Sabtu, 05 Mei 2018

JALAN-JALAN SEPUTAR SANGGAU : H. ACHMAD ARIEF

JALAN-JALAN SEPUTAR SANGGAU
* H. ACHMAD ARIEF *

Minggu, 14 Oktober 2012, pukul 09:30 saya menemui Bapak H. Achmad Arief atau yang sering dipanggil dengan sebutan Long Kayi. Rumah Long Kayi ini berlokasi di Mungguk Badang Sanggau. Sebulan lebih saya menunggu kesempatan untuk bertemu dengan Long Kayi karena beliau pada masa itu sedang berada di Pontianak. Hingga akhirnya saya dapat informasi dari anak perempuan beliau bahwa Long Kayi nanti hari Minggu sudah ada di rumah. Setelah membuat janji lewat anak perempuan Long Kayi maka pergilah saya ke rumah Long Kayi pada hari itu.
Ketika saya tiba di rumah Long Kayi, rupanya saya sudah ditunggu oleh istri beliau di teras rumahnya. Maka langsung saja saya disuruh masuk kedalam rumah ketika istri Long Kayi melihat kedatangan saya. Long Kayi dan istrinya memang kenal dengan saya karena istri saya masih berpangkat cucuk dengan Long Kayi, dimana nenek istri saya adalah sepupunya Long Kayi. Setelah saya masuk ke rumah, istri Long Kayi langsung memberitahukan kepada Long Kayi bahwa saya sudah datang.
Setelah mendapat pemberitahuan dari istrinya itu, keluarlah Long Kayi sambil membawa setumpuk dokumen. Saya kemudian langsung bersalaman dan mencium tangannya. Sambil tersenyum Long Kayi bertanya mengapa datang sendiri, tidak bersama istri. Saya menjawab bahwa istri sedang menjaga anak di rumah yang pada saat itu sedang berumur dua tahun lebih.
Selanjutnya kami duduk di ruang tamu dan Long Kayi menyuruh saya untuk duduk disampingnya, sedangkan istri Long Kayi duduk di hadapan kami. Long Kayi kemudian bertanya sudah kemana saja sebelum bertemu dengan beliau. Maka saya katakan bahwa saya sebelumnya ingin bertemu Long Kayi terlebih dahulu tapi karena Long Kayi sedang berada di Pontianak, maka saya bertemu Pak Long Va’i atau Bapak Muhammad Riva’i Napis dahulu.
Long Kayi bertanya, dapat apa dari Long Va’i, maka saya katakan banyak yang didapat. Apa-apa saja tanya Long Kayi. Saya katakan selain berbagai cerita, saya juga diberikan beberapa dokumen dan bertumpuk tulisan Pak Long Va’i tentang Asal Mula Kampung Kantu’, Asal Usul Dara Nante dan Babay Cinga’ serta Sejarah Sanggau. Hanya saja Pak Long Va’i berpesan bahwa berbagai dokumen dan tulisan-tulisan itu pernah diangkatnya ketika beliau masih sebagai Lurah yaitu pada masa Bupati Sulaiman Siregar tetapi gagal karena kalah dengan mereka yang muda-muda bergelar Sarjana. Kemudian pada masa Bupati Baisuni juga pernah diangkatnya lagi dokumen dan tulisan itu tetapi tetap juga tidak bisa diterima oleh mereka yang muda-muda bergelar Sarjana. Akhirnya Pak Long Va’i memilih untuk diam dan membiarkan saja tulisan-tulisan yang ada itu daripada ribut dengan yang muda-muda.
Bahkan Pak Long Va’i berkata bahwa jika tidak ada yang muda-muda mengangkatnya ini maka akan dibawanya mati saja apa-apa yang telah didapatnya dari orang-orang tua dahulu. Biarkan saja Sanggau ini kabur jika perlu hilang sejarahnya. Dan Pak Long Va’i selalu bertanya kepada saya apakah saya sanggup mengangkat sejarah ini, karena nanti kamu akan dibenci orang dan diasingkan, karena beliau sudah pernah merasakan situasi tersebut. Saya hanya bisa berkata bahwa saya akan coba semampu saya. Pak Long Va’i juga berkata untuk melengkapi dokumen dan tulisan itu maka saya harus menemui beberapa orang tua diantaranya yaitu Long Kayi dan Pak Bernard.
Mendengar cerita saya tersebut Long Kayi membenarkan situasi yang pernah dialami oleh Pak Long Va’i itu. Bahkan Pak Long Va’i kehilangan teman-temannya yang sebelumnya membenarkan ceritanya. Memang yang jadi kendala bagi yang tua-tua ini adalah jika berhadapan dengan mereka yang muda-muda bergelar Sarjana, apalagi jika sudah sekolah jauh hingga ke Jawa dan Luar Negeri, mereka tidak bisa menerima sumber dari yang tua-tua karena dikatakan tidak sesuai dengan tulisan-tulisan yang sudah ada. Sedangkan tulisan-tulisan itu berasal dari Belanda dan dari orang-orang luar, namun mereka tidak juga mau memahaminya. Yang tua-tua kalah karena bukan bergelar Sarjana. Jadi lebih baik diam saja dan membiarkan semuanya sesuai maunya mereka saja.
Selanjutnya Long Kayi bertanya apa-apa yang didapat dari Pak Bernard. Saya katakan bahwa saya mendapat berbagai dokumen dan Pak Bernard juga berpesan hal yang sama seperti Pak Long Va’i bahwa harus kuat jika ingin mengangkat sejarah ini karena bertolak belakang dengan tulisan-tulisan yang ada. Pak Bernard juga berpesan bahwa untuk melengkapi dokumen-dokumen darinya maka saya harus menemui Long Kayi.
Mendengar cerita saya itu, Long Kayi membenarkan bahwa dahulunya Pak Bernard pernah akan mengangkat sejarah ini tapi gagal, bahkan Pak Bernard diisukan macam-macam sehingga ia memilih untuk diam. Apalagi Pak Bernard itu orang luar, bukan orang Sanggau sehingga makin sulit situasinya. Dan itu bisa terjadi kepada kamu, kata Long Kayi kepada saya. Karena kamu itu bukan orang Sanggau, kamu hanya bawaan saja karena istrimu orang Sanggau. Kira-kira kamu sanggup tidak mengangkat sejarah ini. Jika tidak sanggup lebih baik diam saja, dan cukup saja apa-apa yang telah kamu ketahui ini untuk dirimu saja. Kasihan kamu nanti dimusuhi. Mendapat pertanyaan dari Long Kayi itu saya tidak bisa menjawabnya. Hanya bisa terdiam saja.
Melihat saya terdiam, Long Kayi melanjutkan pertanyaannya apakah saya sudah bertemu dengan Ngah Aim atau Bapak Ade Ibrahim. Saya katakan bahwa saya sudah bertemu Ngah Aim beberapa bulan yang lalu yaitu pada bulan Mei. Kemudian Long Kayi bertanya, apa-apa yang telah didapatkan dari Ngah Aim. Saya katakan bahwa saya mendapatkan beberapa versi silsilah, kronologis adanya makam di Mengkiang, pemindahan makam raja-raja yang sekarang ada di pemakaman Giri yang dahulunya berada di sekitar rumah Penghulu di Kantu’, kronologis penggantian nama Masjid Jami’ Kantu’ dan berbagai informasi tentang zapin Melayu Sanggau.
Mendengar jawaban saya tersebut, Long Kayi kemudian menjelaskan bahwa Mengkiang itu awal mula dibuka kembali pada masa Bupati M. Th. Djaman yang memberikan perhatian dengan mengajak masyarakat Mengkiang untuk membersihkan wilayah Mengkiang setahun sekali. Temenggung Mengkiang pada masa itu Pak Jailani, anaknya Temenggung Majid. Pada masa itu belum ada cerita tentang makam disana. Apa-apa yang dimiliki dan diketahui Temenggung Jailani ini sama dengan Pak Long Va’i.
Pada masa Bupati Sulaiman Siregar, gundukan tanah panjang yang ada didalam Mengkiang itu dibuatkan rumah agar tidak rusak, dan belum ada juga cerita tentang makam disana. Baru pada masa Bupati Baisuni, beberapa mereka yang muda-muda dari luar pulang ke Sanggau sering pergi bersemadi ke Mengkiang. Dari mereka ini dikatakan kalau gundukan tanah panjang itu adalah makam-makam raja. Kemudian mereka bawa orang-orang dari luar pergi bersemadi di Mengkiang, orang-orang ini bilang itu makam-makam raja. Kemudianlah mereka itu menyampaikan kepada Bupati Baisuni kalau di Mengkiang itu ada makam-makam raja. Bupati Baisuni yang sangat perhatian dengan masyarakat kemudian memberi bantuan agar dibuatkan rumah dan diberi nama. Maka sejak itulah muncul makam-makam di Mengkiang itu.
Long Kayi selanjutnya berkata bahwa artinya saya sudah mendapatkan dokumen dan informasi dari Melayu yang bersumber dari Pak Long Va’i dan dokumen dan informasi dari Dayak yang bersumber dari Pak Bernard, artinya Long Kayi tinggal melengkapi dokumen dan informasi dari Kerajaan. Maka Long Kayi kemudian bercerita sambil membuka dokumen-dokumen Kerajaan yang dimilikinya.
Nama lengkap Long Kayi adalah H. Achmad Arief, lahir tanggal 11 Mei 1928 di Kampung Kantu’ Sanggau. Ayahnya bernama M. Arief anak dari Panembahan H. M. Said Paku Negara yang merupakan salah seorang raja Sanggau. Ibunya bernama Dayang Masni anak dari Abang H. Ahmad seorang penghulu agama di Keraton Surya Negara Sanggau.
Abang H. Ahmad adalah anaknya H. M. Yusuf yang juga merupakan Penghulu Sanggau. Nama H. M. Yusuf ini ada beberapa pada masa itu, yang kebetulan juga menjabat sebagai Penghulu Sanggau tapi pada periode yang berbeda dan Raja yang berbeda. H. M. Yusuf adalah anaknya Temenggung Mengkiang yang menikah dengan perempuan Dayak dari Lape bernama Dayang Apeh, maka lahirlah Abang H. Ahmad tadi.
H. M. Yusuf ketika Abang H. Ahmad masih kecil meninggal dunia. Dayang Apeh kemudian menikah lagi dengan Abang Umar. Sehingga adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Abang H. Ahmad itu anaknya Abang Umar, padahal beliau itu anaknya H. M. Yusuf. Abang Umar itu adalah bapak tirinya saja.
Ibunya Long Kayi yaitu Dayang Masni tadi memiliki beberapa saudara perempuan yaitu Dayang Masluyah dan Dayang Maslijah. Dayang Masluyah menikah dengan Abang Daud, anaknya Haji Mas Saleh. Haji Mas Saleh ini keturunan Penghulu juga yaitu keturunan Penghulu Muhammad Shaman dari Banjar Masin yang pada masa itu juga sebagai penyebar agama Islam di Melawi, Kapuas Hulu, Sintang dan Sanggau.
Ketika Dayang Masluyah meninggal dunia, Abang Daud menikah lagi dengan adik kandungnya Dayang Masluyah yaitu Dayang Maslijah, maka lahirlah Lau Ratna. Lau Ratna kemudian menikah dengan sepupunya yaitu Abang Yunus, anaknya Abang Machmud, yang juga merupakan saudara kandung Abang Daud. Abang Yunus dan Lau Ratna ini adalah kakek dan nenek dari istri saya.
Selanjutnya, ayah Long Kayi atau H. Achmad Arief ketika menikahi Ibundanya belum memiliki pekerjaan tetap, kesehariannya hanya bekerja menyadap karet di kebun milik orangtuanya yaitu Panembahan H. M. Said Pakunegara. Luas kebun karet milik Panembahan H. M. Said Pakunegera dimulai dari Sungai Aur hingga Sungai Liku. Karena begitu luasnya lahan kebun karet tersebut sehingga H. M. Said sebelum menjadi Panembahan sudah menetap di Kampung Beringin guna menjaga kebun karet tersebut.
Ayah dari Panembahan H. M. Said Pakunegara adalah Panembahan Muhammad dan Ibunya berasal dari Kampung Lintang bernama Nek Siyot atau Ratu Aisyah. Dari Panembahan Muhammad dan Nek Siyot atau Ratu Aisyah ini melahirkan dua orang anak yaitu Panembahan Sulaiman Pakunegara dan Panembahan H. M. Said Pakunegara.
Ayah dari H. Achmad Arief ini hanya tamatan Sekolah Dasar saja karena pada waktu itu di Kota Sanggau tidak ada sekolah setingkat SLTP begitu juga di Pontianak, sehingga jika hendak melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP harus ke Jakarta. Sekitar tahun 1932 ayah beliau yang sebelumnya hanya bekerja menyadap karet menjadi Pegawai Swapraja sebagai Pembantu Juru Tulis di Onderdistrick / Kecamatan Jangkang tepatnya diwilayah Balai Sebut. Selanjutnya Ayah beliau diangkat menjadi Assisten Demang di Onderdistrick / Kecamatan Bonti.
Pada tahun 1942 ketika Jepang memasuki Sanggau bersamaan dengan kalahnya tentara Belanda ditangan Jepang, ayah beliau yaitu M. Arief diangkat sebagai Panembahan Sanggau yang pada masa itu bergelar Dokoh. Hingga kemudian malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, Ayahanda tercinta yaitu M. Arief ditangkap oleh tentara Jepang. Penangkapan tersebut serentak dilakukan diseluruh wilayah Kalimantan Barat terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap punya pengaruh besar dan membahayakan posisi Jepang yang telah menguasai wilayah Kalimantan Barat. Hingga akhirnya penangkapan tokoh-tokoh masyarakat tersebut bermuara di wilayah Mandor dengan pembantaian besar-besaran terhadap tokoh-tokoh masyarakat tersebut.
Selanjutnya Long Kayi menjelaskan dokumen wasiat dan silsilah Raja Sanggau ke-14 yaitu Gusti Ahmad Putera Negara yang dibuang Belanda ke Purwakarta. Dalam dokumen tersebut terlihat urutan raja-raja dari yang pertama hingga sampai kepada ayah beliau. Diatas Raja ke-14 yaitu Gusti Ahmad Putera Negara adalah Gusti Muhammad Thahir II sebagai Raja ke-13. Selanjutnya Raja ke-12 adalah Pangeran Abdul Fatah, nama Raja ini tidak mau memerintah di Sanggau karena menolak kontrak dengan Belanda. Raja ini kemudian menyingkir ke Balai Nanga dan wafat disana, dan makamnya masih ada di Balai Nanga. Kemudian Raja ke-11 adalah Panembahan Muhammad, yaitu moyangnya Long Kayi. Kemudian Raja ke-10 adalah Sultan Ayyub atau disebut juga Syekh Ghaib. Sultan Ayyub memiliki adik kandung bernama Syekh Kayut yang menetap di Sekadau. Kemudian Raja ke-9 adalah Sultan Muhammad Ali. Sultan Muhammad Ali ini tdk sama dengan Gusti Muhammad Ali yang menjadi Raja Sanggau ke-16 karena beda jalur dan beda Bapaknya. Sultan Muhammad Ali inilah yang anaknya bernama Pangeran Abdul Fatah yang menolak kontrak dengan Belanda dan menyingkir ke Balai Nanga. Kemudian Raja ke-15 adalah Panembahan Sulaiman hingga sampailah urutan kepada Raja ke-19 yaitu ayah Long Kayi, Panembahan Muhammad Arief yang ditangkap Jepang.
Selanjutnya Long Kayi menyampaikan beberapa dokumen milik Penghulu Sanggau yang telah usang. Long Kayi meminta agar dokumen-dokumen tersebut diselamatkan karena kondisinya telah lapuk, jika bisa dokumen-dokumen tersebut ditulis ulang karena banyak terdapat data-data penting dari para Penghulu Sanggau. Saya pun menyanggupinya.
Pertemuan kami pada hari itu hingga lewat sore hari. Banyak hal yang disampaikan oleh Long Kayi. Karena masih banyak yang harus disampaikan berkenaan dengan dokumen-dokumen Kerajaan dan milik Penghulu maka Long Kayi menyampaikan agar saya datang lagi minggu depan. Saya pun menyanggupinya. Selanjutnya saya menyalami dan mencium tangan Long Kayi dan istrinya, setelah itu saya pamit pulang dan berjanji akan datang lagi minggu depan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...