ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN
--- JILID 1 ---
September 1989, aku di tunjuk sebagai ketua Remaja Surau di
tempatku. Aku tinggal di Gang Sirsak Jalan Apel Pontianak. Saat itu remaja di
sekitar Surau Al-Ilham di Gang Sirsak sangat bersemangat membentuk organisasi
remaja yang berpusat di Surau Al-Ilham. Pada masa itu sedang maraknya
bermunculan organisasi-organisasi remaja Masjid dan Surau. Kegiatan remaja
Masjid dan Surau ini sangat meriah pada hari-hari besar Islam terutama pada
saat bulan puasa dan malam takbiran.
Organisasi Remaja Surau di tempat tinggalku bernama Persatuan
Remaja Islam Surau Al-Ilham yang disingkat PRISAI. Kegiatan rutin yang diadakan
oleh PRISAI ini adalah pengajian remaja setiap malam Selasa, pelajaran Tauhid
dan Fiqih setiap malam Rabu dan malam Sabtu yang diajarkan oleh Pak Abdurahman,
atau yang kami panggil Pak Cik. Dipanggil Pak Cik karena tubuhnya kecil. Setiap
malam Jum’at Berzanzi berkeliling dari rumah ke rumah.
Pak Abdurahman atau Pak Cik adalah Guru Ngajiku sejak aku di
kelas 2 SD. Sebelumnya ketika aku kelas 1 SD aku belajar Ngaji dengan Tok Aji
Amir di Gang Candi Agung Sungai Bangkong Pontianak. Tok Aji Amir umurnya sudah
sangat tua. Selama mengajarkan mengaji, Tok Aji Amir selalu bercerita tentang
kisah-kisah Nabi dan Rasul, kisah para Malaikat, penciptaan dunia, kisah langit
dan bumi, kisah di alam kubur, kisah kiamat, kisah akhirat, kisah tentang Surga
dan Neraka. To Aji Amir menceritakan kisah-kisah tersebut sebelum dan sesudah
mengajarkan mengaji sehingga aku dan murid-murid lainnya yang belajar mengaji
senang belajar dengan Tok aji Amir karena senang mendengarnya bercerita. Selain
itu Tok Aji Amir juga selalu bercerita tentang Guru-Gurunya yaitu Habib Sholeh
Al-Hadad dan Ustadz H. Abdurrani Mahmud.
Habib Sholeh Al-Hadad dalam cerita beliau disampaikan
memiliki mata yang buta dan hafal AlQur’an. Meski matanya buta namun Habib
Sholeh Al-Hadad rutin mengajar agama kemana-mana dan dapat mengetahui siapa
saja yang ditemuinya. Sedangkan Ustadz H. Abdurrani Mahmud adalah seorang ahli
Ilmu Falak yang menyusun Jadwal Sholat sepanjang masa. Namun aku hanya beberapa
bulan saja belajar mengaji dengan Tok Aji Amir karena orangtuaku pindah ke Gang
Sirsak di Jeruju tahun 1984. Ketika tinggal di Gang Candi Agung, aku bersekolah
di SD Gang Cimahi. Namun ketika kelas 4 SD aku pindah sekolah ke SD di dekat
rumahku di Gang Sirsak.
Setelah orangtuaku pindah rumah, aku pun pindah belajar
mengaji dengan Pak Abdurahman atau Pak Cik ketika di kelas 2 SD. Pak Cik adalah
seorang Guru Ngaji di tempat tinggalku yang baru yaitu di Gang Sirsak. Cara mengajar
Pak Cik dengan Tok Aji Amir sangat berbeda. Tok Aji Amir mengajar dengan gaya
yang mengikut perilaku anak-anak sedangkan Pak Cik mengajar dengan cara yang
keras. Selama belajar mengaji dengan Pak Cik aku selalu menangis karena sering
dimarahi, apalagi Pak Cik selalu membawa rotan yang selalu dipukulkannya jika
aku salah atau lupa huruf-huruf dalam mengaji. Hingga sempat aku tidak mau
mengaji lagi dengan Pak Cik dan meminta kepada orangtuaku untuk membawaku
kembali belajar mengaji kepada Tok Aji Amir. Tapi orangtuaku tidak
menyetujuinya karena untuk belajar kembali kepada Tok Aji Amir tempatnya jauh
dari Jeruju. Sehingga orangtuaku membujukku agar aku mau kembali belajar
mengaji dengan Pak Cik.
