DIARI RINA 1997
BAGIAN KETIGA
Aku yang tidak mengerti maksud Yudi itu hanya diam saja. Selanjutnya Yudi
mengajakku cepat-cepat pulang. Aku pun berkata kepada Yudi bahwa aku ingin
membayar dua buah kelapa muda yang telah ku minum itu. Yudi hanya menganggukkan
kepalanya saja.
Aku
dan Yudi kemudian menghampiri Bapak penjual kelapa muda. Si Bapak terlihat
ekspresi wajahnya memandang aneh kepadaku. Yudi rupanya mengenal Bapak
tersebut.
Setelah
ku bayar dua buah kelapa muda itu, Yudi yang mengenal Bapak tersebut langsung
membawa si Bapak agak menjauh dariku. Terlihat mereka berdua sedang
membicarakan sesuatu yang sangat serius sambil beberapa kali melirikku.
Setelah
berbicara dengan si Bapak yang aku tidak tahu apa yang telah mereka bicarakan,
Yudi kemudian mengajakku pulang. Sepanjang perjalanan pulang Yudi hanya diam,
tidak ada sepatahpun candaan yang keluar dari mulutnya. Langkahnya pun sangat
cepat seakan-akan ada yang dikejarnya untuk segera sampai di rumah.
Sebelum
ke rumah, Yudi mengajakku untuk singgah ke Surau terlebih dahulu yang jaraknya
tidak jauh dari rumahnya karena kami belum sholat Zhuhur. Aku mengiyakan ajakan
Yudi itu karena hari pun telah lewat tengah hari.
Selesai
sholat Zhuhur, kami langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ibu Yudi
langsung menyuruh kami makan siang yang telah disiapkannya dari tadi. Kami
menyantap makan siang itu. Selama makan, Yudi tidak berkata sepatah kata pun.
Setelah
makan siang Yudi menyuruhku untuk istirahat siang, dan ia menyuruhku tidur di
ruang tengah, jangan tidur di kamarnya, dengan alasan agar aku tidur dapat
dilihat dan dijaga oleh orangtuanya. Aku yang tidak mengerti maksud Yudi itu
mengikut saja.
Selanjutnya
Yudi langsung membentang tikar pandan di ruang tengah rumahnya dan meletakkan
bantal diatasnya. Ia kemudian menyuruhku untuk berbaring disitu. Aku pun
langsung merebahkan tubuhku. Sedangkan Yudi dan ibunya duduk tidak jauh dari
tempatku berbaring. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang sangat
serius dengan suara pelan yang dijaga agar tidak terdengar olehku.
Karena
aku kurang tidur tadi malam sehingga mataku langsung mengantuk. Aku pun tidak
hirau dengan apa yang sedang dibicarakan antara Yudi dan ibunya. Aku langsung
terlelap.
Entah
berapa lama aku terlelap siang itu, tahu-tahu terdengar oleh telingaku suara
orang yang sedang berbincang-bincang. Mataku pun terbuka, dan ku lihat telah
ada Pak Ngah Sanif di dekatku sedang berbincang-bincang dengan ayah Yudi yang
rupanya telah pulang kerja. Ayah Yudi ini bekerja sebagai buruh di pasar
Pemangkat.
Di
dekat Pak Ngah Sanif terlihat sebuah piring putih polos dengan dua butir sahang
diatasnya, segelas air putih yang tertutup dan sebotol minyak berwarna gelap.
Sedangkan
di sudut ruangan ku lihat Yudi dan ibunya sedang duduk menyandar ke dinding
papan ruang tengah tersebut sambil memperhatikan dengan seksama apa yang sedang
dibicarakan Pak Ngah Sanif dan ayah Yudi. Ekspresi wajah Yudi dan ibunya sangat
tegang sekali.
Rupanya
ketika aku tidur, Yudi pergi ke rumah Pak Ngah Sanif untuk membawanya ke
rumahnya sekalian singgah ke pasar memberitahukan ayahnya untuk segera pulang.
Melihat
aku telah bangun, Pak Ngah Sanif langsung memijit-mijit telapak tanganku sambil
berkata agar aku tidur lagi saja jika masih mengantuk. Aku berkata sudah tidak
ngantuk lagi. Aku langsung duduk dan menyalami serta mencium tangan Pak Ngah
Sanif.
Pak
Ngah Sanif kemudian menanyakan kabarku dan bagaimana perasaanku selama berlibur
di tempat itu. Ku jawab bahwa kabarku baik-baik saja dan aku senang liburan di
tempat itu.
Selanjutnya
Pak Ngah Sanif bertanya apakah bahuku pegal, ku jawab bahwa bahuku terasa
sangat pegal. Mendengar jawabanku itu, Pak Ngah Sanif langsung menggeser
tubuhnya dibelakangku dan menekan salah satu bagian di bahuku. Ketika jari Pak
Ngah Sanif menekan bagian tersebut, tubuhku langsung bereaksi.
Tubuhku
langsung melengkung dan tanganku memegang telinga kiriku yang terasa sangat
sakit. Melihat reaksiku itu Pak Ngah Sanif bertanya apa nya yang sakit. Ku
jawab bahwa telinga kiriku sangat sakit. Pak Ngah Sanif kemudian menggeser
tubuhnya ke arah kakiku sambil mengambil piring putih polos yang terdapat dua
butir sahang di atasnya.
Setelah
berada di dekat telapak kakiku, Pak Ngah Sanif meletakkan kembali piring putih
itu dan mengambil sebutir sahang sambil dibacakannya sesuatu. Selesai ia
membaca, sebutir sahang itu di tempelkannya pada ibu jari kakiku dan di
tekannya kuat sekali. Tubuhku pun langsung menggeliat dan ku katakan sakit
sekali telinga dan tubuhku. Pak Ngah Sanif yang seakan tidak menghiraukan sakit
yang ku rasakan kemudian menarik jari jempolnya yang menekan ibu jari kakiku
dengan gerakan yang seakan-akan sedang menarik sesuatu dengan sekuat tenaganya.
Terlihat olehku sahang yang sebelumnya utuh itu telah hancur.
Setelah
Pak Ngah Sanif melakukan gerakan yang seperti menarik sesuatu, langsung ku
rasakan seperti ada sesuatu yang tertarik dari tubuhku. Kepalaku terasa ringan,
mataku terasa terang dan pegal di tubuhku hilang.
Selanjutnya
Pak Ngah Sanif mengambil sebutir lagi sahang dan dibacakannya sesuatu. Selesai
membaca, ia berpindah meletakkannya ke kuku ibu jari kaki kiriku dan langsung
ditekannya kuat sekali. Aku pun kembali menggeliat karena merasa kesakitan
namun sakit yang kurasakan tidak sesakit ketika ia menekan ibu jari kaki
kananku.
Ketika
menekan ibu jari kaki kiriku, Pak Ngah Sanif melakukan gerakan yang sama yaitu
seperti menarik sesuatu dengan sekuat tenaganya. Langsung saja ku rasakan
kepala dan tubuhku menjadi semakin ringan dan pandangan mataku semakin terang. Selanjutnya
Pak Ngah Sanif mengambil segelas air putih yang telah dipersiapkan. Segelas air
putih itu dibacakannya sesuatu yang kemudian disuruhnya aku meminumnya hingga
habis.
Aku
menuruti saja apa yang disuruh oleh Pak Ngah Sanif. Segelas air putih itu ku
pinum hingga habis. Selanjutnya Pak Ngah Sanif mengambil minyak berwarna gelap
dalam sebuah botol yang dibawanya. Minyak itu di oleskan ke tangannya, kemudian
ia mulai mengurut tengkuk hingga ke belikatku. Sambil mengurut ia
berbincang-bincang berbagai hal yang tidak ada hubungannya dengan yang sedang
terjadi padaku. Yudi dan orangtuanya juga ikut dalam perbincangan itu seperti
hendak mengalihkan pikiranku agar tidak kepikiran dengan apa yang sedang
terjadi padaku. Aku hanya diam saja dan menjadi pendengar yang baik sambil
menikmati urutan yang dilakukan Pak Ngah Sanif pada leher dan belikatku.
Hampir
setengah jam Pak Ngah Sanif mengurut leher dan belikatku. Setelah mengurutku,
Pak Ngah Sanif mengajak Yudi dan aku untuk sholat Ashar bersama-sama karena
waktu sudah hampir jam 5 sore. Kami pun langsung pergi ke Surau yang tidak jauh
dari rumah Yudi.
Ayah
Yudi ikut serta ke Surau karena rupanya belum juga menunaikan sholat Ashar
lantaran mereka menjagaku selama aku tidur tadi. Ketika kami sholat Ashar, Pak
Ngah Sanif yang menjadi imamnya. Setelah sholat Ashar, kami kembali ke rumah.
Dan Pak Ngah Sanif berkata bahwa ia akan menginap di rumah Yudi hingga aku
merasa puas berlibur di tempat itu. Kami pun selanjutnya menyambung perbincangan
di rumah Yudi.
---------------
Selepas
makan malam, aku, Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya bersantai di depan rumah
Yudi. Setelah cukup lama kami mengobrol santai, datang beberapa orang teman
Yudi yang mengajaknya bersantai ke pantai Tanjung Batu. Yudi kemudian meminta
izin Pak Ngah Sanif untuk membawaku ikut bersantai juga ke pantai Tanjung Batu.
Pak Ngah Sanif mengizinkan namun ia ingin ikut serta untuk menjagaku. Kami pun
selanjutnya berjalan ke pantai Tanjung Batu.
Di
pantai Tanjung Batu kami singgah ke sebuah pondok jualan milik temannya Pak
Ngah Sanif. Orang-orang di pantai Tanjung Batu hampir merata kenal dengan Pak
Ngah Sanif. Karena jika ada kejadian aneh yang menimpa pengunjung Tanjung Batu,
Pak Ngah Sanif lah yang selalu mereka panggil untuk menyelesaikan hal tersebut.
Di
pondok jualan yang tak berdinding milik temannya Pak Ngah Sanif ini kami duduk
santai. Yudi dan teman-temannya bersantai di tumpukan batu besar diluar pondok.
Aku duduk didalam pondok menghadap ke pantai yang penuh dengan tumpukan batu
besar, dan Pak Ngah Sanif duduk berjarak satu meja dibelakangku bersama
temannya, si pemilik pondok jualan itu. Pak Ngah Sanif terlihat sangat asyik
mengobrol dengan temannya itu.
Aku
sangat menikmati suasana malam di tepi pantai saat itu. Suara ombak dan tiupan
angin seperti alunan musik yang menghibur hatiku. Untuk beberapa saat aku
hanyut dalam suasana. Hingga mataku tertuju pada sebuah batu besar didepan yang
tidak jauh dari pondok tempatku duduk. Ku lihat Rina sedang berdiri diatas batu
besar itu. Tubuhnya membelakangi laut, dan memandangiku sambil tersenyum. Selanjutnya
ku lihat Rina melambaikan tangannya memanggilku.
Seakan
jiwaku telah terkuasai oleh senyum dan lambaian tangannya, aku pun hendak
berdiri untuk pergi menghampirinya. Namun ku rasakan tubuhku berat sekali
seperti ada sesuatu yang menahannya sehingga aku tidak dapat berdiri.
Aku
terus mencoba untuk berdiri, namun tetap tidak bisa. Karena aku tidak juga
menghampirinya sehingga ku lihat Rina bergerak perlahan ke arahku. Ku rasakan
mataku saat itu tidak bisa berpaling dari tatapan matanya. Rina yang berambut
sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan
celana jeans biru ketat perlahan-lahan bergerak semakin mendekatiku.
Hingga
semakin dekat kulihat Rina secara perlahan berubah. Kulitnya yang putih itu terlihat
dipenuhi darah. Di leher sebelah kirinya terlihat luka yang menganga sangat
besar. Terlihat darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada,
dan terlihat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan
celananya juga dipenuhi darah. Tangan kirinya terlihat hampir putus. Jari-jari
tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah. Pada
dada sebelah kanan terlihat luka yang juga menganga, begitu juga pada pinggang
dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang bercucuran.
---------------
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar