Sabtu, 31 Maret 2018

ASAL MULA NAMA SANGGAU

ASAL MULA NAMA SANGGAU

Dara Nante atau Putri Nilam Cahaya berasal dari Kerajaan Sangkra, salah satu kerajaan pecahan dari Kerajaan Pattani. Ayahnya bernama Aji Sriwangsa dan Ibunya bernama Permaisuri Pagan yang merupakan keturunan Raja Kerajaan Pagan. Sedangkan Babay Cinga’ berasal dari Kerajaan Nan Sarunai di Amuntai. Ia sempat akan menggantikan Ayahnya, Japutra Layar menjadi Raja Nan Sarunai tahun 1300 M namun di kudeta adik tirinya bernama Neno dan juga merebut istri Babay Cinga’ bernama Putri Gangsa Funan. Pada tahun 1325 Masehi, Dara Nante dan Babay Cinga’ mendirikan kerajaan Lawai. Selanjutnya Kerajaan Lawai berkembang menjadi Kerajaan besar. Bandar perdagangannya terkenal sebagai penghasil emas dan intan.
Dara Nante dan Babay Cinga’ memiliki tiga orang putra. Putra pertama bernama Gajah Gemala Johari atau Arya Jamban atau Mahapatih Gajah Mada Surya Nata ataupun Pangeran Surya Nata yang lahir di Kampung Bongkal, kemudian menikah dengan Masari atau bergelar Putri Junjung Buih, anaknya Raja Anyan Nan Sarunai. Dari pernikahan Gajah Gemala Johari atau Pangeran Suryanata dan Masari atau Putri Junjung Buih dianugerahi beberapa orang anak yang diantaranya bernama Pangeran Surya Wangsa dan Pangeran Gangga Surya Wangsa. Adapun Pangeran Surya Wangsa memiliki anak bernama Pangeran Carang Lalean. Sedangkan Pangeran Gangga Surya Wangsa memiliki anak bernama Putri Kalungsu. Pangeran Carang Lalean kemudian dinikahkan dengan Putri Kalungsu dan dianugerahi anak yang bernama Pangeran Sakar Sungsang. Adapun Gajah Gemala Johari atau Pangeran Suryanata menurut beberapa riwayat ketika wafat, jasadnya dimakamkan di wilayah Desa Batenung yaitu terletak di atas bukit, dan tidak sembarang orang boleh naik ke bukit itu tanpa izin dari Tetua kampung.
Putra kedua Dara Nante dan Babay Cinga’ bernama Patee Gumantar atau Arya Batang ataupun Patee Tega Temuka yang lahir di Muara Mengkiang, kemudian mendirikan Kerajaan Kapuhas pada tahun 1370 Masehi di Bakule Rajank atau yang sekarang disebut sebagai Mempawah. Berdirinya Kerajaan Kapuhas tidak bertahan lama, karena pada tahun 1375, Kerajaan Kapuhas di serang oleh sisa-sisa pasukan Nan Sarunai yang di pimpin menantu Rahadyan Anyan, suami Wangi untuk membalas runtuhnya negeri Nan Sarunai pada tahun 1358 Masehi oleh pasukan Wilwatikta. Selain itu untuk membalas terbunuhnya Rahadyan Anyan dan Permaisuri Ratu Dara Gangsa Tulen, serta Wangi istrinya.
Menantu Rahadyan Anyan menyerang Kerajaan Kapuhas setelah mendapat kabar bahwa Gajah Mada setelah mengundurkan diri sebagai Maha Patih menetap di Kerajaan Kapuhas di Bakule Rajank atau Mempawah. Pada awalnya, serangan pasukan Nan Sarunai dapat di bendung oleh pasukan Kerajaan Kapuhas. Pasukan Nan Sarunai bahkan terdesak hingga ke Sungai Malaya. Namun di Sungai Malaya ini Patee Gumantar tewas terkayau oleh Menantu Rahadyan Anyan dan kepalanya dibawa ke pedalaman Sungai Tabalong. Menurut riwayat dari Hulu Mempawah bahwa ketika Patee Gumantar atau Patee Tega Temuka tewas terkayau, badannya mengeluarkan bau yang sangat wangi. Jasadnya ini kemudian dibawa oleh keluarganya dan dimakamkan di Sebukit Rama yang kemudian berganti nama menjadi Abdurahman. Ketika Patee Gumantar tewas terkayau, pasukan Kapuhas menjadi tercerai berai. Sebagian pasukan Kapuhas kemudian menetap di wilayah Sungai Ambawang yaitu di Desa Lingga dan Sangkuk.
Patee Gumantar menikah dengan Dara Ireng. Dara Ireng adalah putrinya Demong Sudek. Demong Sudek adalah anaknya Singa Pati Bangi dengan Dayang Salipah. Dayang Salipah bersaudara kandung dengan Mpu Nallauda atau Mpu Jatmika. Dayang Salipah dan Mpu Nallauda adalah putra putrinya Mahisa Anabrang dengan Dara Ponya atau Dayang Ponya. Dayang Ponya adalah putrinya Raja Serongkah atau Demong Serongkah, Raja Hulu Aik yang bergelar Raja Tulang Gading Darah Puteh. Mahisa Anabrang merupakan keturunan Patih Suatang dan berasal dari aliran Sungai Kampar. Mahisa Anabrang adalah pemimpin Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 Masehi, dan mendirikan Kerajaan Landak yang selanjutnya bergelar Ratu Sang Nata Pulang Pali I.
Dari pernikahan Patee Gumantar dengan Dara Ireng dianugerahi tiga orang anak yaitu, Ria Jambi yang kemudian mendirikan Kerajaan Ngabangk diwilayah Banyuke dan bergelar Patee Ngabangk. Anak kedua Patee Gumantar dengan Dara Ireng adalah Ria Satry yang kemudian mendirikan Kerajaan Jangkangk yang berpusat di Muara Mengkiang dan bergelar Patee Jangkangk, dan anak ketiga adalah Dayang Salimpat atau Dara Hitam yang kemudian menikah dengan Ria Sinir. Ria Sinir adalah anaknya Bujang Nyangko atau Bujang Ceramai, yang di wilayah Sanggau lebih dikenal dengan sebutan Bujang Malaka. Ibu Ria Sinir bernama Dayang Gulinan atau Ngantan Berangan, putrinya Nek Riuh, Raja Sambas yang juga bergelar Ria Janur. Dari pernikahan Dara Hitam dengan Ria Sinir dianugerahi putra yang bernama Ismahayana, yang kemudian menjadi Raja di Kerajaan Landak.
Selanjutnya Ria Satry atau Patee Jangkangk memiliki anak yang bernama Arya Kedaung atau Ria Kedaung, dengan gelar Pangeran Mas Kedaung. Pangeran Mas Kedaung memiliki anak yang bernama Arya Cinga’ Pati atau Sinapati ataupun Ria Sinapati, dengan gelar Pangeran Mas Sinapati. Pangeran Mas Sinapati memiliki anak yang bernama Arya Gemuk atau Ria Gemuk, dengan gelar Kiyai Patee Gemuk. Kiyai Patee Gemuk kemudian menikah dengan Dayang Puasa atau Nyai Sura dari Kampung Kantu’. Dayang Puasa atau Nyai Sura adalah putrinya Pangeran Mas Tuwa. Pangeran Mas Tuwa adalah putranya Pangeran Mas Kedaung. Dari pernikahan Kiyai Patee Gemuk dengan Dayang Puasa atau Nyai Sura dianugerahi putra yang bernama Abang Renggang, atau yang bergelar Pangeran Agung Renggang.
Putra ketiga Dara Nante dan Babay Cinga’ bernama Arya Likar yang bergelar Pangeran Rangga Sentap, lahir di Labai Lawai. Pangeran Rangga Sentap kemudian menggantikan Dara Nante sebagai Raja Lawai yang bergelar Ratu Lawai. Dara Nante atau Ratu Lawai menjadi Raja Lawai menggantikan suaminya Babay Cinga’ yang wafat. Jasad Babay Cinga’ di makamkan di Labai Lawai. Hingga sekarang ini di Labai Lawai masih dapat ditemukan makam batu keramat Babay Cinga’. Makam batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun untuk makam batu yang disucikan tersebut.
Pangeran Rangga Sentap kemudian menikah dengan Puteri Layung, anak bungsunya Siak Bahulun dan Ratu Betung Kerajaan Tanjung Pura. Mereka memiliki anak bernama Rangga Kutung. Rangga Kutung menikah dengan Putri Layang Putung, anaknya Raja Hulu Aik di Beginci Keriau. Rangga Kutung dan Putri Layang Putung kemudian memiliki beberapa orang anak yang diantaranya yaitu Nek Buray, Nek Kerinta, Nek Labakng dan Nek Uncang Umbut Jati.
Nek Buray kemudian menikah dengan Nek Tuman. Dari pernikahan Nek Buray dengan Nek Tuman, dianugerahi anak bernama Nek Nanggai. Nek Nanggai memiliki anak bernama Nek Patih. Nek Patih memiliki anak bernama Nek Rangga. Nek Rangga memiliki anak bernama Nek Natih. Nek Natih memiliki anak bernama Nek Ria. Nek Ria memiliki anak bernama Nek Hadi. Nek Hadi memiliki anak bernama Nek Tegeng. Nek Tegeng memiliki anak bernama Nek Parogam.
Pada tahun 1605 Masehi, Abang Terka atau Abang Awal berusaha untuk menghidupkan kembali Kerajaan Kapuhas yang runtuh setelah terkayaunya Patee Gumantar pada tahun 1375 Masehi. Abang Awal adalah anaknya Demong Minyak. Demong Minyak adalah anaknya Demong Karang. Demong Karang adalah anaknya Demong Nutub dari Embau Hulu Kapuas. Demong Nutub adalah anaknya Demong Irawan atau Jubair Irawan I, pendiri Kerajaan Sintang. Demong Irawan adalah anaknya Aji Melayu atau Aji Inderawangsa dengan Putong Kempat. Aji Melayu bersaudara kandung dengan Aji Sriwangsa, ayah kandung Dara Nante. Aji Melayu dan Aji Sriwangsa adalah anaknya Aji Wangsa, Raja Kerajaan Sangkra di Pattani Thailand.
Sedangkan Putong Kempat adalah anaknya Manok Sabong atau Sabong Mengulur atau Ambun Menurun dengan Pukat Mengawang. Manok Sabong berasal dari Kerajaan Gowa, yang bergelar Ade’ Empa Rakaalakana, adalah anaknya Kuri Langi Matindru Racandrana, Raja di Tanah Bugis Sebilang yang bergelar Ade’ Empa Matindroe. Sedangkan Pukat Mengawang adalah adik kandung Babay Cinga’.
Adapun Abang Terka atau Abang Awal kemudian menikah dengan Dayang Puasa atau Nyai Sura dari Kampung Kantu’, yang pada masa itu telah menjadi janda karena Kiyai Patee Gemuk meninggal dunia ketika Abang Renggang masih kecil. Selanjutnya Abang Awal mengumpulkan para kerabat Kapuhas untuk membangun kembali Kerajaan Kapuhas yang di pusatkan di Kampung Kantu’. Abang Awal berusaha mewujudkan ikrar nenek moyang mereka untuk menjadikan Kantu’ sebagai pusat negeri Kapuhas. Abang Awal menyatukan keturunan Danum dan Dakdudak, Belang Pinggang, Puyang Belawan, Belang Patung, Belang Bau, Bui Nasi dan Singa Guntur Baju Binduh, yang merupakan pendiri Kampung Kantu’.
Para kerabat Kapuhas membangun kembali Kampung Kantu’ dan mereka membangun istana berbentuk susunan bata merah dan batu di wilayah mungguk atau bukit yang sekarang telah menjadi makam Abang Tabrani dan Abang Usman. Selanjutnya mereka membuat torus atau terusan dari Sungai Kapuhas menuju istana, untuk jalan bidar-bidar kerajaan. Lokasi torus atau terusannya sekarang berada di samping rumah meriam atau dibelakang Masjid Jami’ Kantu’.
Namun pembuatan terusan ini terhambat oleh akar Pohon Sangao yaitu sejenis Pohon Rambutan atau Beletik. Berhari-hari mereka berusaha menyingkirkan akar Pohon Sangao, tetapi selalu gagal. Pembuatan terusan itu terpaksa di hentikan beberapa waktu. Posisi batang Pohon Sangao ini sekarang telah di bangun tiang bendera di depan Keraton Surya Negara Sanggau.
Para kerabat Kapuhas dari Embau Hulu menyarankan untuk membuat pedang khusus guna memotong akar Pohon Sangao. Abang Awal menerima saran tersebut dan mengirim beberapa orang dari Marga Tan untuk pergi ke Negeri Mongol. Setahun kemudian, para utusan bermarga Tan ini kembali ke Kampung Kantu’ dengan membawa pedang pesanan Abang Awal.
Ketika Orang-orang dari Marga Tan pulang dari Negeri Mongol ke Kampung Kantu’, ikut serta rombongan Bangsa Hakka dari Fujian yang dipimpin oleh Jong Pak Kung Kung. Ketika terjadinya Perang Sanggau tahun 1622 Masehi, Jong Pak Kung Kung memimpin Bangsa Hakka bergabung dengan Laskar Negeri Kapuhas berperang dengan pasukan Mataram dan Landak. Dalam Perang Sanggau ini, Laskar Negeri Kapuhas mengalami kekalahan, sehingga Negeri Kapuhas yang pada masa itu berpusat di Sanggau dikuasai oleh Kesultanan Mataram. Setelah Perang Sanggau, Jong Pak Kung Kung bersama Bangsa Hakka pindah ke wilayah yang sekarang disebut Bodok. Perang Sanggau tahun 1622 Masehi, bermula dari campur tangan perdagangan VOC di Tanjungpura dan perebutan Intan Kobi antara Ratu Mas Zaintan dengan abang kandungnya Pangeran Anom Jayakusuma.
Setelah pedang pesanan Abang Awal dari Negeri Mongol telah tiba di Kampung Kantu’, para kerabat Kapuas kemudian melanjutkan lagi pekerjaan pembuatan terusan yang selama satu tahun telah terhenti. Maka pada tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1025 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 3 April 1616 Masehi akar Pohon Sangao yang telah menghambat pembuatan terusan berhasil di potong. Pedang dari Negeri Mongol itu kemudian disebut Pedang Tan Cam.
Setelah akar Pohon Sangao berhasil di singkirkan maka beberapa waktu kemudian terusan yang akan digunakan sebagai jalan bidar istana selesai di kerjakan, bersamaan dengan selesai juga dibangunnya istana Kerajaan yang berbentuk susunan bata merah dan batu. Selanjutnya istana Kerajaan yang baru itu dipergunakan oleh para kerabat Kapuas sebagai tempat menobatkan Abang Awal menjadi Sultan Negeri Kapuhas pelanjut Kerajaan Kapuhas Patee Gumantar. Para kerabat Kapuhas mendukung Abang Awal menjadi Sultan Negeri Kapuas karena memiliki silsilah leluhur yang bertemu antara Hulu dengan Hilir. Setelah penobatan tersebut Abang Awal bergelar Sultan Awwaludin. Ratu Sukadana atau Ratu Mas Zaintan istri Panembahan Giri Kesuma turut hadir dalam penobatan tersebut, karena merupakan orang yang dituakan atau sebagai salah satu induk dari negeri Kapuhas.
Ketika penobatan Abang Awal menjadi Sultan Negeri Kapuhas, hadir utusan dari Kesultanan Banjar bernama Penghulu Muhammad Shaman untuk membaiat gelar Abang Awal sebagai Sultan. Setelah penobatan tersebut, Penghulu Muhammad Shaman menjadi Penghulu di Negeri Kapuhas, dan menyebarkan Agama Islam di Melawi, Sintang, Kapuas Hulu dan Sanggau. Penghulu Muhammad Shaman selanjutnya menjadi Leluhur para Penghulu di Negeri Sintang dan Sanggau.
Adapun Penghulu Muhammad Shaman adalah anaknya Pangeran Demang. Pangeran Demang adalah anaknya Raden Rahmatullah. Raden Rahmatullah adalah anaknya Raden Samudera atau Sultan Surya Syah atau Suryansyah. Raden Samudera adalah anaknya Raden Mantri Jaya. Raden Mantri Jaya adalah anaknya Raden Bangawan. Raden Bangawan adalah anaknya Pangeran Sakar Sungsang. Pangeran Sakar Sungsang adalah anaknya Pangeran Carang Lalean dengan Putri Kalungsu.
Ketika acara penobatan tersebut Sultan Awwaludin memberi nama terusan yang baru dibangun itu dengan nama Sungai Sangao yang berasal dari nama Pohon Sangao, yang sekarang disebut Sungai Sanggau. Penamaan terusan itu dengan Sungai Sanggau sebagai pengingat peristiwa sulitnya menyingkirkan akar Pohon Sangao sehingga terpaksa harus dihentikannya pembuatan terusan bagi jalan bidar-bidar istana selama satu tahun. Sultan Awwaludin juga bertitah dengan menyebut wilayah keberadaan Sungai Sangao ini dengan Sangao atau Sanggau dan menjadikan Sanggau sebagai ibu kota Negeri Kapuhas yang baru, sebagai pemindahan pusat kota yang sebelumnya berada di Mempawah.
Selanjutnya, Sultan Awwaludin juga memerintahkan untuk mengukir pedang Tan Cam dengan angka 1616, karena angka tersebut sebagai pengingat bahwa awal mula berdirinya Sanggau pada tahun Masehi yang kebetulan bersamaan dengan tanggal Hijriah berhasil dipotong dan diangkatnya akar Pohon Sangao, yaitu tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1025 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 3 April 1616 Masehi.

Jumat, 30 Maret 2018

JENIS-JENIS MANUSIA PADA 70 BUMI DALAM ILMU PERBINTANGAN BANGSA DAYAK

JENIS-JENIS MANUSIA PADA 70 BUMI
DALAM ILMU PERBINTANGAN BANGSA DAYAK

Dalam Ilmu Perbintangan Bangsa Dayak, bahwa terdapat 70 bumi yang bertebaran pada tujuh lapis langit. Masing-masing bumi dihuni oleh jenis manusia yang berbeda-beda yaitu sebagai berikut :
1. Hantarawang  = unggas (Utara)
Kuau  = Manusia unggas, pada langit ketujuh.
Daya = Manusia Bumi, pada langit pertama.
2. Rabieng = Reptil
Kenyulung = Manusia reptil, pada langit ketiga
Merkatak = Manusia katak, pada langit pertama
3. Danum = Air
Saluang = Manusia ikan, pada langit kelima
Undang = Manusia udang, pada langit ketiga
Gerugut = Manusia berinsang dan bersirip, pada langit pertama
4. Suba’ = Serangga (Timur)
Rabai = Manusia Lebah, pada langit ketujuh
Gerun = Manusia Belatung, pada langit kelima
Mandup = Manusia Belalang, pada langit ketiga
Hanteloh = Manusia semut, pada langit pertama
5. Bakei = Kera
Langkung = Manusia Orang Utan, pada langit ketujuh
Ambu’ = Manusia Gorila, pada langit kelima
Kirai = Manusia Unka, pada langit ketiga
Ripang = Manusia Bekantan, pada langit pertama
6. Apui = Naga Api
Bajakah = Manusia Naga Bersirip, pada langit ketujuh
Kangik = Manusia Ular Berkepala dua, pada langit kelima
Nebung = Manusia Uar berkaki banyak, pada langit ketiga
Alaeh = Manusia Ular bersayap, pada langit pertama
7. Bosi = Besi (selatan)
Bejagang = Manusia Besi Berkaki Empat, pada langit ketujuh
Gabun = Manusia Besi Beroda, pada langit kelima
Kelemusu = Manusia Besi Serangga, pada langit ketiga
Sidi = Manusia Besi Kereta, pada langit pertama
8. Tempikut = Binatang Berkaki
Hadangan = Manusia Kerbau, pada langit ketujuh
Sampau = Manusia Bertanduk Banyak, pada langit kelima
Tentai = Manusia Bertaring, pada langit ketiga
Ansing = Manusia Bercakar Berekor Pendek, pada langit pertama
9. Bengkung = Bermata
Tanjan = Manusia Ikan Bermata Satu, pada langit ketujuh
Kurau = Manusia Bersisik, Berkumis dan Bermata Banyak, pada langit kelima
Ganaeh = Manusia Bertanduk Bermata Hijau, pada langit ketiga
Lintan = Manusia Bersayap Bermata Merah, pada langit pertama
10. Riwut = Angin (Barat)
Tapang = Manusia Pohon Berkabut, pada langit ketujuh
Ceruk = Manusia Asap, pada langit kelima
Sengkerung = Manusia Embun Besi, pada langit ketiga
Injau = Manusia Uap, pada langit pertama
11. Telap = Besi Terbang
Ilam = Manusia Besi Terbang Bertangan Tajam, pada langit ketujuh
Cagut = Manusia Besi Berkepala Daun, pada langit kelima
Panyurung = Manusia Besi Bermata Banyak, pada langit ketiga
12. Ruit = Batu Bertanduk
Bedurok = Manusia Batu Bertanduk Banyak, pada langit ketujuh
Nginsam = Manusia Ikan Batu Bersayap, pada langit kelima

Pada Langit Kedua :
1. Udun  = Manusia Burung Bertanduk
2. Racuh = Manusia Ikan Bertanduk
3. Keramak = Manusia Kepiting
4. Rantai = Manusia Serangga Berantai
5. Bandir = Manusia Kera Berapi
6. Tedung = Manusia Ular Berkaki Besi
7. Balawau = Manusia Tikus
8. Tarima = Manusia Kucing Bermata Bening
9. Kilaeh = Manusia Banteng Berbentuk Asap
10. Bilau = Manusia Terbang Berkaki Katak

Pada Langit Keempat
1. Rengang = Manusia Anjing
2. Bekaka = Manusia Burung Api Bersirip
3. Tanggam = Manusia Semut Berekor Panjang
4. Niang = Manusia Naga Berbentuk Asap
5. Beragih = Manusia Ular Terbang Beroda Kereta
6. Sidir = Manusia Bertangan Banyak
7. Bubok = Manusia Kayu Besi Berinsang
8. Kipat = Manusia Berekor Tajam
9. Kesekak = Manusia Berkepala banyak
10. Lametak = Manusia Bertaring Bermata Merah

Pada langit Keenam
1. Angkeh = Manusia Kera Bersisik Ikan, pada langit keenam
2. Delieng = Manusia Bermata di Dada
3. Pagung = Manusia Batu Berbentuk Serangga
4. Mitar = Manusia Kilat
5. Pansuh = Manusia Bambu
6. Lamangkang = Manusia Karet Bersayap
7. Kuringgang = Manusia Embun Berkain Putih
8. Radung = Manusia Batu Merayap
9. Berurung = Manusia Angin Bercahaya
10. Punsang = Manusia Berkepala Api

BUMI KE-70 DALAM ILMU PERBINTANGAN BANGSA DAYAK

BUMI KE-70 DALAM
ILMU PERBINTANGAN BANGSA DAYAK

Adapun Bumi ke-70 bernama Daya yang diciptakan sebagai tempat turunnya manusia yang sempurna dan berakal yang disebut Daya, sehingga Bumi ke-70 ini disebut Daya. Daya adalah jenis manusia yang tidak sama dengan manusia-manusia yang menghuni di 69 Bumi lainnya. Manusia Daya bentuknya bagus dan sempurna, parasnya elok dan memiliki akal yang cemerlang.
Manusia-manusia di 69 Bumi lainnya harus melewati waktu yang panjang untuk memahami dan menguasai teknologi, namun manusia Daya ini dianugerahi kemampuan akal yang cemerlang sehingga dengan cepat dapat memahami dan menguasai teknologi.
Ketika akan diturunkan manusia Daya ini di Bumi ke-70, berita tersebut tersebar ke seluruh 69 Bumi lainnya, sehingga manusia-manusia yang menghuni 69 Bumi tersebut berbondong-bondong datang dan menunggu turunnya manusia Daya yang dikabarkan sangat sempurna dan berakal. Kedatangan manusia-manusia dari 69 Bumi tersebut hanya ingin melihat kehebatan hasil penciptaan manusia Daya yang lebih sempurna dari mereka, dan telah dianugerahi Ilmu Pengetahuan yang sangat canggih dari Ilmu Pengetahuan yang telah mereka ketahui.
Walaupun ketika manusia Daya tersebut telah turun di Bumi ke-70, dan mereka telah melihatnya, namun banyak dari mereka yang enggan pulang ke Bumi mereka masing-masing, karena ingin belajar kepada manusia Daya ini tentang Ilmu Pengetahuan yang belum mereka ketahui. Namun seiring waktu berjalan, ketika manusia Daya telah berkembang hingga ke penjuru Bumi ke-70, dan dengan cepat membangun peradaban teknologi yang canggih, dimana kecepatan peradaban tersebut melebih perkembangan peradaban teknologi di 69 Bumi lainnya, peradaban manusia Daya di Bumi ke-70 ini mengalami beberapa kali kemunduran akibat bencana alam. Bencana alam tersebut menghancurkan peradaban teknologi manusia Daya sehingga mereka berulang kali harus mengulangnya dari awal lagi untuk mengulang kejayaan teknologi yang pernah diciptakan oleh Nenek Moyang mereka dahulunya.

ALTAR TIWAH

ALTAR TIWAH

Altar Tiwah yang ditemukan di Kabupaten Sanggau pada umumnya sebagai tempat ritual adat masyarakat setempat. Pada Altar Tiwah tersebut terdapat simbol-simbol yang jika dibaca secara bentuk simbolnya terdapat beberapa makna kata yaitu :
1. Simbol sebagai penunjuk kata benda
2. Simbol benda bercahaya dari langit yang jatuh ke bumi.
Selanjutnya terdapat beberapa simbol Aksara yang secara sederhana berbunyi :
1. Ga – Ma  = telah rusak atau tidak beraturan
2. Gi – Min = Manusia yang memiliki dua bentuk yaitu perempuan dan laki-laki atau dapat dimaknai manusia yang memiliki dua kelamin ataupun dapat juga dimaknai sebagai wanita yang berpenampilan seperti laki-laki.
Adapun pemaknaan keseluruhan simbol-simbol tersebut secara sederhana yaitu “Jatuhnya benda bercahaya dari langit ke bumi, yang bentuknya telah rusak dan memunculkan manusia wanita yang berpenampilan seperti laki-laki”.
Adapun makna simbol-simbol tersebut jika disesuaikan pada bacaan ritual adat yang dibacakan oleh Pemangku Adat masyarakat setempat didapatkan penjelasan bahwa dalam bacaan ritual tersebut Pemangku Adat menyampaikan asal usul Leluhur mereka berasal dari Langit Tingkat ke-7. Selanjutnya di singgung juga tentang jatuhnya benda bercahaya dari langit yang dikatakan seperti butir padi yang sangat besar yang kulitnya sangat tebal dan keras seperti batu namun kulitnya tersebut telah retak dan rusak. Pada bacaan selanjutnya disinggung tentang pemunculan sosok manusia wanita yang bentuknya seperti laki-laki dari kulit padi yang telah retak atau rusak tersebut. Selanjutnya dari manusia wanita yang bentuknya seperti laki-laki ini melahirkan Leluhur-Leluhur mereka yang berada di Kapuas Hulu, Dayak Kenayatn, Bukit Semarong dan Bukti Batu Begantung.
Adapun simbol-simbol yang terdapat pada Altar Tiwah tersebut, terdapat kemiripan bentuk dan bunyi dengan Aksara-Akasara Kuno di luar Kalimantan yaitu :
1. Simbol berwarna merah pada gambar yang berbunyi ‘Nga’ memiliki kemiripan dengan bentuk dan bunyi Aksara Abugida di Sumatera Utara.
2. Simbol berwarna coklat pada gambar yang berbunyi ‘Ga’ memiliki kemiripan dengan bentuk dan bunyi Aksara Incung di Kerinci Jambi.
3. Simbol berwarna hijau pada gambar yang berbunyi ‘Ma’ memiliki kemiripan dengan bentuk dan bunyi Aksara Ulu di Sumatera Selatan.
4. Simbol berwarna biru pada gambar yang berbunyi ‘Gi’ dan ‘Min’ memiliki kemiripan dengan bentuk dan bunyi Aksara Minang di Sumatera Barat.

Kamis, 29 Maret 2018

SIMBOL ASAL MUASAL LELUHUR DAYAK PANGKODANT


SIMBOL ASAL MUASAL
LELUHUR DAYAK PANGKODANT

Suku Dayak Pangkodant di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, tersebar di beberapa kampung yaitu Desa Lape, Dusun Berancet, Dusun Keladau, Embaong, Sei. Mawang, Rantau, Sanjan, Nyandang dan Tokang. Di wilayah kampung Rantau masih terdapat Tembawang Durian milik bersama yang merupakan warisan nenek moyang suku Pangkodant. Di wilayah kampung Rantau ini telah berdiri rumah Betang yang lokasinya di Dorik Mpulor. Rumah Betang ini sebagai tempat untuk mempertemukan semua suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat, khususnya yang ada di Kabupaten Sanggau dalam suatu acara yang disebut Gawai Dayak, atau yang dalam istilah Dayak Pangkodant disebut Gawai Nosu Minu Podi yang memiliki makna Pesta Padi.
Menurut penuturan Pemangku Adat Pangkodant, bahwa nenek moyang mereka berasal dari suku Dayak Jangkang, yang merupakan suku dari anak-anak kedua hasil pernikahan Babay Cinga’ dan Dara Nante. Anak kedua Babay Cinga’ dan Dara Nante bernama Patee Gumantar yang selanjutnya melahirkan suku Dayak Jangkang, dan selanjutnya seiring perkembangan zaman terjadi pemisahan akibat perpindahan penduduk dalam mencari kehidupan dan nafkah sehingga lahirlah suku Dayak Pangkodant.
Adapun Leluhur awal suku Dayak Pangkodant ini dikisahkan dalam simbol yang terpahatkan pada sebuah batu pedagi yang hingga kini masih disimpan dan dituturkan turun temurun yaitu bahwa Leluhur awal mereka berasal dari Dunia Bengkung, dengan nama Negerinya yaitu Lintan. Leluhur Awal ini berciri memiliki mata satu dan berwarna merah, serta dapat terbang secepat kilat kesana kemari. Leluhur selanjutnya yang masih dikenali oleh suku Dayak Pangkodant bergelar Nek Gansa.
Dari perjalanan awal Leluhur yang awal dari negeri Lintan singgah di Bumi. Selanjutnya Leluhur yang awal pergi ke negeri Gerugut di Dunia Danum. Leluhur yang awal ini berhasil menaklukkan negeri Gerugut dan membangun peradaban di negeri tersebut. Kemudian Leluhur yang awal pergi ke negeri Sidi, dan membangun dua peradaban di negeri tersebut. Sebelum kembali ke negeri awalnya di Lintan, Leluhur yang awal membangun dua dermaga pada dua masa, dimana dermaga tersebut sebagai jembatan mereka menuju ke Gerbang Bunga Terong. Gerbang Bunga Terong merupakan gerbang berbentuk lorong panjang untuk pergi ke langit kedua hingga langit ketujuh, termasuk gerbang menuju keluar dimensi langit ketujuh. Gerbang Bunga Terong tersebut terletak di dekat matahari, dan terdapat dinding megah yang melindungi Gerbang Bunga Terong tersebut dari sengatan matahari sehingga Gerbang ini tidak hancur oleh panasnya matahari. Gerbang Bunga Terong ini selanjutnya diabadikan pada Tatto anak keturunan mereka di Bumi, dan menjadi simbol Tatto suci turun temurun. Kemudian pulang kembalilah Leluhur yang awal di negeri Lintan, dan selama perjalanan mereka menggunakan benda yang dikatakan seperti buah Catur.
Setelah kembali lagi ke negeri Lintan, Leluhur yang awal pergi lagi ke Bumi dan mereka menikah dengan manusia-manusia di Bumi. Manusia-manusia di Bumi ketika menemukan Leluhur yang awal berada dalam sebuah benda bercahaya berbentuk padi yang sangat besar dan kulitnya keras seperti batu dan besi. Benda bercahaya seperti padi tersebut jatuh di wilayah Batu Bergantung, yang kemudian menjadi asal muasal Leluhur di Bumi. Setelah menikah dengan manusia-manusia di Bumi, Leluhur yang awal membangun jalur terpisah yang hanya dapat dilewati oleh Leluhur dari Lintan menuju ke Bumi serta anak keturunan mereka.
Adapun warisan berharga dari Leluhur-Leluhur yang awal yaitu kemampuan mengukir dan membuat sesuatu, termasuk salah satunya dapat melunakkan besi. Salah satu warisan berharga pada Leluhur dari Nek Gansa yaitu seperangkat pakaian perang besi dan pakaian dari rajutan rantai besi dengan penutup kepalanya seperti helem besar yang melebar ujungnya menutupi bahu, pada ujung atas helem tersebut terdapat tanduk besi yang melengkung. Pakaian perang besi ini merupakan warisan turun temurun dari Leluhur-Leluhur Nek Gansa pada masa dahulunya. Pakaian perang besi ini kemudian dipergunakan oleh keturunan Nek Gansa yang bernama Lawan atau bergelar Singa Jaga Kota ketika menjaga Kerajaan Sanggau dari serangan musuh yang akan memasuki wilayah Kerajaan Sanggau. Selanjutnya Lawan atau Singa Jaga Kota mempergunakan pakaian perang besi ketika bergabung dalam Angkatan Perang Majang Desa. Lawan atau Singa Jaga Kota dengan pakaian perang besinya bersama Angkatan Perang Majang Desa kemudian memasuki Pontianak dan berhasil membebaskan Pontianak dari penguasaan tentara Jepang.
Lawan atau Singa Jaga Kota lahir tahun 1865 dan wafat pada tanggal 13 Desember 1977. Lawan atau Singa Jaga Kota ini memiliki kaki yang panjang, sehingga jika beliau duduk menjongkok maka lutut kakinya tersebut berada melewati atas kepala beliau.

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...