Jumat, 11 Oktober 2019

Antara Zahara, Elisa dan Kematian


Antara Zahara, Elisa dan Kematian

September 1989, aku di tunjuk sebagai ketua Remaja Surau di tempatku. Aku tinggal di Gang Sirsak Jalan Apel Pontianak. Saat itu remaja di sekitar Surau Al-Ilham di Gang Sirsak sangat bersemangat membentuk organisasi remaja yang berpusat di Surau Al-Ilham.
Pada masa itu sedang maraknya bermunculan organisasi-organisasi remaja Masjid dan Surau. Kegiatan remaja Masjid dan Surau ini sangat meriah pada hari-hari besar Islam terutama pada saat bulan puasa dan malam takbiran. Organisasi Remaja Surau yang ada di tempat tinggalku bernama Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham yang disingkat PRISAI.
Kegiatan rutin yang diadakan oleh PRISAI ini adalah pengajian remaja setiap malam Selasa, pelajaran Tauhid dan Fiqih setiap malam Rabu dan malam Sabtu yang diajarkan oleh Pak Abdurahman, atau yang kami panggil Pak Cik. Dipanggil Pak Cik karena tubuhnya kecil. Setiap malam Jum’at Berzanzi berkeliling dari rumah ke rumah.
Pak Abdurahman atau Pak Cik adalah Guru Ngajiku sejak aku di kelas 2 SD. Sebelumnya ketika aku kelas 1 SD aku belajar Ngaji dengan Tok Aji Amir di Gang Candi Agung Sungai Bangkong Pontianak. Tok Aji Amir umurnya sudah sangat tua. Selama mengajarkan mengaji, Tok Aji Amir selalu bercerita tentang kisah-kisah Nabi dan Rasul, kisah para Malaikat, penciptaan dunia, kisah langit dan bumi, kisah di alam kubur, kisah kiamat, kisah akhirat, kisah tentang Surga dan Neraka.
Tok Aji Amir menceritakan kisah-kisah tersebut sebelum dan sesudah mengajarkan mengaji sehingga aku dan murid-murid lainnya yang belajar mengaji senang belajar dengan Tok aji Amir karena senang mendengar beliau bercerita. Selain itu Tok Aji Amir juga selalu bercerita tentang Guru-Gurunya yaitu Habib Sholeh Al-Hadad dan Ustadz H. Abdurrani Mahmud.
Habib Sholeh Al-Hadad dalam cerita beliau disampaikan memiliki mata yang buta dan hafal AlQur’an. Meski matanya buta namun Habib Sholeh Al-Hadad rutin mengajar agama kemana-mana dan dapat mengetahui siapa saja yang ditemuinya. Sedangkan Ustadz H. Abdurrani Mahmud adalah seorang ahli Ilmu Falak yang menyusun Jadwal Sholat sepanjang masa.
Namun aku hanya beberapa bulan saja belajar mengaji dengan Tok Aji Amir karena orangtuaku pindah ke Gang Sirsak di Jeruju tahun 1984. Ketika tinggal di Gang Candi Agung, aku bersekolah di SD Gang Cimahi. Namun ketika kelas 4 SD aku pindah sekolah ke SD di dekat rumahku di Gang Sirsak. Setelah orangtuaku pindah rumah, aku pun pindah belajar mengaji dengan Pak Abdurahman atau Pak Cik ketika di kelas 2 SD.
Pak Cik adalah seorang Guru Ngaji di tempat tinggalku yang baru yaitu di Gang Sirsak. Cara mengajar Pak Cik dengan Tok Aji Amir sangat berbeda. Tok Aji Amir mengajar dengan gaya yang mengikut perilaku anak-anak sedangkan Pak Cik mengajar dengan cara yang keras. Selama belajar mengaji dengan Pak Cik aku selalu menangis karena sering dimarahi.
Apalagi Pak Cik selalu membawa rotan yang selalu dipukulkannya jika aku salah atau lupa huruf-huruf dalam mengaji. Hingga sempat aku tidak mau mengaji lagi dengan Pak Cik dan meminta kepada orangtuaku untuk membawaku kembali belajar mengaji kepada Tok Aji Amir. Tapi orangtuaku tidak menyetujuinya karena belajar mengaji kepada Tok Aji Amir tempatnya cukup jauh dari Jeruju. Sehingga orangtuaku membujukku agar aku mau kembali belajar mengaji dengan Pak Cik.
Setelah beberapa minggu aku tidak mau mengaji, akhirnya setelah dibujuk terus oleh orangtuaku, aku pun mau kembali belajar mengaji dengan Pak Cik. Ketika aku kembali belajar mengaji ini, Pak Cik agak berkurang kerasnya dalam mengajarku mengaji. Tapi tetap saja jika aku salah atau lupa huruf, rotannya itu mendarat di tubuhku. Meski terasa sakit tapi aku kuatkan diri untuk terus belajar mengaji hingga hatam Qur’an.
Ketika aku kelas 4 SD, Pak Cik menyuruhku untuk ikut belajar pelajaran Tauhid dan Fiqih di rumahnya.  Ketika  pertama  kali  aku  mengikuti pelajaran itu, ramai sekali yang belajar di rumahnya yang kebanyakan adalah remaja dan orangtua.
Aku yang saat itu belum begitu mengerti tentang pelajaran Tauhid dan Fiqih itu mengikut saja. Pak Cik rupanya berguru dengan Ustadz Ridho Yahya yang pada saat itu sebagai salah seorang Guru di Pesanteren As-Salam di Pal Pontianak. Pak Cik rutin belajar kepada Ustadz Ridho Yahya, dan apa yang didapatnya di ajarkan kembali kepada murid-muridnya di Majelis Taklim di rumahnya.
Setelah dua tahun aku belajar dengan Pak Cik, barulah aku bertemu dengan Ustadz Ridho Yahya yang pada saat itu membuka Majelis pelajaran Tauhid dan Fiqh di Sungai Jawi. Inilah permulaan aku berguru dengan Ustadz Ridho Yahya atau Al-Habib Muhammad Ridho Bin Ahmad Bin Agil Bin Yahya. Ustadz Ridho Yahya juga berguru kepada Habib Sholeh Al-Hadad.
Ketika aku ditunjuk sebagai ketua Remaja Surau Al-Ilham, ketua pengurus Suraunya adalah Pak Umar yang berkerja di Bank, dan Imam Suraunya ada dua orang yaitu Pak Cik dan Pak Jamhir atau sering dipanggil Ayah Jamhir. Keduanya in bergiliran menjadi Imam di Surau. Namun jika Pak Cik atau Ayah Jamhir berhalangan ada Pak Jemain yang menggantikannya menjadi Imam.
Pada saat itu aku juga aktif di Remaja Majelis Taklim Ash Habul Kahfi di Perum 1. Remaja Majelis Taklim Ash Habul Kahfi awalnya merupakan Remaja Masjid Al-Mursalat, tapi karena terjadi perselisihan dengan Pengurus Masjidnya sehingga Remaja Masjidnya dibubarkan. Pembina Remaja Masjid Al-Mursalat saat itu yaitu Ayah Bahtiar kemudian membentuk Majelis Taklim Remaja bernama Majelis Taklim Ash Habul Kahfi untuk menampung minat dan bakat para remaja yang pada saat itu sangat bersemangat untuk melanjutkan organisasi remaja Masjid Al-Mursalat yang telah di bubarkan oleh Pengurus Masjidnya.
Pada permulaan bulan puasa yaitu pada akhir Maret 1990, setelah Sholat Tarawih aku diberikan surat undangan dari Remaja Masjid Al-Falah di Sungai Jawi Pontianak oleh Pak Umar. Masjid Al-Falah merupakan salah satu Masjid yang menjadi basis para Ulama, salah satunya adalah Gurunya Tok Aji Amir dan Ustadz Ridho Yahya yaitu Habib Sholeh Al-Hadad pernah menjadi salah seorang pembina Masjidnya. Organisasi Remaja Masjidnya sangat maju dan menjadi salah satu contoh bagi organisasi Remaja Masjid lainnya.
Surat undangan dari Remaja Masjid Al-Falah itu berisi undangan untuk mengikuti kegiatan Pesanteren Kilat yang diadakan oleh Remaja Masjid Al-Falah di Masjid Al-Falah selama lima hari yaitu dari tanggal 2 hingga 6 April 1990. Pak Umar menyuruhku untuk mengikuti kegiatan pesanteren kilat itu, dan aku mematuhinya.
Dalam surat undangan itu disebutkan bahwa pendaftaran dilaksanakan pada saat pendataan peserta yaitu pada hari pertama kegiatan, tanggal 2 April 1990, dimulai jam 8 pagi.
Pada hari Senin pagi, 2 April 1990, aku pergi ke Masjid Al-Falah di Sungai Jawi menggunakan sepedaku. Aku melewati jalan Apel, kemudian melewati jalan tembusan disamping Bioskop Garuda, selanjutnya berbelok ke kiri dan tiba lah di Masjid Al-Falah. Ketika aku tiba, telah ada beberapa remaja yang sedang mendaftar pada panitia pelaksana yang merupakan remaja Masjid Al-Falah. Setelah menunggu beberapa saat, maka giliranku untuk mendaftar. Aku pun mengeluarkan surat undangan dari Panitia dari dalam tasku dan ku berikan kepada salah seorang panita.
Saat itu yang menerima pendaftaranku adalah seorang remaja wanita. Wajahnya sangat cantik dan berjilbab rapi berwarna merah muda. Hatiku betah juga memandang wajah wanita itu. Sangat teduh dan membuat hati menjadi damai melihatnya.
Ketika mendataku, remaja wanita itu bertanya nama dan asalku. Maka ku sebutkan namaku dan asalku dari Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham di Gang Sirsak. Mendengar perkataanku itu, remaja wanita itu memintaku untuk mengulangi kata-kataku lagi sambil ia menatap wajahku dengan serius.
Maka ku ulangi lagi menyebutkan namaku dan asalku yaitu dari Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham di Gang Sirsak. Selesai aku menyebut ulang nama dan asalku, remaja wanita itu langsung tertawa nyaring sekali, sehingga membuatku bingung.
Tertawanya itu memancing perhatian dari teman-temannya yang lain, sehingga mereka bertanya kepada remaja wanita itu ada apa ia tertawa nyaring sekali. Remaja wanita itu kemudian mengajak teman-temannya untuk mendengar ulang perkataanku. Aku pun dimintanya untuk menyebutkan kembali nama dan asalku.
Maka ku sebutkan kembali nama dan asalku yaitu dari Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham di Gang Sirsak. Kembali ia riuh tertawa begitupun teman-temannya juga ikut tertawa. Aku menjadi semakin bingung ada apa. Selanjutnya wanita itu memintaku untuk mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar di pagar rumah Pak Umar”.
Setelah ia berkata demikian, barulah aku mengerti bahwa ia dan teman-temannya menertawakan “R” ku yang berkarat. Aku memang tidak bisa menyebut huruf “R”, dan yang keluar adalah penyebutan “R” yang berkarat.
Dengan bersusah payah aku menyebut kata-kata “Ular melingkar-lingkar di pagar rumah Pak Umar”, dengan logat “R” yang berkarat sehingga makin riuhlah ia dan teman-temannya tertawa. Saat itu logat bahasa “R” ku yang berkarat itu benar-benar menjadi hiburan bagi mereka. Aku hanya bisa tersenyum pasrah dengan perasaan malu dan menerima kenyataan saja. Remaja wanita itu kemudian berkata lagi dengan olokan apakah waktu aku SD dulu membolos ketika pembagian “R” dari guruku, sehingga aku tidak kebagian “R”. Aku tak bisa menjawab olokannya, dan hanya bisa tersenyum malu.
Setelah puas dia menertawakanku, aku disuruhnya masuk ke tempat kegiatan karena kegiatan akan segera dimulai. Tanpa berkata apa-apa, dan dengan perasaan malu luar biasa, aku menuju tempat kegiatan yang telah disediakan panitia. Perasaanku tak karuan saat itu.
Ketika acara pembukaan dan perkenalan panita pelaksana kegiatan, barulah aku tahu bahwa remaja wanita yang menertawakanku itu bernama Zahara, kelas dua Aliyah. Inilah awal mula aku mengenal Zahara.
Pada giliran perkenalan oleh peserta kegiatan, kembali aku menjadi tertawaan oleh Zahara. Ia berulang kali menyuruhku untuk memperkenalkan diri hanya untuk mendengar logat “R” ku yang berkarat, apalagi setelah tahu bahwa aku masih kelas 1 SMP. Logat “R” ku yang berkarat itu menjadi hiburan baginya.
Meski malu sekali rasanya menjadi bahan tertawaan tapi aku berusaha menahankan diri untuk betah dengan kondisi demikian karena hari itu baru hari pertama dan masih ada empat hari kedepan yang harus ku lewati. Pesanteren kilat yang di selenggarakan oleh Remaja Masjid Al-Falah dilaksanakan dari jam 8 pagi hingga selesai Sholat Tarawih.
Selesai kegiatan hari itu aku langsung pulang. Sepanjang pulang ke rumah, masih terbayang di benakku kejadian ditertawakan oleh Zahara. Sesampainya di rumah aku langsung mandi, kemudian bersiap akan tidur. Dan seperti biasa sebelum tidur aku selalu menulis buku diariku jika ada kejadian penting yang ku alami.
Hobby ku menulis buku diari ku lakukan ketika di kelas 6 SD. Saat itu teman-teman perempuan sekelasku sedang suka-sukanya membawa buku diari dan menulis biodata teman-teman dengan masing-masing menuliskan kata-kata mutiara. Aku yang saat itu juga ikut mengisi buku diari teman-temanku itu mulai menyenanginya dan meminta dibelikan sebuah buku diari kepada orangtuaku. Maka sejak inilah aku mulai hobby menulis buku diari.
Ketika akan menulis buku diariku, barulah aku sadar bahwa buku diariku itu sudah hampir habis lembaran halamannya. Dengan lembaran yang tersisa, kutuliskan kisahku hari itu. Selesai aku menulis, aku bersiap untuk tidur dan berencana besok akan membeli diari yang baru.
--- o0o ---

Selasa, 3 April 1990, sebelum jam 7 pagi aku turun dari rumahku menuju Masjid Al-Falah menggunakan sepedaku. Selama kegiatan pesanteren kilat ini, orangtuaku telah meminta izin untuk tidak masuk sekolah kepada wali kelasku yaitu Bu Theresia Farida di kelas 1 SMP yang lokasinya di Jalan Tebu Jeruju.
Ketika melewati pasar di Gertak Tiga Sungai Jawi, ku sempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk membeli buku diari baru. Sebelum turun dari rumah tadi, aku membawa uang simpananku sebesar 2 ribu rupiah untuk membeli buku diari baru. Dan di toko buku itu ku lihat ada buku diari yang bagus kulitnya seharga 1.700. Buku diari itu pun ku beli. Setelah itu aku menuju ke Masjid Al-Falah.
Sesampainya di Masjid Al-Falah, ku lihat Zahara sedang duduk di meja panitia di teras Masjid, aku berusaha menghindar darinya dan masuk melalui pintu samping kemudian menuju ke ruangan kegiatan. Aku berdiam diri saja didalam ruangan hingga kegiatan dimulai pada pukul 8 pagi.
Pada kegiatan hari kedua itu, rupanya Zahara yang menjadi pemandu kegiatannya.  Pada sesi pertama di sampaikan materi tentang Organisasi Remaja Masjid dari Ketua Remaja Masjid Al-Falah. Selanjutnya pada sesi kedua berisi materi penyampaian tentang kondisi dan kegiatan Organisasi Remaja Masjid dari masing-masing utusan. Pada kegiatan ini diselingi dengan diskusi dan Tanya jawab dari peserta dan panitia.
Ketika giliranku menyampaikan kondisi dan kegiatan Organisasi Remaja di tempatku yaitu organisasi Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham, aku sangat gerogi karena takut menjadi tertawaan lagi dengan logat “R” ku yang berkarat. Dan apa yang ku takutkan memang terjadi. Zahara yang menjadi pemandu kegiatan sengaja memperpanjang giliran penyampaianku karena ingin mendengar “R” ku yang berkarat. Zahara banyak bertanya yang sebenarnya ia hanya ingin mendapat hiburan saja.
Pada sesi ini kembali aku jadi bahan tertawaan karena Zahara sengaja memunculkan pertanyaan yang membuatku harus berbicara banyak, dan apa yang ku sampaikan itu menjadi kelucuan baginya yang membuat peserta yang hadir juga ikut tertawa. Meski hatiku jengkel, tapi semua pertanyaannya tetap ku jawab.
Selepas Sholat Zhuhur, ada waktu 30 menit untuk peserta istirahat. Pada kegiatan hari kedua itu aku duduk berdekatan dengan utusan dari Remaja Nurul Jannah bernama Ridwan dan Sueb. Mereka berdua duduk di kelas dua di sekolah SMA Islam Swasta. Ketika waktu istirahat, Ridwan dan Sueb bersandar nyantai pada sudut ruangan. Dan tidak jauh di hadapan sebelah kananku, terlihat Zahara sedang mengobrol santai dengan teman-temannya.
Aku yang tidak tahu harus berbuat apa ketika istirahat itu, terpikir untuk menulis buku diari yang baru ku beli tadi pagi. Maka buku diari itu pun ku keluarkan dari dalam tasku, dan mulai ku tulis tentang kisahku hari itu terutama tentang kisah diskusi yang menjengkelkan dengan Zahara. Untuk beberapa saat aku hanyut dalam tulisanku. Hingga tiba-tiba, buku diari yang sedang ku tulis itu ditarik oleh seseorang.
Aku sempat kaget, dan ketika ku lihat ternyata Zahara yang telah menarik buku diariku itu. Rupanya Zahara yang sedang mengobrol bersama teman-temannya itu sempat memperhatikan aku sibuk menulis sebuah buku diari.
Ia menjadi sangat penasaran dan tanpa ku sadari mendekati tempatku duduk, yang selanjutnya langsung menarik buku diariku itu. Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Aku hanya terpaku saja melihat Zahara yang secara mendadak menarik buku diariku, dan kemudian membacanya.
Ketika membaca apa yang telah ku tulis, Zahara terlihat beberapa kali tersenyum. Selanjutnya ia berkata untuk meminjam buku diariku itu. Tanpa menunggu jawabanku, Zahara langsung pergi dan kembali ke tempatnya semula dengan meninggalkan aku yang hanya bisa terdiam melihat ulahnya itu. Kembali perasaanku tidak karuan saat itu akibat ulah Zahara.
Hari itu pun ku lewati dengan pikiranku yang masih memikirkan buku diariku yang diambil Zahara. Ketika selepas Tarawih dan akan pulang ke rumah, aku berusaha mencari Zahara untuk meminta kembali buku diariku itu. Tapi Zahara tidak ku temukan. Dengan perasaan tak karuan, aku terpaksa pulang ke rumah dengan pikiran yang masih memikirkan buku diariku yang diambilnya.
--- o0o ---

