ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN
--- JILID 4 ---
Hatiku langsung tersentak
dan pikiranku langsung teringat kembali dengan Zahara yang cantik dengan jilbabnya
yang selalu rapi namun sangat menjengkelkan ketika ia mengatakan bahwa ia
adalah Zahara, Remaja Masjid Al-Falah yang telah meminjam bukuku.
Aku semakin mendekatkan diri
ke jendela dan ku lihat lebih teliti lagi diantara jendela nako yang terbuka
kacanya, hatiku pun bertanya pada diriku sendiri, apakah benar wanita yang
sangat kurus ini adalah Zahara yang cantik itu. Saat aku sedang bergulat dengan
pertanyaan diriku sendiri, kembali wanita yang sangat kurus itu berkata bahwa
ia memang Zahara dan sedang sakit. Ia sedang menjalani perawatan untuk
menyembuhkan penyakitnya di Rumah Sakit Soedarso itu. Ia kemudian menyuruhku
masuk ke ruangan tempatnya di rawat.
Tanpa banyak berpikir lagi,
aku langsung saja masuk ke ruangan itu. Sesampainya di dalam ruangan, ku lihat
ada beberapa orang yang juga sedang di rawat dan sedang terbaring diatas tempat
tidur. Tempat wanita yang sangat kurus itu dirawat berada di dekat jendela.
Setelah berada di dalam
ruangan baru aku dapat melihat dengan jelas roman wajah wanita yang sangat
kurus itu. Meski terlihat sangat kurus dan lemah tapi aku masih bisa mengenali
bahwa wanita itu memang Zahara yang dulunya sangat cantik namun sangat
menjengkelkan itu.
Melihat aku telah berada di
ruangan tempatnya di rawat, Zahara dengan kondisinya yang sedang duduk lemah
dan tangannya sedang terinfus serta matanya yang sangat cekung berusaha untuk
tersenyum. Mendadak hatiku yang sebelumnya selalu menganggapnya sangat
menjengkelkan itu langsung berubah sedih tak terkira. Aku benar-benar tak
percaya dengan apa yang ku lihat.
Aku selanjutnya mendekati
ujung tempat tidurnya dan berdiri disitu. Zahara kemudian menanyakan kabarku. Ku
jawab bahwa aku baik-baik saja. Ia kemudian bertanya lagi sedang apa aku di
Rumah Sakit Soedarso. Ku jawab bahwa aku menjenguk temanku yang sakit.
Zahara dengan berusaha untuk
bercanda dia balik bertanya temanku itu laki-laki atau perempuan. Ku jawab saja
bahwa temanku itu perempuan. Zahara bertanya lagi itu perempuan teman atau
pacar. Aku sambil garuk-garuk kepala berkata bahwa itu teman perempuanku
sekelas kursus menjahit.
Mendengar bahwa yang sakit
adalah teman sekelasku kursus menjahit, Zahara dengan wajah yang terlihat lemah
berusaha tertawa dan bertanya dengan nada tidak percaya, apakah benar aku
kursus menjahit. Aku kemudian menjelaskan lagi bahwa aku sedang ikut kursus
menjahit dan teman sekelasku itu sakit. Zahara dengan sikap yang masih belum
percaya bertanya lagi kenapa aku bisa ikut kursus menjahit. Aku pun menjelaskan
awal mula aku ikut kursus menjahit. Setelah ku jelaskan barulah ia percaya.
Namun ia bertanya lagi,
kenapa aku bisa kursus menjahit di Aini School. Aku dengan menarik nafas
panjang menjawab bahwa aku disarankan oleh teman perempuanku untuk sebaiknya
kursus menjahit di Aini School saja, selain cara mengajarnya yang bagus juga
teman perempuanku itu sangat kenal baik dengan pemilik Aini School yaitu Bu Aini.
Mendengar jawabanku itu, Zahara
terlihat semakin penasaran dan kembali bertanya, teman perempuanku itu teman
atau pacar. Aku kembali garuk-garuk kepala, dan berkata dalam hati, ternyata
Zahara belum berubah, masih selalu ingin tahu dan selalu banyak tanya.
Dengan sedikit jengkel atas
pertanyaan Zahara itu, aku mulai menjelaskan bahwa aku sedang dekat dengan
seorang wanita yang umurnya 12 tahun lebih tua dariku. Ia seorang janda. Aku belum
resmi pacaran dengannya hanya telah berteman sangat dekat. Dan ia adalah teman
baiknya Bu Aini.
Kembali Zahara tertawa
sambil berkata bisa juga aku dekat dengan perempuan, bukankah dulu aku paling
takut jika didekati perempuan. Mendengar perkataan Zahara itu, aku hanya bisa
tersenyum malu saja.
Zahara kembali bertanya,
kemana wanita itu, mengapa aku tidak membawanya menjenguk teman sekelas
menjahitku yang sakit itu. Kembali aku menarik nafas dan menjelaskan bahwa
wanita itu sekarang sedang tugas kuliah di Bandung. Sebelum aku mulai kursus ia
ada pulang liburan ke Pontianak. Dan ketika aku mulai masuk kursus ia kembali
ke Bandung karena liburan kuliahnya sudah selesai.
Mendengar penjelasanku itu
Zahara tertawa lagi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian bertanya
lagi selain kursus menjahit apa saja kegiatanku, apakah masih aktif di Remaja
Masjid. Aku kemudian menjawab bahwa selain kursus menjahit aku sedang kuliah,
dan aku sudah tidak aktif lagi di Remaja Masjid sejak awal kuliah karena saat
itu aku kuliah sambil berkerja sehingga tidak ada waktu lagi untuk aktif di
Remaja Masjid.
Zahara kemudian bertanya
lagi dimana aku berkerja dan apakah aku masih berkerja. Ku katakan bahwa aku
berkerja di hotel dan sudah tidak lagi berkerja sejak tahun 1997. Kembali Zahara
bertanya apa sebabnya aku tidak lagi berkerja.
Aku kembali menarik nafas
dan menjelaskan bahwa pada bulan April 1997, terjadi keributan di hotel. Aku kemudian
ditangkap polisi dan di sel selama tiga malam di Polsek Selatan. Mendengar penjelasanku
itu, Zahara tertawa bukan main sambil berkata, bisa juga aku bikin ribut,
bukannya dulu aku itu orang yang pendiam. Aku hanya diam saja mendengar
perkataan Zahara itu.
Ia kemudian kembali
bertanya, bagaimana aku bisa keluar dari sel Polsek Selatan. Ku katakan bahwa
ada salah seorang pamanku, yaitu adik ayahku, yang jadi Polisi dan tugas di
Polsek Selatan. Ia yang menangkapku, karena tidak menduga jika terjadi
keributan di hotel itu salah seorangnya aku. Atas mediasi dari pamanku itu,
maka permasalahan yang telah terjadi diselesaikan dengan kekeluargaan dan damai.
Setelah tiga malam aku di sel, barulah di keluarkan.
Mendengar perkataanku itu,
Zahara hanya menganggukkan kepalanya saja. Selanjutnya ia berkata bahwa aku
tidak banyak berubah, hanya kulitku saja yang terlihat sangat hitam sambil ia
kembali tertawa. Aku hanya bisa tersenyum saja mendengar perkataan Zahara itu.
Selanjutnya ia berkata lagi,
agar aku jangan dulu pulang, ia memintaku untuk menemaninya menunggu Bibinya
yang belum datang untuk menjaganya di rumah sakit. Aku pun mengiyakan
permintaannya itu.
Zahara kemudian berkata lagi
dengan nada agak bertanya apakah ia terlihat sangat kurus. Aku tidak sanggup
menjawab pertanyaannya itu dan hanya bisa menganggukkan kepala saja.
Zahara selanjutnya mulai
bercerita bahwa ia tidak tamat SMA saat itu. Ketika permulaan di kelas 3, ia
pacaran dengan seseorang bernama Dedi. Ia kemudian hamil sebelum tamat sekolah
dan terpaksa harus berhenti sekolah. Selanjutnya ia menikah dengan Dedi.
Dedi suaminya, adalah
seorang pecandu dan pengedar Narkoba. Zahara kemudian menjadi terikut suaminya
sebagai pecandu Narkoba.
----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar