MISTERI
RELIEF CANDI BOROBUDUR
Candi Borobudur merupakan
salah satu warisan budaya yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia dan
masyarakat dunia. Keagungannya menggema hingga ke manca negara. Candi Borobudur
terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga
pelataran melingkar yang pada dinding-dindingnya dihiasi dengan 1460 relief.
Relief - relief pada Candi Borobudur menggambarkan tentang kisah kehidupan pada
masa dahulu. Untuk membaca cerita pada relief Candi Borobudur ini pengunjung
harus berjalan searah jarum jam, yaitu dari arah sisi sebelah timur dan
berakhir di sisi sebelah timur.
Pada relief di Candi
Borobudur terdapat relief manusia yang bertelinga panjang, yaitu telinganya
memanjang akibat menggantung anting-anting yang berat. Membentuk telinga
memanjang seperti ini merupakan tradisi pada beberapa suku di dunia yang
tentunya mengindikasikan bahwa Borobudur berasal dari suku-suku tersebut.
Pada umumnya, suku-suku di
dunia yang memiliki tradisi bertelinga panjang seperti yang terdapat pada
patung dan relief di Candi Borobudur yaitu Suku Dayak Kalimantan, Suku Huaorani
Indian, Suku Maasai Afrika dan Suku Karen Burma. Maka pada suku-suku inilah
dapat ditelusuri asal-usul sosok patung dan relief manusia tersebut, sehingga
dapat ditelusuri juga asal usul dari Candi Borobudur.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan
yang memiliki tradisi memanjangkan telinga secara turun temurun. Suku Indian
Huaorani, adalah salah suku asli Indian yang terdapat di bagian timur
Ekuador. Suku Huaorani sering dijuluki Prajurit menakutkan dari hutan hujan
Amazon.
Suku Maasai ialah kelompok
suku asli dari Afrika yang memiliki pola hidup seminomaden di Kenya dan
Tanzania. Mereka ialah salah satu kelompok Suku Afrika Timur yang paling
dikenal di dunia luar karena kebudayaannya yang unik.
Suku Karen atau Kayin,
adalah suatu kelompok etnis yang hidup di Burma atau Myanmar. Penyebaran orang
Karen terutama berada di Selatan dan Timur Selatan bagian dari negara
Burma, sementara ribuan lain hidup di daerah perbatasan Burma dan Thailand.
Pemukiman orang Karen berada di daerah pegunungan. Desa mereka terlindungi oleh
rumpun bambu sebagai pagar untuk perlindungan terhadap suku-suku lain yang
mengancam mereka.
Tradisi memanjangkan telinga
dalam masyarakat Dayak di Kalimantan disebut Telingaan Aruu. Tradisi
memanjangkan telinga di kalangan Suku Dayak ini telah lama dilakukan turun
temurun. Pemanjangan daun telinga ini biasanya menggunakan pemberat berupa
logam berbentuk lingkaran gelang dari tembaga. Dengan pemberat ini daun telinga
akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.
Memanjangkan telinga bagi
suku Dayak dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Bagi Suku Dayak,
memanjangkan telinga memiliki beberapa tujuan yaitu sebagai identitas
kebangsawanan, sekaligus digunakan sebagai pembeda. Kemudian untuk menunjukkan
umur seseorang. Telinga panjang bagi kaum wanita suku Dayak diyakini akan
membuat mereka terlihat semakin cantik.
Selain itu, untuk melatih
kesabaran melalui adanya pemberat akibat logam berbentuk lingkaran yang
menempel pada telinga dan harus digunakan setiap hari. Dengan beban berat di
telinga, rasa sabar dan penderitaan pun semakin terlatih.
Jika disesuaikan dengan
tradisi yang ada hingga saat ini pada suku Dayak yang masih memegang tradisi
memanjangkan telinga, maka suku Dayak terindikasi kuat memiliki peranan penting
terhadap keberadaan Candi Borobudur. Hal ini sangat terlihat jelas pada bentuk
patung dan relief di Candi Borobudur yang memiliki bentuk bertelinga panjang
yang sangat mirip dengan telinganya orang Dayak.
Keberadaan patung dan
relief manusia bertelinga panjang di Candi Borobudur memperkuat indikasi
keberadaan peradaban Bangsa Dayak di Candi Borobudur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar