DIARI RINA 1997
Senin, 30 Desember 1996 malam, aku
resmi putus. Setelah dua tahun berpacaran sejak di kelas 2 SMA. Masih ku ingat
pertengkaran kami karena aku tidak bisa mewujudkan keinginan orang tuanya untuk
cepat-cepat menikah, karena aku masih kuliah semester satu. Maka kandaslah
semua mimpi yang akan dibangun bersama.
Malam tahun baru 1997, aku coba
datang ke rumahnya, hanya ingin meminta kepada orang tuanya agar aku diberi
kesempatan hingga selesai kuliahku untuk menikahinya. Aku ditemui ayahnya
diluar rumah dan hanya disampaikan saja bahwa dia sudah tidak ada di Pontianak.
Aku bertanya dengan nada mendesak kemana dia. Namun ayahnya tidak mau
memberitahu kemana dia. Aku bahkan disuruh pergi dan jangan lagi mencari-cari
dia.
Kacau sekali perasaanku malam itu.
Marah, kesal, kecewa, semua campur aduk. Sulit terkatakan lagi. Dengan perasaan
berkecamuk, terpaksa aku pergi juga dari rumahnya. Malam tahun baru itu harus
ku lalui dengan perasan yang bergejolak. Bunyi riuh dan meriahnya kembang api
serasa sunyi bagiku.
Seminggu kemudian, ku coba datang ke
rumahnya. Tapi tidak dibukakan pintu, padahal ku tahu bahwa ada orang
dirumahnya. Minggu selanjutnya ku coba datang lagi, dan perlakuan yang sama ku
dapatkan, pintu rumahnya tidak terbuka untukku. Aku pun berusaha menahan diri.
Berusaha untuk tidak datang ke rumahnya dan berusaha melupakannya. Namun pada
bulan Februari 1997 gejolak hatiku tidak terbendung lagi. Aku coba datang lagi
ke rumahnya, dengan pengharapan ada yang membukakan pintu agar aku dapat
bertanya pergi kemana dia. Namun pengharapanku itu juga kandas, pintu rumahnya
tetap tidak terbuka untukku.
Akhir Maret 1997, aku dapat kabar
dari teman sekolahku yang akrab dengannya bahwa dia berada di Bandung dan telah
menikah. Bagai petir berita itu ku terima, seakan kakiku tidak jejak di bumi
lagi. Mataku terasa gelap, dan tak dapat mengendalikan diriku lagi. Dari teman
sekolahku itu ku dapatkan nomor telpon kakaknya di Bandung. Maka saat itu juga
aku pergi ke telpon umum dan menghubungi nomor tersebut.
Syukurlah telpon ku itu diangkat,
dan yang mengangkatnya adalah kakaknya yang tidak menyangka bahwa yang menelpon
adalah aku. Kakaknya sangat kaget setelah tahu bahwa yang menelpon adalah aku,
tetapi langsung ku desak untuk memberitahu keberadaanya. Karena terus ku desak
akhirnya berkata juga kakaknya bahwa dia telah menikah sebulan yang lalu dan
meminta aku untuk tidak lagi mencarinya. Telpon itu ditutup begitu saja oleh
kakaknya, sedang aku masih memegang telpon terdiam tak sanggup lagi berkata.
Cukup lama aku didalam telpon umum itu karena pikiranku kacau dan tubuhku terasa
sangat lemas. Hingga ada orang yang mengetuk pintu yang membuatku tersadar
karena rupanya telah lama menungguku keluar dari dalam ruangan telpon umum itu.
------------------------
Mei 1997, fikiranku semakin kacau.
Telah sebulan aku bertingkah tak karuan, dan mulai mengenal rokok. Aku yang
baru mengenal rokok itu sehari habis 2 – 3 bungkus Gudang Garam Filter, hanya
untuk menyalurkan kacaunya fikiranku. Kuliahku pun berantakan. Aku jarang masuk
kuliah dan jarang pulang ke rumah. Inilah masa yang merubah cara hidupku.
Rabu, 7 Mei 1997, ku rasakan kecamuk
di jiwaku tak dapat ku kendalikan lagi, maka pergilah aku ke luar kota. Ku
kendarai motor Suzuki Jet Cooled ku tanpa tujuan. Motorku terus melaju dengan
pikiranku yang kacau. Hingga ketika aku sampai di Mempawah, maka terlintaslah
ingatan kepada Yudi, temanku di Pemangkat.
Yudi ku kenal waktu aku camping ke
Tanjung Batu di Pemangkat ketika sekolah dulu. Rumahnya berada di kawasan Tanjung
Batu. Maka langsung saja ku laju motorku menuju Pemangkat sambil berharap Yudi
masih tinggal disana dan masih ingat denganku.
------------------------
Menjelang sore aku tiba di Tanjung
Batu Pemangkat. Motorku langsung menuju rumah Yudi yang arah jalannya berusaha
ku ingat. Meski sempat kebingungan, namun dengan bertanya pada penduduk, sampai
juga aku dirumah Yudi. Syukurnya Yudi masih tinggal disana dan orangtuanya
masih mengingat ku.
Orangtua Yudi dengan keramahannya
bertanya tentang kabarku, dan ku jawab saja bahwa aku baik-baik saja dan datang
ingin berlibur. Orangtuanya dengan senang hati menerimaku namun Yudi pada saat
itu sedang memancing di Tanjung Batu jadi ditunggu saja karena sebelum Maghrib
biasanya sudah pulang. Maka berbincang-bincanglah aku dengan orangtua Yudi
sambil menunggunya pulang. Dan betul saja, sebelum Maghrib Yudi pulang ke
rumah. Yudi yang masih mengingatku sempat kaget juga melihat aku ada di
rumahnya. Kami kemudian saling bertanya kabar satu sama lain, dan ku sampaikan
bahwa aku ingin berlibur di tempatnya. Sama seperti orangtuanya, Yudi sangat
senang aku berlibur di tempatnya.
Setelah berbincang-bincang sesaat,
Yudi membawaku ke kamarnya. Ku simpan tasku, dan ku ikuti Yudi untuk mandi
karena hari hampir Maghrib. Setelah mandi ku ikuti Yudi Sholat Maghrib di Surau
dekat rumahnya. Kami di Surau itu hingga Isya’. Sambil menunggu Isya’ kami
berbincang-bincang berbagai hal termasuk ku ceritakan masalahku hingga aku
berada di tempatnya. Yudi tertawa dan hanya bisa berkata bahwa aku harus
bersabar menghadapi masalah tersebut.
------------------------
Selepas Sholat Isya’ di Surau, Yudi
mengajakku makan malam karena ibunya telah menyiapkan makan malam. Setelah
makan malam, Yudi mengajakku bermain ke Tanjung Batu agar aku terhibur karena
jika malam di Tanjung Batu ramai pemuda pemudi yang berkumpul di tepi pantai
Tanjung Batu. Aku mengikutinya saja karena memang aku perlu hiburan agar lupa
masalah yang sedang ku alami.
Setibanya di tepi pantai Tanjung
Batu, kami duduk di tumpukan batu besar yang banyak disana. Belum lama kami
duduk dan berbincang-bincang, rupanya tidak jauh dari kami duduk ada beberapa
teman wanita Yudi yang sedang bersantai dan memanggil Yudi untuk bergabung
dengan mereka. Yudi mengajakku untuk menghampiri teman-teman wanitanya itu,
namun aku enggan mengikutinya. Aku katakan bahwa aku ingin duduk sendiri dulu
sambil menikmati malam di tepi pantai. Yudi memahaminya, dan berpesan agar aku
tidak kemana-mana, duduk disitu saja agar dia bisa melihatku. Aku pun
mengiyakan pesan Yudi itu.
Beberapa saat aku duduk sendiri
sambil memandang laut dan bergelut dengan fikiranku sendiri. Sangat terdengar
jelas canda tawa Yudi bersama teman-teman wanitanya. Telah beberapa kali Yudi
melambaikan tangannya memanggilku untuk bergabung dengan teman-teman wanitanya
tapi aku hanya menjawab dengan isyarat tangan saja bahwa aku masih ingin duduk
sendiri di tempat itu.
Hingga ku rasakan bosan, dan ku
lihat tidak jauh dari tempatku duduk ada sebuah pondok kosong bekas tempat
orang berjualan. Hatiku pun tergerak untuk duduk di pondok itu. Maka pindahlah
aku ke pondok tersebut. Yudi meskipun asyik bercanda tawa dengan teman-teman
wanitanya, namun ia terus mengawasiku dan memberi isyarat agar aku tidak pergi
kemana-mana. Aku pun dengan isyarat memberitahu bahwa aku pindah duduk di
pondok yang tidak jauh dari tempatku semula dan tidak jauh juga dari tempatnya
berkumpul. Yudi dengan isyarat mengiyakan aku untuk berpindah duduk karena aku
masih bisa dilihatnya dari tempatnya berkumpul.
Untuk beberapa waktu aku duduk di
pondok itu. Angin pantai yang kencang dan deru ombak menjadi irama yang
menghibur hatiku. Hingga tanpa ku sadari, telah berdiri seorang wanita di bawah
ujung atap daun pondok tersebut. Aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Beberapa
kali kami saling berpandangan. Hingga ku lihat wanita itu berjalan memasuki
pondok tempat ku duduk. Dengan nada lembut dan ramah ia meminta izin untuk
menumpang duduk juga di pondok tersebut. Aku pun mempersilahkannya. Wanita itu
pun duduk tidak jauh dari tempatku duduk.
Untuk beberapa saat kami saling
diam. Hingga wanita itu membuka pembicaraan mengapa aku sendiri di pondok itu.
Aku katakan bahwa aku tidak sendiri. Aku bersama temanku yang sedang berkumpul
dengan teman-teman wanitanya tidak jauh dari tempatku sambil menunjukkan tempat
mereka. Ku lihat wanita itu tersenyum. Kemudian ia memperkenalkan diri, Rina
namanya, dia sedang menghibur diri ditempat itu. Aku juga memperkenalkan diri
dan menjawab yang sama bahwa aku juga sedang menghibur diri. Selanjutnya aku
dan Rina larut dalam perbincangan yang akrab.
Cukup lama aku berbincang-bincang
dengan Rina. Hingga ku lihat Yudi berjalan menghampiri pondok tempat ku duduk.
Ketika telah mendekatiku, Yudi bertanya mengapa betah duduk sendiri di pondok
itu. Aku tertawa dan berkata bahwa aku tidak sendiri, sambil menunjuk ke arah
tempat Rina duduk yang tidak jauh dari ku. Namun tawaku terhenti, karena ku
lihat Rina sudah tidak ada lagi disitu. Yudi yang ikut menolah ke arah yang ku
tunjuk jadi terdiam, karena dia juga tidak melihat siapa-siapa disitu. Kami
berdua hening sejenak, kemudian Yudi tertawa sambil berkata kalau putus cinta
jangan sampai putus akal. Sambil terus bercanda agar suasana tidak mencekam, Yudi
kemudian mengajakku pulang.
Meski Yudi terus bercanda sepanjang
pulang ke rumahnya, namun aku masih bertanya-tanya kemana Rina yang duduk
bersamaku di pondok itu. Jika ia pergi, mengapa tidak ku lihat ia keluar dari
pondok itu. Dan mengapa ia tidak bilang jika akan pergi. Berbagai pertanyaan
memenuhi pikiranku.
------------------------
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar