tante Linda telah sadar, Jamal pun terlihat memasuki kamar. Tante Linda melihat Jamal seperti melihat iblis ia takut luar biasa, tapi tak mampu berkata. Ia hanya terduduk ketakutan sambil terus menangis.
Melihat Tante Linda telah sadar, Jamal memanggil teman-temannya untuk kembali masuk ke kamar. Selanjutnya Jamal mendekati Tante Linda yang sedang ketakutan itu, dengan tanpa berdosa berkata bahwa Tante Linda sudah tidak perawan, sehingga tidak perlu ia takut. Nikmati saja apa yang terjadi. Mendengar perkataan biadab Jamal itu Tante Linda hanya bisa menangis.
Rupanya perlakuan biadab Jamal dan teman-temannya belum selesai. Mereka kembali menarik tubuh Tante Linda ke tempat tidur. Selanjutnya mereka melepaskan kembali pakaian Tante Linda dan kembali bergiliran memperkosa Tante Linda yang sedang hamil muda itu. Tante Linda yang dalam kondisi ketakutan dengan sekujur tubuhnya sakit tidak terkira benar-benar tidak berdaya. Ia harus kembali merasakan siksaan Jamal dan keenam temannya bergiliran memperkosanya. Tante Linda tidak pingsan saat itu, hingga perbuatan biadab itu berakhir. Sungguh siksaan yang sangat perih yang sulit dilupakannya seumur hidup.
Selepas Jamal dan keenam temannya melampiaskan nafsu biadabnya, mereka kemudian keluar kamar. Tante Linda hanya dapat terbaring lemas di tempat tidur dengan sekujur tubuhnya semakin sakit. Pikirannya hampa dan pandangan matanya kosong. Air matanya pun seakan mengering dan tidak dapat keluar lagi. Kebencian dan kejijikannya terhadap laki-laki mulai timbul saat itu. Cukup lama ia hanya terbaring lemas di tempat tidur saat itu, sambil terus menerus menyesali nasib.

----------

Sekian lama kemudian, terlihat Jamal memasuki kamar. Jamal dengan sebutan biadab menyebut Tante Linda sebagai ‘Perek’ menyuruhnya untuk bangun dan memakai pakaiannya karena mereka akan pulang ke Jogja. Tante Linda dengan pandangan kosongnya bersusah payah untuk bangun. Dalam kondisi sekujur tubuh yang sakit dengan perlahan-lahan Tante Linda memakai kembali pakaiannya. Selanjutnya dalam kondisi linglung ia keluar dari kamar. Rupanya keenam teman Jamal sudah tidak ada lagi di rumah itu. Tanpa sepatah kata pun Tante Linda langsung keluar dari rumah dan memasuki mobil yang kemudian diikuti Jamal memasuki mobil. Mereka pun kembali pulang ke Jogja.
Sepanjang perjalanan pulang Tante Linda membisu dengan pandangannya yang kosong. Ia tidak mau melihat Jamal yang Durjana dan terlihat sangat menjijikkan dimatanya. Dengan dipenuhi rasa amarah dan dendam, hatinya sangat menjerit. Ketika sampai di tempat kostnya di Jogja, Tante Linda langsung turun menuju kamar kostnya. Ia tidak berkata apa-apa kepada si Durjana Jamal, bahkan Jamal pun sudah tidak mau dilihatnya lagi karena bagai iblis dalam pandangan matanya. Tante Linda selanjutnya hanya mengurung diri dalam kamar kostnya. Dan memendam kisah pilu dari perbuatan durjana yang telah dialaminya. Sejak itu ia tidak mau lagi bertemu si Durjana Jamal karena sangat menjijikkan baginya.

----------

Setelah beberapa hari mengurung diri dalam kamar kostnya, Tante Linda mulai merasakan sakit di sekujur tubuhnya telah berkurang, ia kemudian berusaha menguatkan diri untuk bertahan dan pergi kuliah ke kampusnya. Tapi perlakuan pedih harus ia alami ketika ke kampus. Rupanya Jamal telah menyebarkan cerita kesana sini bahwa Tante Linda adalah ‘Perek’ dan sudah tidak perawan. Sehingga beberapa mahasiswa dengan berani mengajaknya untuk berhubungan intim. Bahkan yang lebih menyakitkan ada yang bertanya berapa tarifnya satu malam. Ajakan yang menjijikkan itu tidak ditanggapinya. Ia terus bertahan untuk tetap menyelesaikan kuliah meski saat itu kehamilannya makin bertambah hari. Segala perkataan orang yang menyebutnya ‘Perek’ berusaha tidak dihiraukannya.
Hingga ketika ia berkonsultasi tentang mata kuliahnya kepada salah seorang dosennya, dan dosennya itu terang-terangan memintanya untuk berhubungan intim jika ingin dilayani konsultasi mata kuliahnya itu membuat semangatnya untuk menyelesaikan kuliah menjadi ambruk. Rupanya anggapan kepada dirinya sebagai ‘Perek’ juga sampai di kalangan dosen-dosennya di kampus. Permintaan menjijikkan dosennya itu tidak di tanggapinya, namun ia kemudian dipersulit untuk berkonsultasi tentang mata kuliahnya. Ia pun semakin jijik melihat laki-laki.
Situasinya yang dipersulit oleh dosennya itu lantaran ia tidak menanggapi permintaan tidak senonoh dosennya itu membuatnya berpikir lagi untuk tetap bertahan menyelesaikan kuliahnya. Ia akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri pulang ke Sumatera Barat dan menyampaikan kepada orangtuanya tentang kehamilannya. Maka berhentilah Tante Linda dari kuliah yang telah dijalaninya hingga menjelang akhir semester 7 saat itu. Ia pun pulang ke Sumatera Barat.

