DIARI RINA 1997
BAGIAN KEEMPAT : TAMAT
Seketika
itu juga ku rasakan ubun-ubun dan tengkukku terasa dingin, dan semakin dingin
ketika ku lihat Rina yang telah berubah sangat menakutkan bergerak perlahan
semakin mendekatiku. Rasa dingin itu kemudian menjalar ke seluruh tubuhku
hingga ke ujung kakiku. Jantungku seakan berhenti berdetak dan aku sulit
bernafas karena seperti tertahan sesuatu. Tubuhku terasa sangat tegang dan kaku
serta pandangan mataku tetap tertuju kepada tatapan matanya yang telah berubah
sangat tajam dan mengerikan. Aku benar-benar tidak bisa mengedipkan mataku
apalagi memalingkannya.
Ketika
Rina yang terlihat sangat mengerikan itu hampir mendekatiku, tiba-tiba saja
pandangan mataku tertutup sesuatu dan tengkukku terasa panas. Rupanya Pak Ngah
Sanif yang mengetahui sedang terjadi susuatu padaku langsung bergerak cepat
menutup mataku dengan tangannya dan tangannya yang satunya lagi menekan
tengkukku. Meski Pak Ngah Sanif asyik mengobrol dengan temannya itu, ia terus
mengawasiku sehingga ia tahu bahwa sedang terjadi sesuatu padaku.
Pak
Ngah Sanif sambil menutup mataku dan menekan tengkukku, kemudian membacakan
sesuatu ke ubun-ubunku sehingga ubun-ubunku terasa panas dari yang sebelumnya
terasa sangat dingin. Setelah selesai membacakan sesuatu ke ubun-ubunku, Pak
Ngah Sanif menarik tangannya yang menutupi mataku ke arah bawah. Bersamaan
dengan tarikan tangannya ke arah bawah, maka ku rasakan seperti ada hawa panas
yang mengalir ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku sehingga hilanglah hawa
dingin yang ku rasakan sebelumnya. Jatungku yang terasa terhenti langsung
berdetak kencang, begitu juga nafasku langsung berderu dengan cepat.
Rina
yang wujudnya sangat menakutkan tidak terlihat lagi dalam pandanganku.
Pandangan mataku pun sudah dapat ku alihkan dan tubuhku dapat di gerakkan,
meski jiwaku masih ku rasakan linglung dan jantungku masih terasa berdetak kencang.
Nafasku pun masih turun naik dengan cepat.
Setelah
yakin bahwa aku telah sadar, Pak Ngah Sanif langsung memegang tanganku dan
segera membawaku pulang. Yudi dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di
luar pondok dan melihat hal tersebut langsung menghentikan obrolan mereka.
Mereka tanpa banyak berkata langsung mengikuti Pak Ngah Sanif yang berjalan
cepat menarik tanganku untuk membawaku pulang. Saat itu aku masih merasakan
linglung.
Kami
tanpa sempat berpamitan dengan pemilik pondok jualan tempat kami bersantai
langsung pergi begitu saja. Tapi pemilik pondok sangat mengerti situasi
demikian karena para penjual di kawasan Tanjung Batu sangat mengenal Pak Ngah
Sanif dan mengerti jika Pak Ngah Sanif berbuat demikian berarti ada sesuatu
yang membahayakan pengunjung kawasan wisata tersebut.
Pak
Ngah Sanif dengan menarik tanganku dan tidak di lepaskannya, berjalan cepat
membawaku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Pak Ngah Sanif langsung
menyuruh ibunya Yudi mempersiapkan air satu ember. Setelah siap air satu ember
itu, tanpa membuka pakaianku Pak Ngah Sanif langsung memandikanku.
Ketika
akan memandikanku, Pak Ngah Sanif membacakan sesuatu sambil memegang timba yang
berisi air yang diambilnya dari ember tersebut. Selanjutnya ia menyiramkan air
ke bagian tengah tubuhku sebanyak tiga kali, dan ke arah kanan dan kiri tubuhku
masing-masing tiga kali. Selesai Pak Ngah Sanif memandikanku, linglung yang ku
rasakan hilang. Jantung dan nafasku normal kembali. Aku merasa benar-benar
telah sadar sepenuhnya.
Setelah
Pak Ngah Sanif memandikanku, aku disuruhnya mengganti pakaianku yang basah. Aku
menurutinya dan mengganti pakaianku. Setelah itu aku duduk di ruang tengah
bersama Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya. Pak Ngah Sanif kemudian bertanya
kepadaku apa yang telah ku lihat tadi. Aku pun menjelaskan bahwa tadi ku lihat
Rina dalam wujud yang sangat mengerikan.
Rina
yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih
bergambar dan celana jeans biru ketat bergerak perlahan mendekatiku secara
perlahan juga berubah wujudnya. Kulitnya yang putih dipenuhi darah. Di leher
sebelah kirinya terdapat luka yang menganga sangat besar dan darah bercucuran
dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan terdapat luka besar menganga
melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya dipenuhi darah. Tangan
kirinya hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari
telunjuk yang tinggal setengah. Dada sebelah kanannya terdapat luka yang
menganga, begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama
dengan darah yang bercucuran.
Mendengar
penjelasanku itu, Pak Ngah Sanif mengangguk-anggukkan kepalanya. Yudi dan
orangtuanya saling berpandangan. Selanjutnya Pak Ngah Sanif menjelaskan jika
seperti itu penggambaran yang terlihat dari mataku maka wujud Rina itu seperti
mayat yang ditemukan di kawasan Tanjung Batu. Beberapa bulan yang lalu warga
menemukan mayat wanita di pondok tempat ku duduk pada malam itu.
Wanita
tersebut menggunakan pakaian dan dipenuhi luka seperti yang telah ku jelaskan.
Wanita itu memang dibunuh seseorang, namun tidak diketahui siapa pelakunya.
Tentang identitas wanita tersebut masih simpang siur, ada yang mengatakan bahwa
wanita itu berasal dari Pemangkat namun ada juga yang mengatakan berasal dari
Singkawang. Hingga kini tidak tahu bagaimana kelanjutan penemuan mayat tersebut
apakah pelaku pembunuhnya telah diketahui atau tidak. Sebelum kejadian yang
telah menimpaku, memang telah ada beberapa orang baik para penjual ataupun
pengunjung kawasan Tanjung Batu yang melihat penampakan wujud wanita yang
sesuai penggambaranku itu.
Agar
tidak semakin membahayakan jiwaku, Pak Ngah Sanif menyuruhku untuk besok pulang
ke Pontianak, dan nanti jangan dulu datang ke kawasan Tanjung Batu hingga aku
benar-benar telah lepas dari pengaruh Rina. Aku pun menuruti perkataan Pak Ngah
Sanif itu. Namun untuk besok pulang, Pak Ngah Sanif dan Yudi akan mengantarku
hingga melewati batas kota Singkawang karena Pak Ngah Sanif khawatir Rina akan
mengikutiku. Aku pun kembali menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah
berkata demikian, Pak Ngah Sanif menyuruhku tidur karena besok selepas Sholat
Shubuh aku akan melakukan perjalanan jauh untuk kembali pulang ke Pontianak.
Aku menuruti perkataan Pak Ngah Sanif dan bersama Yudi langsung masuk ke kamar
untuk tidur. Dan rupanya Pak Ngah Sanif juga tidur di kamar Yudi, ia tidur di dekatku.
Pak Ngah Sanif berkata bahwa ia tidur didekatku untuk menjagaku selama aku
tidur agar tidak di ganggu Rina dan supaya tidurku bisa pulas sehingga besok
aku bisa bangun dengan segar. Maka malam itu aku benar-benar merasakan tertidur
pulas.
---------------
Jum’at,
9 Mei 1997, selepas sholat Shubuh aku berpamitan untuk pulang ke Pontianak
kepada orangtua Yudi dan saudara-saudaranya. Perasaanku tidak karuan saat itu,
haru tidak terhingga karena harus berpisah dengan Yudi dan keluarganya yang
sangat ramah itu. Apalagi Pak Ngah Sanif telah berpesan agar aku jangan dulu
datang ke kawasan Tanjung Batu hingga aku benar-benar telah lepas dari pengaruh
Rina, dan itu akan memakan waktu yang lama, sehingga aku tidak tahu kapan lagi
dapat mengunjungi Yudi dan keluarganya yang penuh keramahan dan kehangatan itu.
Selanjutnya
dengan menggunakan dua buah motor, aku, Pak Ngah Sanif dan Yudi pergi
meninggalkan kawasan Tanjung Batu. Yudi menggunakan motor sendiri, sedangkan
Pak Ngah Sanif memboncengiku menggunakan motorku. Pak Ngah Sanif tidak
mengizinkan aku membawa motor sendiri hingga melewati perbatasan Singkawang
karena khawatir jika aku membawa motor sendiri jiwaku akan terpanggil lagi oleh
pengaruh Rina.
Motor
kami terus melaju meninggalkan Pemangkat pada hari satu Muharram itu. Hingga akhirnya
sampai juga kami di perbatasan Singkawang. Pak Ngah Sanif kemudian turun dari
motorku, dan kembali berpesan agar aku jangan dulu berkunjung ke kawasan
Tanjung Batu. Aku pun mengiyakan dan akan mengingat pesan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah
aku bersalaman dengan Pak Ngah Sanif dan mencium tangannya dan juga bersalaman
dengan Yudi, serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas segala pelayanan dan perhatian
selama aku berkunjung ke tempat mereka, aku pun memacu motor Suzuki Jet Cooled
ku meninggalkan Pak Ngah Sanif dan Yudi yang masih berada di perbatasan
Singkawang untuk melihatku pergi. Motorku melaju kencang meninggalkan
perbatasan Singkawang.
Selama
perjalanan pulang ke Pontianak, aku berusaha mengendalikan perasaan ku sekuatnya.
Bayangan akan keramahan dan kehangatan Yudi dan keluarganya sangat membekas
dalam hatiku. Dan aku tidak tahu kapan dapat mengunjungi Yudi dan keluarganya
lagi. Sering kali bayangan Rina melintas dalam pikiranku, dan berusaha sekuatnya
aku alihkan. Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya tiba juga aku di kota
Pontianak, kota kelahiran tercintaku.
Untuk Rina :
Ketika aku berjumpa
dengan mu
Itu bukan mau ku
Ketika engkau bertemu
dengan ku
Itu juga bukan
kehendak mu
Kita tergariskan pada
takdir yang tak mampu kita tolak
Dan pada takdir itu
lah kita dipertemukan
Walau kita
dipertemukan pada dunia yang berbeda
Namun perbedaan itu
lah yang mengakrabkan kita
Meski wujudmu tak
dapat ku raba
Meski hidupmu tak
mampu ku hiasi
Namun kisahmu kan ku
tulis dalam diari hidupku
Menjadi kisah abadi
dalam bagian perjalanan hidupku
Selamat jalan Rina...
Semoga engkau menemukan
jalan
yang abadi untuk berkumpul
dengan-Nya,
bersama-Nya dan di
sisi-Nya...
Pontianak, Sabtu 10
Mei 1997.
10.45 malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar