ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN
--- JILID 2 ---
Pada giliran perkenalan oleh peserta kegiatan, kembali aku
menjadi tertawaan oleh Zahara. Ia berulang kali menyuruhku untuk memperkenalkan
diri hanya untuk mendengar logat “R” ku yang berkarat, apalagi setelah tahu
bahwa aku masih kelas 1 SMP. Logat “R” ku yang berkarat itu menjadi hiburan
baginya. Meski malu sekali rasanya menjadi bahan tertawaan tapi aku berusaha
menahankan diri untuk betah dengan kondisi demikian karena hari itu baru hari
pertama dan masih ada empat hari kedepan yang harus ku lewati.
Kegiatan pesanteren kilat yang di selenggarakan oleh Remaja
Masjid Al-Falah dilaksanakan dari jam 8 pagi hingga selesai Sholat Tarawih.
Selesai kegiatan hari itu aku langsung pulang. Sepanjang pulang ke rumah, masih
terbayang di benakku kejadian ditertawakan oleh Zahara. Sesampainya di rumah
aku langsung mandi, kemudian bersiap akan tidur. Dan seperti biasa sebelum
tidur aku selalu menulis buku diariku jika ada kejadian penting yang ku alami.
Hobby ku menulis buku diari ku lakukan ketika di kelas 6 SD.
Saat itu teman-teman perempuan sekelasku sedang suka-sukanya membawa buku diari
dan menulis biodata teman-teman satu kelas dengan masing-masing teman
menuliskan kata-kata mutiara. Aku yang saat itu juga ikut mengisi buku diari
teman-temanku itu mulai menyenanginya dan meminta dibelikan sebuah buku diari
kepada orangtuaku. Maka sejak inilah aku mulai hobby menulis buku diari.
Ketika akan menulis di buku diariku, barulah aku sadar bahwa
buku diariku itu sudah hampir habis lembaran halamannya. Dengan lembaran yang
tersisa, kutuliskan kisahku hari itu. Selesai aku menulis kisahku hari itu, aku
bersiap-siap untuk tidur dan berencana besok akan membeli buku diari yang baru.
----------
Selasa, 3 April 1990, sebelum jam 7 pagi aku turun dari
rumahku menuju Masjid Al-Falah menggunakan sepedaku. Selama kegiatan pesanteren
kilat ini, orangtuaku telah meminta izin untuk tidak masuk sekolah kepada wali
kelasku yaitu Bu Theresia Farida di kelas 1 SMP yang lokasinya di Jalan Tebu
Jeruju.
Ketika melewati pasar di Gertak Tiga Sungai Jawi, ku
sempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk membeli buku diari baru. Sebelum
turun dari rumah tadi, aku membawa uang simpananku sebesar 2 ribu rupiah untuk
membeli buku diari baru. Dan di toko buku itu ku lihat ada buku diari yang
bagus kulitnya seharga 1.700. Buku diari itu pun ku beli. Setelah itu aku
menuju ke Masjid Al-Falah.
Sesampainya di Masjid Al-Falah, ku lihat Zahara sedang duduk
di meja panitia di teras Masjid, aku berusaha menghindar darinya dan masuk melalui
pintu samping kemudian menuju ke ruangan kegiatan. Aku berdiam diri saja
didalam ruangan hingga kegiatan dimulai pada pukul 8 pagi.
Pada kegiatan hari kedua itu, rupanya Zahara yang menjadi
pemandu kegiatannya. Pada sesi pertama disampaikan materi tentang Organisasi
Remaja Masjid dari Ketua Remaja Masjid Al-Falah. Selanjutnya pada sesi kedua
berisi materi penyampaian tentang kondisi dan kegiatan Organisasi Remaja Masjid
dari masing-masing utusan. Pada kegiatan ini diselingi dengan diskusi dan Tanya
jawab dari peserta dan panitia.
Ketika giliranku menyampaikan kondisi dan kegiatan Organisasi
Remaja di tempatku yaitu organisasi Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham, aku
sangat gerogi karena takut menjadi tertawaan lagi dengan logat “R” ku yang
berkarat. Dan apa yang ku takutkan memang terjadi. Zahara yang menjadi pemandu
kegiatan sengaja memperpanjang giliran penyampaianku karena ingin mendengar “R”
ku yang berkarat. Zahara banyak bertanya yang sebenarnya ia hanya ingin
mendapat hiburan saja. Pada sesi ini kembali aku jadi bahan tertawaan karena
Zahara sengaja memunculkan pertanyaan yang membuatku harus berbicara banyak,
dan apa yang ku sampaikan itu menjadi kelucuan oleh Zahara yang membuat peserta
yang hadir juga ikut tertawa.
----------
Selepas Sholat Zhuhur, ada waktu 30 menit untuk peserta
istirahat. Pada kegiatan hari kedua itu aku duduk berdekatan dengan utusan dari
Remaja Nurul Jannah bernama Ridwan dan Sueb. Mereka berdua duduk di kelas dua di
sekolah SMA Islam Swasta. Ketika waktu istirahat, Ridwan dan Sueb bersandar
nyantai pada sudut ruangan. Dan tidak jauh di hadapan sebelah kananku, terlihat
Zahara sedang mengobrol santai dengan teman-temannya. Aku yang tidak tahu harus
berbuat apa ketika istirahat itu, terpikir untuk menulis buku diari yang baru
ku beli tadi pagi. Maka buku diari itu pun ku keluarkan dari dalam tasku, dan
mulai ku tulis tentang kisahku hari itu terutama tentang kisah diskusi yang
menjengkelkan dengan Zahara.
Untuk beberapa saat aku hanyut dalam tulisanku. Hingga tiba-tiba,
buku diari yang sedang ku tulis itu ditarik oleh seseorang. Aku sempat kaget,
dan ketika ku lihat ternyata Zahara yang menarik buku diariku itu. Rupanya Zahara
yang sedang mengobrol bersama teman-temannya itu sempat memperhatikan aku sibuk
menulis sebuah buku diari. Ia menjadi sangat penasaran dan tanpa ku sadari
mendekati tempatku duduk, yang selanjutnya langsung menarik buku diariku itu.
Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Aku hanya
terpaku saja melihat Zahara yang secara mendadak menarik buku diariku, dan
kemudian membacanya. Ketika membaca apa yang telah ku tulis, Zahara terlihat
beberapa kali tersenyum. Selanjutnya ia berkata untuk meminjam buku diariku
itu. Tanpa menunggu jawabanku, Zahara langsung pergi dan kembali ke tempatnya
semula dengan meninggalkan aku yang hanya bisa terdiam melihat ulahnya itu. Kembali
perasaanku tidak karuan saat itu akibat ulah Zahara.
Hari itu pun ku lewati dengan pikiranku yang masih memikirkan
buku diariku yang diambil oleh Zahara. Ketika selepas Tarawih dan akan pulang
ke rumah, aku berusaha mencari Zahara untuk meminta kembali buku diariku itu. Tapi
Zahara tidak ku temukan. Dengan perasaan tak karuan, aku terpaksa pulang ke rumah
dengan pikiran yang masih memikirkan buku diariku yang telah diambil Zahara.
----------
Rabu, 4 April 1990, hari ketiga kegiatan pesanteren kilat di
Masjid Al-Falah. Aku menemui Zahara untuk meminta kembali buku diariku, tapi
Zahara berkata bahwa ia belum membaca semua yang telah ku tulis dan berjanji
akan mengembalikannya nanti pada hari terakhir kegiatan. Kembali aku tidak bisa
berbuat apa-apa dan terpaksa harus mempercayainya bahwa nanti hari terakhir
kegiatan ia akan mengembalikan buku diairiku. Meski hatiku berkecamuk karena
memikirkan buku diariku, namun aku berusaha menenangkan diri bahwa nanti buku
diariku itu akan dikembalikan Zahara.
Jum’at, 6 April 1990, hari terakhir kegiatan pesanteren kilat
di Masjid Al-Falah. Beberapa hari kegiatan aku semakin akrab dengan Ridwan dan
Sueb. Selepas acara penutupan, aku menemui Zahara untuk meminta kembali buku
diariku. Tapi dengan santainya Zahara berkata bahwa ia lupa membawa buku
diariku itu, dan tanpa rasa bersalah sedikitpun ia pergi begitu saja
meninggalkanku. Perasaanku sangat kesal saat itu, tapi aku juga tidak bisa
berbuat apa-apa. Dengan hati yang berkecamuk, terpaksa ku ikhlaskan buku
diariku dan tidak ingin ku ingat lagi. Aku pun membeli buku diari yang baru dan
menulis lagi kisahku selama kegiatan di pesanteren kilat di Masjid Al-Falah.
Setelah kegiatan pesanteren kilat di Masjid Al-Falah. Aku sering
bertemu Ridwan dan Sueb, terutama jika ada kegiatan-kegiatan besar Islam yang
melibatkan Remaja Masjid. Kami menjadi sahabat yang akrab. Ridwan dan Sueb juga
beberapa kali bermain ke rumahku.
Pada tahun 1992, terjadi tragedi Bosnia Herzegovina. Konflik perang
di Bosnia menjadi pembicaraan hangat sehari-hari di kalangan remaja Masjid dan
Majelis Taklim. Pada bulan Juli 1992, Ridwan dan Sueb datang ke rumahku. Pada saat
itu mereka telah tamat dari SMA. Ridwan dan Sueb mengajakku untuk mendaftar
sebagai sukarelawan berjihad ke Bosnia yang pendaftarannya di lakukan di Masjid
Mujahidin. Pembukaan pendaftaran sukarelawan Jihad ke Bosnia ini sebelumnya telah
ku ketahui di Majelis Taklim Ash-Habul Kahfi.
Namun ku katakan kepada Ridwan dan Sueb bahwa aku tidak bisa
ikut mendaftar karena aku masih sekolah, dan barusan masuk ke SMA di Jurusan
Pariwisata. Mendengar jawabanku itu, Ridwan dan Sueb memakluminya. Kami pun
sempat berbincang-bincang tentang konflik perang di Bosnia. Selanjutnya mereka
berpamitan pulang sambil berkata bahwa besok mereka akan pergi ke Masjid
Mujahidin untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Jihad ke Bosnia. Aku pun
hanya bisa mendoakan agar apa yang mereka inginkan tercapai. Selanjutnya mereka
pulang dari rumahku.
Sejak kepulangan mereka dari rumahku saat itu, aku tidak
pernah bertemu Ridwan dan Sueb lagi. Dan tidak tahu bagaimana nasib mereka
setelah itu.
----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar