Jumat, 11 Mei 2018

DIARI RINA 1997 : BAGIAN KETIGA

DIARI RINA 1997
BAGIAN KETIGA

Aku yang tidak mengerti maksud Yudi itu hanya diam saja. Selanjutnya Yudi mengajakku cepat-cepat pulang. Aku pun berkata kepada Yudi bahwa aku ingin membayar dua buah kelapa muda yang telah ku minum itu. Yudi hanya menganggukkan kepalanya saja.
Aku dan Yudi kemudian menghampiri Bapak penjual kelapa muda. Si Bapak terlihat ekspresi wajahnya memandang aneh kepadaku. Yudi rupanya mengenal Bapak tersebut.
Setelah ku bayar dua buah kelapa muda itu, Yudi yang mengenal Bapak tersebut langsung membawa si Bapak agak menjauh dariku. Terlihat mereka berdua sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius sambil beberapa kali melirikku.
Setelah berbicara dengan si Bapak yang aku tidak tahu apa yang telah mereka bicarakan, Yudi kemudian mengajakku pulang. Sepanjang perjalanan pulang Yudi hanya diam, tidak ada sepatahpun candaan yang keluar dari mulutnya. Langkahnya pun sangat cepat seakan-akan ada yang dikejarnya untuk segera sampai di rumah.
Sebelum ke rumah, Yudi mengajakku untuk singgah ke Surau terlebih dahulu yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya karena kami belum sholat Zhuhur. Aku mengiyakan ajakan Yudi itu karena hari pun telah lewat tengah hari.
Selesai sholat Zhuhur, kami langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ibu Yudi langsung menyuruh kami makan siang yang telah disiapkannya dari tadi. Kami menyantap makan siang itu. Selama makan, Yudi tidak berkata sepatah kata pun.
Setelah makan siang Yudi menyuruhku untuk istirahat siang, dan ia menyuruhku tidur di ruang tengah, jangan tidur di kamarnya, dengan alasan agar aku tidur dapat dilihat dan dijaga oleh orangtuanya. Aku yang tidak mengerti maksud Yudi itu mengikut saja.
Selanjutnya Yudi langsung membentang tikar pandan di ruang tengah rumahnya dan meletakkan bantal diatasnya. Ia kemudian menyuruhku untuk berbaring disitu. Aku pun langsung merebahkan tubuhku. Sedangkan Yudi dan ibunya duduk tidak jauh dari tempatku berbaring. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius dengan suara pelan yang dijaga agar tidak terdengar olehku.
Karena aku kurang tidur tadi malam sehingga mataku langsung mengantuk. Aku pun tidak hirau dengan apa yang sedang dibicarakan antara Yudi dan ibunya. Aku langsung terlelap.
Entah berapa lama aku terlelap siang itu, tahu-tahu terdengar oleh telingaku suara orang yang sedang berbincang-bincang. Mataku pun terbuka, dan ku lihat telah ada Pak Ngah Sanif di dekatku sedang berbincang-bincang dengan ayah Yudi yang rupanya telah pulang kerja. Ayah Yudi ini bekerja sebagai buruh di pasar Pemangkat.
Di dekat Pak Ngah Sanif terlihat sebuah piring putih polos dengan dua butir sahang diatasnya, segelas air putih yang tertutup dan sebotol minyak berwarna gelap.
Sedangkan di sudut ruangan ku lihat Yudi dan ibunya sedang duduk menyandar ke dinding papan ruang tengah tersebut sambil memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dibicarakan Pak Ngah Sanif dan ayah Yudi. Ekspresi wajah Yudi dan ibunya sangat tegang sekali.
Rupanya ketika aku tidur, Yudi pergi ke rumah Pak Ngah Sanif untuk membawanya ke rumahnya sekalian singgah ke pasar memberitahukan ayahnya untuk segera pulang.
Melihat aku telah bangun, Pak Ngah Sanif langsung memijit-mijit telapak tanganku sambil berkata agar aku tidur lagi saja jika masih mengantuk. Aku berkata sudah tidak ngantuk lagi. Aku langsung duduk dan menyalami serta mencium tangan Pak Ngah Sanif.
Pak Ngah Sanif kemudian menanyakan kabarku dan bagaimana perasaanku selama berlibur di tempat itu. Ku jawab bahwa kabarku baik-baik saja dan aku senang liburan di tempat itu.
Selanjutnya Pak Ngah Sanif bertanya apakah bahuku pegal, ku jawab bahwa bahuku terasa sangat pegal. Mendengar jawabanku itu, Pak Ngah Sanif langsung menggeser tubuhnya dibelakangku dan menekan salah satu bagian di bahuku. Ketika jari Pak Ngah Sanif menekan bagian tersebut, tubuhku langsung bereaksi.
Tubuhku langsung melengkung dan tanganku memegang telinga kiriku yang terasa sangat sakit. Melihat reaksiku itu Pak Ngah Sanif bertanya apa nya yang sakit. Ku jawab bahwa telinga kiriku sangat sakit. Pak Ngah Sanif kemudian menggeser tubuhnya ke arah kakiku sambil mengambil piring putih polos yang terdapat dua butir sahang di atasnya.
Setelah berada di dekat telapak kakiku, Pak Ngah Sanif meletakkan kembali piring putih itu dan mengambil sebutir sahang sambil dibacakannya sesuatu. Selesai ia membaca, sebutir sahang itu di tempelkannya pada ibu jari kakiku dan di tekannya kuat sekali. Tubuhku pun langsung menggeliat dan ku katakan sakit sekali telinga dan tubuhku. Pak Ngah Sanif yang seakan tidak menghiraukan sakit yang ku rasakan kemudian menarik jari jempolnya yang menekan ibu jari kakiku dengan gerakan yang seakan-akan sedang menarik sesuatu dengan sekuat tenaganya. Terlihat olehku sahang yang sebelumnya utuh itu telah hancur.
Setelah Pak Ngah Sanif melakukan gerakan yang seperti menarik sesuatu, langsung ku rasakan seperti ada sesuatu yang tertarik dari tubuhku. Kepalaku terasa ringan, mataku terasa terang dan pegal di tubuhku hilang.
Selanjutnya Pak Ngah Sanif mengambil sebutir lagi sahang dan dibacakannya sesuatu. Selesai membaca, ia berpindah meletakkannya ke kuku ibu jari kaki kiriku dan langsung ditekannya kuat sekali. Aku pun kembali menggeliat karena merasa kesakitan namun sakit yang kurasakan tidak sesakit ketika ia menekan ibu jari kaki kananku.
Ketika menekan ibu jari kaki kiriku, Pak Ngah Sanif melakukan gerakan yang sama yaitu seperti menarik sesuatu dengan sekuat tenaganya. Langsung saja ku rasakan kepala dan tubuhku menjadi semakin ringan dan pandangan mataku semakin terang. Selanjutnya Pak Ngah Sanif mengambil segelas air putih yang telah dipersiapkan. Segelas air putih itu dibacakannya sesuatu yang kemudian disuruhnya aku meminumnya hingga habis.
Aku menuruti saja apa yang disuruh oleh Pak Ngah Sanif. Segelas air putih itu ku pinum hingga habis. Selanjutnya Pak Ngah Sanif mengambil minyak berwarna gelap dalam sebuah botol yang dibawanya. Minyak itu di oleskan ke tangannya, kemudian ia mulai mengurut tengkuk hingga ke belikatku. Sambil mengurut ia berbincang-bincang berbagai hal yang tidak ada hubungannya dengan yang sedang terjadi padaku. Yudi dan orangtuanya juga ikut dalam perbincangan itu seperti hendak mengalihkan pikiranku agar tidak kepikiran dengan apa yang sedang terjadi padaku. Aku hanya diam saja dan menjadi pendengar yang baik sambil menikmati urutan yang dilakukan Pak Ngah Sanif pada leher dan belikatku.
Hampir setengah jam Pak Ngah Sanif mengurut leher dan belikatku. Setelah mengurutku, Pak Ngah Sanif mengajak Yudi dan aku untuk sholat Ashar bersama-sama karena waktu sudah hampir jam 5 sore. Kami pun langsung pergi ke Surau yang tidak jauh dari rumah Yudi.
Ayah Yudi ikut serta ke Surau karena rupanya belum juga menunaikan sholat Ashar lantaran mereka menjagaku selama aku tidur tadi. Ketika kami sholat Ashar, Pak Ngah Sanif yang menjadi imamnya. Setelah sholat Ashar, kami kembali ke rumah. Dan Pak Ngah Sanif berkata bahwa ia akan menginap di rumah Yudi hingga aku merasa puas berlibur di tempat itu. Kami pun selanjutnya menyambung perbincangan di rumah Yudi.

---------------

Selepas makan malam, aku, Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya bersantai di depan rumah Yudi. Setelah cukup lama kami mengobrol santai, datang beberapa orang teman Yudi yang mengajaknya bersantai ke pantai Tanjung Batu. Yudi kemudian meminta izin Pak Ngah Sanif untuk membawaku ikut bersantai juga ke pantai Tanjung Batu. Pak Ngah Sanif mengizinkan namun ia ingin ikut serta untuk menjagaku. Kami pun selanjutnya berjalan ke pantai Tanjung Batu.
Di pantai Tanjung Batu kami singgah ke sebuah pondok jualan milik temannya Pak Ngah Sanif. Orang-orang di pantai Tanjung Batu hampir merata kenal dengan Pak Ngah Sanif. Karena jika ada kejadian aneh yang menimpa pengunjung Tanjung Batu, Pak Ngah Sanif lah yang selalu mereka panggil untuk menyelesaikan hal tersebut.
Di pondok jualan yang tak berdinding milik temannya Pak Ngah Sanif ini kami duduk santai. Yudi dan teman-temannya bersantai di tumpukan batu besar diluar pondok. Aku duduk didalam pondok menghadap ke pantai yang penuh dengan tumpukan batu besar, dan Pak Ngah Sanif duduk berjarak satu meja dibelakangku bersama temannya, si pemilik pondok jualan itu. Pak Ngah Sanif terlihat sangat asyik mengobrol dengan temannya itu.
Aku sangat menikmati suasana malam di tepi pantai saat itu. Suara ombak dan tiupan angin seperti alunan musik yang menghibur hatiku. Untuk beberapa saat aku hanyut dalam suasana. Hingga mataku tertuju pada sebuah batu besar didepan yang tidak jauh dari pondok tempatku duduk. Ku lihat Rina sedang berdiri diatas batu besar itu. Tubuhnya membelakangi laut, dan memandangiku sambil tersenyum. Selanjutnya ku lihat Rina melambaikan tangannya memanggilku.
Seakan jiwaku telah terkuasai oleh senyum dan lambaian tangannya, aku pun hendak berdiri untuk pergi menghampirinya. Namun ku rasakan tubuhku berat sekali seperti ada sesuatu yang menahannya sehingga aku tidak dapat berdiri.
Aku terus mencoba untuk berdiri, namun tetap tidak bisa. Karena aku tidak juga menghampirinya sehingga ku lihat Rina bergerak perlahan ke arahku. Ku rasakan mataku saat itu tidak bisa berpaling dari tatapan matanya. Rina yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan celana jeans biru ketat perlahan-lahan bergerak semakin mendekatiku.
Hingga semakin dekat kulihat Rina secara perlahan berubah. Kulitnya yang putih itu terlihat dipenuhi darah. Di leher sebelah kirinya terlihat luka yang menganga sangat besar. Terlihat darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan terlihat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya juga dipenuhi darah. Tangan kirinya terlihat hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah. Pada dada sebelah kanan terlihat luka yang juga menganga, begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang bercucuran.

---------------
Bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...