Rabu, 4 April 1990, hari ketiga kegiatan pesanteren kilat di Masjid Al-Falah. Aku menemui Zahara untuk meminta kembali buku diariku, tapi Zahara berkata bahwa ia belum membaca semua yang telah ku tulis dan berjanji akan mengembalikannya nanti pada hari terakhir kegiatan. Kembali aku tidak bisa berbuat apa-apa dan dengan terpaksa harus mempercayainya bahwa nanti hari terakhir kegiatan ia akan mengembalikan buku diairiku. Meski hatiku berkecamuk karena memikirkan buku diariku, namun aku berusaha menenangkan diri bahwa nanti buku diariku itu akan dikembalikan Zahara.
Jum’at, 6 April 1990, hari terakhir kegiatan pesanteren kilat di Masjid Al-Falah. Beberapa hari kegiatan aku semakin akrab dengan Ridwan dan Sueb. Selepas acara penutupan, aku menemui Zahara untuk meminta kembali buku diariku.
Tapi dengan santainya Zahara berkata bahwa ia lupa membawa diariku itu, dan tanpa rasa bersalah sedikitpun ia pergi begitu saja meninggalkanku. Perasaanku sangat kesal saat itu, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan hati yang berkecamuk, terpaksa ku ikhlaskan buku diariku dan tidak ingin ku ingat lagi.
Aku pun membeli buku diari yang baru dan menulis lagi kisahku selama kegiatan di pesanteren kilat di Masjid Al-Falah. Setelah kegiatan pesanteren kilat di Masjid Al-Falah. Aku sering bertemu Ridwan dan Sueb, terutama jika ada kegiatan-kegiatan besar Islam yang melibatkan Remaja Masjid. Kami menjadi sahabat yang akrab. Ridwan dan Sueb juga beberapa kali bermain ke rumahku.
Pada tahun 1992, terjadi tragedi Perang Bosnia Herzegovina. Konflik perang yang terjadi di Bosnia menjadi pembicaraan hangat sehari-hari di kalangan remaja Masjid dan Majelis Taklim.
Pada bulan Juli 1992, Ridwan dan Sueb datang ke rumahku. Pada saat itu mereka telah tamat dari SMA. Ridwan dan Sueb mengajakku untuk mendaftar sebagai sukarelawan berjihad ke Bosnia yang pendaftarannya di lakukan di Masjid Mujahidin. Pembukaan pendaftaran sukarelawan Jihad ke Bosnia ini sebelumnya telah ku ketahui di Majelis Taklim Ash-Habul Kahfi.
Namun ku katakan kepada Ridwan dan Sueb bahwa aku tidak bisa ikut mendaftar karena aku masih sekolah, dan barusan masuk ke SMA di Jurusan Pariwisata.
Mendengar jawabanku tersebut, Ridwan dan Sueb memakluminya. Kami pun sempat berbincang-bincang tentang konflik perang yang terjadi di Bosnia. Selanjutnya mereka berpamitan pulang sambil berkata bahwa besok mereka akan pergi ke Masjid Mujahidin untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Jihad ke Bosnia.
Aku pun hanya bisa mendoakan agar apa yang mereka inginkan tercapai. Selanjutnya mereka pulang dari rumahku. Sejak kepulangan mereka dari rumahku saat itu, aku tidak pernah bertemu Ridwan dan Sueb lagi. Dan tidak tahu bagaimana nasib mereka setelah itu.

--- o0o ---

Beberapa tahun berlalu, aku tidak pernah bertemu Ridwan dan Sueb lagi. Begitupun Zahara yang menjengkelkan, telah terlupakan dalam ingatanku.
Awal tahun 1999, aku telah kuliah memasuki semester 6. Fikiranku sangat kacau saat itu, setelah ku terima nilai akhir kuliahku selama 5 semester dengan hasil IPK yang sangat mengecewakan yaitu 2,20. Aku sangat depresi dan putus asa, karena sulit sekali untuk mendapatkan nilai yang memuaskan di Kampus itu. Untuk bisa lulus dengan nilai C saja aku sudah sangat gembira apalagi jika bisa mendapatkan nilai B, seakan-akan bagai mimpi yang sulit ku raih saat itu.
Sering ku termenung, ku rasa aku sudah maksimal menguatkan diri selama semester 4 dan 5 untuk memperbaiki diri dan berusaha menyenangi jurusan kuliah yang ku ambil. Tapi tetap saja banyak mata kuliah yang tidak lulus.
Padahal aku sudah bertahan untuk rajin masuk kuliah dan bergaul dengan teman-teman seangkatanku untuk belajar dari mereka dan mempermudahkan jika ada tugas-tugas kuliah, tapi tetap saja nilaiku tidak sama,  teman-temanku  itu  lulus  dengan  nilai  B  dan  A, sedangkan aku hanya bisa berpuas diri dengan nilai C, dan beberapa nilai D. Situasi tersebut benar-benar membuatku frustasi.
Aku kembali merenungi IPK kuliahku dari semester 1 hingga semester 5, memang sangat mengecewakan. Semester 1 IPK ku 1,30. Semester 2 IPK ku 1,50. Semester 3 IPK ku 1,85. Semester 4 IPK ku 2,10 dan semester 5 IPK ku 2,20.
Aku menjadi sangat frustasi dan sering merenung, apakah aku ini bodoh, atau karena aku yang tidak ingin kuliah di kampus itu sehingga mempengaruhi semangatku untuk kuliah dan belajar. Entahlah...
Aku menjadi sangat iri dengan teman-temanku yang sepertinya mudah sekali mendapat nilai B bahkan A. Minder sekali rasanya saat itu, aku benar-benar merasa sangat terkucilkan. Lambat laut aku mulai mempelajari situasi kampus, hingga timbullah dalam benakku, entah benar atau salah, tapi yang ku rasakan bahwa banyak yang mudah mendapatkan nilai B atau A karena mereka berasal dari daerah yang sama dengan dosen-dosen yang mengajar. Atau karena latar belakang yang sama-sama satu suku dengan dosen-dosen yang mengajar.
Sering ku perhatikan, mereka sering berbincang-bincang dengan dosen-dosen menggunakan bahasa asal daerah mereka sehingga mereka menjadi akrab dan dikenal dosen. Entah apakah karena pengaruh sama-sama satu daerah atau satu suku sehingga sangat mudah teman-temanku yang lainnya mendapatkan nilai B dan A. Entahlah, barangkali aku yang salah karena terlalu depresi dan frustasi sehingga muncul pikiran demikian. Tapi itu lah yang ada dalam benakku saat itu.
Kadang aku merasa menyesal ketika aku berkerja di hotel dan bertemu dengan salah seorang dosenku yang mata kuliahnya selalu aku tidak lulus, mengapa saat itu aku tidak langsung memberitahukannya saja bahwa aku ini adalah mahasiswanya sehingga akan mudah bagiku untuk lulus dari setiap mata kuliahnya karena aku mengetahui perilakunya di luar kampus.
Seandainya saat itu ku lakukan, barangkali aku tidak perlu bersusah payah untuk lulus mata kuliah dosenku itu. Tapi entahlah, kejadian itu sudah lama berlalu, dan aku harus menerima kenyataan bahwa IPK ku 2,20. Nilai yang sangat memalukan, jika ada yang bertanya berapa IPK ku, rasanya aku tidak ingin menjawabnya.
Memasuki semester 6, aku menjadi sangat depresi, selain karena frustasi melihat IPK akhirku 2,20, juga karena semester 6 adalah waktunya untuk Praktek Mengajar ke sekolah-sekolah atau PPL. Aku sangat takut sekali jika disuruh mengajar ke sekolah, dan mata kuliah PPL ini benar-benar menambah despresiku sehingga aku berencana akan berhenti kuliah.
Aku pun mencoba menyampaikan kepada orangtuaku bahwa aku sudah tidak betah untuk bertahan kuliah karena nilai IPK ku hanya 2,20 hingga akhir semester 5, dan nilai setinggi itulah yang sanggup ku dapatkan ditambah lagi untuk semester 6 ini aku harus Praktek Mengajar ke sekolah atau PPL, dan aku sangat takut sekali harus mengajar ke sekolah. Karenanya aku ingin berhenti kuliah saja.
Mendengar permintaanku yang ingin berhenti kuliah itu, orangtuaku sangat marah. Maka berdebatlah aku dengan orangtuaku saat itu bahwa aku memang tidak ingin kuliah di jurusan itu, sejak awal aku ingin kuliah ke STSI Surakarta tapi tidak diberikan izin dan dipaksa kuliah ke jurusan itu. Sedangkan aku sangat takut jika disuruh mengajar.
Kemudian aku juga susah mendapat nilai yang memuaskan di jurusan itu. Aku benar-benar seperti orang bodoh yang hanya mampu mendapat nilai IPK 2,20. Aku benar-benar tidak tahan dan ingin berhenti.
Dalam perdebatanku dengan orangtuaku, sedaya upaya ku jelaskan bahwa aku sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan kuliah di jurusan itu, tapi orangtuaku tidak bisa menerimanya dan tetap meminta agar aku menyelesaikan kuliahku yang saat itu telah memasuki semester 6. Hingga perdebatan semakin panas, dan aku bersikeras akan berhenti kuliah.
Melihat tekadku untuk berhenti kuliah tidak bias di tahan-tahan lagi, akhirnya orangtuaku membujuk agar aku menyelesaikan dahulu kuliah yang tinggal 3 semester lagi itu. Setelah aku menyelesaikan kuliah, silahkan aku kuliah lagi ke STSI Surakarta.
Mendapat jawaban dari orangtuaku itu bahwa aku di izinkan kuliah lagi ke STSI Surakarta setelah aku menyelesaikan kuliahku, hatiku pun melunak, dan keinginan untuk berhenti kuliah ku urungkan. Maka berlanjutlah lagi aku kuliah memasuki semester 6. Meski telah diberikan izin untuk melanjutkan kuliah lagi ke STSI Surakarta, namun tetap saja hatiku risau memasuki semester 6 itu karena harus melaksanakan praktek mengajar ke sekolah.
Awal bulan Februari 1999, aku mulai praktek mengajar di sekolah. Dari kampus aku di tugaskan mengajar di SMU Santun Untan. Minggu pertama aku lewati dengan kerisauan karena sangat gerogi berdiri di depan kelas dan berhadapan dengan murid-murid yang memiliki berbagai tingkah. Apalagi dengan logat “R” ku yang berkarat, menjadi bahan gurauan murid-murid di kelas yang ku ajar. Aku sangat jengkel dengan situasi demikian dan membuat aku tidak betah masuk ke kelas.
Memasuki minggu kedua, kerisauanku makin memuncak karena aku tidak mampu untuk mengendalikan murid-murid yang kelasnya ku ajar. Logat “R” ku yang berkarat selalu menjadi gurauan mereka. Kelas yang ku ajar itu pun menjadi ribut sehingga aku di tegur oleh Guru Pamongku. Pada minggu ketiga aku semakin tak berdaya, murid-muridku semakin ribut ketika aku mengajar, sehingga kembali aku ditegur dengan keras oleh Guru Pamongku, dan minggu keempat aku tidak mau lagi datang ke sekolah.
Penghujung bulan Februari 1999, aku putuskan untuk tidak mau datang lagi ke sekolah tempatku praktek mengajar. Kembali aku ingin menyampaikan kepada orangtuaku bahwa aku ingin berhenti kuliah karena aku memang tidak bisa mengajar. Tapi aku tidak berani untuk kembali menyampaikannya, sehingga orangtuaku tidak tahu jika aku sudah tidak datang lagi ke sekolah tempatku PPL.
Hatiku pun semakin berkecamuk saat itu, hingga terlintaslah keinginan untuk ikut Kursus Menjahit agar gejolak yang ada dalam pikiranku tersalurkan. Selain itu karena aku juga senang menjahit.
Pada saat itu aku sedang dekat dengan seorang wanita walaupun belum bisa dikatakan resmi berpacaran tapi hubungan kami sudah sangat dekat.
Wanita yang sangat dekat denganku itu berumur lebih tua 12 tahun dariku. Ia seorang janda yang pada saat itu sedang menjalani tugas kuliah di Bandung. Namun saat itu ia sedang libur kuliah. Aku pun menyampaikan kepadanya bahwa aku berencana ingin ikut kursus menjahit. Ia menanggapinya dengan senang dan bertanya dimana aku akan ikut kursus menjahit itu.
Maka ku jawab bahwa aku belum tahu dimana tempat untuk aku bisa ikut kursus menjahit. Mendengar jawabanku itu, ia kemudian mengajakku untuk berkeliling mencari tempat kursus menjahit yang sesuai untukku.
Dari beberapa tempat yang kami datangi, aku sangat tertarik untuk ikut Kursus Menjahit di Aini School di Jalan Tengku Umar. Pada saat itu Bu Aini pemilik Aini School masih menerima murid baru. Rupanya wanita yang sedang dekat denganku itu sangat kenal dengan Bu Aini.
Bu Aini sempat heran juga melihat aku yang laki-laki ingin kursus menjahit, tapi Bu Aini mengatakan bahwa sebelum-sebelumnya ada beberapa orang muridnya laki-laki yang pernah kursus menjahit di tempatnya, sehingga ia memaklumi jika aku berkeinginan untuk ikut kursus menjahit di tempatnya.
Maka pada awal Maret 1999, aku mulai masuk kursus menjahit di Aini School dengan jadwal kursus dari jam 2 siang hingga jam 4 sore serta biaya perbulan 30.000. Sedangkan wanita yang sedang dekat denganku kembali ke Bandung karena waktu libur kuliahnya telah selesai.

--- o0o ---

Pada awal bulan Maret 1999, aku mulai masuk kursus menjahit di Aini School di Jalan Tengku Umar. Semua murid yang kursus adalah wanita remaja dan ibu-ibu, hanya aku saja yang sendiri laki-laki. Meski kehadiranku di kelas menjahit itu menjadi bahan candaan murid-murid yang lain, tapi aku santai saja. Aku belajar menjahit dengan serius sepanjang bulan itu walau hanya aku sendiri yang laki-laki.
Pada bulan April 1999, masuk murid baru laki-laki di Aini School. Aku sangat senang ada laki-laki yang juga ikut kursus, sehingga aku punya kawan. Murid baru laki-laki itu kemudian duduk di dekatku karena dilihatnya ada laki-laki juga yang ikut kursus menjahit. Ia selanjutnya mengenalkan diri kepadaku. Namanya adalah Iwan Kelana, pemilik Sanggar K2SP. Aku sering mendengar nama itu. Iwan Kelana adalah Desainer dan Penata Modeling yang terkenal di Pontianak.
Selama ini aku hanya mendengar nama besarnya saja, tapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Dan saat itu aku akhirnya bertemu langsung dengan orangnya, dan duduk sekelas di kursus menjahit. Sejak itu aku berteman akrab dengan Iwan Kelana.
Pertengahan April 1999, salah seorang murid sekelasku kursus menjahit bernama Marlina sakit dan di rawat di Rumah Sakit Soedarso Pontianak. Selepas kursus menjahit, teman-temanku berencana akan menjenguk Marlina di Rumah Sakit Soedarso, dan mereka mengajakku. Dan aku bersedia untuk ikut menjenguk juga, namun Iwan Kelana tidak bisa ikut karena ia ada kegiatan penting setelah kursus.
Maka pergilah aku bersama teman-teman wanitaku. Kami pun tiba di Rumah Sakit Soedarso dan menjenguk Marlina. Setelah hampir satu jam aku di ruangan tempat Marlina dirawat, aku menyampaikan kepada teman-teman wanitaku untuk pulang. Tapi rupanya mereka masih betah mengobrol dengan Marlina, sedangkan aku sudah tidak betah karena aku hanya bisa menjadi pendengar saja.
Aku kemudian meminta izin untuk pulang duluan karena malamnya aku ada keperluan. Marlina dan teman-teman wanitaku memakluminya dan mempersilahkan aku untuk pulang duluan. Setelah berpamitan, aku kemudian keluar dari ruangan tempat Marlina di rawat. Ketika melewati lorong Rumah Sakit Soedarso, tiba-tiba aku mendengar ada yang memanggil namaku.
Aku menoleh kesana kemari mencari siapa yang memanggilku. Dan kembali ku dengar ada yang memanggil, rupanya suara orang yang memanggilku itu berasal dari sebuah jendela nako yang terbuka kacanya. Aku segera mendekati jendela tersebut untuk mengetahui siapa yang telah memanggilku.
Setelah didekat jendela itu, terlihatlah olehku seorang wanita berada dibalik jendela yang terlihat sangat kurus sedang duduk di tempat tidur dan sedang di infus. Wanita itu kembali menyebut namaku dan ditambahnya dengan sebutan si “R” berkarat. Aku masih bingung siapa wanita itu, dan berusaha mengingat-ingat, tapi tetap aku belum bisa mengingatnya. Melihat aku sangat bingung dan berusaha mengingat, akhirnya wanita yang sangat kurus itu berkata bahwa ia adalah Zahara. Aku pun berusaha mengingat siapa Zahara, apakah temanku atau siapa.
Rupanya ia melihat aku belum juga bisa mengingat walaupun ia telah menyebutkan namanya. Ia selanjutnya berkata lagi bahwa ia adalah Zahara yang dulu menjadi Remaja Masjid Al-Falah dan telah meminjam buku harianku.
Hatiku langsung tersentak dan pikiranku langsung teringat kembali dengan Zahara yang cantik dengan jilbabnya yang selalu rapi namun sangat menjengkelkan ketika ia mengatakan bahwa ia adalah Zahara, Remaja Masjid Al-Falah yang telah meminjam bukuku.
Aku semakin mendekatkan diri ke jendela dan ku lihat lebih teliti lagi diantara jendela nako yang terbuka kacanya, hatiku pun bertanya pada diriku sendiri, apakah benar wanita yang sangat kurus ini adalah Zahara yang cantik itu. Saat aku sedang bergulat dengan pertanyaan diriku sendiri, kembali wanita yang sangat kurus itu berkata bahwa ia memang Zahara dan sedang sakit. Ia sedang menjalani perawatan untuk menyembuhkan penyakitnya di Rumah Sakit Soedarso itu. Ia kemudian menyuruhku masuk ke ruangan tempatnya di rawat.
Tanpa banyak berpikir lagi, aku langsung saja masuk ke ruangan itu. Sesampainya di dalam ruangan, ku lihat ada beberapa orang yang juga sedang di rawat dan sedang terbaring diatas tempat tidur. Tempat wanita yang sangat kurus itu dirawat berada di dekat jendela.
Setelah berada di dalam ruangan baru aku dapat melihat dengan jelas roman wajah wanita yang sangat kurus itu. Meski terlihat sangat kurus dan lemah tapi aku masih bisa mengenali bahwa wanita itu memang Zahara yang dulunya sangat cantik namun sangat menjengkelkan itu.
Melihat aku telah berada di ruangan tempatnya di rawat, Zahara dengan kondisinya yang sedang duduk lemah dan tangannya terinfus serta matanya yang sangat cekung berusaha untuk tersenyum. Mendadak hatiku yang sebelumnya selalu menganggapnya sangat menjengkelkan itu langsung berubah sedih tak terkira. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang ku lihat.
Aku selanjutnya mendekati ujung tempat tidurnya dan berdiri disitu. Zahara kemudian menanyakan kabarku. Ku jawab bahwa aku baik-baik saja. Ia kemudian bertanya lagi sedang apa aku di Rumah Sakit ini. Ku jawab bahwa aku menjenguk temanku yang sakit.
Zahara dengan berusaha untuk bercanda dia balik bertanya temanku itu laki-laki atau perempuan. Ku jawab saja bahwa temanku itu perempuan. Zahara bertanya lagi itu perempuan teman atau pacar. Aku sambil garuk-garuk kepala berkata bahwa itu teman perempuanku sekelas kursus menjahit.
Mendengar bahwa yang sakit adalah teman sekelasku kursus menjahit, Zahara dengan wajah yang terlihat lemah berusaha untuk tertawa dan bertanya dengan nada tidak percaya bahwa yang sakit adalah teman kursus menjahitku. Aku kemudian menjelaskan lagi bahwa aku sedang ikut kursus menjahit dan teman sekelasku itu sakit. Zahara dengan sikap yang masih belum percaya bertanya lagi kenapa aku bisa ikut kursus menjahit. Aku pun menjelaskan awal mula aku ikut kursus menjahit. Setelah ku jelaskan barulah ia percaya.
Namun ia bertanya lagi, kenapa aku bisa kursus menjahit di Aini School. Aku dengan menarik nafas panjang menjawab bahwa aku disarankan oleh teman perempuanku untuk sebaiknya kursus menjahit di Aini School saja, selain cara mengajarnya yang bagus juga teman perempuanku itu sangat kenal baik dengan pemilik Aini School yaitu Bu Aini.
Mendengar jawabanku itu, Zahara terlihat semakin penasaran dan kembali bertanya, teman perempuanku itu teman atau pacar. Aku kembali garuk-garuk kepala, dan berkata dalam hati, ternyata Zahara belum berubah, masih selalu ingin tahu dan selalu banyak Tanya.
Dengan sedikit jengkel atas pertanyaan Zahara itu, aku mulai menjelaskan bahwa aku sedang dekat dengan seorang wanita yang umurnya 12 tahun lebih tua dariku. Ia seorang janda. Aku belum resmi pacaran dengannya hanya telah berteman sangat dekat. Dan ia adalah teman baiknya Bu Aini.
Kembali Zahara tertawa sambil berkata bisa juga aku dekat dengan perempuan, bukankah dulu aku paling takut jika didekati perempuan. Mendengar perkataan Zahara itu, aku hanya bisa tersenyum malu saja.
Zahara kembali bertanya, kemana wanita itu, mengapa aku tidak membawanya menjenguk teman sekelas menjahitku yang sakit itu. Kembali aku menarik nafas dan menjelaskan bahwa wanita itu sekarang sedang tugas kuliah di Bandung. Sebelum aku mulai kursus ia ada pulang liburan ke Pontianak. Dan ketika aku mulai masuk kursus ia kembali ke Bandung karena liburan kuliahnya sudah selesai.
Mendengar penjelasanku itu Zahara tertawa lagi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian bertanya lagi, selain ikut kursus menjahit apa saja kegiatanku, apakah masih aktif di Remaja Masjid.
Aku kemudian menjawab bahwa selain kursus menjahit aku sedang kuliah, dan aku sudah tidak aktif lagi di Remaja Masjid sejak awal kuliah karena saat itu aku kuliah sambil berkerja sehingga tidak ada waktu lagi untuk aktif di Remaja Masjid.
Zahara kemudian bertanya lagi dimana aku berkerja dan apakah aku masih berkerja. Ku katakan bahwa aku berkerja di hotel dan sudah tidak lagi berkerja sejak tahun 1997. Kembali Zahara bertanya apa sebabnya aku tidak lagi berkerja.
Aku kembali menarik nafas dan menjelaskan bahwa pada bulan April 1997, terjadi keributan di hotel. Aku kemudian ditangkap polisi dan di sel selama tiga malam di Polsek Selatan. Mendengar penjelasanku itu, Zahara tertawa bukan main sambil berkata, bisa juga aku bikin ribut, bukannya dulu aku itu orang yang pendiam. Aku hanya diam saja mendengar perkataan Zahara itu.
Ia kemudian kembali bertanya, bagaimana aku bisa keluar dari sel Polsek Selatan. Ku katakan bahwa ada salah seorang pamanku, yaitu adik ayahku, yang jadi Polisi dan tugas di Polsek Selatan. Ia yang menangkapku, karena tidak menduga jika terjadi  keributan di hotel itu salah seorangnya aku. Atas mediasi dari pamanku itu, maka permasalahan yang telah terjadi diselesaikan dengan kekeluargaan dan damai. Setelah tiga malam aku di sel, barulah di keluarkan.
Mendengar perkataanku itu, Zahara hanya menganggukkan kepalanya saja. Selanjutnya ia berkata bahwa aku tidak banyak berubah, hanya kulitku saja yang terlihat sangat hitam sambil ia kembali tertawa. Aku hanya bisa tersenyum saja mendengar perkataan Zahara itu.
Selanjutnya ia berkata lagi, agar aku jangan dulu pulang, ia memintaku untuk menemaninya menunggu Bibinya yang belum datang untuk menjaganya di rumah sakit. Aku pun mengiyakan permintaannya itu.
Zahara kemudian berkata lagi dengan nada agak bertanya apakah ia terlihat sangat kurus. Aku tidak sanggup menjawab pertanyaannya itu dan hanya bisa menganggukkan kepala saja.
Zahara selanjutnya mulai bercerita bahwa ia tidak tamat SMA saat itu. Ketika permulaan di kelas 3, ia pacaran dengan seseorang bernama Dedi. Ia kemudian hamil sebelum tamat sekolah.
Karena hamil sehingga terpaksa ia harus berhenti sekolah. Selanjutnya ia menikah dengan Dedi. Dedi suaminya, adalah seorang pecandu dan pengedar Narkoba. Zahara kemudian menjadi terikut suaminya sebagai pecandu Narkoba.

--- o0o ---

Ketika di kelas 3 SMA, Zahara pacaran dengan Dedi, Zahara sudah mengetahui perilaku yang tidak baik dari Dedi. Tapi ia sangat cinta dengan Dedi sehingga perilaku Dedi yang tidak baik itu tidak menyurutkan hatinya untuk terus menjalin cinta dengan Dedi.
Seringkali ia menemani Dedi untuk mengkonsumsi Narkoba. Meski awalnya hanya menemaninya saja, tapi labat laun ia terikut juga. Zahara akhirnya menjadi ikut mengkonsumsi Narkoba. Hingga kemudian ia hamil dan harus menikah dengan Dedi sehingga terpaksa juga ia harus berhenti sekolah, sedangkan saat itu beberapa bulan lagi akan EBTANAS.
Setelah menikah, Dedi berkerja serabutan untuk menafkahinya. Tapi hasil yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Walau telah menikah, Dedi masih sering berkumpul dengan teman-temannya yang perilakunya juga rusak. Hingga kemudian Dedi menjadi pengedar Narkoba dan sering membawa Narkoba ke rumah. Mereka pun leluasa mengkonsumsi Narkoba di rumah.
Zahara yang saat itu sedang hamil tidak menghiraukan kandungannya. Ia dan suaminya terus mengkonsumsi Narkoba mesti kandungannya telah membesar. Ketika melewati masa 6 bulan kandungannya, Zahara mengalami pendarahan. Darah yang keluar dari rahimnya berbau busuk. Ia pun dibawa ke rumah sakit. Ketika diperiksa oleh dokter ternyata zanin didalam kandungannya telah lama tidak bernyawa. Memang selama ia hamil, ia jarang memeriksakan kandungannya.
Zahara kemudian dioperasi. Ketika dioperasi ternyata zanin yang telah lama tidak bernyawa itu telah membusuk dan plasentanya telah terlepas didalam kandungan. Kandungannya kemudian dilakukan operasi besar dan dilakukan pembersihan terhadap rahimnya karena pengaruh zanin yang telah membusuk itu telah merusak rahimnya. Rahimnya pun terpaksa harus di buang untuk menyelamatkan jiwanya.
Ketika ia di operasi dan selama perawatan di rumah sakit, suaminya semakin gencar mengedarkan Narkoba untuk membiayai perawatannya di rumah sakit. Hingga ketika ia masih menjalani pemulihan di rumah sakit, ia mendapat kabar bahwa suaminya ditemukan tewas dalam sebuah pesta Narkoba di tempat salah seorang teman suaminya.
Suaminya itu over dosis dalam pesta Narkoba tersebut. Zahara yang masih lemah karena sedang dalam masa pemulihan itu sangat terpukul namun ia juga tidak dapat berbuat apa-apa.
Setelah Zahara pulih dan keluar dari rumah sakit, ia berusaha untuk tidak mengkonsumsi Narkoba lagi. Namun situasinya saat itu yang terbebankan oleh hutang yang cukup besar dengan keluarganya membuat jiwanya rapuh. Zahara harus meminjam uang yang cukup besar kepada keluarganya untuk membiayai operasi dan perawatannya selama di rumah sakit.
Keluarganya yang terus menerus menagih hutang membuat pikirannya buntu. Ia pun menemui salah seorang teman suaminya untuk meminjam uang guna melunasi hutangnya kepada keluarganya itu. Hutangnya itu pun terlunasi, tapi Zahara kemudian terperangkap dalam lingkaran syetan yang membuatnya makin jauh terjerumus dalam lembah hitam dan kembali terjerat dengan Narkoba.
Teman suaminya itu rupanya juga seorang pengedar Narkoba. Untuk melunasi hutangnya dengan teman suaminya itu, Zahara harus menjual Narkoba.
Zahara yang sedang buntu pikirannya saat itu menyetujui saja persyaratan dari teman suaminya itu asalkan hutangnya terlunasi. Ia pun menjadi penjual Narkoba. Karena menjual Narkoba, Zahara kembali tergiur untuk mengkonsumsi Narkoba dan mulailah ia kembali mengkonsumsi Narkoba.
Hingga hutangnya dengan teman suaminya itu terlunasi, Zahara tidak lagi disuruh menjual Narkoba. Namun kondisinya yang telah kecanduan Narkoba membuatnya tidak dapat lepas dari jerat teman suaminya itu. Ia pun selalu meminta Narkoba kepada teman suaminya itu. Dan itu didapatkannya dengan tidak gratis. Ia harus membelinya.
Karena tidak memiliki uang, Zahara mengusahakan berbagai cara hanya untuk mendapatkan Narkoba. Ia pun menjual dirinya kepada teman suaminya itu. Maka sejak itulah ia mulai menjadi pemuas nafsu teman suaminya itu hanya untuk mendapatkan Narkoba. Selama hampir dua bulan ia menjadi budak pemuas nafsu teman suaminya itu dengan bayaran Narkoba untuk di konsumsinya.
Setelah dua bulan, teman suaminya itu terlihat telah bosan dengannya dan tidak berminat lagi untuk menjadikannya sebagai pemuas nafsunya. Zahara yang telah kecanduan Narkoba itu menjadi kacau pikirannya. Ia pun tetap meminta Narkoba kepada teman suaminya itu. Namun teman suaminya tersebut tidak bersedia memberikannya karena barang itu tidaklah gratis.
Zahara yang telah hilang akal bersikeras ingin meminta Narkoba dan bersedia melakukan apa saja asalkan diberi Narkoba. Teman suaminya itu pun kemudian memberi jalan jika Zahara ingin mendapatkan Narkoba maka ia harus melayani kenalan atau pelanggan-pelanggannya. Zahara yang sudah tidak peduli lagi bagaimana caranya agar bisa mendapatkan Narkoba menyetujuinya. Maka sejak itulah ia dijual kesana kemari oleh teman suaminya itu dengan bayaran Narkoba untuk di konsumsinya. Candu Narkoba benar-benar telah mencampakkan Zahara ke lembah maksiat, ia telah menjadi wanita tuna susila.

--- o0o ---
Tahun 1994, Zahara telah menjadi wanita tuna susila. Ia melayani nafsu berbagai laki-laki, dan teman suaminya itu menjadi germonya. Para laki-laki yang telah dilayaninya membayar kepada teman suaminya itu, sedangkan Zahara dibayar dengan Narkoba dari teman suaminya.
Pada tahun 1997, Zahara merasakan ada yang berubah pada dirinya. Kondisi tubuhnya semakin menurun dan ia jatuh sakit sehingga ia tidak bisa melayani laki-laki yang telah memesannya dari teman suaminya itu. Karena sakit, Zahara pun tidak bisa mendapatkan Narkoba karena tidak ada laki-laki yang dilayaninya. Ia pun berusaha berobat agar dapat sehat kembali. Namun karena berobat yang dilakukannya hanya melalui pengobatan biasa saja sehingga tidak juga membuatnya sehat. Sakitnya semakin menjadi. Ia kemudian ke dokter untuk memeriksakan diri. Ketika diperiksa dokter itulah ia akhirnya tahu bahwa sakitnya itu karena ia telah terjangkit penyakit Sifilis yaitu sejenis penyakit kelamin akibat berganti-ganti pasangan seksual.
Zahara sangat terpukul mengetahui hal tersebut, apalagi  setelah  dijelaskan  oleh  dokter bahwa penyakit Sifilis selain merupakan penyakit menular juga sangat mematikan. Dokter yang tidak tahu profesi Zahara sebagai wanita tuna susila memintanya untuk sementara tidak melakukan hubungan seksual agar penyakitnya itu dapat sembuh. Zahara yang sedang kondisi sangat terpukul itu hanya dapat menganggukkan kepalanya saja.
Setelah mengetahui telah terjangkit penyakit Sifilis, Zahara berusaha menyembuhkan diri, tapi pengaruh ketergantungan kepada Narkoba membuatnya kembali melayani laki-laki hanya untuk mendapatkan Narkoba. Ia pun berusaha menyembunyikan penyakitnya itu. Tapi lambat laun penyakit Sifilis yang sedang di deritanya itu terungkap juga dari para laki-laki yang telah dilayaninya. Teman suaminya pun sudah tidak bersedia lagi mencarikan pelanggan untuknya sehingga ia pun sudah tidak mendapatkan Narkoba lagi.
Setelah tidak mendapat Narkoba dari teman suaminya itu, hidup Zahara semakin sengsara akibat ketergantungannya kepada Narkoba. Setelah teman suaminya tidak mau lagi mencarikannya pelanggan karena penyakit Sifilisnya, ia pun menjual dirinya di pasar-pasar dengan harga sangat murah asalkan ia dapat uang untuk membeli Narkoba. Tempat transaksi seksualnya pun sangat memperihatinkan yaitu di lorong-lorong pasar yang kotor, dibalik kotak-kotak jualan yang berbau busuk dan dibalik gerobak-gerobak yang bertanah becek. Dimanapun tempatnya akan dilayaninya asalkan ia dapat uang. Pelanggannya pun dari kalangan bawah dengan bayaran sangat murah.
Untuk beberapa bulan ia menjadi wanita tuna susila yang menjual dirinya dengan harga murah dipasar-pasar, dan penyakit Sifilisnya itu belum diketahui orang. Namun beberapa bulan berikutnya yaitu pada tahun 1998, penyakit Sifilis yang dideritanya akhirnya diketahui orang. Pelanggannya banyak yang tertular penyakit kotornya itu. Ia pun tidak diperbolehkan lagi mangkal di pasar-pasar karena membawa penyakit kotor.
Setelah tidak diperbolehkan lagi mangkal di pasar-pasar, Zahara pun tidak mendapatkan pendapatan apa-apa. Ia tidak dapat membeli Narkoba karena tidak memiliki uang. Hidupnya benar-benar sengsara saat itu karena sedang dalam pengaruh ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Narkoba. Kecanduan Narkoba telah menciptakan hidupnya bagai dalam neraka.
Namun pertengahan tahun 1998, ketergantungannya terhadap Narkoba sedikit berkurang akibat semakin parahnya penyakit Sifilis yang di deritanya. Dari vaginanya pun semakin banyak mengeluarkan nanah yang berbau sangat busuk, sehingga siapa pun yang didekatnya akan mencium bau busuk tersebut. Tubuhnya semakin kurus dan lemah. Matanya juga menjadi cekung. Penyakit Sifilis yang parah di deritanya telah mengurangi kecanduannya terhadap Narkoba.
Penghujung tahun 1998, tubuhnya ambruk akibat penyakit Sifilis yang sangat parah di deritanya. Ia pun dibawa ke rumah sakit Soedarso oleh Bibinya, dan dirawat di rumah sakit itu. Untuk beberapa bulan di rumah sakit, Zahara hanya terbaring saja akibat tubuhnya yang telah menjadi lemah. Barulah awal April 1999 ini saja ia sudah dapat duduk.
Setelah cukup lama aku mendengarkan cerita Zahara, Bibinya pun datang untuk menjaganya. Aku pun berkata kepada Zahara bahwa aku harus pulang karena aku ada keperluan malam itu. Zahara mengiyakannya tetapi ia meminta aku untuk datang lagi besok. Aku tidak dapat berjanji karena khawatir aku ada halangan.
Zahara dengan nada memaksa meminta aku untuk datang lagi. Jika tidak dapat datang besok, lusa juga tidak apa-apa. Pokoknya ia memaksa aku untuk datang lagi menjenguknya.
Karena kuatnya keinginan Zahara untuk memintaku datang lagi, maka aku berkata bahwa aku akan mengusahakan untuk menjenguknya lagi. Mendengar jawabanku itu terlihat Zahara sangat senang. Selanjutnya aku berpamitan untuk pulang kepada Zahara dan Bibinya. Tidak lupa ku katakan kepada Zahara untuk menguatkan hatinya agar ia dapat bersemangat lagi menjalani hidup. Dengan wajah yang terlihat terharu, Zahara hanya menganggukkan kepalanya. Selanjutnya aku keluar dari ruangan tempat Zahara di rawat dan langsung berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso untuk pulang ke rumah.

