Kamis, 31 Mei 2018

ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN : JILID 3

ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN
--- JILID 3 ---

Beberapa tahun berlalu, aku tidak pernah bertemu Ridwan dan Sueb lagi. Begitupun Zahara yang menjengkelkan, telah terlupakan dalam ingatanku.
Awal tahun 1999, aku telah kuliah memasuki semester 6. Fikiranku sangat kacau saat itu, setelah ku terima nilai akhir kuliahku selama 5 semester dengan hasil IPK yang sangat mengecewakan yaitu 2,20. Aku sangat depresi dan putus asa, karena sulit sekali untuk mendapatkan nilai yang memuaskan di Kampus itu. Untuk bisa lulus dengan nilai C saja aku sudah sangat gembira apalagi jika bisa mendapatkan nilai B, seakan-akan bagai mimpi yang sulit ku raih saat itu.
Sering ku termenung, ku rasa aku sudah maksimal menguatkan diri selama semester 4 dan 5 untuk memperbaiki diri dan berusaha menyenangi jurusan kuliah yang ku ambil. Tapi tetap saja banyak mata kuliahku yang tidak lulus. Padahal aku sudah bertahan untuk rajin masuk kuliah dan bergaul dengan teman-teman seangkatanku untuk belajar dari mereka dan mempermudahkan jika ada tugas-tugas kuliah, tapi tetap saja nilaiku tidak sama, teman-temanku itu lulus dengan nilai B dan A, sedangkan aku hanya bisa berpuas diri dengan nilai C, dan beberapa nilai D. Situasi tersebut benar-benar membuatku frustasi.
Aku kembali merenungi IPK kuliahku dari semester 1 hingga 5, memang sangat mengecewakan. Semester 1 IPK ku 1,30. Semester 2 IPK ku 1,50. Semester 3 IPK ku 1,85. Semester 4 IPK ku 2,10 dan semester 5 IPK ku 2,20.
Aku menjadi sangat frustasi dan sering merenung, apakah aku ini bodoh, atau karena aku yang tidak ingin kuliah di kampus itu sehingga mempengaruhi semangatku untuk kuliah dan belajar. Entahlah.
Aku menjadi sangat iri dengan teman-temanku yang lain yang sepertinya mudah sekali mendapat nilai B bahkan A. Minder sekali rasanya saat itu, aku benar-benar merasa sangat terkucilkan. Lambat laut aku mulai mempelajari situasi kampus, hingga timbullah dalam benakku, entah benar atau salah, tapi yang ku rasakan bahwa banyak yang mudah mendapatkan nilai B atau A karena mereka berasal dari daerah yang sama dengan dosen-dosen yang mengajar. Atau karena latar belakang yang sama-sama satu suku dengan dosen-dosen yang mengajar. Sering ku perhatikan, mereka sering berbincang-bincang dengan dosen-dosen yang mengajar menggunakan bahasa asal daerah mereka sehingga mereka menjadi akrab dan dikenal dosen.
Entah apakah karena pengaruh sama-sama satu daerah atau satu suku sehingga sangat mudah teman-temanku yang lainnya mendapatkan nilai B dan A. Entahlah, barangkali aku yang salah karena terlalu depresi dan frustasi sehingga muncul pikiran demikian. Tapi itu lah yang ada dalam benakku saat itu. Kadang aku merasa menyesal ketika aku berkerja di hotel dan bertemu dengan salah seorang dosenku yang mata kuliahnya selalu aku tidak lulus, mengapa saat itu aku tidak langsung memberitahukannya saja bahwa aku ini mahasiswanya sehingga akan mudah bagiku untuk lulus dari setiap mata kuliahnya karena aku mengetahui perilakunya di luar kampus.
Seandainya saat itu aku lakukan, barangkali aku tidak perlu bersusah payah untuk dapat lulus mata kuliah dosenku itu. Tapi entahlah, kejadian itu sudah lama berlalu, dan sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa IPK ku 2,20. Nilai yang sangat memalukan, dan sangat menjengkelkan jika ada yang bertanya berapa IPK akhirku, rasa-rasanya aku ingin lari saja jika ada pertanyaan seperti itu, dan tidak ingin menjawabnya.

----------

Memasuki semester 6, aku menjadi sangat depresi, selain karena frustasi melihat IPK akhirku 2,20, juga karena semester 6 itu waktunya untuk Praktek Mengajar ke sekolah-sekolah atau PPL. Aku sangat takut sekali jika disuruh mengajar ke sekolah, dan mata kuliah PPL ini benar-benar menambah despresiku sehingga aku berencana akan berhenti kuliah. Aku pun mencoba menyampaikan kepada orangtuaku bahwa aku sudah tidak betah untuk bertahan kuliah karena nilai IPK ku hanya 2,20 hingga akhir semester 5, dan nilai setinggi itulah yang sanggup ku dapatkan ditambah lagi untuk semester 6 ini aku harus Praktek Mengajar ke sekolah atau PPL, dan aku sangat takut sekali harus mengajar ke sekolah. Karenanya aku ingin berhenti kuliah saja.
Mendengar permintaanku yang ingin berhenti kuliah itu, orangtuaku sangat marah. Maka berdebatlah aku dengan orangtuaku saat itu bahwa aku memang tidak ingin kuliah di jurusan itu, sejak awal aku ingin kuliah ke STSI Surakarta tapi tidak diberikan izin dan dipaksa kuliah ke jurusan itu. Sedangkan aku sangat takut jika disuruh mengajar, kemudian aku juga susah mendapat nilai yang memuaskan di jurusan itu. Aku benar-benar seperti orang bodoh yang hanya mampu mendapat nilai IPK 2,20. Aku benar-benar tidak tahan dan ingin berhenti.
Dalam perdebatanku dengan orangtuaku, sedaya upaya ku jelaskan bahwa aku sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan kuliah di jurusan itu, tapi orangtuaku tidak bisa menerimanya dan tetap meminta agar aku menyelesaikan kuliahku yang saat itu telah memasuki semester 6. Hingga perdebatan semakin panas, dan aku bersikeras akan berhenti kuliah. Melihat tekadku untuk berhenti kuliah tidak bisa di tahan-tahan lagi, akhirnya orangtuaku membujuk agar aku menyelesaikan dahulu kuliah yang tinggal 3 semester lagi itu. Setelah aku menyelesaikan kuliah, silahkan aku kuliah lagi ke STSI Surakarta.
Mendapat jawaban dari orangtuaku itu bahwa aku di izinkan kuliah lagi ke STSI Surakarta setelah aku menyelesaikan kuliahku, hatiku pun melunak, dan keinginan untuk berhenti kuliah ku urungkan. Maka berlanjutlah lagi aku kuliah memasuki semester 6. Meski telah diberikan izin untuk melanjutkan kuliah lagi ke STSI Surakarta, namun tetap saja hatiku risau memasuki semester 6 itu karena harus melaksanakan praktek mengajar ke sekolah.

----------

Awal bulan Februari 1999, aku mulai praktek mengajar di sekolah. Dari kampus aku di tugaskan mengajar di SMU Santun Untan. Minggu pertama aku lewati dengan kerisauan karena sangat gerogi berdiri di depan kelas dan berhadapan dengan murid-murid yang memiliki berbagai tingkah. Apalagi dengan logat “R” ku yang berkarat, menjadi bahan gurauan murid-murid di kelas yang ku ajar. Aku sangat jengkel dengan situasi demikian dan membuat aku tidak betah masuk ke kelas.
Memasuki minggu kedua, kerisauanku makin memuncak karena aku tidak mampu mengendalikan murid-murid yang kelasnya ku ajar. Logat “R” ku yang berkarat selalu menjadi gurauan mereka. Kelas yang ku ajar itu pun menjadi ribut sehingga aku di tegur oleh Guru Pamongku. Pada minggu ketiga aku semakin tak berdaya, murid-muridku semakin ribut ketika aku mengajar, sehingga kembali aku di tegur dengan keras oleh Guru Pamongku, dan minggu keempat aku tidak mau lagi datang ke sekolah.
Penghujung bulan Februari 1999, aku putuskan untuk tidak mau datang lagi ke sekolah tempatku praktek mengajar. Kembali aku ingin menyampaikan kepada orangtuaku bahwa aku ingin berhenti kuliah karena aku memang tidak bisa mengajar. Tapi aku tidak berani untuk kembali menyampaikannya, sehingga orangtuaku tidak tahu jika aku sudah tidak datang lagi ke sekolah tempatku PPL. Hatiku ku pun semakin berkecamuk saat itu, hingga terlintaslah keinginan untuk ikut Kursus Menjahit agar gejolak dalam pikiranku tersalurkan. Selain itu karena aku juga senang menjahit. Aku kemudian berkeliling mencari tempat Kursus Menjahit.
Dari beberapa tempat yang ku datangi, aku sangat tertarik untuk ikut Kursus Menjahit di Aini School di Jalan Tengku Umar. Pada saat itu Bu Aini pemilik Aini School masih menerima murid baru. Bu Aini sempat heran juga melihat aku yang laki-laki ingin kursus menjahit, tapi Bu Aini mengatakan bahwa sebelum-sebelumnya ada beberapa orang muridnya laki-laki yang pernah kursus menjahit di tempatnya, sehingga ia memaklumi jika aku berkeinginan untuk ikut kursus menjahit di tempatnya. Maka pada awal Maret 1999, aku mulai masuk kursus menjahit di Aini School dengan jadwal kursus dari jam 2 siang hingga jam 4 sore serta biaya perbulan 30.000.

----------

Pada awal bulan Maret 1999, aku mulai masuk kursus menjahit di Aini School di Jalan Tengku Umar. Semua murid yang kursus adalah wanita remaja dan ibu-ibu, hanya aku saja yang sendiri laki-laki. Meski kehadiranku di kelas menjahit itu menjadi bahan candaan murid-murid yang lain, tapi aku santai saja. Aku belajar menjahit dengan serius sepanjang bulan itu walau hanya aku sendiri yang laki-laki.
Pada bulan April 1999, masuk murid baru laki-laki di Aini School. Aku sangat senang ada laki-laki yang juga ikut kursus, sehingga aku punya kawan. Murid baru laki-laki itu kemudian duduk di dekatku karena dilihatnya ada laki-laki juga yang ikut kursus. Ia selanjutnya mengenalkan diri kepadaku. Namanya adalah Iwan Kelana, pemilik Sanggar K2SP. Aku sering mendengar nama itu. Iwan Kelana adalah Desainer dan Penata Modeling yang terkenal di Pontianak. Selama ini aku hanya mendengar nama besarnya saja, tapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Dan saat itu aku akhirnya bertemu langsung dengan orangnya, dan duduk sekelas di kursus menjahit. Sejak itu aku berteman akrab dengan Iwan Kelana.
Pertengahan April 1999, salah seorang murid sekelasku kursus menjahit bernama Marlina sakit dan di rawat di Rumah Sakit Soedarso Pontianak. Selepas kursus menjahit, teman-temanku akan menjenguk Marlina di Rumah Sakit Soedarso, dan mereka mengajakku. Aku bersedia untuk ikut menjenguk juga, namun Iwan Kelana tidak bisa ikut karena ia ada kegiatan penting setelah kursus. Maka pergilah aku bersama teman-teman wanitaku. Kami pun tiba di Rumah Sakit Soedarso dan menjenguk Marlina.
Setelah hampir satu jam aku di ruangan tempat Marlina di rawat, aku menyampaikan kepada teman-teman wanitaku untuk pulang. Tapi rupanya mereka masih betah mengobrol dengan Marlina, sedangkan aku sudah tidak betah karena aku hanya bisa menjadi pendengar saja. Aku kemudian meminta izin untuk pulang duluan karena malamnya aku ada keperluan. Marlina dan teman-teman wanitaku memakluminya dan mempersilahkan aku untuk pulang duluan. Setelah berpamitan, aku kemudian keluar dari ruangan tempat Marlina di rawat.
Ketika melewati lorong Rumah Sakit Soedarso, tiba-tiba aku mendengar ada yang memanggil namaku. Aku menoleh kesana kemari mencari siapa yang memanggilku. Dan kembali ku dengar ada yang memanggil, rupanya suara orang yang memanggilku itu berasal dari sebuah jendela nako yang terbuka kacanya. Aku segera mendekati jendela tersebut untuk mengetahui siapa yang telah memanggilku.
Setelah didekat jendela itu, terlihatlah olehku seorang wanita berada dibalik jendela yang terlihat sangat kurus sedang duduk di tempat tidur dan sedang di infus. Wanita itu kembali menyebut namaku dan ditambahnya dengan sebutan si “R” berkarat. Aku masih bingung siapa wanita itu, dan berusaha mengingat-ingat, tapi tetap aku belum bisa mengingatnya. Melihat aku sangat bingung dan berusaha mengingat, akhirnya wanita yang sangat kurus itu berkata bahwa ia adalah Zahara. Aku pun berusaha mengingat siapa Zahara, apakah temanku atau siapa.
Rupanya ia melihat aku belum juga bisa mengingat walaupun ia telah menyebutkan namanya. Ia selanjutnya berkata lagi bahwa ia adalah Zahara yang dulu menjadi Remaja Masjid Al-Falah dan telah meminjam buku harianku.

----------

Bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...