JAMPI-JAMPI NEK DAWI’
Dalam
kepercayaan Thariqat Melayu Penghulu Sanggau, Nek Dawi’ adalah salah seorang
nenek moyang para Penghulu dari jalur Ayah. Nek Dawi’ ini disebut juga Panglima
Daud, yang menguasai kekuatan api
sehingga disebut sebagai Raja Api. Nek Dawi’ dipercaya ghaib, dan akan muncul
jika terjadi bencana besar yaitu perang besar dengan cara dipanggil
keberadaannya dengan tata cara tertentu. Namun pada saat-saat tertentu yang
memang sangat mendesak dan sangat diperlukan, Nek Dawi’ ini dapat juga
dipanggil untuk membantu dan melindungi.
Pemanggilan keberadaan Nek Dawi’ jika
Temenggung Penghulu telah melihat kehadiran Petuong di parak-parak teras
rumahnya. Namun jika sangat diperlukan, tidak juga mesti menunggu kehadiran
Petuong, karena kehadiran Petuong sebagai pertanda akan terjadinya perang besar
dalam sekala besar seperti yang terjadi pada peristiwa perang melawan Jepang
tahun 1945 dan kerusuhan tahun 1967 setelah konfrontasi Indonesia dengan
Malaysia. Jika perang yang terjadi dalam sekala lokal, maka Nek Dawi’ ini dapat
juga dipanggil.
Ketika Temenggung Penghulu melihat kehadiran
Petuong atau dirasa sangat diperlukan kehadiran Nek Dawi’, maka Temenggung
Penghulu segera mandi Hadats dan bersuci. Selanjutnya mengambil sehelai kain
berwarna merah seukuran tiga ruas jari telunjuk. Kain merah itu kemudian
ditulis rajah dengan minyak Ja’faron yang berisi penyampaian nama Temenggung
Penghulu dan silsilah Nek Dawi’.
Setelah kain merah di rajah, maka diletakkan
pada sebuah piring putih polos dan diletakkan tujuh butir kulit padi diatas
kain merah itu. Kemudian dibawa ke sebuah balai kayu yang telah dipersiapkan. Balai
itu terbuka langsung menghadap ke langit dan dihadapkan ke arah Timur. Pada balai
tersebut terlebih dahulu diletakkan satu pohon Menjuang.
Selanjutnya diletakkan piring yang berisi kain
merah dan tujuh kulit padi itu diatas balai dan dibawah pohon menjuang. Kemudian
kain merah yang terdapat tujuh kulit padi itu dibakar hingga habis agar asapnya
naik ke angkasa sebagai tanda kepada Nek Dawi’ bahwa anak cucuknya ingin
bertemu.
Berikutnya Temenggung Penghulu mempersiapkan
sirih pinang lengkap dengan mayang pinangnya dan tempat pembakaran
wangi-wangian berupa Gaharu atau Kulit Kayu Lukai. Diatas pintu rumah dan
kamarnya juga diberi tanda berupa daun Menjuang. Setelah itu berdiam diri di
dalam kamarnya menunggu hingga waktu lewat Maghrib.
Selama menunggu waktu tersebut, Temenggung
Penghulu membakar Gaharu atau Kulit Kayu Lukai di dekat tubuhnya sambil memakan
sirih sepanjang waktu, untuk menghilangkan bau badan yang tidak disukai oleh
Nek Dawi’. Nek Dawi’ ini paling tidak suka dengan bau belacan atau bau-bau
makanan yang kuat baunya, sehingga di khawatirkan ada makanan yang bercampur
dengan bahan belacan atau bahan lainnya yang kuat baunya dalam tubuhnya yang
menimbulkan bau yang tidak sedap maka ia membakar gaharu atau kulit kayu lukai
didekat tubuhnya sambil memakan sirih untuk membersihkan organ didalam
tubuhnya.
Ketika telah lewat waktu Maghrib, Temenggung
Penghulu segera pergi ke tempat batu-batuan yang ada air jatuhnya dengan
membawa sirih lengkap dan pembakaran wangi-wangian dengan satu koin Orang Tua
atau yang disebut koin Nabi Khaidir atau Nabi Musa sebagai syarat pengerasnya.
Sesampainya di tempat batu-batu yang ada air
jatuhnya, Temenggung Penghulu duduk dengan khusus pada sebuah batu yang paling
gelap warnanya di tempat itu. Selanjutnya Temenggung Penghulu membaca
jampi-jampi yaitu sebagai berikut :
“Diing’ D’oo’ Hyaa Kaiinangaxaii zaa’oona’
rhiinayith
Aku tuh Ran ying
Hatalla je paling kuasa
tamparan taluh
handiai tuntang kahapus
Kalawa jetuh iye te
kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan
Ranying Hatalla
nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk Handung kalawa jet te puna pahalingei
biti
ha yak iye mananggare
gangguranan arae bagare Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen
Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan
Bitim batakuluk bangun tarajun ambun
baramate ungkal bulau
pungkal raja
bakining bulau batutuk
sangkalemu
bajela bulau batangep
rabia
baiweh Nyalung
Kaharingan Belum
basilu ruhung bataji
pulang
bakatetes hinting
bunu panjang
baratap hinting kamarau
ambu
batatutuh bulau lelak
bendang
batingkai rabia
bahinis kereng
baragana anak antang baputi
belum bahalap limu-limut
bulue
hapanduyan Nyalung
Kaharingan Belum
hapupuk guhung
paninting aseng
tantausik Jata Hatalla
Balang Bitim jadi isi
sampuli balitam jadi daha
dia baling bitim tau
indu luang rawei
Ambun Randah Kajang
Pantai Danum Kalunen
Luwuk Enun Lela
Tingkap Rajung Kapungan Bunu
Ambun Sawak Kajarian
Ujan Balawu Langit
Enun Samur Kanyarin
Riwut manampar hawun
enun sidep dia katurengan
kining
Ambun balu-balun
kilau balun
Enun golo-golong
tingkah lapesan tabuhi
Ambun bapapang kilau
bulan pampang ruang-ruang
enun hapangguk
namunan runi hatalungkup
Ambun tangi-tangis
anak nule nyalanting matei
enun rindurindu rarunjung
siren bajumbang nihau
Ambun mangkeram kilau
darung hanjaliwan
Enun malengkuang busun
petak tangkaluluk langit
Ambun kangkanderang
kilau anak burung tingang bapantung nyahu
enun kangkariak
nyakatan bawin dahiang antang langit
Diing’ D’oo’ Hyaa
Kaiinangaxaii zaa’oona’ rhiinayith”
Jampi-jampi ini diulang-ulang hingga terasa
tanda-tanda akan kehadiran Nek Dawi’. Adapun tanda-tandanya adalah situasi
mulai terasa hangat. Setelah itu akan terlihat sebuah bola api dari kejauhan yang
bergerak menggelinding di tanah mendekati. Jampi-jampi itu tetap terus dibaca
hingga bola api yang menggelinding itu menyapa atau memberi salam.
Untuk tanda api ini mesti berhati-hati karena
amalan jampi-jampi ini sering didatangi oleh Jin Ifrit, namun Jin Ifrit muncul
dalam bentuk bola api yang terbang dan tidak jejak di tanah. Bola apinya Jin
Ifrit bergerak menembus benda atau pepohonan sedangkan bola apinya Nek Dawi’
bergerak di tanah tidak menembus benda atau pepohonan. Bola apinya Nek Dawi’
akan berbelok menghindar jika ada benda atau pepohonan yang menghalanginya. Sehingga
mesti berhati-hati jangan sampai salah menjawab sapaan atau salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar