JALAN-JALAN
SEPUTAR SANGGAU
* WILLIAM
BERNARD *
Jam 16:00, hari Rabu tanggal 29 Agustus
2012 selepas pulang kerja saya menyempatkan diri berkunjung kerumah Bapak
William Bernard. Nama beliau telah lama saya dengar sebagai salah seorang sepuh
seniman di Kabupaten Sanggau.
Dikalangan seniman Kabupaten Sanggau,
beliau termasuk orang yang ekstrim menjaga Kebudayaan dan Tradisi. Tidak heran
jika di era tahun 70-an hingga tahun 90-an figur beliau sangat disegani.
Karakter beliau yang begitu keras dalam
mempertahankan tradisi hingga kini masih membekas di ingatan mantan
murid-muridnya yang sekarang telah sukses bahkan telah menempati beberapa
jabatan penting di Pemerintahan Kabupaten Sanggau.
Kerasnya didikan yang diterapkan dan
berprinsip teguh bahwa kebudayaan tidak boleh lepas dari tradisi yang telah
dianut oleh para leluhur dari turun temurun menjadikan nama beliau selalu
dikenang oleh beberapa murid-muridnya. Dan beberapa orang murid beliau pernah
menyampaikan kepada saya bahwa dahulunya Pak William Bernard pernah memberikan
wejangan kepada murid-muridnya untuk tetap berlandaskan kepada sejarah dan tradisi
walaupun telah ada pencampuran dengan kebudayaan luar agar identitas Kabupaten
Sanggau tidak samar. Tetapi sayangnya diatas era tahun 90-an Pak William
Bernard tidak aktif lagi dalam berkesenian.
Sekarang, setelah makin gencarnya
kebudayaan luar yang terus menyamarkan kebudayaan Kabupaten Sanggau, figur
keras dari sosok yang bernama Willian Bernard seakan menjadikan kerinduan
tersendiri dikalangan murid-murid dan beberapa teman-temannya. Mereka seperti
berharap agar waktu bisa terulang dan William Bernard dengan jiwa Idealisnya keluar
untuk tampil menyelamatkan sejarah dan kebudayaan Kabupaten Sanggau yang terus
terseret oleh arus zaman.
Dari beberapa informasi tersebut,
semakin menguatkan hasrat hati saya untuk mengunjungi beliau. Maka mulailah
saya mencari informasi tentang dimana tempat kediaman Pak William Bernard.
Informasi tersebut saya dapatkan, bahwa tempat kediaman beliau berada beberapa
rumah sebelah kiri didepan SMP Negeri 1 Sanggau.
Kendaraan roda dua saya pun melaju
kesana. Sesampainya diwilayah tersebut saya masih kebingungan mencari letak
rumah beliau. Setelah bertanya ke seseorang yang kebetulan berada didepan rumah
diwilayah tersebut, saya pun mendapatkan kepastian tentang posisi rumah beliau.
Kendaraan saya pun berbelok memasuki sebuah rumah kayu sederhana dimana
dihalaman rumah tersebut banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang. Kendaraan
saya berhenti dihalaman rumah tersebut. Dan kebetulan didepan rumah tersebut
ada seorang anak laki-laki remaja sedang duduk santai didepan rumah.
Saya turun dari kendaraan dan
menghampiri remaja tersebut. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan saya hendak
bertemu dengan Bapak William Bernard, remaja tersebut mempersilahkan saya masuk
dengan terlebih dahulu menyampaikan bahwa Pak Bernard sedang sakit dan jika
ingin bertemu langsung saja masuk kedalam ruangan tengah dari rumah tersebut.
Saya pun langsung melangkah memasuki
rumah dengan diantar oleh remaja tersebut. Ketika langkah kaki saya telah
sampai diruangan tengah, terlihat oleh saya seorang Bapak tua yang sedang
terduduk disebuah kursi roda. Remaja itu pun menyampaikan bahwa inilah Pak
William Bernard.
Bathin saya tersentak kencang ketika melihat
sosok Bapak William Bernard yang pernah saya dengar begitu gagah dan bugar kini
terduduk tak berdaya disebuah kursi roda. Segera saya menyalami beliau dan
mencium tangannya. Selanjutnya saya mengambil posisi tepat disisi kanan beliau
dan mulai memperkenalkan diri. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan saya
adalah hendak memasukkan figur beliau didalam tulisan yang sedang saya susun,
keharuan beliau tak terbendungkan lagi. Terlihat jelas begitu berkaca-kacanya
kedua mata beliau, hingga beliau tidak lagi dapat membendung air matanya jatuh.
Saya hanya bisa terdiam, suara lirih isak keharuan beliau terdengar untuk
beberapa saat.
Setelah beberapa saat beliau terisak, dengan
agak terbata-bata beliau menjelaskan kondisi beliau saat ini sedang digerogoti
oleh penyakit Diabetes akut dan telah merusak sebagian kaki kiri beliau. Selama
ini tidak ada penulis yang mau menemui beliau, apalagi menjadikan beliau
sebagai narasumber. Anak-anak muda sekarang, apalagi jika sudah sekolah jauh,
lebih senang menulis sesuai kemauan mereka, atau kemauan orang yang menyuruh
mereka. Hal itu supaya mereka dapat diterima oleh masyarakat meskipun mereka
harus berbohong dan melangkahi orang-orang tua yang mengetahui tentang itu. Suasana
kembali hening sejenak karena beliau mencoba mengendalikan rasa harunya agar
tidak berlarut-larut. Setelah dirasakan agak tenang, mulailah beliau bercerita
tentang perjalanan hidupnya.
Bapak William Bernard lahir pada tanggal
5 April 1939 di Singkawang. Beliau mendapatkan didikan seni tari secara
otodidak. Hal tersebut bermula Ketika beliau masih dikampungnya selalu ikut
menari jika ada orang-orang tua sedang menarikan tarian-tarian ritual. Setelah
menari, beliau selalu bertanya ke orang-orang tua tersebut tentang
tarian-tarian yang baru saja beliau ikuti. Hasil penjelasan dari orang-orang
tua tersebut selalu beliau catat dalam sebuah catatan khusus agar beliau tidak
lupa. Semua hal dalam tarian-tarian ritual mulai dari persiapan sebelum memulai
tarian, mekanisme tarian, hingga selesai tarian beliau catat. Bahkan berbagai ritual
beserta pomang atau bacaan ritual beliau catat agar tidak lupa.
Beliau kemudian menghentikan ceritanya
dan memanggil remaja yang mengantar saya masuk tadi. Kepada remaja tersebut
beliau mengatakan untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Pergilah remaja tersebut
ke kamarnya, dan beberapa saat kemudian keluar dengan membawa bertumpuk dokumen
yang tersimpan dalam sebuah kantong plastik hitam besar yang langsung diberikan
kepada beliau. Dengan bersusah payah, satu persatu dokumen yang terlihat telah
usang itu dibukanya. Selanjutnya beliau melanjutkan ceritanya.
Ketika mudanya pada tahun 1969, beliau telah
memulai menggali sejarah adat dan tradisi di beberapa kampung. Beliau turun
langsung hingga ke pedalaman dan melakukan pendekatan-pendekatan yang simpatik
kepada penduduk setempat, karena menurut beliau, orang-orang pedalaman jika
tidak kita yang memulai berdialog dan bertanya tentang sejarah kebudayaan dan
tradisi maka mereka juga tidak akan membicarakannya. Karena orang-orang di pedalaman
tidak pandai bercerita karenanya harus didatangi dan mengakrabkan diri kesana.
Sejarah dan tradisi yang ada sekarang
ini banyak yang keluar jalur. Banyak tulisan-tulisan yang mengikuti pesanan
penguasa dan politik yang tujuannya hanya untuk menghilangkan identitas awal
dari asal usul sejarah dan tradisi tersebut. Sehingga beliau tidak ingin
seperti itu, beliau akan gali sumbernya hingga tuntas, beserta keterkaitannya
dengan sumber-sumber lainnya.
Jika beliau hendak membuat sebuah karya
tari maka materi-materi yang hendak diramu selalu beliau pelajari terlebih
dahulu ke para orang-orang tua di Pedalaman Kabupaten Sanggau. Semuanya beliau
tanyakan dengan detail tentang asal usulnya hingga semua bahan dan persiapan
untuk membuat karya tersebut telah matang. Karena beliau selalu berhati-hati
supaya karya tersebut bisa ditampilkan dengan benar dan tidak melanggar
norma-norma dan identitas adat tradisi yang telah ada.
Beliau resmi memulai aktivitas
berkesenian tepatnya dalam bidang seni Tari di Kabupaten Sanggau sekitar tahun
1970-an dengan mempelopori sebuah organisasi Seni bernama Sanggar Action Daya
Tiong Kandang. Tetapi beliau tidak bertahan lama di Sanggar Seni tersebut
karena pada tahun 1972 beliau merintis sebuah Sanggar Seni yang bernama “DIS”
dari singkatan DHARMA INDAH SENI.
Beliau bercerita tentang sulitnya untuk
mencari murid-murid khususnya anak-anak wanita. Karena pada saat itu anak-anak
wanita sulit diizinkan oleh orang tua mereka untuk bergabung dalam oraganisasi
Seni khususnya menari. Karena pada waktu itu dikalangan orang-orang tua di
Kabupaten Sanggau begitu tabu jika anak-anak wanita mereka menari diatas
pentas.
Beliau pun terpaksa harus melakukan
pendekatan khusus dan merayu dengan berbagai bahasa yang lembut agar orang tua
dari anak-anak wanita tersebut bisa merestui anak-anak wanita mereka untuk
menari dan bergabung di Sanggar Tari yang telah dirintis oleh beliau. Interogasi
panjang lebar dari orang-orang tua tersebut harus beliau lalui. Dan dengan
pendekatan yang simpatik dan bahasa yang meyakinkan bahwa beliau akan
bertanggung jawab terhadap keamanan dan kebaikan untuk si anak tersebut,
akhirnya restu dari orang-orang tua tersebut bisa beliau dapatkan untuk
membimbing anak-anak wanita mereka di Sanggar beliau agar bisa disiapkan tampil
menari diatas pentas.
Dengan kekuatan “Tangan Dingin” yang
dimiliki oleh beliau banyak juga murid-murid hasil didikan beliau telah sukses
dan menjadi penari profesional. Bahkan ada beberapa murid beliau yang kini
telah membentuk Sanggar tari sendiri baik didalam Kabupaten Sanggau maupun
diluar Kabupaten Sanggau.
Sanggar Dis yang merupakan rintisan
beliau telah memperlihatkan prestasi yang luar biasa dengan mengangkat nama
Kabupaten Sanggau hingga ke Manca Negara. Bahkan Sanggar tersebut termasuk
salah satu Sanggar yang diperhitungkan setiap digelarnya kompetisi seni tari.
Banyak karya-karya beliau dalam bidang seni tari dan sebagian pernah di
shooting oleh TVRI. Bahkan beliau juga yang mendesain model dan motif pakaian
yang digunakan untuk menari.
Dahulunya setiap pagelaran hasil karya
seni tidaklah seperti sekarang. Pengharapan untuk tercukupi secara materi
sesuai kerja keras yang telah diperbuat harus diabaikan karena itu merupakan
hal yang tidak mungkin. Bisa-bisa akan dihantui oleh ketidak puasan yang
membuat kita berhenti berkarya. Kebanggaan dan kepuasan bathin dari terciptanya
hasil karya terbaik adalah sebagai motivasi dan dorongan semangat untuk terus
berkarya.
Beliau sangat prihatin kepada nasib
identitas Kebudayaan khususnya seni Tari di Kabupaten Sanggau pada saat ini
karena tidak lagi mencerminkan ciri khas Kabupaten Sanggau. Pengaruh-pengaruh dari
unsur luar begitu mencolok. Pencampuran gerak langkah tari pada saat ini sudah
tidak terkontrol lagi, sehingga sulit untuk menentukan jenis gerak langkah yang
ditampilkan. Sejelek-jeleknya ataupun semonoton-monotonnya gerak langkah tari
Kabupaten Sanggau hendaklah jangan ditinggalkan, karena itulah ciri khasnya.
Tetaplah dipertahankan dan dilestarikan sebagai penghargaan terhadap hasil buah
karya dari kerja keras para leluhur sebelumnya.
Beliau berpendapat, boleh saja ada
kolaborasi dengan unsur luar selama hal tersebut bersifat positif tetapi
hendaknya ciri khas dan tradisi yang ada di Kabupaten Sanggau janganlah sampai
hilang. Karenanya perlulah tindakan pelestarian dan penggalian lebih matang ke
fihak-fihak yang masih mengetahui tentang hal tersebut.
Pak William Bernard termasuk juga salah
seorang perintis berdirinya SMEA Negeri di Kabupaten Sanggau pada tahun 1968
bersama seorang guru bernama Bang Juani, Almarhum Pak Gusti Surya, Almarhum Pak
M. Arif yang telah pindah ke Pontianak dan Pak H. Syarif Yahya.
Selain itu, ketika awal mula Pemda di
Kabupaten Sanggau pada zaman Bapak Bupati Mustafa Sulaiman Siregar beliaulah
penggagas ide Lambang Pemda yang sebelumnya dan temannya yang bernama Azis yang
menggambarnya. Hanya sayang, Lambang tersebut tidak berlaku lagi karena sudah
ada pemisahan beberapa kecamatan dari Kabupaten Sanggau menjadi Kabupaten.
Bahkan beliau juga yang menyusun rancangan Peraturan Daerah. Beberapa hal
tersebut diatas merupakan hasil buah karya pemikiran beliau yang perlu
diketahui oleh masyarakat Kabupaten Sanggau.
Selanjutnya beliau membuka beberapa
dokumen yang telah usang sambil bercerita. Pada masa orde baru, banyak orang
Dayak yang malu dan takut mengaku dirinya Dayak, apalagi jika di pemerintahan,
mereka bisa tidak dipakai dan tidak bisa mendapat jabatan. Jika mereka mendapat
kesempatan untuk bersekolah lebih tinggi, maka pulangnya membawa pemikiran dari
luar agar dapat diterima di pemerintahan. Jika disuruh menulis sejarah dan
tradisi, maka mereka akan menulisnya mengikuti maunya pemerintah pada masa itu.
Jika tidak maka mereka akan disingkirkan. Sehingga lenyaplah sejarah dan
tradisi tersebut karena ia berambisi untuk mendapat jabatan.
Sejarah dan tradisi yang ada sekarang
adalah warisan dari penjajah yang tidak mau orang pribumi tahu asal usul
leluhurnya dan dipakai terus oleh pemerintah orde baru. Padahal sejarah dan
tradisi itu adalah ciptaan Belanda yang ingin terus menerus membodohi orang
pribumi agar terlihat bahwa orang pribumi itu primitif dan bodoh sehingga turun
temurun Belanda ingin menanamkan otaknya pada anak-anak pribumi. Tulisan
pribumi pada masa orde baru selalu mengutip tulisan Belanda padahal sudah tahu
bahwa Belanda itu penjajah dan tukang mengadu domba tetapi masih terus dipakai.
Sebenarnya dia tahu tentang itu, tapi karena ingin dapat jabatan atau tenar
maka dipakailah tulisan Belanda yang membodohkan itu.
Begitu juga sejarah dan tradisi Sanggau,
merupakan tulisan warisan Belanda yang dipakai terus hingga saat ini. Tulisan
dan sumber pribumi tidak boleh dipakai dan tidak boleh muncul karena akan
merugikan Belanda dan pemerintah orde baru pada masa itu. Sehingga nama-nama
ahli Belanda makin tenar namanya dengan tulisan yang membodohi pribumi.
Sambil memperlihatkan sebuah dokumen,
beliau melanjutkan ceritanya. Pada tahun 1980, beliau berusaha mengangkat
dokumen ini. Tapi yang terjadi beliau diasingkan dan akan disingkirkan karena
isinya tidak sesuai dengan maunya pemerintah pada masa itu. Pemerintah tetap
ingin isinya harus tetap perpusat pada pemerintah pusat, sehingga asal usul
pribumi ini harus berasal dari sana bagaimanapun caranya. Karena beliau tetap
berkeras ingin tetap sesuai dengan dokumen dan sumber yang beliau dapat,
sehingga usaha beliau untuk mengangkat dokumen tersebut gagal, bahkan beliau di
isukan macam-macam sehingga rusaklah nama beliau.
Sehingga sejarah dan tradisi Sanggau hingga
sekarang ini adalah warisan Belanda dan orde baru. Jika ingin mengangkat
dokumen ini, maka harus kuat, karena bisa-bisa akan disingkirkan orang karena
isinya bertolak belakang dengan tulisan yang ada. Beliau kemudian berkata,
bahwa dokumen-dokumen tersebut adalah koleksi miliknya, dan akan lebih baik
dilengkapi dengan pergi ke beberapa kampung yang ada di Kabupaten Sanggau yang
beliau sebutkan. Nanti di kampung-kampung tersebut temui nama-nama orang yang
beliau sebutkan, dan sampaikan saja bahwa tahu ini dari saya agar dibantu
mereka untuk melengkapi dokumen ini.
Selanjutnya beliau menunjukkan beberapa
dokumen lainnya tentang sejarah dan tradisi di luar Sanggau. Beliau juga
berpesan hal yang sama untuk pergi ke beberapa tempat di luar Sanggau dan
menemui orang-orang yang beliau sebutkan nama-namanya. Nanti di tempat-tempat
itu sampaikan juga bahwa tahu ini dari saya agar mereka mau membantu.
Pada kesempatan itu juga beliau berpesan
kepada Generasi Muda Kabupaten Sanggau bahwa orang Dayak dahulunya ketika
terdengar bunyi Gong maka tanpa disadari jiwanya akan terhipnotis dengan
spontan tubuhnya bergerak mengikuti alunan gong tersebut begitulah semestinya
sebagai orang yang berbudaya. Kebudayaan harus segera digerakkan karena telah
dibunyikan sejak lama. Ikuti irama tersebut tanpa harus dikomando. Jika situasi
tersebut tidak ada reaksi, berarti kebudayaan tidak pernah masuk kedalam jiwa,
yang tentunya cepat atau lambat kebudayaan dan tradisi yang ada di Kabupaten
Sanggau akan punah. Jika ini terjadi akan merugikan masyarakat Kabupaten
Sanggau sendiri karena identitas Kabupaten Sanggau akan bermutasi ke kebudayaan
lain.
Tanpa terasa rupanya hari telah malam.
Ternyata lama juga kami bertemu pada hari itu. Saya kemudian menyudahi
kunjungan saya pada hari itu dirumah beliau. Setelah berterima kasih atas
jamuan hangat dari beliau saya pun bersalaman dan mencium tangan beliau, sekali
lagi rasa haru tidak bisa beliau bendung. Terlihat mata beliau berkaca-kaca
berusaha menahan haru yang terpendam.
Kemudian saya pun melangkah keluar dari
rumah tersebut. Menghidupkan kendaraan saya dan langsung pergi meninggalkan
tempat kediaman Bapak William Bernard yang telah lama bergelut dengan
penyakitnya.
Terima
kasih Pak Bernard, cita-cita Bapak agar sejarah dan tradisi bisa kembali hidup
di Kabupaten Sanggau akan selalu saya ingat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar