ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN
--- JILID 3 ---
Beberapa tahun berlalu, aku
tidak pernah bertemu Ridwan dan Sueb lagi. Begitupun Zahara yang menjengkelkan,
telah terlupakan dalam ingatanku.
Awal tahun 1999, aku telah
kuliah memasuki semester 6. Fikiranku sangat kacau saat itu, setelah ku terima
nilai akhir kuliahku selama 5 semester dengan hasil IPK yang sangat
mengecewakan yaitu 2,20. Aku sangat depresi dan putus asa, karena sulit sekali
untuk mendapatkan nilai yang memuaskan di Kampus itu. Untuk bisa lulus dengan
nilai C saja aku sudah sangat gembira apalagi jika bisa mendapatkan nilai B,
seakan-akan bagai mimpi yang sulit ku raih saat itu.
Sering ku termenung, ku rasa
aku sudah maksimal menguatkan diri selama semester 4 dan 5 untuk memperbaiki
diri dan berusaha menyenangi jurusan kuliah yang ku ambil. Tapi tetap saja
banyak mata kuliahku yang tidak lulus. Padahal aku sudah bertahan untuk rajin
masuk kuliah dan bergaul dengan teman-teman seangkatanku untuk belajar dari
mereka dan mempermudahkan jika ada tugas-tugas kuliah, tapi tetap saja nilaiku
tidak sama, teman-temanku itu lulus dengan nilai B dan A, sedangkan aku hanya
bisa berpuas diri dengan nilai C, dan beberapa nilai D. Situasi tersebut
benar-benar membuatku frustasi.
Aku kembali merenungi IPK
kuliahku dari semester 1 hingga 5, memang sangat mengecewakan. Semester 1 IPK
ku 1,30. Semester 2 IPK ku 1,50. Semester 3 IPK ku 1,85. Semester 4 IPK ku 2,10
dan semester 5 IPK ku 2,20.
Aku menjadi sangat frustasi
dan sering merenung, apakah aku ini bodoh, atau karena aku yang tidak ingin
kuliah di kampus itu sehingga mempengaruhi semangatku untuk kuliah dan belajar.
Entahlah.
Aku menjadi sangat iri
dengan teman-temanku yang lain yang sepertinya mudah sekali mendapat nilai B
bahkan A. Minder sekali rasanya saat itu, aku benar-benar merasa sangat
terkucilkan. Lambat laut aku mulai mempelajari situasi kampus, hingga timbullah
dalam benakku, entah benar atau salah, tapi yang ku rasakan bahwa banyak yang
mudah mendapatkan nilai B atau A karena mereka berasal dari daerah yang sama
dengan dosen-dosen yang mengajar. Atau karena latar belakang yang sama-sama
satu suku dengan dosen-dosen yang mengajar. Sering ku perhatikan, mereka sering
berbincang-bincang dengan dosen-dosen yang mengajar menggunakan bahasa asal
daerah mereka sehingga mereka menjadi akrab dan dikenal dosen.
Entah apakah karena pengaruh
sama-sama satu daerah atau satu suku sehingga sangat mudah teman-temanku yang
lainnya mendapatkan nilai B dan A. Entahlah, barangkali aku yang salah karena
terlalu depresi dan frustasi sehingga muncul pikiran demikian. Tapi itu lah
yang ada dalam benakku saat itu. Kadang aku merasa menyesal ketika aku berkerja
di hotel dan bertemu dengan salah seorang dosenku yang mata kuliahnya selalu
aku tidak lulus, mengapa saat itu aku tidak langsung memberitahukannya saja
bahwa aku ini mahasiswanya sehingga akan mudah bagiku untuk lulus dari setiap
mata kuliahnya karena aku mengetahui perilakunya di luar kampus.
Seandainya saat itu aku
lakukan, barangkali aku tidak perlu bersusah payah untuk dapat lulus mata
kuliah dosenku itu. Tapi entahlah, kejadian itu sudah lama berlalu, dan
sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa IPK ku 2,20. Nilai yang sangat
memalukan, dan sangat menjengkelkan jika ada yang bertanya berapa IPK akhirku,
rasa-rasanya aku ingin lari saja jika ada pertanyaan seperti itu, dan tidak
ingin menjawabnya.
----------
Memasuki semester 6, aku
menjadi sangat depresi, selain karena frustasi melihat IPK akhirku 2,20, juga
karena semester 6 itu waktunya untuk Praktek Mengajar ke sekolah-sekolah atau
PPL. Aku sangat takut sekali jika disuruh mengajar ke sekolah, dan mata kuliah
PPL ini benar-benar menambah despresiku sehingga aku berencana akan berhenti
kuliah. Aku pun mencoba menyampaikan kepada orangtuaku bahwa aku sudah tidak betah
untuk bertahan kuliah karena nilai IPK ku hanya 2,20 hingga akhir semester 5,
dan nilai setinggi itulah yang sanggup ku dapatkan ditambah lagi untuk semester
6 ini aku harus Praktek Mengajar ke sekolah atau PPL, dan aku sangat takut
sekali harus mengajar ke sekolah. Karenanya aku ingin berhenti kuliah saja.
Mendengar permintaanku yang
ingin berhenti kuliah itu, orangtuaku sangat marah. Maka berdebatlah aku dengan
orangtuaku saat itu bahwa aku memang tidak ingin kuliah di jurusan itu, sejak
awal aku ingin kuliah ke STSI Surakarta tapi tidak diberikan izin dan dipaksa
kuliah ke jurusan itu. Sedangkan aku sangat takut jika disuruh mengajar,
kemudian aku juga susah mendapat nilai yang memuaskan di jurusan itu. Aku
benar-benar seperti orang bodoh yang hanya mampu mendapat nilai IPK 2,20. Aku
benar-benar tidak tahan dan ingin berhenti.
Dalam perdebatanku dengan
orangtuaku, sedaya upaya ku jelaskan bahwa aku sudah tidak sanggup lagi untuk
melanjutkan kuliah di jurusan itu, tapi orangtuaku tidak bisa menerimanya dan
tetap meminta agar aku menyelesaikan kuliahku yang saat itu telah memasuki
semester 6. Hingga perdebatan semakin panas, dan aku bersikeras akan berhenti
kuliah. Melihat tekadku untuk berhenti kuliah tidak bisa di tahan-tahan lagi,
akhirnya orangtuaku membujuk agar aku menyelesaikan dahulu kuliah yang tinggal
3 semester lagi itu. Setelah aku menyelesaikan kuliah, silahkan aku kuliah lagi
ke STSI Surakarta.
Mendapat jawaban dari
orangtuaku itu bahwa aku di izinkan kuliah lagi ke STSI Surakarta setelah aku
menyelesaikan kuliahku, hatiku pun melunak, dan keinginan untuk berhenti kuliah
ku urungkan. Maka berlanjutlah lagi aku kuliah memasuki semester 6. Meski telah
diberikan izin untuk melanjutkan kuliah lagi ke STSI Surakarta, namun tetap
saja hatiku risau memasuki semester 6 itu karena harus melaksanakan praktek
mengajar ke sekolah.
----------
Awal bulan Februari 1999,
aku mulai praktek mengajar di sekolah. Dari kampus aku di tugaskan mengajar di
SMU Santun Untan. Minggu pertama aku lewati dengan kerisauan karena sangat
gerogi berdiri di depan kelas dan berhadapan dengan murid-murid yang memiliki
berbagai tingkah. Apalagi dengan logat “R” ku yang berkarat, menjadi bahan
gurauan murid-murid di kelas yang ku ajar. Aku sangat jengkel dengan situasi
demikian dan membuat aku tidak betah masuk ke kelas.
Memasuki minggu kedua,
kerisauanku makin memuncak karena aku tidak mampu mengendalikan murid-murid yang
kelasnya ku ajar. Logat “R” ku yang berkarat selalu menjadi gurauan mereka. Kelas
yang ku ajar itu pun menjadi ribut sehingga aku di tegur oleh Guru Pamongku.
Pada minggu ketiga aku semakin tak berdaya, murid-muridku semakin ribut ketika
aku mengajar, sehingga kembali aku di tegur dengan keras oleh Guru Pamongku,
dan minggu keempat aku tidak mau lagi datang ke sekolah.
Penghujung bulan Februari
1999, aku putuskan untuk tidak mau datang lagi ke sekolah tempatku praktek
mengajar. Kembali aku ingin menyampaikan kepada orangtuaku bahwa aku ingin
berhenti kuliah karena aku memang tidak bisa mengajar. Tapi aku tidak berani
untuk kembali menyampaikannya, sehingga orangtuaku tidak tahu jika aku sudah
tidak datang lagi ke sekolah tempatku PPL. Hatiku ku pun semakin berkecamuk
saat itu, hingga terlintaslah keinginan untuk ikut Kursus Menjahit agar gejolak
dalam pikiranku tersalurkan. Selain itu karena aku juga senang menjahit. Aku
kemudian berkeliling mencari tempat Kursus Menjahit.
Dari beberapa tempat yang ku
datangi, aku sangat tertarik untuk ikut Kursus Menjahit di Aini School di Jalan
Tengku Umar. Pada saat itu Bu Aini pemilik Aini School masih menerima murid
baru. Bu Aini sempat heran juga melihat aku yang laki-laki ingin kursus
menjahit, tapi Bu Aini mengatakan bahwa sebelum-sebelumnya ada beberapa orang
muridnya laki-laki yang pernah kursus menjahit di tempatnya, sehingga ia
memaklumi jika aku berkeinginan untuk ikut kursus menjahit di tempatnya. Maka pada
awal Maret 1999, aku mulai masuk kursus menjahit di Aini School dengan jadwal
kursus dari jam 2 siang hingga jam 4 sore serta biaya perbulan 30.000.
----------
Pada awal bulan Maret 1999,
aku mulai masuk kursus menjahit di Aini School di Jalan Tengku Umar. Semua murid
yang kursus adalah wanita remaja dan ibu-ibu, hanya aku saja yang sendiri
laki-laki. Meski kehadiranku di kelas menjahit itu menjadi bahan candaan
murid-murid yang lain, tapi aku santai saja. Aku belajar menjahit dengan serius
sepanjang bulan itu walau hanya aku sendiri yang laki-laki.
Pada bulan April 1999, masuk
murid baru laki-laki di Aini School. Aku sangat senang ada laki-laki yang juga
ikut kursus, sehingga aku punya kawan. Murid baru laki-laki itu kemudian duduk
di dekatku karena dilihatnya ada laki-laki juga yang ikut kursus. Ia selanjutnya
mengenalkan diri kepadaku. Namanya adalah Iwan Kelana, pemilik Sanggar K2SP. Aku
sering mendengar nama itu. Iwan Kelana adalah Desainer dan Penata Modeling yang
terkenal di Pontianak. Selama ini aku hanya mendengar nama besarnya saja, tapi
belum pernah bertemu dengan orangnya. Dan saat itu aku akhirnya bertemu
langsung dengan orangnya, dan duduk sekelas di kursus menjahit. Sejak itu aku
berteman akrab dengan Iwan Kelana.
Pertengahan April 1999, salah
seorang murid sekelasku kursus menjahit bernama Marlina sakit dan di rawat di
Rumah Sakit Soedarso Pontianak. Selepas kursus menjahit, teman-temanku akan
menjenguk Marlina di Rumah Sakit Soedarso, dan mereka mengajakku. Aku bersedia
untuk ikut menjenguk juga, namun Iwan Kelana tidak bisa ikut karena ia ada
kegiatan penting setelah kursus. Maka pergilah aku bersama teman-teman
wanitaku. Kami pun tiba di Rumah Sakit Soedarso dan menjenguk Marlina.
Setelah hampir satu jam aku
di ruangan tempat Marlina di rawat, aku menyampaikan kepada teman-teman
wanitaku untuk pulang. Tapi rupanya mereka masih betah mengobrol dengan
Marlina, sedangkan aku sudah tidak betah karena aku hanya bisa menjadi
pendengar saja. Aku kemudian meminta izin untuk pulang duluan karena malamnya
aku ada keperluan. Marlina dan teman-teman wanitaku memakluminya dan
mempersilahkan aku untuk pulang duluan. Setelah berpamitan, aku kemudian keluar
dari ruangan tempat Marlina di rawat.
Ketika melewati lorong Rumah
Sakit Soedarso, tiba-tiba aku mendengar ada yang memanggil namaku. Aku menoleh
kesana kemari mencari siapa yang memanggilku. Dan kembali ku dengar ada yang
memanggil, rupanya suara orang yang memanggilku itu berasal dari sebuah jendela
nako yang terbuka kacanya. Aku segera mendekati jendela tersebut untuk
mengetahui siapa yang telah memanggilku.
Setelah didekat jendela itu,
terlihatlah olehku seorang wanita berada dibalik jendela yang terlihat sangat
kurus sedang duduk di tempat tidur dan sedang di infus. Wanita itu kembali
menyebut namaku dan ditambahnya dengan sebutan si “R” berkarat. Aku masih
bingung siapa wanita itu, dan berusaha mengingat-ingat, tapi tetap aku belum
bisa mengingatnya. Melihat aku sangat bingung dan berusaha mengingat, akhirnya
wanita yang sangat kurus itu berkata bahwa ia adalah Zahara. Aku pun berusaha
mengingat siapa Zahara, apakah temanku atau siapa.
Rupanya ia melihat aku belum
juga bisa mengingat walaupun ia telah menyebutkan namanya. Ia selanjutnya
berkata lagi bahwa ia adalah Zahara yang dulu menjadi Remaja Masjid Al-Falah
dan telah meminjam buku harianku.
----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar