Jumat, 04 Mei 2018

JALAN-JALAN SEPUTAR SANGGAU : WILLIAM BERNARD

JALAN-JALAN SEPUTAR SANGGAU
* WILLIAM BERNARD *

Jam 16:00, hari Rabu tanggal 29 Agustus 2012 selepas pulang kerja saya menyempatkan diri berkunjung kerumah Bapak William Bernard. Nama beliau telah lama saya dengar sebagai salah seorang sepuh seniman di Kabupaten Sanggau.
Dikalangan seniman Kabupaten Sanggau, beliau termasuk orang yang ekstrim menjaga Kebudayaan dan Tradisi. Tidak heran jika di era tahun 70-an hingga tahun 90-an figur beliau sangat disegani.
Karakter beliau yang begitu keras dalam mempertahankan tradisi hingga kini masih membekas di ingatan mantan murid-muridnya yang sekarang telah sukses bahkan telah menempati beberapa jabatan penting di Pemerintahan Kabupaten Sanggau.
Kerasnya didikan yang diterapkan dan berprinsip teguh bahwa kebudayaan tidak boleh lepas dari tradisi yang telah dianut oleh para leluhur dari turun temurun menjadikan nama beliau selalu dikenang oleh beberapa murid-muridnya. Dan beberapa orang murid beliau pernah menyampaikan kepada saya bahwa dahulunya Pak William Bernard pernah memberikan wejangan kepada murid-muridnya untuk tetap berlandaskan kepada sejarah dan tradisi walaupun telah ada pencampuran dengan kebudayaan luar agar identitas Kabupaten Sanggau tidak samar. Tetapi sayangnya diatas era tahun 90-an Pak William Bernard tidak aktif lagi dalam berkesenian.
Sekarang, setelah makin gencarnya kebudayaan luar yang terus menyamarkan kebudayaan Kabupaten Sanggau, figur keras dari sosok yang bernama Willian Bernard seakan menjadikan kerinduan tersendiri dikalangan murid-murid dan beberapa teman-temannya. Mereka seperti berharap agar waktu bisa terulang dan William Bernard dengan jiwa Idealisnya keluar untuk tampil menyelamatkan sejarah dan kebudayaan Kabupaten Sanggau yang terus terseret oleh arus zaman.
Dari beberapa informasi tersebut, semakin menguatkan hasrat hati saya untuk mengunjungi beliau. Maka mulailah saya mencari informasi tentang dimana tempat kediaman Pak William Bernard. Informasi tersebut saya dapatkan, bahwa tempat kediaman beliau berada beberapa rumah sebelah kiri didepan SMP Negeri 1 Sanggau.
Kendaraan roda dua saya pun melaju kesana. Sesampainya diwilayah tersebut saya masih kebingungan mencari letak rumah beliau. Setelah bertanya ke seseorang yang kebetulan berada didepan rumah diwilayah tersebut, saya pun mendapatkan kepastian tentang posisi rumah beliau. Kendaraan saya pun berbelok memasuki sebuah rumah kayu sederhana dimana dihalaman rumah tersebut banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang. Kendaraan saya berhenti dihalaman rumah tersebut. Dan kebetulan didepan rumah tersebut ada seorang anak laki-laki remaja sedang duduk santai didepan rumah.
Saya turun dari kendaraan dan menghampiri remaja tersebut. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan saya hendak bertemu dengan Bapak William Bernard, remaja tersebut mempersilahkan saya masuk dengan terlebih dahulu menyampaikan bahwa Pak Bernard sedang sakit dan jika ingin bertemu langsung saja masuk kedalam ruangan tengah dari rumah tersebut.
Saya pun langsung melangkah memasuki rumah dengan diantar oleh remaja tersebut. Ketika langkah kaki saya telah sampai diruangan tengah, terlihat oleh saya seorang Bapak tua yang sedang terduduk disebuah kursi roda. Remaja itu pun menyampaikan bahwa inilah Pak William Bernard.
Bathin saya tersentak kencang ketika melihat sosok Bapak William Bernard yang pernah saya dengar begitu gagah dan bugar kini terduduk tak berdaya disebuah kursi roda. Segera saya menyalami beliau dan mencium tangannya. Selanjutnya saya mengambil posisi tepat disisi kanan beliau dan mulai memperkenalkan diri. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan saya adalah hendak memasukkan figur beliau didalam tulisan yang sedang saya susun, keharuan beliau tak terbendungkan lagi. Terlihat jelas begitu berkaca-kacanya kedua mata beliau, hingga beliau tidak lagi dapat membendung air matanya jatuh. Saya hanya bisa terdiam, suara lirih isak keharuan beliau terdengar untuk beberapa saat.
Setelah beberapa saat beliau terisak, dengan agak terbata-bata beliau menjelaskan kondisi beliau saat ini sedang digerogoti oleh penyakit Diabetes akut dan telah merusak sebagian kaki kiri beliau. Selama ini tidak ada penulis yang mau menemui beliau, apalagi menjadikan beliau sebagai narasumber. Anak-anak muda sekarang, apalagi jika sudah sekolah jauh, lebih senang menulis sesuai kemauan mereka, atau kemauan orang yang menyuruh mereka. Hal itu supaya mereka dapat diterima oleh masyarakat meskipun mereka harus berbohong dan melangkahi orang-orang tua yang mengetahui tentang itu. Suasana kembali hening sejenak karena beliau mencoba mengendalikan rasa harunya agar tidak berlarut-larut. Setelah dirasakan agak tenang, mulailah beliau bercerita tentang perjalanan hidupnya.
Bapak William Bernard lahir pada tanggal 5 April 1939 di Singkawang. Beliau mendapatkan didikan seni tari secara otodidak. Hal tersebut bermula Ketika beliau masih dikampungnya selalu ikut menari jika ada orang-orang tua sedang menarikan tarian-tarian ritual. Setelah menari, beliau selalu bertanya ke orang-orang tua tersebut tentang tarian-tarian yang baru saja beliau ikuti. Hasil penjelasan dari orang-orang tua tersebut selalu beliau catat dalam sebuah catatan khusus agar beliau tidak lupa. Semua hal dalam tarian-tarian ritual mulai dari persiapan sebelum memulai tarian, mekanisme tarian, hingga selesai tarian beliau catat. Bahkan berbagai ritual beserta pomang atau bacaan ritual beliau catat agar tidak lupa.
Beliau kemudian menghentikan ceritanya dan memanggil remaja yang mengantar saya masuk tadi. Kepada remaja tersebut beliau mengatakan untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Pergilah remaja tersebut ke kamarnya, dan beberapa saat kemudian keluar dengan membawa bertumpuk dokumen yang tersimpan dalam sebuah kantong plastik hitam besar yang langsung diberikan kepada beliau. Dengan bersusah payah, satu persatu dokumen yang terlihat telah usang itu dibukanya. Selanjutnya beliau melanjutkan ceritanya.
Ketika mudanya pada tahun 1969, beliau telah memulai menggali sejarah adat dan tradisi di beberapa kampung. Beliau turun langsung hingga ke pedalaman dan melakukan pendekatan-pendekatan yang simpatik kepada penduduk setempat, karena menurut beliau, orang-orang pedalaman jika tidak kita yang memulai berdialog dan bertanya tentang sejarah kebudayaan dan tradisi maka mereka juga tidak akan membicarakannya. Karena orang-orang di pedalaman tidak pandai bercerita karenanya harus didatangi dan mengakrabkan diri kesana.
Sejarah dan tradisi yang ada sekarang ini banyak yang keluar jalur. Banyak tulisan-tulisan yang mengikuti pesanan penguasa dan politik yang tujuannya hanya untuk menghilangkan identitas awal dari asal usul sejarah dan tradisi tersebut. Sehingga beliau tidak ingin seperti itu, beliau akan gali sumbernya hingga tuntas, beserta keterkaitannya dengan sumber-sumber lainnya.
Jika beliau hendak membuat sebuah karya tari maka materi-materi yang hendak diramu selalu beliau pelajari terlebih dahulu ke para orang-orang tua di Pedalaman Kabupaten Sanggau. Semuanya beliau tanyakan dengan detail tentang asal usulnya hingga semua bahan dan persiapan untuk membuat karya tersebut telah matang. Karena beliau selalu berhati-hati supaya karya tersebut bisa ditampilkan dengan benar dan tidak melanggar norma-norma dan identitas adat tradisi yang telah ada.
Beliau resmi memulai aktivitas berkesenian tepatnya dalam bidang seni Tari di Kabupaten Sanggau sekitar tahun 1970-an dengan mempelopori sebuah organisasi Seni bernama Sanggar Action Daya Tiong Kandang. Tetapi beliau tidak bertahan lama di Sanggar Seni tersebut karena pada tahun 1972 beliau merintis sebuah Sanggar Seni yang bernama “DIS” dari singkatan DHARMA INDAH SENI.
Beliau bercerita tentang sulitnya untuk mencari murid-murid khususnya anak-anak wanita. Karena pada saat itu anak-anak wanita sulit diizinkan oleh orang tua mereka untuk bergabung dalam oraganisasi Seni khususnya menari. Karena pada waktu itu dikalangan orang-orang tua di Kabupaten Sanggau begitu tabu jika anak-anak wanita mereka menari diatas pentas.
Beliau pun terpaksa harus melakukan pendekatan khusus dan merayu dengan berbagai bahasa yang lembut agar orang tua dari anak-anak wanita tersebut bisa merestui anak-anak wanita mereka untuk menari dan bergabung di Sanggar Tari yang telah dirintis oleh beliau. Interogasi panjang lebar dari orang-orang tua tersebut harus beliau lalui. Dan dengan pendekatan yang simpatik dan bahasa yang meyakinkan bahwa beliau akan bertanggung jawab terhadap keamanan dan kebaikan untuk si anak tersebut, akhirnya restu dari orang-orang tua tersebut bisa beliau dapatkan untuk membimbing anak-anak wanita mereka di Sanggar beliau agar bisa disiapkan tampil menari diatas pentas.
Dengan kekuatan “Tangan Dingin” yang dimiliki oleh beliau banyak juga murid-murid hasil didikan beliau telah sukses dan menjadi penari profesional. Bahkan ada beberapa murid beliau yang kini telah membentuk Sanggar tari sendiri baik didalam Kabupaten Sanggau maupun diluar Kabupaten Sanggau.
Sanggar Dis yang merupakan rintisan beliau telah memperlihatkan prestasi yang luar biasa dengan mengangkat nama Kabupaten Sanggau hingga ke Manca Negara. Bahkan Sanggar tersebut termasuk salah satu Sanggar yang diperhitungkan setiap digelarnya kompetisi seni tari. Banyak karya-karya beliau dalam bidang seni tari dan sebagian pernah di shooting oleh TVRI. Bahkan beliau juga yang mendesain model dan motif pakaian yang digunakan untuk menari.
Dahulunya setiap pagelaran hasil karya seni tidaklah seperti sekarang. Pengharapan untuk tercukupi secara materi sesuai kerja keras yang telah diperbuat harus diabaikan karena itu merupakan hal yang tidak mungkin. Bisa-bisa akan dihantui oleh ketidak puasan yang membuat kita berhenti berkarya. Kebanggaan dan kepuasan bathin dari terciptanya hasil karya terbaik adalah sebagai motivasi dan dorongan semangat untuk terus berkarya.
Beliau sangat prihatin kepada nasib identitas Kebudayaan khususnya seni Tari di Kabupaten Sanggau pada saat ini karena tidak lagi mencerminkan ciri khas Kabupaten Sanggau. Pengaruh-pengaruh dari unsur luar begitu mencolok. Pencampuran gerak langkah tari pada saat ini sudah tidak terkontrol lagi, sehingga sulit untuk menentukan jenis gerak langkah yang ditampilkan. Sejelek-jeleknya ataupun semonoton-monotonnya gerak langkah tari Kabupaten Sanggau hendaklah jangan ditinggalkan, karena itulah ciri khasnya. Tetaplah dipertahankan dan dilestarikan sebagai penghargaan terhadap hasil buah karya dari kerja keras para leluhur sebelumnya.
Beliau berpendapat, boleh saja ada kolaborasi dengan unsur luar selama hal tersebut bersifat positif tetapi hendaknya ciri khas dan tradisi yang ada di Kabupaten Sanggau janganlah sampai hilang. Karenanya perlulah tindakan pelestarian dan penggalian lebih matang ke fihak-fihak yang masih mengetahui tentang hal tersebut.
Pak William Bernard termasuk juga salah seorang perintis berdirinya SMEA Negeri di Kabupaten Sanggau pada tahun 1968 bersama seorang guru bernama Bang Juani, Almarhum Pak Gusti Surya, Almarhum Pak M. Arif yang telah pindah ke Pontianak dan Pak H. Syarif Yahya.
Selain itu, ketika awal mula Pemda di Kabupaten Sanggau pada zaman Bapak Bupati Mustafa Sulaiman Siregar beliaulah penggagas ide Lambang Pemda yang sebelumnya dan temannya yang bernama Azis yang menggambarnya. Hanya sayang, Lambang tersebut tidak berlaku lagi karena sudah ada pemisahan beberapa kecamatan dari Kabupaten Sanggau menjadi Kabupaten. Bahkan beliau juga yang menyusun rancangan Peraturan Daerah. Beberapa hal tersebut diatas merupakan hasil buah karya pemikiran beliau yang perlu diketahui oleh masyarakat Kabupaten Sanggau.
Selanjutnya beliau membuka beberapa dokumen yang telah usang sambil bercerita. Pada masa orde baru, banyak orang Dayak yang malu dan takut mengaku dirinya Dayak, apalagi jika di pemerintahan, mereka bisa tidak dipakai dan tidak bisa mendapat jabatan. Jika mereka mendapat kesempatan untuk bersekolah lebih tinggi, maka pulangnya membawa pemikiran dari luar agar dapat diterima di pemerintahan. Jika disuruh menulis sejarah dan tradisi, maka mereka akan menulisnya mengikuti maunya pemerintah pada masa itu. Jika tidak maka mereka akan disingkirkan. Sehingga lenyaplah sejarah dan tradisi tersebut karena ia berambisi untuk mendapat jabatan.
Sejarah dan tradisi yang ada sekarang adalah warisan dari penjajah yang tidak mau orang pribumi tahu asal usul leluhurnya dan dipakai terus oleh pemerintah orde baru. Padahal sejarah dan tradisi itu adalah ciptaan Belanda yang ingin terus menerus membodohi orang pribumi agar terlihat bahwa orang pribumi itu primitif dan bodoh sehingga turun temurun Belanda ingin menanamkan otaknya pada anak-anak pribumi. Tulisan pribumi pada masa orde baru selalu mengutip tulisan Belanda padahal sudah tahu bahwa Belanda itu penjajah dan tukang mengadu domba tetapi masih terus dipakai. Sebenarnya dia tahu tentang itu, tapi karena ingin dapat jabatan atau tenar maka dipakailah tulisan Belanda yang membodohkan itu.
Begitu juga sejarah dan tradisi Sanggau, merupakan tulisan warisan Belanda yang dipakai terus hingga saat ini. Tulisan dan sumber pribumi tidak boleh dipakai dan tidak boleh muncul karena akan merugikan Belanda dan pemerintah orde baru pada masa itu. Sehingga nama-nama ahli Belanda makin tenar namanya dengan tulisan yang membodohi pribumi.
Sambil memperlihatkan sebuah dokumen, beliau melanjutkan ceritanya. Pada tahun 1980, beliau berusaha mengangkat dokumen ini. Tapi yang terjadi beliau diasingkan dan akan disingkirkan karena isinya tidak sesuai dengan maunya pemerintah pada masa itu. Pemerintah tetap ingin isinya harus tetap perpusat pada pemerintah pusat, sehingga asal usul pribumi ini harus berasal dari sana bagaimanapun caranya. Karena beliau tetap berkeras ingin tetap sesuai dengan dokumen dan sumber yang beliau dapat, sehingga usaha beliau untuk mengangkat dokumen tersebut gagal, bahkan beliau di isukan macam-macam sehingga rusaklah nama beliau.
Sehingga sejarah dan tradisi Sanggau hingga sekarang ini adalah warisan Belanda dan orde baru. Jika ingin mengangkat dokumen ini, maka harus kuat, karena bisa-bisa akan disingkirkan orang karena isinya bertolak belakang dengan tulisan yang ada. Beliau kemudian berkata, bahwa dokumen-dokumen tersebut adalah koleksi miliknya, dan akan lebih baik dilengkapi dengan pergi ke beberapa kampung yang ada di Kabupaten Sanggau yang beliau sebutkan. Nanti di kampung-kampung tersebut temui nama-nama orang yang beliau sebutkan, dan sampaikan saja bahwa tahu ini dari saya agar dibantu mereka untuk melengkapi dokumen ini.
Selanjutnya beliau menunjukkan beberapa dokumen lainnya tentang sejarah dan tradisi di luar Sanggau. Beliau juga berpesan hal yang sama untuk pergi ke beberapa tempat di luar Sanggau dan menemui orang-orang yang beliau sebutkan nama-namanya. Nanti di tempat-tempat itu sampaikan juga bahwa tahu ini dari saya agar mereka mau membantu.
Pada kesempatan itu juga beliau berpesan kepada Generasi Muda Kabupaten Sanggau bahwa orang Dayak dahulunya ketika terdengar bunyi Gong maka tanpa disadari jiwanya akan terhipnotis dengan spontan tubuhnya bergerak mengikuti alunan gong tersebut begitulah semestinya sebagai orang yang berbudaya. Kebudayaan harus segera digerakkan karena telah dibunyikan sejak lama. Ikuti irama tersebut tanpa harus dikomando. Jika situasi tersebut tidak ada reaksi, berarti kebudayaan tidak pernah masuk kedalam jiwa, yang tentunya cepat atau lambat kebudayaan dan tradisi yang ada di Kabupaten Sanggau akan punah. Jika ini terjadi akan merugikan masyarakat Kabupaten Sanggau sendiri karena identitas Kabupaten Sanggau akan bermutasi ke kebudayaan lain.
Tanpa terasa rupanya hari telah malam. Ternyata lama juga kami bertemu pada hari itu. Saya kemudian menyudahi kunjungan saya pada hari itu dirumah beliau. Setelah berterima kasih atas jamuan hangat dari beliau saya pun bersalaman dan mencium tangan beliau, sekali lagi rasa haru tidak bisa beliau bendung. Terlihat mata beliau berkaca-kaca berusaha menahan haru yang terpendam.
Kemudian saya pun melangkah keluar dari rumah tersebut. Menghidupkan kendaraan saya dan langsung pergi meninggalkan tempat kediaman Bapak William Bernard yang telah lama bergelut dengan penyakitnya.
Terima kasih Pak Bernard, cita-cita Bapak agar sejarah dan tradisi bisa kembali hidup di Kabupaten Sanggau akan selalu saya ingat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...