AKSARA SUBA’ ATAU TULISAN SERANGGA
DALAM ILMU FALAK MELAYU HULU
Aksara Suba’
atau Tulisan Serangga merupakan salah satu warisan tulisan masyarakat Melayu
Hulu di Kalimantan Barat. Aksara Suba’ ini secara keseluruhan berjumlah 29
huruf. Pada masa sekarang ini Aksara Suba’ dalam Ilmu Falak Melayu Hulu hanya
dipergunakan untuk membuat Pelias atau dinding ghaib untuk pelindung tubuh,
ladang, rumah maupun wilayah negeri. Pelias ini dibuatkan seperti jimat atau
wifik yang ditulis dalam sehelai kain kuning atau lembengan logam dan besi.
Berdasarkan
riwayatnya dalam Ilmu Falak Melayu Hulu Kalimantan Barat, bahwa Pelias adalah
nama awal manusia yang mendapatkan Aksara Suba’ dari manusia yang berasal dari
Dunia Rabai, yaitu manusia berbentuk serangga yang datang ke bumi.
Tersebutlah pada
masa dahulu di negeri Morduli seorang manusia yang memiliki kecerdasan luar
biasa melakukan perjalanan suci yang merupakan salah satu ajaran agama yang
dianutnya di negerinya tersebut. Morduli secara sederhana bermakna Perjalanan
Suci, yang kemudian disebut juga sebagai Pamalaya. Di negeri Morduli atau
negeri Pamalaya menganut ajaran agama yang salah satunya mewajibkan pemeluknya
untuk melakukan Perjalanan Suci, yaitu berupa berpuasa sejak sebelum fajar
hingga terbenam matahari. Ketika berpuasa ini, orang tersebut harus berjalan
dan tidak boleh berhenti hingga terbenamnya matahari. Karena kewajiban agama bagi
masyarakat di negeri tersebut sehingga negeri itu disebut sebagai Morduli atau
Pamalaya, yang selanjutnya disebut Malaya atau yang sekarang disebut sebagai
Melayu. Sehingga berdasarkan asal muasalnya, Melayu bermakna Perjalanan Suci
sambil berpuasa sejak sebelum terbit fajar hingga terbenam matahari.
Adapun manusia
di negeri Morduli tersebut ketika sedang melaksanakan Ibadah Morduli atau
Ibadah Pamalaya, bertemu dengan serombongan manusia berbentuk serangga yang
berasal dari Dunia Suba’ di negeri Rabai. Manusia Rabai ini ingin belajar
bagaimana cara melaksanakan Ibadah Morduli atau Ibadah Pamalaya kepada manusia
tersebut, maka diajarkanlah oleh manusia tersebut tata cara Ibadah Morduli atau
Pamalaya. Sebagai imbal balik, rombongan Manusia Rabai mengajarkan kepada
manusia tersebut berbagai hal tentang negeri mereka, yang salah satunya adalah
Aksara Suba’, dan termasuk tata cara untuk pergi ke negeri mereka.
Adapun pelajaran
yang didapatkan untuk pergi ke negeri Rabai ini, yaitu sebuah alat yang dapat
melintas ruang dan waktu yang pada saat itu disebut Pelias. Pelias adalah
sebuah singgasana yang terbuat dari medan magnet sehingga terciptalah dinding
pelindung yang membuat partikel jasad manusia dapat berubah karakter. Untuk
bentuk alat Pelias ini akan diuraikan pada postingan yang lain.
Manusia dari
negeri Morduli yang memiliki kecerdasan luar biasa tersebut dengan cepat
memahami pembuatan alat Pelias ini, sehingga ia dapat berkunjung ke negeri
Rabai dan belajar banyak hal. Bahkan dengan alat Pelias ini, ia juga dapat
berkunjung ke negeri mana saja di luar bumi. Karena sangat menguasai dan
memahami pembuatan alat Pelias ini sehingga ia kemudian disebut sebagai Pelias.
Adapun Aksara atau Huruf yang didapatkannya dari Manusia Rabai, terwariskan
turun temurun kepada anak keturunannya yang tertentu di kalangan masyarakat
Melayu Hulu Kalimantan Barat.
Aksara Suba’ pada
periode berikutnya menjadi tulisan pada jimat atau wifik yang dipergunakan
sebagai Pelias atau Pelindung pada tubuh, rumah, ladang ataupun wilayah negeri
dalam adat masyarakat Melayu Hulu Kalimantan Barat. Penamaan jimat atau wifik
tersebut dengan nama Pelias sebagai pengingat bahwa tulisan Suba’ pada jimat
atau wifik merupakan warisan leluhur mereka yang bernama Pelias.
Adapun Pelias
kemudian memiliki anak bernama Asykira. Asykira memiliki anak bernama Elam.
Elam memiliki anak bernama Zagros. Zagros memiliki anak bernama Sakan atau ada
yang menyebutnya dengan As Sakan. Dan As Sakan memiliki anak perempuan bernama
Raihana. Raihana kemudian menikah dengan seorang Raja Agung bernama Sairah atau
Syahrabil. Raja Agung Sairah atau Syahrabil adalah anaknya Raja Agung Dzil Jadn
atau Malik. Raja Agung Dzil Jadn atau Malik adalah anaknya Raja Agung Rayan, di
negeri Ma’rib.
Adapun Raihana ketika menikah dengan Raja Agung Sairah
atau Syahrabil, maka dibawalah ia dari negeri Morduli atau Pamalaya ke negeri
Ma’rib. Dari pernikahan Raihana dengan Raja Agung Sairah dianugerahi seorang
anak perempuan yang bernama Makeda atau Nikaula. Makeda atau Nikaula kemudian
menggantikan Raja Agung Sairah menjadi Raja di negeri Ma’rib dengan gelar Ratu
Sheba. Ratu Sheba kemudian menikah dengan Nabi Sulaiman, dan namanya lebih
dikenal dengan sebutan Ratu Balqis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar