Sabtu, 31 Maret 2018

ASAL MULA NAMA SANGGAU

ASAL MULA NAMA SANGGAU

Dara Nante atau Putri Nilam Cahaya berasal dari Kerajaan Sangkra, salah satu kerajaan pecahan dari Kerajaan Pattani. Ayahnya bernama Aji Sriwangsa dan Ibunya bernama Permaisuri Pagan yang merupakan keturunan Raja Kerajaan Pagan. Sedangkan Babay Cinga’ berasal dari Kerajaan Nan Sarunai di Amuntai. Ia sempat akan menggantikan Ayahnya, Japutra Layar menjadi Raja Nan Sarunai tahun 1300 M namun di kudeta adik tirinya bernama Neno dan juga merebut istri Babay Cinga’ bernama Putri Gangsa Funan. Pada tahun 1325 Masehi, Dara Nante dan Babay Cinga’ mendirikan kerajaan Lawai. Selanjutnya Kerajaan Lawai berkembang menjadi Kerajaan besar. Bandar perdagangannya terkenal sebagai penghasil emas dan intan.
Dara Nante dan Babay Cinga’ memiliki tiga orang putra. Putra pertama bernama Gajah Gemala Johari atau Arya Jamban atau Mahapatih Gajah Mada Surya Nata ataupun Pangeran Surya Nata yang lahir di Kampung Bongkal, kemudian menikah dengan Masari atau bergelar Putri Junjung Buih, anaknya Raja Anyan Nan Sarunai. Dari pernikahan Gajah Gemala Johari atau Pangeran Suryanata dan Masari atau Putri Junjung Buih dianugerahi beberapa orang anak yang diantaranya bernama Pangeran Surya Wangsa dan Pangeran Gangga Surya Wangsa. Adapun Pangeran Surya Wangsa memiliki anak bernama Pangeran Carang Lalean. Sedangkan Pangeran Gangga Surya Wangsa memiliki anak bernama Putri Kalungsu. Pangeran Carang Lalean kemudian dinikahkan dengan Putri Kalungsu dan dianugerahi anak yang bernama Pangeran Sakar Sungsang. Adapun Gajah Gemala Johari atau Pangeran Suryanata menurut beberapa riwayat ketika wafat, jasadnya dimakamkan di wilayah Desa Batenung yaitu terletak di atas bukit, dan tidak sembarang orang boleh naik ke bukit itu tanpa izin dari Tetua kampung.
Putra kedua Dara Nante dan Babay Cinga’ bernama Patee Gumantar atau Arya Batang ataupun Patee Tega Temuka yang lahir di Muara Mengkiang, kemudian mendirikan Kerajaan Kapuhas pada tahun 1370 Masehi di Bakule Rajank atau yang sekarang disebut sebagai Mempawah. Berdirinya Kerajaan Kapuhas tidak bertahan lama, karena pada tahun 1375, Kerajaan Kapuhas di serang oleh sisa-sisa pasukan Nan Sarunai yang di pimpin menantu Rahadyan Anyan, suami Wangi untuk membalas runtuhnya negeri Nan Sarunai pada tahun 1358 Masehi oleh pasukan Wilwatikta. Selain itu untuk membalas terbunuhnya Rahadyan Anyan dan Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen, serta Wangi istrinya.
Menantu Rahadyan Anyan menyerang Kerajaan Kapuhas setelah mendapat kabar bahwa Gajah Mada setelah mengundurkan diri sebagai Maha Patih menetap di Kerajaan Kapuhas di Bakule Rajank atau Mempawah. Pada awalnya, serangan pasukan Nan Sarunai dapat di bendung oleh pasukan Kerajaan Kapuhas. Pasukan Nan Sarunai bahkan terdesak hingga ke Sungai Malaya. Namun di Sungai Malaya ini Patee Gumantar tewas terkayau oleh Menantu Rahadyan Anyan dan kepalanya dibawa ke pedalaman Sungai Tabalong. Menurut riwayat dari Hulu Mempawah bahwa ketika Patee Gumantar atau Patee Tega Temuka tewas terkayau, badannya mengeluarkan bau yang sangat wangi. Jasadnya ini kemudian dibawa oleh keluarganya dan dimakamkan di Sebukit Rama yang kemudian berganti nama menjadi Abdurahman. Ketika Patee Gumantar tewas terkayau, pasukan Kapuhas menjadi tercerai berai. Sebagian pasukan Kapuhas kemudian menetap di wilayah Sungai Ambawang yaitu di Desa Lingga dan Sangkuk.
Patee Gumantar menikah dengan Dara Ireng. Dara Ireng adalah putrinya Demong Sudek. Demong Sudek adalah anaknya Singa Pati Bangi dengan Dayang Salipah. Dayang Salipah bersaudara kandung dengan Mpu Nallauda atau Mpu Jatmika. Dayang Salipah dan Mpu Nallauda adalah putra putrinya Mahisa Anabrang dengan Dara Ponya atau Dayang Ponya. Dayang Ponya adalah putrinya Raja Serongkah atau Demong Serongkah, Raja Hulu Aik yang bergelar Raja Tulang Gading Darah Puteh. Mahisa Anabrang merupakan keturunan Patih Suatang dan berasal dari aliran Sungai Kampar. Mahisa Anabrang adalah pemimpin Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 Masehi, dan mendirikan Kerajaan Landak yang selanjutnya bergelar Ratu Sang Nata Pulang Pali I.
Dari pernikahan Patee Gumantar dengan Dara Ireng dianugerahi tiga orang anak yaitu, Ria Jambi yang kemudian mendirikan Kerajaan Ngabangk diwilayah Banyuke dan bergelar Patee Ngabangk. Anak kedua Patee Gumantar dengan Dara Ireng adalah Ria Satry yang kemudian mendirikan Kerajaan Jangkangk yang berpusat di Muara Mengkiang dan bergelar Patee Jangkangk, dan anak ketiga adalah Dayang Salimpat atau Dara Hitam yang kemudian menikah dengan Ria Sinir. Ria Sinir adalah anaknya Bujang Nyangko atau Bujang Ceramai, yang di wilayah Sanggau lebih dikenal dengan sebutan Bujang Malaka. Ibu Ria Sinir bernama Dayang Gulinan atau Ngantan Berangan, putrinya Nek Riuh, Raja Sambas yang juga bergelar Ria Janur. Dari pernikahan Dara Hitam dengan Ria Sinir dianugerahi putra yang bernama Ismahayana, yang kemudian menjadi Raja di Kerajaan Landak.
Selanjutnya Ria Satry atau Patee Jangkangk memiliki anak yang bernama Arya Kedaung atau Ria Kedaung, dengan gelar Pangeran Mas Kedaung. Pangeran Mas Kedaung memiliki anak yang bernama Arya Cinga’ Pati atau Sinapati ataupun Ria Sinapati, dengan gelar Pangeran Mas Sinapati. Pangeran Mas Sinapati memiliki anak yang bernama Arya Gemuk atau Ria Gemuk, dengan gelar Kiyai Patee Gemuk. Kiyai Patee Gemuk kemudian menikah dengan Dayang Puasa atau Nyai Sura dari Kampung Kantu’. Dayang Puasa atau Nyai Sura adalah putrinya Pangeran Mas Tuwa. Pangeran Mas Tuwa adalah putranya Pangeran Mas Kedaung. Dari pernikahan Kiyai Patee Gemuk dengan Dayang Puasa atau Nyai Sura dianugerahi putra yang bernama Abang Renggang, atau yang bergelar Pangeran Agung Renggang.
Putra ketiga Dara Nante dan Babay Cinga’ bernama Arya Likar yang bergelar Pangeran Rangga Sentap, lahir di Labai Lawai. Pangeran Rangga Sentap kemudian menggantikan Dara Nante sebagai Raja Lawai yang bergelar Ratu Lawai. Dara Nante atau Ratu Lawai menjadi Raja Lawai menggantikan suaminya Babay Cinga’ yang wafat. Jasad Babay Cinga’ di makamkan di Labai Lawai. Hingga sekarang ini di Labai Lawai masih dapat ditemukan makam batu keramat Babay Cinga’. Makam batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun untuk makam batu yang disucikan tersebut.
Pangeran Rangga Sentap kemudian menikah dengan Puteri Layung, anak bungsunya Siak Bahulun dan Ratu Betung Kerajaan Tanjung Pura. Mereka memiliki anak bernama Rangga Kutung. Rangga Kutung menikah dengan Putri Layang Putung, anaknya Raja Hulu Aik di Beginci Keriau. Rangga Kutung dan Putri Layang Putung kemudian memiliki beberapa orang anak yang diantaranya yaitu Nek Buray, Nek Kerinta, Nek Labakng dan Nek Uncang Umbut Jati.
Nek Buray kemudian menikah dengan Nek Tuman. Dari pernikahan Nek Buray dengan Nek Tuman, dianugerahi anak bernama Nek Nanggai. Nek Nanggai memiliki anak bernama Nek Patih. Nek Patih memiliki anak bernama Nek Rangga. Nek Rangga memiliki anak bernama Nek Natih. Nek Natih memiliki anak bernama Nek Ria. Nek Ria memiliki anak bernama Nek Hadi. Nek Hadi memiliki anak bernama Nek Tegeng. Nek Tegeng memiliki anak bernama Nek Parogam.
Pada tahun 1605 Masehi, Abang Terka atau Abang Awal berusaha untuk menghidupkan kembali Kerajaan Kapuhas yang runtuh setelah terkayaunya Patee Gumantar pada tahun 1375 Masehi. Abang Awal adalah anaknya Demong Minyak. Demong Minyak adalah anaknya Demong Karang. Demong Karang adalah anaknya Demong Nutub dari Embau Hulu Kapuas. Demong Nutub adalah anaknya Demong Irawan atau Jubair Irawan I, pendiri Kerajaan Sintang. Demong Irawan adalah anaknya Aji Melayu atau Aji Inderawangsa dengan Putong Kempat. Aji Melayu bersaudara kandung dengan Aji Sriwangsa, ayah kandung Dara Nante. Aji Melayu dan Aji Sriwangsa adalah anaknya Aji Wangsa, Raja Kerajaan Sangkra di Pattani Thailand.
Sedangkan Putong Kempat adalah anaknya Manok Sabong atau Sabong Mengulur atau Ambun Menurun dengan Pukat Mengawang. Manok Sabong berasal dari Kerajaan Gowa, yang bergelar Ade’ Empa Rakaalakana, adalah anaknya Kuri Langi Matindru Racandrana, Raja di Tanah Bugis Sebilang yang bergelar Ade’ Empa Matindroe. Sedangkan Pukat Mengawang adalah adik kandung Babay Cinga’.
Adapun Abang Terka atau Abang Awal kemudian menikah dengan Dayang Puasa atau Nyai Sura dari Kampung Kantu’, yang pada masa itu telah menjadi janda karena Kiyai Patee Gemuk meninggal dunia ketika Abang Renggang masih kecil. Selanjutnya Abang Awal mengumpulkan para kerabat Kapuhas untuk membangun kembali Kerajaan Kapuhas yang di pusatkan di Kampung Kantu’. Abang Awal berusaha mewujudkan ikrar nenek moyang mereka untuk menjadikan Kantu’ sebagai pusat negeri Kapuhas. Abang Awal menyatukan keturunan Danum dan Dakdudak, Belang Pinggang, Puyang Belawan, Belang Patung, Belang Bau, Bui Nasi dan Singa Guntur Baju Binduh, yang merupakan pendiri Kampung Kantu’.
Para kerabat Kapuhas membangun kembali Kampung Kantu’ dan mereka membangun istana berbentuk susunan bata merah dan batu di wilayah mungguk atau bukit yang sekarang telah menjadi makam Abang Tabrani dan Abang Usman. Selanjutnya mereka membuat torus atau terusan dari Sungai Kapuhas menuju istana, untuk jalan bidar-bidar kerajaan. Lokasi torus atau terusannya sekarang berada di samping rumah meriam atau dibelakang Masjid Jami’ Kantu’.
Namun pembuatan terusan ini terhambat oleh akar Pohon Sangao yaitu sejenis Pohon Rambutan atau Beletik. Berhari-hari mereka berusaha menyingkirkan akar Pohon Sangao, tetapi selalu gagal. Pembuatan terusan itu terpaksa di hentikan beberapa waktu. Posisi batang Pohon Sangao ini sekarang telah di bangun tiang bendera di depan Keraton Surya Negara Sanggau.
Para kerabat Kapuhas dari Embau Hulu menyarankan untuk membuat pedang khusus guna memotong akar Pohon Sangao. Abang Awal menerima saran tersebut dan mengirim beberapa orang dari Marga Tan untuk pergi ke Negeri Mongol. Setahun kemudian, para utusan bermarga Tan ini kembali ke Kampung Kantu’ dengan membawa pedang pesanan Abang Awal.
Ketika Orang-orang dari Marga Tan pulang dari Negeri Mongol ke Kampung Kantu’, ikut serta rombongan Bangsa Hakka dari Fujian yang dipimpin oleh Jong Pak Kung Kung. Ketika terjadinya Perang Sanggau tahun 1622 Masehi, Jong Pak Kung Kung memimpin Bangsa Hakka bergabung dengan Laskar Negeri Kapuhas berperang dengan pasukan Mataram dan Landak. Dalam Perang Sanggau ini, Laskar Negeri Kapuhas mengalami kekalahan, sehingga Negeri Kapuhas yang pada masa itu berpusat di Sanggau dikuasai oleh Kesultanan Mataram. Setelah Perang Sanggau, Jong Pak Kung Kung bersama Bangsa Hakka pindah ke wilayah yang sekarang disebut Bodok. Perang Sanggau tahun 1622 Masehi, bermula dari campur tangan perdagangan VOC di Tanjungpura dan perebutan Intan Kobi antara Ratu Mas Zaintan dengan abang kandungnya Pangeran Anom Jayakusuma.
Setelah pedang pesanan Abang Awal dari Negeri Mongol telah tiba di Kampung Kantu’, para kerabat Kapuas kemudian melanjutkan lagi pekerjaan pembuatan terusan yang selama satu tahun telah terhenti. Maka pada tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1025 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 3 April 1616 Masehi akar Pohon Sangao yang telah menghambat pembuatan terusan berhasil di potong. Pedang dari Negeri Mongol itu kemudian disebut Pedang Tan Cam.
Setelah akar Pohon Sangao berhasil di singkirkan maka beberapa waktu kemudian terusan yang akan digunakan sebagai jalan bidar istana selesai di kerjakan, bersamaan dengan selesai juga dibangunnya istana Kerajaan yang berbentuk susunan bata merah dan batu. Selanjutnya istana Kerajaan yang baru itu dipergunakan oleh para kerabat Kapuas sebagai tempat menobatkan Abang Awal menjadi Sultan Negeri Kapuhas pelanjut Kerajaan Kapuhas Patee Gumantar. Para kerabat Kapuhas mendukung Abang Awal menjadi Sultan Negeri Kapuas karena memiliki silsilah leluhur yang bertemu antara Hulu dengan Hilir. Setelah penobatan tersebut Abang Awal bergelar Sultan Awwaludin. Ratu Sukadana atau Ratu Mas Zaintan istri Panembahan Giri Kesuma turut hadir dalam penobatan tersebut, karena merupakan orang yang dituakan atau sebagai salah satu induk dari negeri Kapuhas.
Ketika penobatan Abang Awal menjadi Sultan Negeri Kapuhas, hadir utusan dari Kesultanan Banjar bernama Penghulu Muhammad Shaman untuk membaiat gelar Abang Awal sebagai Sultan. Setelah penobatan tersebut, Penghulu Muhammad Shaman menjadi Penghulu di Negeri Kapuhas, dan menyebarkan Agama Islam di Melawi, Sintang, Kapuas Hulu dan Sanggau. Penghulu Muhammad Shaman selanjutnya menjadi Leluhur para Penghulu di Negeri Sintang dan Sanggau.
Adapun Penghulu Muhammad Shaman adalah anaknya Pangeran Demang. Pangeran Demang adalah anaknya Raden Rahmatullah. Raden Rahmatullah adalah anaknya Raden Samudera atau Sultan Surya Syah atau Suryansyah. Raden Samudera adalah anaknya Raden Mantri Jaya. Raden Mantri Jaya adalah anaknya Raden Bangawan. Raden Bangawan adalah anaknya Pangeran Sakar Sungsang. Pangeran Sakar Sungsang adalah anaknya Pangeran Carang Lalean dengan Putri Kalungsu.
Ketika acara penobatan tersebut Sultan Awwaludin memberi nama terusan yang baru dibangun itu dengan nama Sungai Sangao yang berasal dari nama Pohon Sangao, yang sekarang disebut Sungai Sanggau. Penamaan terusan itu dengan Sungai Sanggau sebagai pengingat peristiwa sulitnya menyingkirkan akar Pohon Sangao sehingga terpaksa harus dihentikannya pembuatan terusan bagi jalan bidar-bidar istana selama satu tahun. Sultan Awwaludin juga bertitah dengan menyebut wilayah keberadaan Sungai Sangao ini dengan Sangao atau Sanggau dan menjadikan Sanggau sebagai ibu kota Negeri Kapuhas yang baru, sebagai pemindahan pusat kota yang sebelumnya berada di Mempawah.
Selanjutnya, Sultan Awwaludin juga memerintahkan untuk mengukir pedang Tan Cam dengan angka 1616, karena angka tersebut sebagai pengingat bahwa awal mula berdirinya Sanggau pada tahun Masehi yang kebetulan bersamaan dengan tanggal Hijriah berhasil dipotong dan diangkatnya akar Pohon Sangao, yaitu tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1025 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 3 April 1616 Masehi.

1 komentar:

  1. dari mana sumbernya, Om? Kok terbelit-belit cerita di awalnya (atau memang dibelit?). Contohnya, diceritakan dari versi Om Tom ini Gajah Mada anak dari Babay Cinga'.. kok bisa ya?

    BalasHapus

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...