----------

Ketika pulang ke Sumatera Barat, orangtuanya sangat marah ketika mengetahui Tante Linda telah berhenti kuliah serta saat itu sedang hamil dan tidak ada laki-laki yang dapat di tuntut pertanggung jawabannya. Orangtua Tante Linda yang merupakan salah seorang terpandang di Sumatera Barat sangat malu dengan kondisi Tante Linda. Tante Linda kemudian diusir dari rumah karena dianggap membawa aib bagi orangtua dan keluarganya. Setelah diusir oleh orangtuanya, Tante Linda tinggal di rumah salah seorang keluarganya. Tapi rupanya orangtua Tante Linda mengetahui bahwa ia tinggal di rumah salah seorang keluarganya. Orangtuanya itu kemudian menemui keluarganya itu dan melarang untuk memberikan tempat tinggal bagi Tante Linda karena telah membawa aib bagi keluarga besar mereka. Keluarganya itu tidak dapat berbuat apa-apa, dan terpaksa meminta Tante Linda untuk pergi dari rumah mereka.
Dengan kepedihan hati, Tante Linda pergi dari rumah keluarganya itu. Ia kemudian hidup terkatung-katung dengan membawa kehamilannya yang semakin membesar. Ia berusaha berkerja apa saja hanya untuk menyambung hidupnya saat itu. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Tante Yanti.
Tante Yanti adalah teman sekolah Tante Linda ketika di SMP. Tante Yanti sangat perihatin melihat Tante Linda dengan perut membesar berkerja serabutan untuk mencari nafkah. Ia pun membawa Tante Linda untuk tinggal bersamanya. Saat itu Tante Yanti telah berkerja sebagai Wanita Tuna Susila.
Bukan tanpa sebab Tante Yanti akhirnya berkerja sebagai Wanita Tuna Susila, karena ia juga mengalami nasib yang sama menyakitkannya dengan Tante Linda hanya situasinya saja yang berbeda. Tante Linda kemudian menceritakan keseluruhan tentang kisah hidup Tante Yanti yang dua kali menikah, dan kedua suaminya itu memiliki penyimpangan seksual. Kedua suaminya itu tidak akan terangsang jika tidak melihat Tante Yanti di gauli orang. Itulah awal mula Tante Yanti sangat membenci laki-laki. Ia kemudian lari dari suaminya dan menjadi Lesbian. Meskipun sebagai Lesbian, Tante Yanti kemudian berkerja sebagai Wanita Tuna Susila untuk mencari nafkah.
Selama tinggal bersama Tante Yanti, segala keperluan hidup Tante Linda yang sedang hamil besar itu di tanggung oleh Tante Yanti. Ini lah awal mula Tante Linda menjadi Lesbian. Kesamaan nasib yang mereka alami menimbulkan kebencian mereka kepada laki-laki. Mereka pun saling jatuh cinta dan menjalin asmara.
Sampailah waktunya Tante Linda melahirkan seorang anak laki-laki. Namun beberapa hari setelah melahirkan, anaknya itu meninggal dunia. Selanjutnya setelah pulih kesehatannya, Tante Linda mengikuti Tante Yanti berkerja sebagai Wanita Tuna Susila. Hingga kemudian mereka mendapat tawaran untuk berkerja di Kalimantan yaitu di Balikpapan dengan profesi yang sama yaitu sebagai Wanita Tuna Susila. Lebih dua tahun mereka di Balikpapan. Hingga kemudian pada tahun 1994 mereka mengikuti seseorang pergi ke Pontianak. Dan di Pontianak lah kini mereka berkerja.
Setelah menyelesaikan ceritanya itu, Tante Linda mengajakku pulang. Ia kemudian membayar makanan yang kami makan. Aku pun berjalan menuju motorku dan menghidupkannya. Tante Linda kemudian naik dibelakang motorku. Selanjutnya motorku melaju menuju Jalan Merdeka, dan berbelok masuk pada sebuah gang tempat rumah kontrakan Tante Linda berada. Motorku pun berhenti di depan rumah kontrakan tersebut.
Setelah Tante Linda turun dari motorku, ia sempat menawarkan aku untuk singgah sebentar di rumah kontrakannya, tapi ku katakan bahwa waktu telah lewat jam 2 subuh, dan aku harus tidur karena nanti jam 3 sore pada hari Minggu itu aku harus kembali masuk kerja. Tante Linda memahami kondisiku itu. Ia pun mengucapkan terima kasih karena aku bersedia mengantarkannya pulang dan menjadi teman sebagai tempatnya bercerita. Aku dengan tersipu malu hanya menganggukkan kepalaku saja dan pamit untuk langsung pulang. Selanjutnya aku menjalankan motorku dan melaju pulang ke rumahku di Jeruju.

----------

Selasa, 19 November 1996, aku mendapat jadwal bertugas pada sift malam di ruangan Executive Lounge yang tempatnya berada di Balkon lantai satu. Hari sebelumnya yaitu Senin aku mendapat jatah off atau libur kerja. Di ruangan Executive Lounge ini hanya ada tiga karyawan saja, yaitu dua orang Waitress dan satu Kasir yaitu aku. Ruangan Executive Lounge ini kurang begitu ramai karena harga makanannya sangat mahal dan yang disediakan adalah makanan-makanan luar negeri sehingga orang-orang tertentu saja yang masuk ke ruangan ini. Yang kebanyakan hanya ingin bersantai secara pribadi saja tanpa ingin di ganggu oleh orang lain.
Sebelum jam 11 malam aku sudah masuk ke ruangan Executive Lounge. Begitu pun kedua temanku yang bertugas sebagai Waitress. Aku langsung mempersiapkan meja Kasirku. Setelah siap, aku duduk-duduk santai di meja Kasirku, sedangkan kedua teman Waitressku duduk di dekat pintu masuk yang berbentuk kaca sambil menunggu tamu yang masuk ke ruangan Executive Lounge.
Ketika aku sedang bersantai, ku lihat kedua teman Waitressku yang duduk di dekat pintu masuk berdiri, sebagai tanda bahwa ada tamu yang akan memasuki ruangan Executive Lounge itu. Karena pintu tersebut berbentuk kaca sehingga aku dapat melihat tamu yang akan memasuki ruangan Executive Lounge itu yaitu Tante Linda dan Tante Yanti. Kedua temanku Waitress langsung membuka pintu kaca itu dan rupanya mereka mengenal Tante Linda dan Tante Yanti. Setelah sempat berbicara sebentar, kedua temanku itu menutup kembali pintu kaca itu dan kembali duduk. Sedangkan Tante Linda dan Tante Yanti langsung berjalan ke arah meja Kasirku. Aku pun langsung berdiri sambil tersenyum ramah sebagai kewajiban pelayanan dari karyawan hotel kepada setiap tamu hotel. Begitu pun Tante Linda dan Tante Yanti terlihat tersenyum kepadaku.
Sesampainya di dekat meja Kasirku, Tante Linda berkata bahwa kemarin ia mencariku dan rupanya aku kemarin off. Aku pun membenarkan bahwa kemarin aku off. Tante Linda selanjutnya berkata bahwa ia dan Tante Yanti nanti hari Kamis akan pindah berkerja ke Batam dan mereka ingin berpamitan denganku. Selanjutnya Tante Linda mengeluarkan sesuatu dari tas yang dipegangnya, yaitu sebuah kado berbentuk kotak kecil sambil berkata bahwa kado itu untukku sebagai ungkapan terima kasihnya kepadaku yang telah menjadi teman yang baik baginya. Tante Linda juga berkata bahwa isi didalam kado itu adalah benda kesayangannya dan berharap aku menyukai benda itu, serta meminta aku untuk menyimpannya sebagai tanda ia mengingatku sebagai teman terbaiknya.
Aku dengan sedikit terharu berkata bahwa aku akan menyimpan benda itu meskipun saat itu aku belum tahu benda apa itu. Selanjutnya Tante Linda berpamitan kepadaku sambil berkata bahwa jika ada waktu ia akan mengabari keadaannya di Batam kepadaku, begitu juga jika nanti dia punya kesempatan, ia akan kembali ke Pontianak untuk menemuiku. Aku sambil menganggukan kepala mengiyakan perkataan Tante Linda itu.
Setelah Tante Yanti juga berpamitan kepadaku, mereka berdua langsung keluar dari ruangan Executive Lounge. Itu lah saat terakhir aku bertemu dengan Tante Linda dan Tante Yanti. Kado kecil dari Tante Linda kemudian ku letakkan di meja Kasirku. Hingga kemudian jam 7 pagi tugasku selesai. Setelah menyelesaikan laporan keuanganku hari itu, aku segera dan kubawa kado kecil itu pulang ke rumah. Hari itu aku ada kuliah jam 11 siang.
Sesampainya di rumah, kado kecil itu ku buka, dan rupanya didalam kado kecil itu berisi sehelai syal berwarna coklat muda dengan motif-motif bunga. Aku selanjutnya menyimpan syal pemberian Tante Linda itu. Syal inilah yang sering ku bawa kuliah ke kampus, dan syal inilah yang menjadi teman kemana pun aku pergi.

Untuk Linda :
Ku tulis namamu pada dinding waktu,
agar abadi dalam ingatanku
Ku lukis wajahmu pada kanvas sanubari,
agar senyum indahmu tak pudar di telan hari
ku rajut kata-kata,
agar menjadi irama merdu yang menghibur sepanjang hidupmu
meski ku tahu, bahwa kau tak kan ku temui lagi
tapi di ujung mimpi lah
kita akan menyambung pertemuan kita lagi

Selamat jalan Linda...
hidup, memang harus tetap di jalani,
meski Sang Durjana terlalu kuat membelenggumu
tapi Tuhan tidak pernah tidur, dan tak akan tidur
Semoga kau dapatkan keadilan bagi hidupmu...

Pontianak, Jum’at 22 November 1996
11.30 malam

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...