Senin, 07 Mei 2018

DIARI RINA 1997

DIARI RINA 1997

Senin, 30 Desember 1996 malam, aku resmi putus. Setelah dua tahun berpacaran sejak di kelas 2 SMA. Masih ku ingat pertengkaran kami karena aku tidak bisa mewujudkan keinginan orang tuanya untuk cepat-cepat menikah, karena aku masih kuliah semester satu. Maka kandaslah semua mimpi yang akan dibangun bersama.
Malam tahun baru 1997, aku coba datang ke rumahnya, hanya ingin meminta kepada orang tuanya agar aku diberi kesempatan hingga selesai kuliahku untuk menikahinya. Aku ditemui ayahnya diluar rumah dan hanya disampaikan saja bahwa dia sudah tidak ada di Pontianak. Aku bertanya dengan nada mendesak kemana dia. Namun ayahnya tidak mau memberitahu kemana dia. Aku bahkan disuruh pergi dan jangan lagi mencari-cari dia.
Kacau sekali perasaanku malam itu. Marah, kesal, kecewa, semua campur aduk. Sulit terkatakan lagi. Dengan perasaan berkecamuk, terpaksa aku pergi juga dari rumahnya. Malam tahun baru itu harus ku lalui dengan perasan yang bergejolak. Bunyi riuh dan meriahnya kembang api serasa sunyi bagiku.
Seminggu kemudian, ku coba datang ke rumahnya. Tapi tidak dibukakan pintu, padahal ku tahu bahwa ada orang dirumahnya. Minggu selanjutnya ku coba datang lagi, dan perlakuan yang sama ku dapatkan, pintu rumahnya tidak terbuka untukku. Aku pun berusaha menahan diri. Berusaha untuk tidak datang ke rumahnya dan berusaha melupakannya. Namun pada bulan Februari 1997 gejolak hatiku tidak terbendung lagi. Aku coba datang lagi ke rumahnya, dengan pengharapan ada yang membukakan pintu agar aku dapat bertanya pergi kemana dia. Namun pengharapanku itu juga kandas, pintu rumahnya tetap tidak terbuka untukku.
Akhir Maret 1997, aku dapat kabar dari teman sekolahku yang akrab dengannya bahwa dia berada di Bandung dan telah menikah. Bagai petir berita itu ku terima, seakan kakiku tidak jejak di bumi lagi. Mataku terasa gelap, dan tak dapat mengendalikan diriku lagi. Dari teman sekolahku itu ku dapatkan nomor telpon kakaknya di Bandung. Maka saat itu juga aku pergi ke telpon umum dan menghubungi nomor tersebut.
Syukurlah telpon ku itu diangkat, dan yang mengangkatnya adalah kakaknya yang tidak menyangka bahwa yang menelpon adalah aku. Kakaknya sangat kaget setelah tahu bahwa yang menelpon adalah aku, tetapi langsung ku desak untuk memberitahu keberadaanya. Karena terus ku desak akhirnya berkata juga kakaknya bahwa dia telah menikah sebulan yang lalu dan meminta aku untuk tidak lagi mencarinya. Telpon itu ditutup begitu saja oleh kakaknya, sedang aku masih memegang telpon terdiam tak sanggup lagi berkata. Cukup lama aku didalam telpon umum itu karena pikiranku kacau dan tubuhku terasa sangat lemas. Hingga ada orang yang mengetuk pintu yang membuatku tersadar karena rupanya telah lama menungguku keluar dari dalam ruangan telpon umum itu.

------------------------

Mei 1997, fikiranku semakin kacau. Telah sebulan aku bertingkah tak karuan, dan mulai mengenal rokok. Aku yang baru mengenal rokok itu sehari habis 2 – 3 bungkus Gudang Garam Filter, hanya untuk menyalurkan kacaunya fikiranku. Kuliahku pun berantakan. Aku jarang masuk kuliah dan jarang pulang ke rumah. Inilah masa yang merubah cara hidupku.
Rabu, 7 Mei 1997, ku rasakan kecamuk di jiwaku tak dapat ku kendalikan lagi, maka pergilah aku ke luar kota. Ku kendarai motor Suzuki Jet Cooled ku tanpa tujuan. Motorku terus melaju dengan pikiranku yang kacau. Hingga ketika aku sampai di Mempawah, maka terlintaslah ingatan kepada Yudi, temanku di Pemangkat.
Yudi ku kenal waktu aku camping ke Tanjung Batu di Pemangkat ketika sekolah dulu. Rumahnya berada di kawasan Tanjung Batu. Maka langsung saja ku laju motorku menuju Pemangkat sambil berharap Yudi masih tinggal disana dan masih ingat denganku.

------------------------

Menjelang sore aku tiba di Tanjung Batu Pemangkat. Motorku langsung menuju rumah Yudi yang arah jalannya berusaha ku ingat. Meski sempat kebingungan, namun dengan bertanya pada penduduk, sampai juga aku dirumah Yudi. Syukurnya Yudi masih tinggal disana dan orangtuanya masih mengingat ku.
Orangtua Yudi dengan keramahannya bertanya tentang kabarku, dan ku jawab saja bahwa aku baik-baik saja dan datang ingin berlibur. Orangtuanya dengan senang hati menerimaku namun Yudi pada saat itu sedang memancing di Tanjung Batu jadi ditunggu saja karena sebelum Maghrib biasanya sudah pulang. Maka berbincang-bincanglah aku dengan orangtua Yudi sambil menunggunya pulang. Dan betul saja, sebelum Maghrib Yudi pulang ke rumah. Yudi yang masih mengingatku sempat kaget juga melihat aku ada di rumahnya. Kami kemudian saling bertanya kabar satu sama lain, dan ku sampaikan bahwa aku ingin berlibur di tempatnya. Sama seperti orangtuanya, Yudi sangat senang aku berlibur di tempatnya.
Setelah berbincang-bincang sesaat, Yudi membawaku ke kamarnya. Ku simpan tasku, dan ku ikuti Yudi untuk mandi karena hari hampir Maghrib. Setelah mandi ku ikuti Yudi Sholat Maghrib di Surau dekat rumahnya. Kami di Surau itu hingga Isya’. Sambil menunggu Isya’ kami berbincang-bincang berbagai hal termasuk ku ceritakan masalahku hingga aku berada di tempatnya. Yudi tertawa dan hanya bisa berkata bahwa aku harus bersabar menghadapi masalah tersebut.

------------------------

Selepas Sholat Isya’ di Surau, Yudi mengajakku makan malam karena ibunya telah menyiapkan makan malam. Setelah makan malam, Yudi mengajakku bermain ke Tanjung Batu agar aku terhibur karena jika malam di Tanjung Batu ramai pemuda pemudi yang berkumpul di tepi pantai Tanjung Batu. Aku mengikutinya saja karena memang aku perlu hiburan agar lupa masalah yang sedang ku alami.
Setibanya di tepi pantai Tanjung Batu, kami duduk di tumpukan batu besar yang banyak disana. Belum lama kami duduk dan berbincang-bincang, rupanya tidak jauh dari kami duduk ada beberapa teman wanita Yudi yang sedang bersantai dan memanggil Yudi untuk bergabung dengan mereka. Yudi mengajakku untuk menghampiri teman-teman wanitanya itu, namun aku enggan mengikutinya. Aku katakan bahwa aku ingin duduk sendiri dulu sambil menikmati malam di tepi pantai. Yudi memahaminya, dan berpesan agar aku tidak kemana-mana, duduk disitu saja agar dia bisa melihatku. Aku pun mengiyakan pesan Yudi itu.
Beberapa saat aku duduk sendiri sambil memandang laut dan bergelut dengan fikiranku sendiri. Sangat terdengar jelas canda tawa Yudi bersama teman-teman wanitanya. Telah beberapa kali Yudi melambaikan tangannya memanggilku untuk bergabung dengan teman-teman wanitanya tapi aku hanya menjawab dengan isyarat tangan saja bahwa aku masih ingin duduk sendiri di tempat itu.
Hingga ku rasakan bosan, dan ku lihat tidak jauh dari tempatku duduk ada sebuah pondok kosong bekas tempat orang berjualan. Hatiku pun tergerak untuk duduk di pondok itu. Maka pindahlah aku ke pondok tersebut. Yudi meskipun asyik bercanda tawa dengan teman-teman wanitanya, namun ia terus mengawasiku dan memberi isyarat agar aku tidak pergi kemana-mana. Aku pun dengan isyarat memberitahu bahwa aku pindah duduk di pondok yang tidak jauh dari tempatku semula dan tidak jauh juga dari tempatnya berkumpul. Yudi dengan isyarat mengiyakan aku untuk berpindah duduk karena aku masih bisa dilihatnya dari tempatnya berkumpul.
Untuk beberapa waktu aku duduk di pondok itu. Angin pantai yang kencang dan deru ombak menjadi irama yang menghibur hatiku. Hingga tanpa ku sadari, telah berdiri seorang wanita di bawah ujung atap daun pondok tersebut. Aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Beberapa kali kami saling berpandangan. Hingga ku lihat wanita itu berjalan memasuki pondok tempat ku duduk. Dengan nada lembut dan ramah ia meminta izin untuk menumpang duduk juga di pondok tersebut. Aku pun mempersilahkannya. Wanita itu pun duduk tidak jauh dari tempatku duduk.
Untuk beberapa saat kami saling diam. Hingga wanita itu membuka pembicaraan mengapa aku sendiri di pondok itu. Aku katakan bahwa aku tidak sendiri. Aku bersama temanku yang sedang berkumpul dengan teman-teman wanitanya tidak jauh dari tempatku sambil menunjukkan tempat mereka. Ku lihat wanita itu tersenyum. Kemudian ia memperkenalkan diri, Rina namanya, dia sedang menghibur diri ditempat itu. Aku juga memperkenalkan diri dan menjawab yang sama bahwa aku juga sedang menghibur diri. Selanjutnya aku dan Rina larut dalam perbincangan yang akrab.
Cukup lama aku berbincang-bincang dengan Rina. Hingga ku lihat Yudi berjalan menghampiri pondok tempat ku duduk. Ketika telah mendekatiku, Yudi bertanya mengapa betah duduk sendiri di pondok itu. Aku tertawa dan berkata bahwa aku tidak sendiri, sambil menunjuk ke arah tempat Rina duduk yang tidak jauh dari ku. Namun tawaku terhenti, karena ku lihat Rina sudah tidak ada lagi disitu. Yudi yang ikut menolah ke arah yang ku tunjuk jadi terdiam, karena dia juga tidak melihat siapa-siapa disitu. Kami berdua hening sejenak, kemudian Yudi tertawa sambil berkata kalau putus cinta jangan sampai putus akal. Sambil terus bercanda agar suasana tidak mencekam, Yudi kemudian mengajakku pulang.
Meski Yudi terus bercanda sepanjang pulang ke rumahnya, namun aku masih bertanya-tanya kemana Rina yang duduk bersamaku di pondok itu. Jika ia pergi, mengapa tidak ku lihat ia keluar dari pondok itu. Dan mengapa ia tidak bilang jika akan pergi. Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.

------------------------
Bersambung ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...