Minggu, 13 Mei 2018

DIARI RINA 1997 : TAMAT

DIARI RINA 1997
BAGIAN KEEMPAT : TAMAT

Seketika itu juga ku rasakan ubun-ubun dan tengkukku terasa dingin, dan semakin dingin ketika ku lihat Rina yang telah berubah sangat menakutkan bergerak perlahan semakin mendekatiku. Rasa dingin itu kemudian menjalar ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku. Jantungku seakan berhenti berdetak dan aku sulit bernafas karena seperti tertahan sesuatu. Tubuhku terasa sangat tegang dan kaku serta pandangan mataku tetap tertuju kepada tatapan matanya yang telah berubah sangat tajam dan mengerikan. Aku benar-benar tidak bisa mengedipkan mataku apalagi memalingkannya.
Ketika Rina yang terlihat sangat mengerikan itu hampir mendekatiku, tiba-tiba saja pandangan mataku tertutup sesuatu dan tengkukku terasa panas. Rupanya Pak Ngah Sanif yang mengetahui sedang terjadi susuatu padaku langsung bergerak cepat menutup mataku dengan tangannya dan tangannya yang satunya lagi menekan tengkukku. Meski Pak Ngah Sanif asyik mengobrol dengan temannya itu, ia terus mengawasiku sehingga ia tahu bahwa sedang terjadi sesuatu padaku.
Pak Ngah Sanif sambil menutup mataku dan menekan tengkukku, kemudian membacakan sesuatu ke ubun-ubunku sehingga ubun-ubunku terasa panas dari yang sebelumnya terasa sangat dingin. Setelah selesai membacakan sesuatu ke ubun-ubunku, Pak Ngah Sanif menarik tangannya yang menutupi mataku ke arah bawah. Bersamaan dengan tarikan tangannya ke arah bawah, maka ku rasakan seperti ada hawa panas yang mengalir ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku sehingga hilanglah hawa dingin yang ku rasakan sebelumnya. Jatungku yang terasa terhenti langsung berdetak kencang, begitu juga nafasku langsung berderu dengan cepat.
Rina yang wujudnya sangat menakutkan tidak terlihat lagi dalam pandanganku. Pandangan mataku pun sudah dapat ku alihkan dan tubuhku dapat di gerakkan, meski jiwaku masih ku rasakan linglung dan jantungku masih terasa berdetak kencang. Nafasku pun masih turun naik dengan cepat.
Setelah yakin bahwa aku telah sadar, Pak Ngah Sanif langsung memegang tanganku dan segera membawaku pulang. Yudi dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di luar pondok dan melihat hal tersebut langsung menghentikan obrolan mereka. Mereka tanpa banyak berkata langsung mengikuti Pak Ngah Sanif yang berjalan cepat menarik tanganku untuk membawaku pulang. Saat itu aku masih merasakan linglung.
Kami tanpa sempat berpamitan dengan pemilik pondok jualan tempat kami bersantai langsung pergi begitu saja. Tapi pemilik pondok sangat mengerti situasi demikian karena para penjual di kawasan Tanjung Batu sangat mengenal Pak Ngah Sanif dan mengerti jika Pak Ngah Sanif berbuat demikian berarti ada sesuatu yang membahayakan pengunjung kawasan wisata tersebut.
Pak Ngah Sanif dengan menarik tanganku dan tidak di lepaskannya, berjalan cepat membawaku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Pak Ngah Sanif langsung menyuruh ibunya Yudi mempersiapkan air satu ember. Setelah siap air satu ember itu, tanpa membuka pakaianku Pak Ngah Sanif langsung memandikanku.
Ketika akan memandikanku, Pak Ngah Sanif membacakan sesuatu sambil memegang timba yang berisi air yang diambilnya dari ember tersebut. Selanjutnya ia menyiramkan air ke bagian tengah tubuhku sebanyak tiga kali, dan ke arah kanan dan kiri tubuhku masing-masing tiga kali. Selesai Pak Ngah Sanif memandikanku, linglung yang ku rasakan hilang. Jantung dan nafasku normal kembali. Aku merasa benar-benar telah sadar sepenuhnya.
Setelah Pak Ngah Sanif memandikanku, aku disuruhnya mengganti pakaianku yang basah. Aku menurutinya dan mengganti pakaianku. Setelah itu aku duduk di ruang tengah bersama Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya. Pak Ngah Sanif kemudian bertanya kepadaku apa yang telah ku lihat tadi. Aku pun menjelaskan bahwa tadi ku lihat Rina dalam wujud yang sangat mengerikan.
Rina yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan celana jeans biru ketat bergerak perlahan mendekatiku secara perlahan juga berubah wujudnya. Kulitnya yang putih dipenuhi darah. Di leher sebelah kirinya terdapat luka yang menganga sangat besar dan darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan terdapat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya dipenuhi darah. Tangan kirinya hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah. Dada sebelah kanannya terdapat luka yang menganga, begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang bercucuran.
Mendengar penjelasanku itu, Pak Ngah Sanif mengangguk-anggukkan kepalanya. Yudi dan orangtuanya saling berpandangan. Selanjutnya Pak Ngah Sanif menjelaskan jika seperti itu penggambaran yang terlihat dari mataku maka wujud Rina itu seperti mayat yang ditemukan di kawasan Tanjung Batu. Beberapa bulan yang lalu warga menemukan mayat wanita di pondok tempat ku duduk pada malam itu.
Wanita tersebut menggunakan pakaian dan dipenuhi luka seperti yang telah ku jelaskan. Wanita itu memang dibunuh seseorang, namun tidak diketahui siapa pelakunya. Tentang identitas wanita tersebut masih simpang siur, ada yang mengatakan bahwa wanita itu berasal dari Pemangkat namun ada juga yang mengatakan berasal dari Singkawang. Hingga kini tidak tahu bagaimana kelanjutan penemuan mayat tersebut apakah pelaku pembunuhnya telah diketahui atau tidak. Sebelum kejadian yang telah menimpaku, memang telah ada beberapa orang baik para penjual ataupun pengunjung kawasan Tanjung Batu yang melihat penampakan wujud wanita yang sesuai penggambaranku itu.
Agar tidak semakin membahayakan jiwaku, Pak Ngah Sanif menyuruhku untuk besok pulang ke Pontianak, dan nanti jangan dulu datang ke kawasan Tanjung Batu hingga aku benar-benar telah lepas dari pengaruh Rina. Aku pun menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu. Namun untuk besok pulang, Pak Ngah Sanif dan Yudi akan mengantarku hingga melewati batas kota Singkawang karena Pak Ngah Sanif khawatir Rina akan mengikutiku. Aku pun kembali menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah berkata demikian, Pak Ngah Sanif menyuruhku tidur karena besok selepas Sholat Shubuh aku akan melakukan perjalanan jauh untuk kembali pulang ke Pontianak. Aku menuruti perkataan Pak Ngah Sanif dan bersama Yudi langsung masuk ke kamar untuk tidur. Dan rupanya Pak Ngah Sanif juga tidur di kamar Yudi, ia tidur di dekatku. Pak Ngah Sanif berkata bahwa ia tidur didekatku untuk menjagaku selama aku tidur agar tidak di ganggu Rina dan supaya tidurku bisa pulas sehingga besok aku bisa bangun dengan segar. Maka malam itu aku benar-benar merasakan tertidur pulas.

---------------

Jum’at, 9 Mei 1997, selepas sholat Shubuh aku berpamitan untuk pulang ke Pontianak kepada orangtua Yudi dan saudara-saudaranya. Perasaanku tidak karuan saat itu, haru tidak terhingga karena harus berpisah dengan Yudi dan keluarganya yang sangat ramah itu. Apalagi Pak Ngah Sanif telah berpesan agar aku jangan dulu datang ke kawasan Tanjung Batu hingga aku benar-benar telah lepas dari pengaruh Rina, dan itu akan memakan waktu yang lama, sehingga aku tidak tahu kapan lagi dapat mengunjungi Yudi dan keluarganya yang penuh keramahan dan kehangatan itu.
Selanjutnya dengan menggunakan dua buah motor, aku, Pak Ngah Sanif dan Yudi pergi meninggalkan kawasan Tanjung Batu. Yudi menggunakan motor sendiri, sedangkan Pak Ngah Sanif memboncengiku menggunakan motorku. Pak Ngah Sanif tidak mengizinkan aku membawa motor sendiri hingga melewati perbatasan Singkawang karena khawatir jika aku membawa motor sendiri jiwaku akan terpanggil lagi oleh pengaruh Rina.
Motor kami terus melaju meninggalkan Pemangkat pada hari satu Muharram itu. Hingga akhirnya sampai juga kami di perbatasan Singkawang. Pak Ngah Sanif kemudian turun dari motorku, dan kembali berpesan agar aku jangan dulu berkunjung ke kawasan Tanjung Batu. Aku pun mengiyakan dan akan mengingat pesan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah aku bersalaman dengan Pak Ngah Sanif dan mencium tangannya dan juga bersalaman dengan Yudi, serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas segala pelayanan dan perhatian selama aku berkunjung ke tempat mereka, aku pun memacu motor Suzuki Jet Cooled ku meninggalkan Pak Ngah Sanif dan Yudi yang masih berada di perbatasan Singkawang untuk melihatku pergi. Motorku melaju kencang meninggalkan perbatasan Singkawang.
Selama perjalanan pulang ke Pontianak, aku berusaha mengendalikan perasaan ku sekuatnya. Bayangan akan keramahan dan kehangatan Yudi dan keluarganya sangat membekas dalam hatiku. Dan aku tidak tahu kapan dapat mengunjungi Yudi dan keluarganya lagi. Sering kali bayangan Rina melintas dalam pikiranku, dan berusaha sekuatnya aku alihkan. Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya tiba juga aku di kota Pontianak, kota kelahiran tercintaku.

Untuk Rina :
Ketika aku berjumpa dengan mu
Itu bukan mau ku
Ketika engkau bertemu dengan ku
Itu juga bukan kehendak mu
Kita tergariskan pada takdir yang tak mampu kita tolak
Dan pada takdir itu lah kita dipertemukan
Walau kita dipertemukan pada dunia yang berbeda
Namun perbedaan itu lah yang mengakrabkan kita

Meski wujudmu tak dapat ku raba
Meski hidupmu tak mampu ku hiasi
Namun kisahmu kan ku tulis dalam diari hidupku
Menjadi kisah abadi dalam bagian perjalanan hidupku

Selamat jalan Rina...
Semoga engkau menemukan jalan
yang abadi untuk berkumpul dengan-Nya,
bersama-Nya dan di sisi-Nya...

Pontianak, Sabtu 10 Mei 1997.
10.45 malam.

--- TAMAT ---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...