--- o0o ---

Dua hari berikutnya setelah pertemuanku dengan Zahara, aku pun menyempatkan diri untuk menjenguknya lagi di rumah sakit Soedarso. Saat itu sudah hampir Maghrib. Aku memasuki ruangan tempat Zahara di rawat. Dan terlihat Bibinya sedang menyuapinya makan saat itu. Melihat kedatanganku, Zahara sangat senang. Aku pun berdiri di ujung dekat tempat tidurnya sambil menunggunya selesai disuapkan makan oleh Bibinya.
Selesai makan, Zahara meminta Bibinya untuk mengambil sesuatu dari lemari kecil di dekat tempat tidurnya. Bibinya pun segera mengambilkan benda yang diminta oleh Zahara dan memberikan kepadanya. Setelah memberikan benda itu kepada Zahara, Bibinya pergi keluar untuk memberikan kesempatan kepada kami berbicara berdua.
Sambil memegang sesuatu yang terbungkus dalam sebuah plastik hitam, Zahara bertanya mengapa aku baru menjenguknya lagi. Ku katakan bahwa aku ada kesibukan dua hari ini. Zahara pun hanya menganggukkan kepalanya saja mendengar jawabanku itu. Selanjutnya ia mengeluarkan benda yang terbungkus dalam plastik hitam itu. Rupanya benda itu adalah sebuah buku diari.
Sambil memegang buku diari itu, Zahara berkata bahwa ia meminta maaf karena tidak bisa mengembalikan buku diariku yang pernah dipinjamnya. Aku pun berkata bahwa aku sudah tidak ingat lagi dengan buku diariku itu, dan tidak apa-apa jika ia tidak bisa mengembalikan buku diariku itu.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia sangat senang membaca tulisanku saat itu meskipun hanya selembar saja, tetapi selalu dibacanya berulang kali. Setelah tidak bertemu lagi denganku, buku diariku itu di lanjutkannya dengan tulisannya hingga habis satu buku. Namun pada tahun 1993, rumahnya terbakar dan buku diariku itu juga ikut terbakar, padahal buku diariku itu sudah terisi semuanya dengan tulisan-tulisannya.
Tahun 1997, ketika ia mulai terkena penyakit Sifilis, ia teringat kepada buku diariku yang telah terbakar bersama rumahnya. Ia pun membeli buku diari baru untuk tempatnya menumpahkan perasaannya. Dan buku diari itu sedang dipegangnya saat itu. Namun buku diari yang baru itu belum penuh semuanya, karena ia menulisnya ketika sedang susah hati atau merasa kesepian saja.
Ia pun memintaku untuk menerima buku diarinya itu sebagai ganti buku diariku yang pernah dipinjamnya namun ikut terbakar bersama rumahnya.
Zahara kemudian memberikan buku diari itu yang kulitnya berwarna kuning gelap kepadaku. Aku pun menerimanya. Sambil memberikannya kepadaku, Zahara berkata agar aku mau melanjutkan menulis buku diari itu hingga penuh. Aku pun berkata bahwa aku akan melanjutkan menulisnya hingga penuh. Selanjutnya kami berbincang-bincang tentang kesembuhan penyakit yang telah lama dideritanya.
Setelah cukup lama kami berbincang-bincang, aku pun berkata bahwa aku akan pulang. Zahara pun mengiyakan, namun kembali ia meminta dengan nada memaksa agar aku dapat datang lagi menjenguknya. Aku pun berkata bahwa aku akan mengusahakan untuk menjenguknya lagi. Rupanya jawabanku itu terlihat belum memuaskannya, ia kembali mengulang permintaannya agar aku dapat menjenguknya lagi. Kembali ku katakan bahwa aku akan menjenguknya lagi. Setelah berkali-kali ku katakan bahwa aku akan datang menjenguknya lagi barulah Zahara terlihat senang.
Selanjutnya aku berpamitan akan pulang. Namun ketika aku berpamitan, Zahara memintaku untuk mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”, Zahara mengatakan bahwa ia rindu mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Aku sambil tersenyum mengatakan enggan untuk mengucapkannya. Namun Zahara memaksa sambil berkata bahwa ia sangat ingin mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Zahara juga berkata bahwa logat “R” berkaratku dalam mengucapkan kata-kata itu sangat membahagiakan hatinya, dan sebagai penghibur baginya yang sedang sakit itu.
Mendengar perkataan Zahara itu, aku pun mengabulkan permintaannya. Aku langsung mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”. Setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Zahara langsung tertawa. Selama aku bertemunya di rumah sakit, baru kali itu aku melihatnya tertawa lepas dan terlihat sangat bahagia. Hatiku pun ikut senang melihatnya.
Kemudian kembali Zahara meminta aku untuk mengulanginya lagi menyebut kata-kata itu. Aku pun kembali mengulanginya menyebut kata-kata itu lagi, karena hatiku senang melihatnya dapat tertawa lepas dan dapat melupakan sakitnya itu walau hanya sesaat. Setelah ku ucapkan kata-kata itu lagi, kembali Zahara tertawa, ia sangat bahagia sekali saat itu. Seakan-akan ia dapat melupakan sakit yang dideritanya walau hanya sesaat. Dan aku seperti melihat Zahara yang dulu yang sangat cantik dimataku.
Setelah puas membuat Zahara tertawa, aku pun berpamitan untuk pulang. Kembali Zahara berpesan agar aku datang lagi menjenguknya. Aku mengiyakan pesannya itu. Selanjutnya aku keluar dari ruangan tempatnya di rawat sambil membawa buku diari milik Zahara yang diberikannya kepadaku, dan diluar aku juga berpamitan dengan Bibinya. Setelah itu aku berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso untuk pulang ke rumahku.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan membuka buku diari milik Zahara. Pada balik kulit buku terdapat nama Elisa Kharismawati. Rupanya nama sebenarnya Zahara adalah Elisa Kharismawati. Zahara itu ternyata hanya nama panggilannya saja ketika dulu dia aktif di Remaja Masjil Al-Falah.
Aku kemudian membuka lagi lembaran buku diari Zahara itu. Pada lembar berikutnya terdapat tulisannya yang meyebutkan bahwa buku diari itu sebagai pengganti buku diari milikku si “R” berkarat yang pernah dipinjamnya dahulu tetapi telah terbakar ketika rumahnya terbakar tahun 1993. Ia juga menulis sangat rindu mendengar logat “R” berkaratku. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri membaca tulisannya itu.
Berikutnya tulisan-tulisannya tentang keluh kesah tentang penyakitnya. Dan pada tulisan terakhir ia menulis “Surga atau Neraka ada pada pasanganmu. Jika ingin masuk surga, carilah pasangan yang Sholeh. Jika ingin masuk neraka, carilah pasangan yang bejat. Dan aku telah salah memilih pasangan. Aku telah salah mencintai orang, yang ternyata telah membawaku ke neraka. Dan neraka itu sudah ku rasakan di dunia ini”.
Aku terpaku membaca tulisannya yang terakhir itu. Untuk beberapa saat aku merenungi kata-kata tersebut. Setelah itu aku mengulanginya membaca dari lembar pertama lagi. Buku diari milik Zahara itu belum sampai setengah buku terisi. Dan pada malam itu aku membacanya berulang kali hingga aku tertidur.
Hari-hari berikutnya aku berencana akan menjenguk Zahara lagi, tapi selalu saja ada halangan sehingga rencanaku itu selalu gagal. Dan lebih dari 2 minggu aku belum bisa menjenguk Zahara di rumah sakit. Barulah pada hari Selasa 11 Mei 1999 aku sempat singgah ke rumah sakit untuk menjenguk Zahara, itu pun waktunya sudah hampir jam 7 malam.
Aku pun bergegas memasuki ruangan tempat Zahara di rawat. Tapi ketika aku telah masuk didalam, aku bingung karena tempat Zahara dirawat telah berganti dengan orang lain. Aku bertanya pada orang yang ada di tempat itu kemana pasien yang sebelumnya di rawat di tempat itu. Namun orang yang ada di tempat itu tidak tahu kemana pasien sebelumnya apakah dipindahkan ke tempat lain atau telah pulang.
Mendengar jawaban dari orang itu, hatiku antara bimbang dan senang. Bimbang karena aku belum tahu jika Zahara masih dirawat, kemana ia dipindahkan. Hatiku senang, jika ternyata Zahara telah pulang berarti ia telah sembuh dari penyakitnya. Namun kemudian ada seorang keluarga pasien yang tempat tidurnya beberapa tempat dari  tempat  Zahara di rawat menyampaikan bahwa pasien yang di rawat sebelumnya telah meninggal dunia kurang lebih dua minggu yang lalu. Aku tersentak mendengar penyampaian keluarga pasien tersebut. Pikiranku langsung kalut dan sangat tidak percaya dengan penyampaian itu.
Melihat aku mulai kalut, keluarga pasien itu berusaha menenangkan, dan mengatakan barangkali ia salah, dan mungkin bukan pasien yang ku maksud itu yang telah meninggal dunia. Ia pun menyuruhku menanyakan langsung kepada perawat penjaga agar aku mendapatkan penjelasan yang tepat tentang pasien yang ku maksud.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung menemui perawat penjaga di bagian tengah ruangan tersebut. Dengan pikiranku yang mulai kalut, aku pun bertanya tentang pasien yang bernama Zahara yang sebelumnya di rawat di ruangan itu. Perawat yang menjaga mulai mencari nama pasien yang bernama Zahara dari buku data pasien yang pernah dan sedang di rawat di ruangan itu. Rupanya tidak ada yang namanya Zahara yang pernah dirawat. Aku pun semakin kalut bagaimana bisa Zahara yang lebih dua minggu yang lalu ku temui di rawat ruangan itu tidak ada namanya.
Dengan situasiku yang semakin kalut, aku pun berusaha menjelaskan posisi tempat Zahara di rawat. Ternyata aku yang salah menyebutkan nama, karena yang ada itu adalah namanya Elisa Kharismawati bukan Zahara. Mendengar perkataan perawat penjaga, barulah aku teringat bahwa nama Zahara yang sebenarnya adalah Elisa Kharismawati.
Aku pun kembali bertanya kepada perawat penjaga kemana pasien yang bernama Elisa Kharismawati itu, apakah di pindahkan ke ruangan lain atau telah pulang. Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati telah meninggal dunia pada hari Sabtu 22 April 1999 jam 8 pagi.
Pikiranku langsung kosong saat itu setelah mendengar perkataan perawat penjaga itu bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati telah meninggal dunia. Kaki dan tubuhku pun terasa bergetar. Aku seperti tak dapat mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar tidak menyangka Zahara telah meninggal dunia. Untuk beberapa saat aku hanya dapat terdiam. Perawat penjaga juga hanya bisa terdiam melihatku yang sangat syok mendengar penjelasannya itu.
Setelah beberapa saat aku terdiam, dengan berusaha mengendalikan perasaanku, aku pun bertanya dibawa kemana pasien tersebut ketika meninggal dunia. Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien tersebut dibawa oleh keluarganya, dan ia pun memberikan nama dan alamat keluarganya itu kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas keluar dari ruangan dan menuju keluar rumah sakit Soedarso. Dengan perasaan tidak karuan, langsung saja aku pergi ke alamat yang telah diberikan oleh perawat penjaga, yaitu di salah satu gang di jalan Putri Dara Hitam.
Sesampainya di gang tersebut, ku cari rumah yang dimaksud. Rumah itu pun kudapatkan dan rupanya rumah itu sepi, tidak ada orang didalamnya. Aku pun kemudian bertanya ke tetangga disebelahnya kemana orang yang ada di rumah tersebut. Tetangga itu pun berkata bahwa orang yang tinggal di rumah itu sedang berkerja dan nanti sekitar jam 11 malam baru pulang. Aku pun kembali bertanya dimana tempatnya berkerja. Tetangga itu menjawab bahwa ia berkerja di Jawi Ria di Sungai Jawi. Setelah mendapat jawaban tersebut, aku pun berterima kasih dan langsung menuju ke Jawi Ria.
Sesampainya di Jawi Ria, aku langsung bertanya kepada karyawan yang berkerja di tempat itu nama seseorang yang sedang aku cari. Karyawan di Jawi Ria itu segera memanggil orang yang ku maksud. Orang yang ku maksud itu pun keluar dan rupanya adalah Bibinya Zahara yang selama ia sakit menjaganya di rumah sakit.
Ketika melihatku, Bibinya Zahara yang telah mengenalku itu terlihat berusaha tersenyum, meskipun sangat jelas ia masih memendam kesedihan. Aku pun langsung berkata bahwa aku tadi ke rumah sakit untuk menjenguk Zahara dan ternyata Zahara telah meninggal dunia. Bibinya Zahara dengan nada yang berusaha menahan perasaan membenarkan perkataanku itu, bahwa Zahara telah meninggal dunia lebih dua minggu yang lalu.
Kembali aku bertanya dimana Zahara di makamkan. Bibinya Zahara menjawab bahwa Zahara di makamkan di pemakaman depan Asrama Hidayat, dan ia menjelaskan posisi makamnya di pemakaman itu.
Bibinya Zahara sepertinya melihat aku akan pergi ke makamnya Zahara malam itu juga, ia pun dengan perlahan berkata sebaiknya aku pergi besok saja karena sudah malam dan menunjukkan waktu hampir jam 9 malam.
Kembali ia berkata sebaiknya aku pulang saja dahulu, besok baru pergi ke makamnya Zahara. Aku tidak dapat berkata apa-apa saat itu, dan hanya dapat terdiam. Pikiranku sangat kacau saat itu, dan wajahku terlihat sangat kalut.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia harus kembali berkerja dan memintaku untuk pulang dan menenangkan diri. Aku pun mengiyakan perkataan Bibinya Zahara itu. Aku segera pergi dari Jawi Ria. Namun aku tidak langsung pulang ke rumah. Dengan motorku, aku berputar-putar melewati jalan di wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat. Entah berapa kali aku hanya berputar-putar saja melewati jalan itu dengan pikiran dan perasaanku yang kalut. Hingga kemudian aku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku berusaha menenangkan diri di dalam kamarku. Sambil memegang buku diari milik Zahara, aku hanya duduk bersandar di tempat tidur. Hatiku pun sudah tidak sabaran menunggu pagi untuk pergi ke makamnya Zahara. Malam itu aku tak dapat memejamkan mata apalagi untuk tidur. Pikiranku masih terbayang-bayang wajah Zahara dan kenangan saat pertemuan pertamaku dengan Zahara ketika di Masjid Al-Falah dahulu terus terbayang dalam ingatanku.
Rabu, 12 Mei 1999, selepas Sholat Shubuh aku telah bersiap-siap untuk pergi melihat makam Zahara. Aku menunggu hingga langit terlihat terang. Sepanjang malam aku gelisah dan tidak bisa tidur. Hingga jam setengah lima pagi ku lihat langit telah terang. Aku pun bergegas pergi ke makam Zahara di depan Asrama Hidayat.
Sesampainya di wilayah pemakaman, langsung ku cari makamnya Zahara sesuai penjelasan Bibinya Zahara tadi malam. Makam yang masih baru itu pun dari jauh telah terlihat. Dengan perasaan yang berkecamuk, aku pun semakin berjalan mendekati makam itu dan terlihatlah tulisan pada nisan di makam itu “Elisa Kharismawati”. Aku langsung terpaku melihat nisan itu. Dan tanpa dapat sanggup ku bendung, air mataku pun tumpah. Aku benar-benar tidak menyangka ini terjadi.
Dengan terisak, aku memanjatkan do’a bagi arwah Zahara. Setelah berdo’a, cukup lama aku hanya dapat terdiam sambil tak berhenti terisak memandang makam dan nisannya Zahara.
Hingga kemudian aku memegang nisannya dan berkata bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian buku diarinya itu. Dan aku akan mengisi buku diarinya itu hingga penuh.
Selanjutnya aku pergi dari makamnya Zahara, dan meninggalkan wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat itu. Sepanjang jalan air mataku tak berhenti keluar. Wajah Zahara dengan jilbabnya yang rapi terus terbayang dalam pikiranku.

--- o0o ---

Untuk Zahara :
Di pusaramu aku hanya sanggup terdiam
Dengan air mata yang tumpah tanpa sanggup ku tahan
Nisan yang tertulis namamu berdiri tegak
Dan telah menumbangkan harapanku
Aku ambruk dengan kenyataan ini
Andai ku dapat memutar waktu
Andai ku dapat tentukan takdir
Ku ingin lebih lama mengenalmu
Meski kita telah berbeda dunia
Tapi kenangan bersamamu
Menjadi kenangan terindah dalam hidupku
Dan tak akan ku hapus namamu dari hatiku

Selamat jalan Zahara...
Semoga dirimu tenang di sisi-Nya
Dan aku akan selalu mendo’akanmu

Rabu, 12 Mei 1999
Pontianak, 10.00 malam

--- TAMAT ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...