Sabtu, 28 April 2018

PH. RASIP ODDY : SEJARAH TERBENTUKNYA KECAMATAN TOBA

PH. RASIP ODDY
SEJARAH TERBENTUKNYA KECAMATAN TOBA

Kecamatan Toba adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Sanggau yang dahulunya disebut Embuloh merupakan kawasan hutan rimba yang belum berpenghuni. Hingga suatu ketika, datanglah serombongan masyarakat dari Suku Dayak Desa yang memiliki hubungan kekeluargaan yang terdiri dari beberapa kepala keluarga yaitu :
1.         Ph. Rasip Oddy atau Nek Uban.
2.         Sekolah atau Nek Ruek.
3.         Ratan atau Nek Bangal.
4.         Jalak atau Nek Dengkel.
5.         Sarek atau Nek Lambong.
6.         Nia atau Nek Dendok.
7.         Deroy atau Nek Bekok.
8.         Nek Goah.
Rombongan keluarga yang dipimpin oleh PH. Raseb Oddiy atau Nek Uban ini sebelumnya bermukim di Dawak Bungkang. Adapun orang-orang tua rombongan tersebut sebelum bermukim di Dawak Bungkang berasal dari Songkong. Sebelum menetap di Dawak Bungkang, Orang-orang tua mereka sempat bermukim di Dawak Belungai. Sedangkan nenek moyang mereka dahulunya berasal dari Desa Ayau dan Enggaday yang merupakan wilayah Desa Sembilan Demong Sepuluh.
Nenek moyang mereka ini adalah kelompok masyarakat suku Dayak Cupang Desa yang sebelumnya bermukim di Laman Sengkuang. Adapun nenek moyang mereka sebelumnya yang bermukim di Laman Sengkuang, berasal dari wilayah Hulu Aik di Ketapang, yang berpindah dan membangun pemukiman di Laman Sengkuang. Setelah beberapa generasi, nenek moyang mereka berpindah ke beberapa tempat yang diantaranya yaitu ke Ayau, Enggaday, Meranggau, Balai Tinggi dan Dusun Nek Cincin.
Perpindahan nenek moyang mereka dari Laman Sengkuang setelah mendapat kabar bahwa kaum kerabat mereka telah ramai bermukim di wilayah Madong dan wilayah Gunung Cupang. Di kedua wilayah ini, kaum kerabat mereka telah hidup makmur dan sejahtera karena kondisi kedua wilayah tersebut yang subur sehingga menarik minat mereka untuk berpindah ke wilayah tersebut. Selain itu didapatkan kabar juga bahwa sumber daya alam dikedua wilayah tersebut sangat banyak sehingga menjadi jaminan bahwa kehidupan keluarga mereka akan makmur dan sejahtera nantinya.
Sebelum ke wilayah Embuloh, rombongan PH. Rasip Oddy atau Nek Uban sempat membuat laman di wilayah Nek Demang Janggut di Desa Lumut. Karena dirasakan wilayah Nek Demang Janggut kurang subur untuk berlandang dan bertani, sehingga rombongan tersebut berpindah lagi dan membuka laman di Embuloh. Embuloh merupakan nama sebuah pohon yang tumbuh diwilayah tersebut sehingga wilayah tersebut disebut Embuloh. Pohon Embuloh ini dikabarkan sulit terpotong ketika masyarakat akan membuka lahan, sehingga wilayah itu disebut Embuloh.
Di wilayah Embuloh ini, PH. Rasip Oddy atau Nek Uban memimpin rombongannya membuka laman dan membangun pemukiman yang terdiri dari delapan keluarga tersebut. Delapan keluarga ini menjadi awal mula keberadaan penduduk di wilayah Embuloh.
Beberapa tahun berikutnya, muncullah ide PH. Rasip Oddy yang disampaikannya kepada ketujuh kepala keluarga lainnya untuk mengajak kerabat mereka lainnya menetap di Embuloh. Ide PH. Rasip Oddy ini disetujui oleh ketujuh kepala keluarga tersebut. Maka pada awal tahun 1960-an, PH. Rasip Oddy menemui pihak kerabatnya di Dawak Belungai dan Dawak Bungkang untuk mengajak bermukim di wilayah Embuloh. Namun tidak semua pihak kerabat PH. Rasip Oddy yang bersedia mengikuti ajakan tersebut, hanya beberapa kerabat saja yang mau pindah dan bermukim di wilayah Embuloh.
Karena dirasakan penduduk yang bermukim masih belum ramai, PH. Rasip Oddy selanjutnya menemui kelompok masyarakat suku Dayak Tobang di Meliau untuk mengajak mereka pindah dan bermukim di wilayah Embuloh. Masyarakat suku Dayak Tobang di Meliau ini merupakan kelompok suku Dayak yang berasal dari Tebang Benua. Ajakan PH. Rasip Oddy itu mendapat sambutan yang baik dari Suku Dayak Tobang di Meliau, meski tidak banyak yang bersedia pindah dan bermukim di Embuloh, namun jumlah kepala keluarga Suku Dayak Tobang dari Meliau yang kemudian membangun rumah di wilayah Embuloh lebih banyak dari jumlah kerabat PH. Rasip Oddy sendiri.
Rupanya perpindahan kepala keluarga Suku Dayak Tobang dari Meliau ini ke wilayah Embuloh terdengar oleh pihak kerabat mereka yang pada masa itu banyak bermukim di pesisir Kapuas yang disebut juga sebagai Orang Kapuas. Mereka jadi tertarik dan beramai-ramai pindah dan menetap di Embuloh. Kebanyakan kepala keluarga Suku Dayak Tobang atau Orang Kapuas ini berasal dari pesisir kampung Bagan Asam, kampung Kelapuk dan kampung Sansat. Dengan begitu banyaknya kepala keluarga Suku Dayak Tobang yang berpindah dan membangun rumah di wilayah Embaloh sehingga kelompok Suku Dayak Tobang ini menjadi kelompok mayoritas terbesar di wilayah Embuloh pada masa itu.
Berpindahnya kepala keluarga Suku Dayak Tobang ternyata terdengar juga oleh kelompok Suku Dayak Banyuke. Mereka jadi tertarik juga untuk meramaikan wilayah Embuloh yang telah dirintis PH. Rasip Oddy atau Nek Uban. PH. Rasip Oddy kemudian memberikan mereka lahan untuk tempat tinggal, maka bermukimlah Suku Dayak Banyuke yang datang dari Meliau dan kampung Mangkup di Embuloh.  PH. Rasip Oddy memberikannya secara cuma-cuma lahan tersebut demi kemajuan dan perkembangan wilayah Embuloh yang telah dirintisnya.
Bermukimnya beberapa kepala keluarga dari Suku Dayak Banyuke di Embuloh rupanya terdengar juga oleh kerabat mereka yang pada masa itu banyak bermukim di wilayah Kemantan dan Mungguk Pasir. Mereka jadi tertarik juga untuk pindah dan bermukim di wilayah Embuloh. Maka beramai-ramailah kepala keluarga Suku Dayak Banyuke dari wilayah Kemantan dan Mungguk Pasir pindah dan bermukim di wilayah Embuloh. PH. Rasip Oddy memberikan lahan secara cuma-cuma, untuk mereka membangun rumah dan ladang di wilayah Embuloh.
Adapun nenek moyang Suku Dayak Banyuke dari Kemantan ini berasal dari wilayah Sembiu dan Kalong. Pada masa dahulu mereka disebut sebagai Orang Tobak, namun pada generasi berikutnya mereka lebih disebut sebagai Orang Banyuke, setelah diketahui bahwa nenek moyang mereka di Sembiu dan Kalong berasal dari wilayah Banyuke. Ramainya kepala keluarga dari Suku Dayak Banyuke yang bermukim di wilayah Embuloh, menjadikan kelompok suku Dayak Banyuke sebagai kelompok suku terbanyak kedua yang menetap di wilayah Embuloh setelah suku Dayak Tobang.
Dengan telah ramainya orang bermukim di wilayah Embuloh, maka diperlukan seorang pemimpin di wilayah itu. Penduduk Embuloh selanjutnya sepakat untuk menunjuk PH. Rasip Oddy atau Nek Uban sebagai Temenggung guna memimpin wilayah tersebut. Beberapa waktu berikutnya setelah PH. Rasip Oddy diangkat sebagai Temenggung oleh masyarakat Embuloh, barulah kerabat PH. Rasip Oddy beramai-ramai pindah dan bermukim di Embuloh. Dengan bermukimnya kerabat Temenggung PH. Rasip Oddy dari Dawak Belungai dan Dawak Bungkang yang merupakan kelompok suku Dayak Desa sehingga suku Dayak ini menjadi kelompok suku terbanyak ketiga di wilayah Embuloh setelah Suku Dayak Tobang dan Banyuke.
Pada tahun tahun berikutnya, wilayah Embuloh semakin ramai ditempati oleh masyarakat dari berbagai wilayah. Temenggung PH. Rasip Oddy semakin yakin bahwa wilayah Embuloh yang dahulunya sering dikatakan orang sebagai ‘Sarang Hantu’, namun berhasil dirintisnya itu kelak akan semakin maju dan berkembang menjadi sebuah kota.
Dengan semakin ramainya penduduk yang menetap di Embuloh, timbul permasalahan berupa sulitnya akses atau transportasi menuju ke Embuloh ataupun keluar wilayah Embuloh. Pada masa itu masyarakat sangat tergantung pada sarana transportasi air yaitu melalui jalur sungai. Tidak adanya akses atau sarana transportasi sangat terasa ketika masyarakat Embuloh akan menjual hasil panen atau ada keperluan keluar wilayah Embuloh, dimana mereka harus pergi ke wilayah tepi sungai dahulu yang selanjutnya menggunakan transportasi air berupa kapal, sampan dan sejenisnya. Selain itu bagi orang luar yang memiliki keperluan ke Embuloh baik untuk berkunjung ke kerabat mereka atau berdagang dan sebagainya, mereka mesti turun ke wilayah tepi sungai dahulu karena belum terdapat akses atau jalur transportasi darat. Selanjutnya mereka melanjutkan berjalan kaki menuju ke Embuloh. Kondisi yang sulit tersebut menjadikan perpindahan kembali penduduk Embuloh ke wilayah baru yang lebih dekat dengan jalur sungai. Wilayah baru itu kemudian disebut sebagai Kampung Baru.
Melihat kondisi demikian, Temenggung PH. Rasip Oddy menghimbau penduduk Embuloh agar tetap bertahan di Embuloh dan tidak berpindah ke Kampung Baru. Temenggung PH. Rasip Oddy meyakinkan bahwa kelak akan ada akses untuk transportasi darat ke Embuloh. Namun apa yang disampaikan Temenggung PH. Rasip Oddy ini tidak diyakini oleh penduduk Embuloh. Apalagi pada masa itu wilayah Embuloh adalah salah satu wilayah Kecamatan Meliau, sehingga jika penduduk Embuloh memiliki keperluan untuk membuat KTP, KK atau yang lainnya, harus pergi ke Meliau. Guna mempermudah keperluan itu, maka penduduk Embuloh banyak yang pindah ke Kampung Baru.
Selain itu belum tersedianya sarana pendidikan yang memadai di Embuloh pada masa tersebut sehingga anak-anak penduduk Embuloh banyak yang bersekolah ke Meliau bahkan ada yang bersekolah ke Sekadau dengan fasilitasi dari sebuah Yayasan Katolik. Anak-anak penduduk Embuloh yang bersekolah ke Meliau dan Sekadau ini enggan pulang ke Embaloh jika bukan libur panjang karena belum adanya jalur transportasi darat menuju ke kampung mereka, dan jikapun mereka berkeras untuk pulang, maka memerlukan waktu yang lama hingga beberapa hari baru mereka dapat tiba di kampung mereka di Embuloh. Karena beberapa permasalahan tersebut, sehingga apa yang disampaikan Temenggung PH. Rasip Oddy tidak didengar dan diyakini oleh penduduk Embuloh. Mereka tetap berkeras pindah ke Kampung Baru.
Pada tahun 1963, Temenggung PH. Rasip Oddy terpilih sebagai Lurah. Temeggung PH. Rasip Oddy memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan itu untuk mewujudkan segala cita-citanya yang ingin menjadikan Embuloh menjadi sebuah kota. Permulaan yang dilakukannya adalah merintis akses atau jalan transportasi darat. Dengan mengerahkan masyarakat Embuloh, PH. Rasip Oddy memimpin pembukaan hutan untuk merintis jalan darat menuju ke Embuloh.
Metode yang dipergunakan Temenggung PH. Rasip Oddy tergolong unik, yaitu masyarakat Embuloh disuruh mengikuti bunyi kentungan yang dipukulnya. Kemana arah bunyi kentungan itu, maka masyarakat disuruh menebas hutan mengikuti bunyi kentungan itu. Tempat-tempat yang ditebas oleh masyarakat Embuloh ini kemudian menjadi jalan darat menuju Embuloh. Temenggung PH. Rasip Oddy benar-benar mempergunakan segala instingnya secara otodidak dalam memimpin masyarakat Embuloh untuk membuka hutan guna terciptanya jalan darat menuju Embuloh. Meski metodenya ini sangat unik, namun masyarakat mengikuti saja apa yang diperintahkannya.
Metode yang dipergunakan oleh Temenggung PH. Rasip Oddy ini sempat menjadi candaan anak-anaknya karena sangat unik dengan mengatakan bagaimana jika bunyi kentungan tersebut terbawa angin, tentunya masyarakat akan keliru mengikuti arah yang dimaksud. Namun rupanya selama pembuatan rintisan jalan darat menggunakan metode Temenggung PH. Rasip Oddy yang unik itu tidak pernah keliru. Kentungan yang dipukul Temenggung PH. Rasip Oddy tidak lari kesana kemari bunyinya, sehingga terciptalah jalan darat menuju Embuloh yang hingga kini masih ada, bahkan telah menjadi jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah.
Setelah terciptanya rintisan jalan darat menuju Embuloh, selanjutnya Temenggung PH. Rasip Oddy menyampaikan lagi gagasannya kepada masyarakat untuk memperjuangkan Embuloh menjadi salah satu wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Sanggau yang terpisah dari Kecamatan Meliau. Hal tersebut karena Temenggung PH. Rasip Oddy melihat masyarakat di wilayah Embuloh dan sekitarnya harus bersusah payah ke Meliau jika akan mengurus keperluan administrasi pemerintahan seperti membuat KTP dan KK. Selain itu agar wilayah Embuloh semakin berkembang dan maju jika telah menjadi Kota Kecamatan.
Gagasan yang disampaikan Temenggung PH. Rasip Oddy itu mendapat dukungan dari masyarakat, namun untuk memperjuangkan Embuloh sebagai Kota Kecamatan merupakan suatu yang tidak mudah. Dengan kepercayaan dirinya, Temenggung PH. Rasip Oddy menyampaikan segala rencana dan langkah-langkah yang akan dilakukannya untuk mewujudkan gagasan tersebut. Setelah mendapat dukungan dari masyarakat, maka Temenggung PH. Rasip Oddy mulai melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau. Hal pertama yang dilakukannya adalah berkoordinasi dengan Kecamatan Meliau. Camat Meliau pada saat itu tidak keberatan jika wilayah Embuloh dan sekitarnya ingin membentuk kecamatan sendiri dan terpisah dari Kecamatan Meliau. Namun untuk keputusan lebih lanjutnya masih tergantung pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau yang berpusat di Kota Sanggau.
Setelah berkoordinasi dengan pihak Kecamatan Meliau, Temenggung PH. Rasip Oddy selanjutnya pergi ke Kota Sanggau untuk menemui Bupati Sanggau yang pada masa tersebut dijabat oleh Bapak Bupati M.Th. Djaman. Bapak Bupati M.Th. Djaman menyambut baik keinginan masyarakat Embuloh yang ingin membentuk kecamatan sendiri, namun untuk keputusan lebih lanjut, Temenggung PH. Rasip Oddy harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat yang berpusat di Kota Pontianak.
Selanjutnya berangkatlah Temenggung PH. Rasip Oddy ke Kota Pontianak. Sesampainya di Kota Pontianak, dengan percaya diri dan keberaniannya, Temenggung PH. Rasip Oddy langsung menemui Bapak Gubernur Kalimantan Barat yang pada masa itu dijabat oleh Bapak Y.C. Oevang Oeray. Tanpa ada hambatan sedikitpun, Temenggung PH. Rasip Oddy melewati keprotokoleran di kantor Gubernur Kalimantan Barat. Dalam pertemuannya dengan Bapak Gubernur Y.C. Oevang Oeray, Temenggung PH. Rasip Oddy menyampaikan aspirasi masyarakat Embuloh yang menginginkan terbentuknya kecamatan baru di Kabupaten Sanggau. Bapak Gubernur Y.C. Oevang Oeray menyambut baik rencana tersebut dan menyampaikan bahwa pembentukan kecamatan baru mesti dituangkannya dalam suatu gagasan tertulis. Penyampaian dari Bapak Gubernur Y.C. Oevang Oeray tersebut diterima oleh Temenggung PH. Rasip Oddy.
Ketika pulang kembali ke Embuloh, segeralah Temenggung PH. Rasip Oddy membuat gagasan tertulis beserta desain ibukota kecamatan. Kemana pun berada, beliau selalu terlihat memegang selembar kertas dan alat tulis. Jika beliau lupa membawa alat tulis, maka akan dicarinya benda-benda yang dapat ditulisinya ketika muncul inspirasi untuk melengkapi idenya.Temenggung PH. Rasip Oddy adalah seorang visionaris yang futuristik, karena ide dan gagasannya selalu jauh kedepan. Ketika orang-orang belum memikirkan hal tersebut, maka beliau telah memikirkannya. Apa yang difikirkannya dituangkan dalam ide dan gagasan tertulisnya itu. Dalam desain ibukota kecamatan tersebut dirancangnya juga sebuah lapangan pesawat terbang. Untuk lahan sebagai kantor pemerintahan, kantor keamanan dan gedung pendidikan, Temenggung PH. Rasip Oddy menghibahkan tanah miliknya.
Selanjutnya ia menyampaikan gagasan tertulis dan desain yang telah dibuatnya itu kepada masyarakat. Gagasan dan rancangan miliknya tersebut disetujui oleh masyarakat. Dalam pertemuan dengan masyarakat tersebut dibahas juga rencana nama untuk kecamatan yang akan mereka bentuk. Awalnya muncul pendapat dari sebagian masyarakat untuk memberi nama kecamatan yang baru tersebut dengan nama ‘Dawak’, karena menurut mereka, orang-orang tua mereka dahulunya menyebut wilayah tersebut dengan sebutan ‘Dawak’.
Namun muncul lagi pendapat dari sebagian masyarakat lainnya yang menyarankan untuk memberi nama wilayah tersebut dengan nama ‘Toba’, yang berasal dari kata ‘Tobang’ atau ‘Tobak’, yang berarti ‘Menebang’, dengan maksud bahwa wilayah tersebut dahulunya adalah hutan belantara yang tidak berpenghuni yang kemudian telah dibersihkan atau ditebang hutannya oleh masyarakat sehingga ramai ditempati orang dan menjadi sebuah kota. Selain itu, terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa wilayah tersebut pada zaman dahulunya bernama ‘Tobang’ atau ‘Tobak’, yang merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kepatihan Patih Sugan, dan merupakan penyebutan untuk suku Dayak Banyuke yang banyak menempati wilayah tersebut. Suku Dayak Banyuke disebut Tobak karena yang memimpin mereka memasuki wilayah dari Piasak hingga Embuloh pada masa dahulu adalah seseorang yang bergelar Patih Raja bernama Tobak. Wilayah Tobak ini merupakan salah satu wilayah Kepatihan dari sepuluh Raja pada masa kerajaan dahulunya.
Karena terdapat beberapa pendapat tentang nama yang tepat untuk dipergunakan bagi kecamatan yang baru tersebut, maka Temenggung PH. Rasip Oddy memberikan pendapat untuk sebaiknya mempergunakan nama ‘Toba’ saja dengan dasar bahwa terbangunnya wilayah Embuloh dilakukan oleh tiga suku terbesar di wilayah tersebut yaitu Suku Dayak Tobang, Banyuke dan Desa. Sehingga nama ‘Toba’ merupakan singkatan dari nama tiga suku Dayak yaitu ‘Tobang, Banyuke dan Desa’. Pendapat Temenggung PH. Rasip Oddy disetujui oleh masyarakat.
Setelah memusyawarahkan gagasan tertulis dan rancangannya dengan masyarakat, selanjutnya Temenggung PH. Rasip Oddy pergi ke Kota Sanggau untuk bertemu dengan Bapak Bupati M.Th. Djaman. Bapak Bupati Sanggau menyetujui gagasan tertulis dan rancangan kota kecamatan yang telah dibuat oleh Temenggung PH. Rasip Oddy. Begitu juga ketika menemui Bapak Gubernur Y.C. Oevang Oeray di Kota Pontianak, Gubernur Kalimanan Barat itu juga sangat menyetujui gagasan tertulisnya yang memiliki pemikiran sangat maju untuk pengembangan kota kecamatan itu nantinya. Maka selanjutnya tinggal menunggu keputusan dari Pemerintah untuk mengesyahkan terbentuknya sebuah kecamatan baru di Kabupaten Sanggau yang diberi nama Kecamatan Toba dan beribukota di Embuloh.
Selama pengurusan pembentukan kecamatan yang baru tersebut ke Kota Sanggau dan Kota Pontianak, Temenggung PH. Rasip Oddy selalu mengunjungi tempat-tempat yang sedang dilakukan pembangunan. Ia selalu mempelajari bentuk-bentuk pembangunan di tempat-tempat itu. Jika ada tukang yang sedang membangun gedung atau rumah, ia akan singgah untuk belajar metode pertukangan sehingga ia menjadi mahir dalam pertukangan. Selama di Kota Sanggau dan Kota Pontianak, Temenggung PH. Rasip Oddy jarang mempergunakan kendaraan, ia lebih senang berjalan kaki meskipun tempat yang dituju sangat jauh jaraknya.
Suatu ketika ia membawa sekelompok orang Jawa untuk menempati wilayah kecamatan baru yang akan dibentuknya. Kelompok orang Jawa ini kemudian diberinya tanah untuk membangun rumah dan lahan pertanian yang ditempatkan diwilayah Nek Gajah. Bahkan dibawanya juga guru-guru dari suku Jawa untuk mengajar di Sekolah Dasar ditempatnya. Sekolah Dasar itu dibangun diatas lahan miliknya yang dihibahkannya kepada Pemerintah yang kemudian menjadi SD Bantuan untuk Teraju.
Akhirnya usaha untuk menciptakan kecamatan yang baru diwilayah tempat tinggalnya itu terwujud. Pada tahun 1965, keluarlah surat usulan dari Bupati Sanggau untuk pembentukan kecamatan baru di daerah Kabupaten Sanggau dengan surat nomor 470/I-1965 pada tanggal 24 Februari 1965 dan surat nomor 671/I-Pem-1965 pada tanggal 24 Februari 1965.
Sebagai tindak lanjut dari usulan Bupati Sanggau tersebut, maka terbitlah Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat dengan Nomor 007/I-A/1965 tanggal 20 Maret 1965 tentang Pembentukan Kecamatan Baru dalam Daerah Kabupaten Sanggau. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur tersebut, maka Kecamatan Meliau dibagi menjadi dua bagian yaitu Kecamatan Meliau yang beribukota di Meliau dan Kecamatan Toba yang pada masa itu beribukota di Embuloh.
Beberapa bulan setelah terbitnya Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat, terjadilah tragedi pemberontakan G 30/S PKI di Indonesia. Akibat tragedi itu, banyak tokoh militer, pemerintahan dan masyarakat yang ditangkap oleh Tentara Indonesia karena terindikasi terlibat dalam pemberontakan tersebut. Di Kalimantan Barat lebih banyak suku Tionghoa yang ditangkap aparat keamanan karena dituding terlibat dalam organisasi partai Komunis tersebut. Karena takut tertangkap oleh aparat keamanan sehingga banyak suku Tionghoa yang tidak terlibat organisasi Partai Komunis pindah dari tempat tinggalnya, termasuk salah satunya kelompok suku Tionghoa dari Montrado, Bengkayang. Mereka pindah ke wilayah Embuloh untuk menghindari tuduhan terlibat dalam organisasi terlarang tersebut. Orang-orang Tionghoa tersebut meminta izin kepada Temenggung PH. Rasip Oddy untuk membangun tempat tinggal di wilayah Embuloh.
Setelah yakin bahwa Orang-orang Tionghoa dari Montrado yang datang ke Embuloh tersebut tidak terlibat dengan peristiwa pemberontakan G 30/S PKI yang telah mengacaukan keamanan di Indonesia, Temenggung PH. Rasip Oddy kemudian memberikan izin bagi mereka untuk bermukim di wilayah Embuloh. Temenggung PH. Rasip Oddy juga memberikan mereka tanah untuk membangun rumah dan berladang secara cuma-cuma. Orang-orang suku Tionghoa dari Montrado tersebut juga dilindungi keselamatannya oleh Temengung PH. Rasip Oddy. Dengan bermukimnya Orang-orang suku Tionghoa dari Motrado, maka semakin ramailah wilayah Embuloh.
Beberapa bulan berikutnya, pada tanggal 22 Juni 1966, Kecamatan Toba diresmikan sebagai kecamatan baru oleh Gubernur Kalimantan Barat Y.C. Oevang Oeray di Embuloh. Semula ibukota Kecamatan Toba bernama Embuloh. Namun pada hari peresmian Kecamatan Toba, nama Embuloh diganti dengan Teraju, yaitu nama sebuah sungai yang ada di wilayah Embuloh. Namun menurut riwayat lainnya menyebutkan bahwa nama Teraju diambil dari kata “Tera” yaitu sejenis Timbangan Emas pada zaman Kepatihan Patih Sugan dahulu yang menurut para Tetua di Embuloh, terjatuh di sungai. Tera atau Timbangan Emas itu tidak dapat diangkat kembali ke daratan yang akhirnya sungai tersebut dinamai sungai Teraju.
Setelah diresmikannya Kecamatan Toba yang beribukota di Teraju, maka terwujudlah cita-cita Temenggung PH. Rasip Oddy selama ini yang ingin menjadikan wilayah Embuloh yang telah dirintisnya menjadi sebuah kota. Wilayah tersebut semakin hari semakin ramai dikunjungi dan ditempati orang. Temenggung PH. Rasip Oddy sangat gembira dan bangga dengan keberhasilannya itu, dimana cita-citanya ini sebelumnya tidak diyakini banyak orang bakalan terwujud. Sebagai ungkapan kegembiraan dan kebanggaannya tersebut, Temenggung PH. Rasip Oddy membuat sebuah pantun yang berbunyi :
Bukit Kedikit, Bukit Belungai
Di tengah-tengah Kampung Teraju,
Dari sedikit menjadi ramai
Lama-lama menjadi maju

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...