Rabu, 17 Januari 2018

BABAY CINGA'


MACAN UWI’

Tersebutlah Miharaja Rahadyan Japutra Layar yang menikah dengan seorang putri raja negeri Thang Raya di Angrat Batur yang untuk sekarang ini masuk dalam wilayah Banyuke Kabupaten Landak bernama Dara Gangsa Angrat Batur. Dari permaisurinya ini, Miharaja Rahadyan Japutra Layar memiliki seorang putra yang bernama Babay Cinga’.
Ketika Babay Cinga’ masih dalam kandungan Dara Gangsa Angrat Batur, ia beberapa kali menghilang dari dalam kandungan Ibunya. Pertama kali terjadinya kejadian itu, Miharaja Rahadyan Japutra Layar dan seisi istana dibuat gempar, karena tiba-tiba saja kandungan Dara Gangsa Angrat Batur mengempes tanpa sebab. Miharaja Rahadyan Japutra Layar sangat panik dan selama beberapa minggu ia tidak bersemangat dan kehilangan gairah hidup.
Namun beberapa minggu kemudian, tiba-tiba saja perut Dara Gangsa Angrat Batur membesar. Setelah diperiksa oleh para Tabib istana, ternyata dalam perut Dara Gangsa Angrat Batur terdapat janin bayi yang telah membesar. Rupanya kandungan sang Permaisuri telah kembali lagi setelah menghilang beberapa minggu. Kejadian aneh tersebut terus terulang hingga beberapa kali, sehingga janin bayi dalam perut Permaisuri Dara Gangsa Angrat Batur mendapatkan gelar Nganyang yang artinya sering hilang. Miharaja Rahadyan Japutra Layar tidak lagi menjadi heran dan panik, karena ia meyakini bahwa anaknya yang sedang dalam kandungan istrinya tersebut mendapat kelebihan seperti Leluhur-leluhurnya terdahulu.
Pada suatu malam terlihat tanda-tanda bahwa sang Permaisuri akan melahirkan. Pada malam tersebut, langit diatas negeri Nan Sarunai dipenuhi oleh bintang. Pemandangan pada malam itu tidak seperti malam-malam sebelumnya. Begitu banyak bintang jatuh yang hilir mudik dilangit sehingga membuat suatu pemandangan yang indah. Rakyat Nan Sarunai berkeluaran dari dalam rumah untuk menyaksikan pemandangan alam yang tidak seperti biasanya itu.
Permaisuri Dara Gangsa Angrat Batur akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki pada malam yang dipenuhi oleh bintang tersebut. Oleh Miharaja Rahadyan Japutra Layar, bayi laki-laki itu diberi nama Berurung Bemari yang artinya bintang bercahaya yang hilir mudik. Sepanjang malam kelahiran Berurung Bemari, rakyat negeri Nan Sarunai berada diluar rumah-rumah mereka untuk menyaksikan pemandangan alam yang dipenuhi bintang dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Beberapa tahun kemudian, ketika Berurung Bemari telah berumur anak-anak, Miharaja Rahadyan Japutra Layar bersama beberapa orang pengawal dan didampingi oleh beberapa orang perwira tinggi yang bergelar Cinga’ membawanya berburu macan di tempat yang biasa para Miharaja Nan Sarunai berburu macan. Cinga’ atau Singa merupakan jabatan perwira tinggi pasukan Nan Sarunai, posisi jabatannya dibawah Pangkal Lima atau Panglima.
Dalam kelompok Cinga’ terdapat empat orang Cinga’ yang sangat disegani dan ditakuti yaitu Cinga’ Tinggang, Cinga’ Mada, Cinga’ Palangka dan Cinga’ Tangga Arong. Berurung Bemari sejak kecil sangat dekat dengan Cinga’ Mada, karena Cinga’ Mada telah ditunjuk oleh Miharaja Rahadyan Japutra Layar untuk menjadi pengawal pribadi anaknya tersebut. Selain itu Cinga’ Mada juga merupakan saudara Raja Hulu Aik yang bernama Raja Serongkah atau Demong Serongkah yang bergelar Raja Tulang Gading Darah Puteh. Begitu dekatnya Berurung Bemari dengan Cinga’ Mada sehingga Cinga’ Mada dianggap seperti orangtua angkatnya.
Ketika sedang asik berburu macan, tiba-tiba saja rombongan Miharaja Rahadyan Japutra Layar diserang oleh seekor macan yang sangat besar. Bahkan beberapa orang pengawal tewas dan menjadi mangsa macan yang sedang mengamuk tersebut. Dua orang Cinga’ juga ikut tewas termangsa oleh macan yang sangat besar itu, yaitu Cinga’ Tatum dan Cinga’ Salam. Dalam beberapa riwayat menyatakan bahwa Cinga’ Salam juga disebut sebagai Cinga’ Aslam atau Cinga’ Islam karena beragama Islam.
Dalam kondisi yang sangat berbahaya itu, Berurung Bemari dengan beraninya segera mengambil beberapa buah batu dan langsung melempari macan yang sedang mengamuk itu untuk mengalihkan perhatian agar tidak menyerang Ayahnya. Tindakan berani yang dilakukan oleh Berurung Bemari yang masih anak-anak itu membuahkan hasil, macan besar tersebut tidak jadi menyerang Miharaja Rahadyan Japutra Layar. Macan tersebut berbalik mengejar Berurung Bemari. Berurung Bemari kemudian berlari kedalam hutan guna menjauhkan si macan dari rombongan Ayahnya.
Pada suatu tempat ditengah hutan, Berurung Bemari mendapatkan sebuah tongkat rotan yang kemudian dipakainya untuk melawan macan besar tersebut. Dengan keberanian yang sangat luar biasa, Berurung Bemari yang masih anak-anak itu dengan hanya bersenjatakan sebuah tongkat rotan, melawan seekor macan yang ukurannya melebih ukuran beberapa orang dewasa tersebut. Pertarungan yang tidak seimbang itu tidak membuat Berurung Bemari terdesak, bahkan terkaman dari cakar-cakar macan itu belum dapat menyentuh tubuh kecilnya.
Hingga disuatu kesempatan, Berurung Bemari menusukkan tongkat rotannya ke leher macan itu hingga membuatnya terkapar dan mati seketika. Setelah berhasil membunuh macan yang besar itu, rupanya Berurung Bemari kelelahan karena telah melewati pertarungan yang menegangkan dan sangat menguras tenaganya itu. Ia pun tanpa rasa takut langsung merebahkan tubuhnya diatas mayat macan yang telah penuh berlumuran darah itu dan tertidur dengan lelapnya.
Miharaja Rahadyan Japutra Layar, dan para pengawal yang selamat rupanya berusaha mengejar macan yang sedang memburu Berurung Bemari yang berlari ke dalam hutan. Mereka berusaha mengikuti jejak pelarian Berurung Bemari, namun mereka kehilangan jejak. Setelah sekian waktu mencari akhirnya mereka berhasil menemukan Berurung Bemari.
Namun mereka sangat terkejut ketika melihat Berurung Bemari sedang tertidur lelap diatas tubuh macan yang telah mati. Tubuh macan tersebut berlumuran darah dan terlihat sebuah tongkat rotan menembus leher macan yang besar itu. Semenjak peristiwa tersebut, Berurung Bemari mendapat gelar Macan Uwi’ yang berarti Tongkat Rotan Macan ataupun Penakluk Macan. Dan tongkat rotan yang ditemukannya kemudian menjadi senjata yang selalu dipergunakannya dalam setiap peperangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...