Setelah beberapa minggu aku tidak mau mengaji, akhirnya
setelah dibujuk terus menerus oleh orangtuaku, aku pun mau kembali belajar
mengaji dengan Pak Cik. Ketika aku kembali belajar mengaji ini, Pak Cik agak
berkurang kerasnya dalam mengajarku mengaji. Tapi tetap saja jika aku salah
atau lupa huruf, rotannya itu mendarat di tubuhku. Meski terasa sakit tapi aku
kuatkan diri untuk terus belajar mengaji hingga hatam Qur’an.
Ketika aku kelas 4 SD, Pak Cik menyuruhku untuk ikut belajar
pelajaran Tauhid dan Fiqih di rumahnya. Ketika pertama kali aku mengikuti
pelajaran itu, ramai sekali yang belajar di rumahnya yang kebanyakan adalah
remaja dan orangtua. Aku yang saat itu belum begitu mengerti tentang pelajaran
Tauhid dan Fiqih itu mengikut saja.
Pak Cik rupanya berguru dengan Ustadz Ridho Yahya yang pada
saat itu sebagai salah seorang Guru di Pesanteren As Salam di Pal Pontianak. Pak
Cik rutin belajar kepada Ustadz Ridho Yahya, dan apa yang didapatnya di ajarkan
kembali kepada murid-muridnya di Majelis Taklim di rumahnya. Setelah dua tahun
aku belajar dengan Pak Cik, barulah aku bertemu dengan Ustadz Ridho Yahya yang
pada saat itu membuka Majelis pelajaran Tauhid dan Fiqh di Sungai Jawi. Inilah permulaan
aku berguru dengan Ustadz Ridho Yahya atau yang bernama lengkap Al-Habib
Muhammad Ridho Bin Ahmad Bin Agil Bin Yahya. Ustadz Ridho Yahya juga berguru
kepada Habib Sholeh Al-Hadad.
Ketika aku ditunjuk sebagai ketua Remaja Surau Al-Ilham,
ketua pengurus Suraunya adalah Pak Umar yang berkerja di Bank, dan Imam
Suraunya ada dua orang yaitu Pak Cik dan Pak Jamhir atau sering dipanggil Ayah
Jamhir. Keduanya in bergiliran menjadi Imam di Surau. Pada saat itu aku juga
aktif di organisasi Remaja Majelis Taklim Ash Habul Kahfi di Perum 1.
Remaja Majelis Taklim Ash Habul Kahfi awalnya merupakan Remaja
Masjid Al-Mursalat, tapi karena terjadi perselisihan dengan Pengurus Masjidnya
sehingga Remaja Masjidnya dibubarkan. Pembina Remaja Masjid Al-Mursalat saat
itu yaitu Ayah Bahtiar kemudian membentuk Majelis Taklim Remaja bernama Majelis
Taklim Ash Habul Kahfi untuk menampung minat dan bakat para remaja yang bersemangat
untuk tetap melanjutkan organisasi remaja Masjid Al-Mursalat yang telah di
bubarkan oleh Pengurus Masjidnya.
----------
Pada permulaan bulan puasa yaitu pada akhir Maret 1990,
setelah Sholat Tarawih aku diberikan surat undangan dari Remaja Masjid Al-Falah
di Sungai Jawi Pontianak oleh Pak Umar. Masjid Al-Falah merupakan salah satu
Masjid yang menjadi basis para Ulama, salah satunya adalah Gurunya Tok Aji Amir
dan Ustadz Ridho Yahya yaitu Habib Sholeh Al-Hadad pernah menjadi salah seorang
pembina Masjidnya. Organisasi Remaja Masjidnya sangat maju dan menjadi salah
satu contoh bagi organisasi Remaja Masjid lainnya.
Surat undangan dari Remaja Masjid Al-Falah itu berisi
undangan untuk mengikuti kegiatan Pesanteren Kilat yang diadakan oleh Remaja
Masjid Al-Falah di Masjid Al-Falah selama lima hari yaitu dari tanggal 2 hingga
6 April 1990. Pak Umar menyuruhku untuk mengikuti kegiatan itu, dan aku
mematuhinya. Dalam surat undangan itu disebutkan bahwa untuk pendaftaran
dilaksanakan pada saat pendataan peserta yaitu pada hari pertama kegiatan,
tanggal 2 April 1990, dimulai jam 8 pagi.
Pada hari Senin pagi, 2 April 1990, aku pergi ke Masjid
Al-Falah di Sungai Jawi menggunakan sepedaku. Aku melewati jalan Apel, kemudian
melewati jalan tembusan disamping Bioskop Garuda, selanjutnya berbelok ke kiri
dan tiba lah di Masjid Al-Falah. Ketika aku tiba, telah ada beberapa remaja
yang sedang mendaftar pada panitia pelaksana yang merupakan remaja Masjid
Al-Falah. Setelah menunggu beberapa saat, maka giliranku untuk mendaftar. Aku pun
mengeluarkan surat undangan dari Panitia dari dalam tasku dan ku berikan kepada
salah seorang panita. Saat itu yang menerima pendaftaranku adalah seorang
remaja wanita. Wajahnya sangat cantik dan berjilbab rapi berwarna merah muda. Hatiku
betah juga memandang wajah wanita itu. Sangat teduh dan membuat hati menjadi
damai melihatnya.
Ketika mendataku, remaja wanita itu bertanya nama dan asalku.
Maka ku sebutkan namaku dan asalku dari Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham
di Gang Sirsak. Mendengar perkataanku itu, remaja wanita itu memintaku untuk
mengulangi kata-kataku lagi sambil ia menatap wajahku dengan serius. Maka ku
ulangi lagi menyebutkan namaku dan asalku yaitu dari Persatuan Remaja Islam Surau
Al-Ilham di Gang Sirsak. Selesai aku menyebut ulang nama dan asalku, remaja
wanita itu langsung tertawa nyaring sekali, sehingga membuatku bingung. Tertawanya
itu memancing perhatian dari teman-temannya yang lain, sehingga mereka semua
bertanya kepada remaja wanita itu ada apa ia tertawa nyaring sekali.
Remaja wanita itu kemudian mengajak teman-temannya yang lain
untuk bersama-sama mendengar ulang perkataanku. Aku pun dimintanya untuk
menyebutkan kembali nama dan asalku. Maka ku sebutkan kembali nama dan asalku
yaitu dari Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham di Gang Sirsak. Kembali ia riuh
tertawa begitupun teman-temannya. Aku menjadi semakin bingung ada apa.
Selanjutnya ia memintaku untuk mengucapkan kata-kata “Ular
melingkar-lingkar di pagar rumah Pak Umar”. Setelah ia berkata demikian,
barulah aku mengerti bahwa ia dan teman-temannya menertawakan “R” ku yang
berkarat. Aku memang tidak bisa menyebut huruf “R”, sehingga yang keluar adalah
penyebutan “R” yang berkarat.
Dengan bersusah payah aku menyebut kata-kata “Ular
melingkar-lingkar di pagar rumah Pak Umar”, dengan logat “R” yang berkarat
sehingga makin riuhlah ia dan teman-temannya tertawa. Saat itu logat bahasa “R”
ku yang berkarat itu benar-benar menjadi hiburan bagi mereka. Sedangkan aku
hanya bisa tersenyum pasrah dengan perasaan malu dan menerima kenyataan saja.
Remaja wanita itu kemudian berkata lagi dengan olokan apakah
waktu aku SD dulu membolos ketika pembagian “R” dari guruku, sehingga aku tidak
kebagian “R”. Aku tak bisa menjawab olokannya, dan hanya bisa tersenyum malu
saja. Setelah puas dia menertawakanku, aku pun disuruhnya masuk ke tempat
kegiatan karena kegiatan Pesanteren Kilat akan segera dimulai. Tanpa berkata
apa-apa, dan dengan perasaan malu luar biasa, aku langsung menuju tempat
kegiatan di dalam Masjid Al-Falah yang telah disediakan panitia. Perasaanku tak
karuan saat itu.
Ketika acara pembukaan dan perkenalan panita pelaksana
kegiatan, barulah aku tahu bahwa remaja wanita yang menertawakanku itu bernama
Zahara, kelas dua Aliyah. Inilah awal mula aku mengenal Zahara.
----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar