Antara Zahara,
Elisa dan Kematian
September 1989, aku di tunjuk sebagai
ketua Remaja Surau di tempatku. Aku tinggal di Gang Sirsak Jalan Apel
Pontianak. Saat itu remaja di sekitar Surau Al-Ilham di Gang Sirsak sangat
bersemangat membentuk organisasi remaja yang berpusat di Surau Al-Ilham.
Pada masa itu sedang maraknya bermunculan
organisasi-organisasi remaja Masjid dan Surau. Kegiatan remaja Masjid dan Surau
ini sangat meriah pada hari-hari besar Islam terutama pada saat bulan puasa dan
malam takbiran. Organisasi Remaja Surau yang ada di tempat tinggalku bernama
Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham yang disingkat PRISAI.
Kegiatan rutin yang diadakan oleh PRISAI ini adalah
pengajian remaja setiap malam Selasa, pelajaran Tauhid dan Fiqih setiap malam
Rabu dan malam Sabtu yang diajarkan oleh Pak Abdurahman, atau yang kami panggil
Pak Cik. Dipanggil Pak Cik karena tubuhnya kecil. Setiap malam Jum’at Berzanzi
berkeliling dari rumah ke rumah.
Pak Abdurahman atau Pak Cik adalah Guru Ngajiku sejak
aku di kelas 2 SD. Sebelumnya ketika aku kelas 1 SD aku belajar Ngaji dengan
Tok Aji Amir di Gang Candi Agung Sungai Bangkong Pontianak. Tok Aji Amir
umurnya sudah sangat tua. Selama mengajarkan mengaji, Tok Aji Amir selalu
bercerita tentang kisah-kisah Nabi dan Rasul, kisah para Malaikat, penciptaan
dunia, kisah langit dan bumi, kisah di alam kubur, kisah kiamat,
kisah akhirat, kisah tentang Surga dan Neraka.
Tok Aji Amir menceritakan kisah-kisah tersebut sebelum
dan sesudah mengajarkan mengaji sehingga aku dan murid-murid lainnya yang
belajar mengaji senang belajar dengan Tok aji Amir karena senang mendengar beliau bercerita. Selain itu Tok
Aji Amir juga selalu bercerita tentang Guru-Gurunya yaitu Habib Sholeh Al-Hadad
dan Ustadz H. Abdurrani Mahmud.
Habib Sholeh Al-Hadad dalam cerita beliau disampaikan
memiliki mata yang buta dan hafal AlQur’an. Meski matanya buta namun Habib
Sholeh Al-Hadad rutin mengajar agama kemana-mana dan dapat mengetahui siapa
saja yang ditemuinya. Sedangkan Ustadz H. Abdurrani Mahmud adalah seorang ahli
Ilmu Falak yang menyusun Jadwal Sholat sepanjang masa.
Namun aku hanya beberapa bulan saja belajar mengaji dengan Tok Aji Amir karena orangtuaku pindah ke Gang
Sirsak di Jeruju tahun 1984. Ketika tinggal di Gang Candi Agung, aku bersekolah
di SD Gang Cimahi. Namun ketika kelas 4 SD aku pindah sekolah ke SD di dekat
rumahku di Gang Sirsak. Setelah orangtuaku pindah rumah, aku
pun pindah belajar mengaji dengan Pak Abdurahman atau Pak Cik ketika di kelas 2
SD.
Pak Cik adalah seorang Guru Ngaji di tempat tinggalku
yang baru yaitu di Gang Sirsak. Cara mengajar Pak Cik dengan Tok Aji Amir sangat berbeda. Tok Aji Amir
mengajar dengan gaya yang mengikut perilaku anak-anak
sedangkan Pak Cik mengajar dengan cara yang keras. Selama belajar mengaji
dengan Pak Cik aku selalu menangis karena sering dimarahi.
Apalagi Pak Cik selalu membawa rotan
yang selalu dipukulkannya jika aku salah atau lupa huruf-huruf dalam mengaji.
Hingga sempat aku tidak mau mengaji lagi dengan Pak Cik dan meminta kepada orangtuaku untuk
membawaku kembali belajar mengaji kepada Tok Aji Amir. Tapi orangtuaku tidak
menyetujuinya karena belajar mengaji kepada Tok Aji Amir tempatnya cukup jauh
dari Jeruju. Sehingga orangtuaku membujukku agar aku mau kembali belajar mengaji
dengan Pak Cik.
Setelah beberapa minggu aku tidak mau mengaji,
akhirnya setelah dibujuk terus oleh orangtuaku, aku pun mau kembali belajar
mengaji dengan Pak Cik. Ketika aku kembali belajar mengaji ini, Pak Cik agak
berkurang kerasnya dalam mengajarku mengaji. Tapi tetap saja jika aku salah
atau lupa huruf, rotannya itu mendarat di tubuhku. Meski terasa sakit tapi aku
kuatkan diri untuk terus belajar mengaji hingga hatam Qur’an.
Ketika aku kelas 4 SD, Pak Cik menyuruhku untuk ikut
belajar pelajaran Tauhid dan Fiqih di rumahnya.
Ketika pertama kali
aku mengikuti pelajaran itu,
ramai sekali yang belajar di rumahnya yang kebanyakan adalah remaja dan
orangtua.
Aku yang saat itu belum begitu mengerti tentang pelajaran
Tauhid dan Fiqih itu mengikut saja. Pak Cik rupanya berguru dengan Ustadz
Ridho Yahya yang pada saat itu sebagai salah seorang Guru di Pesanteren
As-Salam di Pal Pontianak. Pak Cik rutin belajar kepada Ustadz Ridho Yahya, dan
apa yang didapatnya di ajarkan kembali kepada murid-muridnya di Majelis Taklim
di rumahnya.
Setelah dua tahun aku belajar dengan Pak Cik, barulah
aku bertemu dengan Ustadz Ridho Yahya yang pada saat itu membuka Majelis
pelajaran Tauhid dan Fiqh di Sungai Jawi. Inilah permulaan aku berguru dengan
Ustadz Ridho Yahya atau Al-Habib Muhammad Ridho Bin Ahmad Bin Agil Bin Yahya.
Ustadz Ridho Yahya juga berguru kepada Habib Sholeh Al-Hadad.
Ketika aku ditunjuk sebagai ketua Remaja Surau
Al-Ilham, ketua pengurus Suraunya adalah Pak Umar yang berkerja di Bank, dan
Imam Suraunya ada dua orang yaitu Pak Cik dan Pak Jamhir atau sering dipanggil
Ayah Jamhir. Keduanya in bergiliran menjadi Imam di Surau. Namun jika Pak
Cik atau Ayah Jamhir berhalangan ada Pak Jemain yang menggantikannya menjadi
Imam.
Pada saat itu aku juga aktif di Remaja Majelis Taklim
Ash Habul Kahfi di Perum 1. Remaja Majelis Taklim Ash Habul Kahfi
awalnya merupakan Remaja Masjid Al-Mursalat, tapi karena terjadi perselisihan
dengan Pengurus Masjidnya sehingga Remaja Masjidnya dibubarkan. Pembina Remaja
Masjid Al-Mursalat saat itu yaitu Ayah Bahtiar kemudian membentuk Majelis
Taklim Remaja bernama Majelis Taklim Ash Habul Kahfi untuk menampung minat dan
bakat para remaja yang pada saat itu sangat bersemangat untuk melanjutkan
organisasi remaja Masjid Al-Mursalat yang telah di bubarkan oleh Pengurus
Masjidnya.
Pada permulaan bulan puasa yaitu pada akhir Maret
1990, setelah Sholat Tarawih aku diberikan surat undangan dari Remaja
Masjid Al-Falah di Sungai Jawi Pontianak oleh Pak Umar. Masjid Al-Falah
merupakan salah satu Masjid yang menjadi basis para Ulama, salah satunya adalah
Gurunya Tok Aji Amir dan Ustadz Ridho Yahya yaitu Habib Sholeh Al-Hadad pernah
menjadi salah seorang pembina Masjidnya. Organisasi Remaja Masjidnya sangat
maju dan menjadi salah satu contoh bagi organisasi Remaja Masjid lainnya.
Surat undangan dari Remaja Masjid Al-Falah itu berisi
undangan untuk mengikuti kegiatan Pesanteren Kilat yang diadakan oleh Remaja
Masjid Al-Falah di Masjid Al-Falah selama lima hari yaitu dari tanggal 2 hingga
6 April 1990. Pak Umar menyuruhku untuk mengikuti kegiatan pesanteren kilat
itu, dan aku mematuhinya.
Dalam surat undangan itu disebutkan bahwa pendaftaran
dilaksanakan pada saat pendataan peserta yaitu pada hari pertama kegiatan,
tanggal 2 April 1990, dimulai jam 8 pagi.
Pada hari Senin pagi, 2 April 1990, aku pergi ke
Masjid Al-Falah di Sungai Jawi menggunakan sepedaku. Aku melewati jalan Apel, kemudian
melewati jalan tembusan disamping Bioskop Garuda, selanjutnya berbelok ke kiri
dan tiba lah di Masjid Al-Falah. Ketika aku tiba, telah ada beberapa remaja
yang sedang mendaftar pada panitia pelaksana yang merupakan remaja Masjid
Al-Falah. Setelah menunggu beberapa saat, maka giliranku untuk mendaftar. Aku
pun mengeluarkan surat undangan dari Panitia dari dalam tasku dan ku berikan
kepada salah seorang panita.
Saat itu yang menerima pendaftaranku adalah seorang remaja
wanita. Wajahnya sangat cantik dan berjilbab rapi berwarna merah muda. Hatiku betah juga
memandang wajah wanita itu. Sangat teduh dan membuat hati menjadi damai
melihatnya.
Ketika mendataku, remaja wanita itu bertanya nama dan
asalku. Maka ku sebutkan namaku dan asalku dari Persatuan Remaja Islam Surau
Al-Ilham di Gang Sirsak. Mendengar perkataanku itu, remaja wanita itu memintaku
untuk mengulangi kata-kataku lagi sambil ia menatap wajahku dengan serius.
Maka ku ulangi lagi menyebutkan namaku dan asalku
yaitu dari Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham di Gang Sirsak. Selesai aku menyebut ulang
nama dan asalku, remaja wanita itu langsung tertawa nyaring sekali, sehingga
membuatku bingung.
Tertawanya itu memancing perhatian dari teman-temannya
yang lain, sehingga mereka bertanya kepada remaja wanita itu ada apa ia tertawa
nyaring sekali. Remaja wanita itu kemudian mengajak teman-temannya untuk
mendengar ulang perkataanku. Aku pun dimintanya untuk menyebutkan
kembali nama dan asalku.
Maka ku sebutkan kembali nama dan asalku yaitu dari
Persatuan Remaja Islam Surau Al-Ilham di Gang Sirsak. Kembali ia riuh tertawa
begitupun teman-temannya juga ikut tertawa. Aku menjadi semakin bingung ada
apa. Selanjutnya wanita itu memintaku untuk mengucapkan kata-kata
“Ular melingkar-lingkar di pagar rumah Pak Umar”.
Setelah ia berkata demikian, barulah aku mengerti
bahwa ia dan teman-temannya menertawakan “R” ku yang berkarat. Aku memang tidak
bisa menyebut huruf “R”, dan yang keluar adalah penyebutan “R” yang berkarat.
Dengan bersusah payah aku menyebut kata-kata “Ular
melingkar-lingkar di pagar rumah Pak Umar”, dengan logat “R” yang berkarat
sehingga makin riuhlah ia dan teman-temannya tertawa. Saat itu logat bahasa “R” ku yang berkarat itu benar-benar menjadi
hiburan bagi mereka. Aku hanya bisa tersenyum pasrah dengan perasaan malu dan
menerima kenyataan saja. Remaja wanita itu kemudian berkata
lagi dengan olokan apakah waktu aku SD dulu membolos ketika pembagian “R” dari
guruku, sehingga aku tidak kebagian “R”. Aku tak bisa menjawab olokannya, dan hanya
bisa tersenyum malu.
Setelah puas dia menertawakanku, aku disuruhnya masuk
ke tempat kegiatan karena kegiatan akan segera dimulai. Tanpa berkata apa-apa,
dan dengan perasaan malu luar biasa, aku menuju tempat kegiatan yang telah disediakan
panitia. Perasaanku tak karuan saat itu.
Ketika acara pembukaan dan perkenalan panita pelaksana
kegiatan, barulah aku tahu bahwa remaja wanita yang menertawakanku itu bernama
Zahara, kelas dua Aliyah. Inilah awal mula aku mengenal Zahara.
Pada giliran perkenalan oleh peserta kegiatan, kembali
aku menjadi tertawaan oleh Zahara. Ia berulang kali menyuruhku untuk
memperkenalkan diri hanya untuk mendengar logat “R” ku yang berkarat, apalagi
setelah tahu bahwa aku masih kelas 1 SMP. Logat “R” ku yang berkarat itu
menjadi hiburan baginya.
Meski malu sekali rasanya menjadi bahan tertawaan tapi
aku berusaha menahankan diri untuk betah dengan kondisi demikian karena hari
itu baru hari pertama dan masih ada empat hari kedepan yang harus ku lewati. Pesanteren kilat yang di selenggarakan oleh Remaja Masjid Al-Falah
dilaksanakan dari jam 8 pagi hingga selesai Sholat Tarawih.
Selesai kegiatan hari itu aku langsung pulang.
Sepanjang pulang ke rumah, masih terbayang di benakku kejadian ditertawakan
oleh Zahara. Sesampainya di rumah aku langsung mandi, kemudian bersiap akan
tidur. Dan seperti biasa sebelum tidur aku selalu menulis buku
diariku jika ada kejadian penting yang ku alami.
Hobby ku menulis buku diari ku lakukan ketika di kelas
6 SD. Saat itu teman-teman perempuan sekelasku sedang suka-sukanya membawa buku
diari dan menulis biodata teman-teman dengan masing-masing menuliskan kata-kata
mutiara. Aku yang saat itu juga ikut mengisi buku diari teman-temanku
itu mulai menyenanginya dan meminta dibelikan sebuah buku diari kepada
orangtuaku. Maka sejak inilah aku mulai hobby menulis buku diari.
Ketika akan menulis buku diariku, barulah aku sadar
bahwa buku diariku itu sudah hampir habis lembaran halamannya. Dengan lembaran
yang tersisa, kutuliskan kisahku hari itu. Selesai aku menulis, aku bersiap
untuk tidur dan berencana besok akan membeli diari yang baru.
--- o0o ---
Selasa, 3 April 1990, sebelum jam 7 pagi aku turun
dari rumahku menuju Masjid Al-Falah menggunakan sepedaku. Selama kegiatan pesanteren
kilat ini, orangtuaku telah meminta izin untuk tidak masuk sekolah kepada wali
kelasku yaitu Bu Theresia Farida di kelas 1 SMP yang lokasinya di Jalan Tebu
Jeruju.
Ketika melewati pasar di Gertak Tiga Sungai Jawi, ku
sempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk membeli buku diari baru. Sebelum
turun dari rumah tadi, aku membawa uang simpananku sebesar 2 ribu rupiah untuk
membeli buku diari baru. Dan di toko buku itu ku lihat ada buku diari yang
bagus kulitnya seharga 1.700. Buku diari itu pun ku beli. Setelah itu aku
menuju ke Masjid Al-Falah.
Sesampainya di Masjid Al-Falah, ku lihat Zahara sedang
duduk di meja panitia di teras Masjid, aku berusaha menghindar darinya dan masuk melalui pintu samping kemudian menuju ke ruangan kegiatan. Aku berdiam
diri saja didalam ruangan hingga kegiatan dimulai pada pukul 8 pagi.
Pada kegiatan hari kedua itu, rupanya Zahara yang menjadi pemandu kegiatannya. Pada sesi pertama di sampaikan materi tentang Organisasi
Remaja Masjid dari Ketua Remaja Masjid Al-Falah. Selanjutnya pada sesi kedua
berisi materi penyampaian tentang kondisi dan kegiatan Organisasi Remaja Masjid
dari masing-masing utusan. Pada kegiatan ini diselingi dengan diskusi dan Tanya
jawab dari peserta dan panitia.
Ketika giliranku menyampaikan kondisi dan kegiatan
Organisasi Remaja di tempatku yaitu organisasi Persatuan Remaja Islam Surau
Al-Ilham, aku sangat gerogi karena takut menjadi tertawaan lagi dengan logat
“R” ku yang berkarat. Dan apa yang ku takutkan memang
terjadi. Zahara yang menjadi pemandu kegiatan sengaja memperpanjang
giliran penyampaianku karena ingin mendengar “R” ku yang berkarat. Zahara banyak bertanya
yang sebenarnya ia hanya ingin mendapat hiburan saja.
Pada sesi ini kembali aku jadi bahan tertawaan karena
Zahara sengaja memunculkan pertanyaan yang membuatku harus berbicara banyak,
dan apa yang ku sampaikan itu menjadi kelucuan baginya yang membuat peserta yang
hadir juga ikut tertawa. Meski hatiku jengkel, tapi semua pertanyaannya tetap ku
jawab.
Selepas Sholat Zhuhur, ada waktu 30 menit untuk
peserta istirahat. Pada kegiatan hari kedua itu aku duduk berdekatan dengan
utusan dari Remaja Nurul Jannah bernama Ridwan dan Sueb. Mereka berdua duduk di
kelas dua di sekolah SMA Islam Swasta. Ketika waktu istirahat, Ridwan dan Sueb
bersandar nyantai pada sudut ruangan. Dan tidak jauh di hadapan sebelah
kananku, terlihat Zahara sedang mengobrol santai dengan teman-temannya.
Aku yang tidak tahu harus berbuat apa ketika istirahat
itu, terpikir untuk menulis buku diari yang baru ku beli tadi pagi. Maka buku
diari itu pun ku keluarkan dari dalam tasku, dan mulai ku tulis tentang kisahku
hari itu terutama tentang kisah diskusi yang menjengkelkan dengan Zahara. Untuk
beberapa saat aku hanyut dalam tulisanku. Hingga tiba-tiba, buku diari yang
sedang ku tulis itu ditarik oleh seseorang.
Aku sempat kaget, dan ketika ku lihat ternyata Zahara
yang telah menarik buku diariku itu. Rupanya Zahara yang sedang mengobrol
bersama teman-temannya itu sempat memperhatikan aku sibuk menulis sebuah buku
diari.
Ia menjadi sangat penasaran dan tanpa ku sadari
mendekati tempatku duduk, yang selanjutnya langsung menarik buku diariku itu. Aku benar-benar tidak bisa
berbuat apa-apa saat itu. Aku hanya terpaku saja melihat Zahara yang secara
mendadak menarik buku diariku, dan kemudian membacanya.
Ketika membaca apa yang telah ku tulis, Zahara
terlihat beberapa kali tersenyum. Selanjutnya ia berkata untuk meminjam buku
diariku itu. Tanpa menunggu jawabanku, Zahara langsung pergi dan kembali ke
tempatnya semula dengan meninggalkan aku yang hanya bisa terdiam melihat
ulahnya itu. Kembali perasaanku tidak karuan saat itu akibat ulah Zahara.
Hari itu pun ku lewati dengan pikiranku yang masih
memikirkan buku diariku yang diambil Zahara. Ketika selepas Tarawih dan akan
pulang ke rumah, aku berusaha mencari Zahara untuk meminta kembali buku diariku
itu. Tapi Zahara tidak ku temukan. Dengan perasaan tak karuan, aku terpaksa
pulang ke rumah dengan pikiran yang masih memikirkan buku diariku yang diambilnya.
--- o0o ---
Rabu, 4 April 1990, hari ketiga kegiatan pesanteren
kilat di Masjid Al-Falah. Aku menemui Zahara untuk meminta kembali buku
diariku, tapi Zahara berkata bahwa ia belum membaca semua yang telah ku tulis
dan berjanji akan mengembalikannya nanti pada hari terakhir kegiatan. Kembali
aku tidak bisa berbuat apa-apa dan dengan terpaksa harus mempercayainya bahwa
nanti hari terakhir kegiatan ia akan mengembalikan buku diairiku. Meski hatiku
berkecamuk karena memikirkan buku diariku, namun aku berusaha menenangkan diri
bahwa nanti buku diariku itu akan dikembalikan Zahara.
Jum’at, 6 April 1990, hari terakhir kegiatan
pesanteren kilat di Masjid Al-Falah. Beberapa hari kegiatan aku semakin akrab
dengan Ridwan dan Sueb. Selepas acara penutupan, aku menemui Zahara untuk
meminta kembali buku diariku.
Tapi dengan santainya Zahara berkata bahwa ia lupa membawa
diariku itu, dan tanpa rasa bersalah sedikitpun ia pergi begitu saja
meninggalkanku. Perasaanku sangat kesal saat itu, tapi aku juga tidak bisa
berbuat apa-apa. Dengan hati yang berkecamuk, terpaksa ku ikhlaskan buku
diariku dan tidak ingin ku ingat lagi.
Aku pun membeli buku diari yang baru dan menulis lagi
kisahku selama kegiatan di pesanteren kilat di Masjid Al-Falah. Setelah kegiatan
pesanteren kilat di Masjid Al-Falah. Aku sering bertemu Ridwan dan Sueb, terutama
jika ada kegiatan-kegiatan besar Islam yang melibatkan Remaja Masjid. Kami
menjadi sahabat yang akrab. Ridwan dan Sueb juga beberapa kali bermain ke
rumahku.
Pada tahun 1992, terjadi tragedi Perang Bosnia Herzegovina.
Konflik perang yang terjadi di Bosnia menjadi pembicaraan hangat sehari-hari di
kalangan remaja Masjid dan Majelis Taklim.
Pada bulan Juli 1992, Ridwan dan Sueb datang ke
rumahku. Pada saat itu mereka telah tamat dari SMA. Ridwan dan Sueb mengajakku
untuk mendaftar sebagai sukarelawan berjihad ke Bosnia yang pendaftarannya di
lakukan di Masjid Mujahidin. Pembukaan pendaftaran sukarelawan Jihad ke Bosnia
ini sebelumnya telah ku ketahui di Majelis Taklim Ash-Habul Kahfi.
Namun ku katakan kepada Ridwan dan Sueb bahwa aku
tidak bisa ikut mendaftar karena aku masih sekolah, dan barusan masuk ke SMA di
Jurusan Pariwisata.
Mendengar jawabanku tersebut, Ridwan dan Sueb memakluminya. Kami pun
sempat berbincang-bincang tentang konflik perang yang terjadi di Bosnia.
Selanjutnya mereka berpamitan pulang sambil berkata bahwa besok mereka akan
pergi ke Masjid Mujahidin untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Jihad ke
Bosnia.
Aku pun hanya bisa mendoakan agar apa yang mereka
inginkan tercapai. Selanjutnya mereka pulang dari rumahku. Sejak kepulangan
mereka dari rumahku saat itu, aku tidak pernah bertemu Ridwan dan Sueb lagi.
Dan tidak tahu bagaimana nasib mereka setelah itu.
--- o0o ---
Beberapa tahun
berlalu, aku tidak pernah bertemu Ridwan dan Sueb lagi. Begitupun Zahara yang
menjengkelkan, telah terlupakan dalam ingatanku.
Awal tahun 1999, aku
telah kuliah memasuki semester 6. Fikiranku sangat kacau saat itu, setelah ku
terima nilai akhir kuliahku selama 5 semester dengan hasil IPK yang sangat
mengecewakan yaitu 2,20. Aku sangat depresi dan putus asa, karena sulit sekali
untuk mendapatkan nilai yang memuaskan di Kampus itu. Untuk bisa lulus dengan
nilai C saja aku sudah sangat gembira apalagi jika bisa mendapatkan nilai B,
seakan-akan bagai mimpi yang sulit ku raih saat itu.
Sering ku termenung,
ku rasa aku sudah maksimal menguatkan diri selama semester 4 dan 5 untuk
memperbaiki diri dan berusaha menyenangi jurusan kuliah yang ku ambil. Tapi
tetap saja banyak mata kuliah yang tidak lulus.
Padahal aku sudah
bertahan untuk rajin masuk kuliah dan bergaul dengan teman-teman seangkatanku
untuk belajar dari mereka dan mempermudahkan jika ada tugas-tugas kuliah, tapi
tetap saja nilaiku tidak sama, teman-temanku itu lulus dengan nilai B dan A, sedangkan aku hanya bisa berpuas diri dengan nilai C, dan beberapa nilai
D. Situasi tersebut benar-benar membuatku frustasi.
Aku kembali merenungi
IPK kuliahku dari semester 1 hingga semester 5, memang sangat mengecewakan.
Semester 1 IPK ku 1,30. Semester 2 IPK ku 1,50. Semester 3 IPK ku 1,85.
Semester 4 IPK ku 2,10 dan semester 5 IPK ku 2,20.
Aku menjadi sangat
frustasi dan sering merenung, apakah aku ini bodoh, atau karena aku yang tidak
ingin kuliah di kampus itu sehingga mempengaruhi semangatku untuk kuliah dan
belajar. Entahlah...
Aku menjadi sangat
iri dengan teman-temanku yang sepertinya mudah sekali mendapat nilai B bahkan
A. Minder sekali rasanya saat itu, aku benar-benar merasa sangat terkucilkan.
Lambat laut aku mulai mempelajari situasi kampus, hingga timbullah dalam
benakku, entah benar atau salah, tapi yang ku rasakan bahwa banyak yang mudah
mendapatkan nilai B atau A karena mereka berasal dari daerah yang sama dengan
dosen-dosen yang mengajar. Atau karena latar belakang yang sama-sama satu suku
dengan dosen-dosen yang mengajar.
Sering ku perhatikan,
mereka sering berbincang-bincang dengan dosen-dosen menggunakan bahasa asal
daerah mereka sehingga mereka menjadi akrab dan dikenal dosen. Entah apakah
karena pengaruh sama-sama satu daerah atau satu suku sehingga sangat mudah teman-temanku yang lainnya mendapatkan nilai B dan A. Entahlah, barangkali aku yang salah karena
terlalu depresi dan frustasi sehingga muncul pikiran demikian. Tapi itu lah
yang ada dalam benakku saat itu.
Kadang aku merasa
menyesal ketika aku berkerja di hotel dan bertemu dengan salah seorang dosenku
yang mata kuliahnya selalu aku tidak lulus, mengapa saat itu aku tidak langsung
memberitahukannya saja bahwa aku ini adalah mahasiswanya sehingga akan mudah
bagiku untuk lulus dari setiap mata kuliahnya karena aku mengetahui perilakunya
di luar kampus.
Seandainya saat itu
ku lakukan, barangkali aku tidak perlu bersusah payah untuk lulus mata kuliah
dosenku itu. Tapi entahlah, kejadian itu sudah lama berlalu, dan aku harus
menerima kenyataan bahwa IPK ku 2,20. Nilai yang sangat memalukan, jika ada yang bertanya berapa
IPK ku, rasanya aku tidak ingin menjawabnya.
Memasuki semester 6,
aku menjadi sangat depresi, selain karena frustasi melihat IPK akhirku 2,20,
juga karena semester 6 adalah waktunya untuk Praktek Mengajar ke sekolah-sekolah atau PPL. Aku sangat
takut sekali jika disuruh mengajar ke sekolah, dan mata kuliah PPL ini
benar-benar menambah despresiku sehingga aku berencana akan berhenti kuliah.
Aku pun mencoba
menyampaikan kepada orangtuaku bahwa aku sudah tidak betah untuk bertahan
kuliah karena nilai IPK ku hanya 2,20 hingga akhir semester 5, dan nilai
setinggi itulah yang sanggup ku dapatkan ditambah lagi untuk semester 6 ini aku
harus Praktek Mengajar ke sekolah atau PPL, dan aku sangat takut sekali harus
mengajar ke sekolah. Karenanya aku ingin berhenti kuliah saja.
Mendengar
permintaanku yang ingin berhenti kuliah itu, orangtuaku sangat marah. Maka berdebatlah aku dengan orangtuaku saat itu bahwa aku memang tidak
ingin kuliah di jurusan itu, sejak awal aku ingin kuliah ke STSI Surakarta tapi
tidak diberikan izin dan dipaksa kuliah ke jurusan itu. Sedangkan aku sangat
takut jika disuruh mengajar.
Kemudian aku juga susah mendapat nilai yang memuaskan di jurusan itu. Aku
benar-benar seperti orang bodoh yang hanya mampu mendapat nilai IPK 2,20. Aku
benar-benar tidak tahan dan ingin berhenti.
Dalam perdebatanku
dengan orangtuaku, sedaya upaya ku jelaskan bahwa aku sudah tidak sanggup lagi
untuk melanjutkan kuliah di jurusan itu, tapi orangtuaku tidak bisa menerimanya
dan tetap meminta agar aku menyelesaikan kuliahku yang saat itu telah memasuki
semester 6. Hingga perdebatan semakin panas, dan aku bersikeras akan berhenti
kuliah.
Melihat tekadku untuk berhenti kuliah tidak bias di tahan-tahan lagi, akhirnya orangtuaku membujuk
agar aku menyelesaikan dahulu kuliah yang tinggal 3 semester lagi itu. Setelah
aku menyelesaikan kuliah, silahkan aku kuliah lagi ke STSI Surakarta.
Mendapat jawaban dari
orangtuaku itu bahwa aku di izinkan kuliah lagi ke STSI Surakarta setelah aku
menyelesaikan kuliahku, hatiku pun melunak, dan keinginan untuk berhenti kuliah
ku urungkan. Maka berlanjutlah lagi aku kuliah memasuki semester 6. Meski telah diberikan izin untuk melanjutkan kuliah lagi ke STSI Surakarta, namun tetap
saja hatiku risau memasuki semester 6 itu karena harus melaksanakan praktek
mengajar ke sekolah.
Awal bulan Februari
1999, aku mulai praktek mengajar di sekolah. Dari kampus aku di tugaskan
mengajar di SMU Santun Untan. Minggu pertama aku lewati dengan kerisauan karena
sangat gerogi berdiri di depan kelas dan berhadapan dengan murid-murid yang
memiliki berbagai tingkah. Apalagi dengan logat “R” ku yang berkarat, menjadi
bahan gurauan murid-murid di kelas yang ku ajar. Aku sangat jengkel dengan
situasi demikian dan membuat aku tidak betah masuk ke kelas.
Memasuki minggu
kedua, kerisauanku makin memuncak karena aku tidak mampu untuk mengendalikan
murid-murid yang kelasnya ku ajar. Logat “R” ku yang berkarat selalu menjadi
gurauan mereka. Kelas yang ku ajar itu pun menjadi ribut sehingga aku di tegur
oleh Guru Pamongku. Pada minggu ketiga aku semakin tak berdaya, murid-muridku semakin ribut
ketika aku mengajar, sehingga kembali aku ditegur dengan keras oleh Guru Pamongku, dan minggu keempat aku tidak mau lagi
datang ke sekolah.
Penghujung bulan
Februari 1999, aku putuskan untuk tidak mau datang lagi ke sekolah tempatku
praktek mengajar. Kembali aku ingin menyampaikan kepada orangtuaku bahwa aku
ingin berhenti kuliah karena aku memang tidak bisa mengajar. Tapi aku tidak
berani untuk kembali menyampaikannya, sehingga orangtuaku tidak tahu jika aku
sudah tidak datang lagi ke sekolah tempatku PPL.
Hatiku pun semakin
berkecamuk saat itu, hingga terlintaslah keinginan untuk ikut Kursus Menjahit
agar gejolak yang ada dalam pikiranku tersalurkan. Selain itu karena aku juga
senang menjahit.
Pada saat itu aku
sedang dekat dengan seorang wanita walaupun belum bisa dikatakan resmi
berpacaran tapi hubungan kami sudah sangat dekat.
Wanita yang sangat
dekat denganku itu berumur lebih tua 12 tahun dariku. Ia seorang janda yang
pada saat itu sedang menjalani tugas kuliah di Bandung. Namun saat itu ia
sedang libur kuliah. Aku pun menyampaikan kepadanya bahwa aku berencana ingin ikut kursus
menjahit. Ia menanggapinya dengan senang dan bertanya dimana aku akan ikut
kursus menjahit itu.
Maka ku jawab bahwa
aku belum tahu dimana tempat untuk aku bisa ikut kursus menjahit. Mendengar
jawabanku itu, ia kemudian mengajakku untuk berkeliling mencari tempat kursus
menjahit yang sesuai untukku.
Dari beberapa tempat
yang kami datangi, aku sangat tertarik untuk ikut Kursus Menjahit di Aini
School di Jalan Tengku Umar. Pada saat itu Bu Aini pemilik Aini School masih
menerima murid baru. Rupanya wanita yang sedang dekat denganku itu sangat kenal
dengan Bu Aini.
Bu Aini sempat heran
juga melihat aku yang laki-laki ingin kursus menjahit, tapi Bu Aini mengatakan
bahwa sebelum-sebelumnya ada beberapa orang muridnya laki-laki yang pernah
kursus menjahit di tempatnya, sehingga ia memaklumi jika aku berkeinginan untuk
ikut kursus menjahit di tempatnya.
Maka pada awal Maret
1999, aku mulai masuk kursus menjahit di Aini School dengan jadwal kursus dari
jam 2 siang hingga jam 4 sore serta biaya perbulan 30.000. Sedangkan wanita
yang sedang dekat denganku kembali ke Bandung karena waktu libur kuliahnya
telah selesai.
--- o0o ---
Pada awal bulan Maret
1999, aku mulai masuk kursus menjahit di Aini School di Jalan Tengku Umar.
Semua murid yang kursus adalah wanita remaja dan ibu-ibu, hanya aku saja yang
sendiri laki-laki. Meski kehadiranku di kelas menjahit itu menjadi bahan
candaan murid-murid yang lain, tapi aku santai saja. Aku belajar menjahit
dengan serius sepanjang bulan itu walau hanya aku sendiri yang laki-laki.
Pada bulan April
1999, masuk murid baru laki-laki di Aini School. Aku sangat senang ada
laki-laki yang juga ikut kursus, sehingga aku punya kawan. Murid baru laki-laki
itu kemudian duduk di dekatku karena dilihatnya ada laki-laki juga yang ikut kursus menjahit. Ia selanjutnya mengenalkan
diri kepadaku. Namanya adalah Iwan Kelana, pemilik Sanggar K2SP. Aku sering
mendengar nama itu. Iwan Kelana adalah Desainer dan Penata Modeling yang
terkenal di Pontianak.
Selama ini aku hanya
mendengar nama besarnya saja, tapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Dan
saat itu aku akhirnya bertemu langsung dengan orangnya, dan duduk sekelas di
kursus menjahit. Sejak itu aku berteman akrab dengan Iwan Kelana.
Pertengahan April
1999, salah seorang murid sekelasku kursus menjahit bernama Marlina sakit dan
di rawat di Rumah Sakit Soedarso Pontianak. Selepas kursus menjahit,
teman-temanku berencana akan menjenguk Marlina di Rumah Sakit Soedarso, dan
mereka mengajakku. Dan aku bersedia untuk ikut menjenguk juga, namun Iwan
Kelana tidak bisa ikut karena ia ada kegiatan penting setelah kursus.
Maka pergilah aku
bersama teman-teman wanitaku. Kami pun tiba di Rumah Sakit Soedarso dan
menjenguk Marlina. Setelah hampir satu jam aku di ruangan tempat Marlina dirawat, aku menyampaikan
kepada teman-teman wanitaku untuk pulang. Tapi rupanya mereka masih betah
mengobrol dengan Marlina, sedangkan aku sudah tidak betah karena aku hanya bisa
menjadi pendengar saja.
Aku kemudian meminta
izin untuk pulang duluan karena malamnya aku ada keperluan. Marlina dan
teman-teman wanitaku memakluminya dan mempersilahkan aku untuk pulang duluan.
Setelah berpamitan, aku kemudian keluar dari ruangan tempat Marlina di rawat. Ketika melewati lorong Rumah
Sakit Soedarso, tiba-tiba aku mendengar ada yang memanggil namaku.
Aku menoleh kesana
kemari mencari siapa yang memanggilku. Dan kembali ku dengar ada yang memanggil,
rupanya suara orang yang memanggilku itu berasal dari sebuah jendela nako yang
terbuka kacanya. Aku segera mendekati jendela tersebut untuk mengetahui siapa
yang telah memanggilku.
Setelah didekat
jendela itu, terlihatlah olehku seorang wanita berada dibalik jendela yang
terlihat sangat kurus sedang duduk di tempat tidur dan sedang di infus. Wanita
itu kembali menyebut namaku dan ditambahnya dengan sebutan si “R” berkarat. Aku
masih bingung siapa wanita itu, dan berusaha mengingat-ingat, tapi tetap aku
belum bisa mengingatnya. Melihat aku sangat bingung dan berusaha mengingat,
akhirnya wanita yang sangat kurus itu berkata bahwa ia adalah Zahara. Aku pun
berusaha mengingat siapa Zahara, apakah temanku atau siapa.
Rupanya ia melihat
aku belum juga bisa mengingat walaupun ia telah menyebutkan namanya. Ia
selanjutnya berkata lagi bahwa ia adalah Zahara yang dulu menjadi Remaja Masjid
Al-Falah dan telah meminjam buku harianku.
Hatiku langsung
tersentak dan pikiranku langsung teringat kembali dengan Zahara yang cantik
dengan jilbabnya yang selalu rapi namun sangat menjengkelkan ketika ia
mengatakan bahwa ia adalah Zahara, Remaja Masjid Al-Falah yang telah meminjam
bukuku.
Aku semakin
mendekatkan diri ke jendela dan ku lihat lebih teliti lagi diantara jendela
nako yang terbuka kacanya, hatiku pun bertanya pada diriku sendiri, apakah
benar wanita yang sangat kurus ini adalah Zahara yang cantik itu. Saat aku
sedang bergulat dengan pertanyaan diriku sendiri, kembali wanita yang sangat
kurus itu berkata bahwa ia memang Zahara dan sedang sakit. Ia sedang menjalani
perawatan untuk menyembuhkan penyakitnya di Rumah Sakit Soedarso itu. Ia
kemudian menyuruhku masuk ke ruangan tempatnya di rawat.
Tanpa banyak berpikir
lagi, aku langsung saja masuk ke ruangan itu. Sesampainya di dalam ruangan, ku
lihat ada beberapa orang yang juga sedang di rawat dan sedang terbaring diatas
tempat tidur. Tempat wanita yang sangat kurus itu dirawat berada di dekat
jendela.
Setelah berada di
dalam ruangan baru aku dapat melihat dengan jelas roman wajah wanita yang sangat kurus itu. Meski terlihat
sangat kurus dan lemah tapi aku masih bisa mengenali bahwa wanita itu memang
Zahara yang dulunya sangat cantik namun sangat menjengkelkan itu.
Melihat aku telah
berada di ruangan tempatnya di rawat, Zahara dengan kondisinya yang sedang
duduk lemah dan tangannya terinfus serta matanya yang sangat cekung berusaha
untuk tersenyum. Mendadak hatiku yang sebelumnya selalu menganggapnya sangat
menjengkelkan itu langsung berubah sedih tak terkira. Aku benar-benar tak
percaya dengan apa yang ku lihat.
Aku selanjutnya
mendekati ujung tempat tidurnya dan berdiri disitu. Zahara kemudian menanyakan
kabarku. Ku jawab bahwa aku baik-baik saja. Ia kemudian bertanya lagi sedang
apa aku di Rumah Sakit ini. Ku jawab bahwa aku menjenguk temanku yang sakit.
Zahara dengan
berusaha untuk bercanda dia balik bertanya temanku itu laki-laki atau
perempuan. Ku jawab saja bahwa temanku itu perempuan. Zahara bertanya lagi itu
perempuan teman atau pacar. Aku sambil garuk-garuk kepala berkata bahwa itu
teman perempuanku sekelas kursus menjahit.
Mendengar bahwa yang
sakit adalah teman sekelasku kursus menjahit, Zahara dengan wajah yang terlihat
lemah berusaha untuk tertawa dan bertanya dengan nada tidak percaya bahwa yang sakit adalah teman kursus menjahitku. Aku kemudian menjelaskan lagi bahwa aku sedang ikut kursus menjahit
dan teman sekelasku itu sakit. Zahara dengan sikap yang masih belum percaya
bertanya lagi kenapa aku bisa ikut kursus menjahit. Aku pun menjelaskan awal
mula aku ikut kursus menjahit. Setelah ku jelaskan barulah ia percaya.
Namun ia bertanya
lagi, kenapa aku bisa kursus menjahit di Aini School. Aku dengan menarik nafas
panjang menjawab bahwa aku disarankan oleh teman perempuanku untuk sebaiknya
kursus menjahit di Aini School saja, selain cara mengajarnya yang bagus juga
teman perempuanku itu sangat kenal baik dengan pemilik Aini School yaitu Bu
Aini.
Mendengar jawabanku
itu, Zahara terlihat semakin penasaran dan kembali bertanya, teman perempuanku
itu teman atau pacar. Aku kembali garuk-garuk kepala, dan berkata dalam hati,
ternyata Zahara belum berubah, masih selalu ingin tahu dan selalu banyak Tanya.
Dengan sedikit
jengkel atas pertanyaan Zahara itu, aku mulai menjelaskan bahwa aku sedang
dekat dengan seorang wanita yang umurnya 12 tahun lebih tua dariku. Ia seorang
janda. Aku belum resmi pacaran dengannya hanya telah berteman sangat dekat. Dan
ia adalah teman baiknya Bu Aini.
Kembali Zahara
tertawa sambil berkata bisa juga aku dekat dengan perempuan, bukankah dulu aku
paling takut jika didekati perempuan. Mendengar perkataan Zahara itu, aku hanya
bisa tersenyum malu saja.
Zahara kembali
bertanya, kemana wanita itu, mengapa aku tidak membawanya menjenguk teman
sekelas menjahitku yang sakit itu. Kembali aku menarik nafas dan menjelaskan
bahwa wanita itu sekarang sedang tugas kuliah di Bandung. Sebelum aku mulai
kursus ia ada pulang liburan ke Pontianak. Dan ketika aku mulai masuk kursus ia
kembali ke Bandung karena liburan kuliahnya sudah selesai.
Mendengar penjelasanku
itu Zahara tertawa lagi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian
bertanya lagi, selain
ikut kursus menjahit apa saja
kegiatanku, apakah masih aktif di Remaja Masjid.
Aku kemudian menjawab
bahwa selain kursus menjahit aku sedang kuliah, dan aku sudah tidak aktif lagi
di Remaja Masjid sejak awal kuliah karena saat itu aku kuliah sambil berkerja
sehingga tidak ada waktu lagi untuk aktif di Remaja Masjid.
Zahara kemudian
bertanya lagi dimana aku berkerja dan apakah aku masih berkerja. Ku katakan
bahwa aku berkerja di hotel dan sudah tidak lagi berkerja sejak tahun 1997.
Kembali Zahara bertanya apa sebabnya aku tidak lagi berkerja.
Aku kembali menarik
nafas dan menjelaskan bahwa pada bulan April 1997, terjadi keributan di hotel.
Aku kemudian ditangkap polisi dan di sel selama tiga malam di Polsek Selatan.
Mendengar penjelasanku itu, Zahara tertawa bukan main sambil berkata, bisa juga
aku bikin ribut, bukannya dulu aku itu orang yang pendiam. Aku hanya diam saja
mendengar perkataan Zahara itu.
Ia kemudian kembali
bertanya, bagaimana aku bisa keluar dari sel Polsek Selatan. Ku katakan bahwa
ada salah seorang pamanku, yaitu adik ayahku, yang jadi Polisi dan tugas di
Polsek Selatan. Ia yang menangkapku, karena tidak menduga jika terjadi keributan di hotel itu salah seorangnya aku. Atas mediasi dari pamanku itu, maka permasalahan
yang telah terjadi diselesaikan dengan kekeluargaan dan damai. Setelah tiga
malam aku di sel, barulah di keluarkan.
Mendengar perkataanku
itu, Zahara hanya menganggukkan kepalanya saja. Selanjutnya ia berkata bahwa
aku tidak banyak berubah, hanya kulitku saja yang terlihat sangat hitam sambil
ia kembali tertawa. Aku hanya bisa tersenyum saja mendengar perkataan Zahara
itu.
Selanjutnya ia
berkata lagi, agar aku jangan dulu pulang, ia memintaku untuk menemaninya
menunggu Bibinya yang belum datang untuk menjaganya di rumah sakit. Aku pun
mengiyakan permintaannya itu.
Zahara kemudian
berkata lagi dengan nada agak bertanya apakah ia terlihat sangat kurus. Aku
tidak sanggup menjawab pertanyaannya itu dan hanya bisa menganggukkan kepala
saja.
Zahara selanjutnya
mulai bercerita bahwa ia tidak tamat SMA saat itu. Ketika permulaan di kelas 3,
ia pacaran dengan seseorang bernama Dedi. Ia kemudian hamil sebelum tamat
sekolah.
Karena
hamil sehingga terpaksa ia harus berhenti sekolah. Selanjutnya ia menikah
dengan Dedi. Dedi suaminya, adalah seorang pecandu dan pengedar Narkoba. Zahara
kemudian menjadi terikut suaminya sebagai pecandu Narkoba.
--- o0o ---
Ketika di kelas 3
SMA, Zahara pacaran dengan Dedi, Zahara sudah mengetahui perilaku yang tidak
baik dari Dedi. Tapi ia sangat cinta dengan Dedi sehingga perilaku Dedi yang
tidak baik itu tidak menyurutkan hatinya untuk terus menjalin cinta dengan
Dedi.
Seringkali ia
menemani Dedi untuk mengkonsumsi Narkoba. Meski awalnya hanya menemaninya saja,
tapi labat laun ia terikut juga. Zahara akhirnya menjadi ikut mengkonsumsi
Narkoba. Hingga kemudian ia hamil dan harus menikah dengan Dedi sehingga
terpaksa juga ia harus berhenti sekolah, sedangkan saat itu beberapa bulan lagi
akan EBTANAS.
Setelah menikah, Dedi
berkerja serabutan untuk menafkahinya. Tapi hasil yang didapat tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Walau telah menikah, Dedi
masih sering berkumpul dengan teman-temannya yang perilakunya juga rusak.
Hingga kemudian Dedi menjadi pengedar Narkoba dan sering membawa Narkoba ke
rumah. Mereka pun leluasa mengkonsumsi Narkoba di rumah.
Zahara yang saat itu
sedang hamil tidak menghiraukan kandungannya. Ia dan suaminya terus mengkonsumsi Narkoba mesti kandungannya telah membesar. Ketika melewati masa 6 bulan
kandungannya, Zahara mengalami pendarahan. Darah yang keluar dari rahimnya
berbau busuk. Ia pun dibawa ke rumah sakit. Ketika diperiksa oleh dokter
ternyata zanin didalam kandungannya telah lama tidak bernyawa. Memang selama ia
hamil, ia jarang memeriksakan kandungannya.
Zahara kemudian
dioperasi. Ketika dioperasi ternyata zanin yang telah lama tidak bernyawa itu
telah membusuk dan plasentanya telah terlepas didalam kandungan. Kandungannya
kemudian dilakukan operasi besar dan dilakukan pembersihan terhadap rahimnya
karena pengaruh zanin yang telah membusuk itu telah merusak rahimnya. Rahimnya
pun terpaksa harus di buang untuk menyelamatkan jiwanya.
Ketika ia di operasi
dan selama perawatan di rumah sakit, suaminya semakin gencar mengedarkan
Narkoba untuk membiayai perawatannya di rumah sakit. Hingga ketika ia masih
menjalani pemulihan di rumah sakit, ia mendapat kabar bahwa suaminya ditemukan
tewas dalam sebuah pesta Narkoba di tempat salah seorang teman suaminya.
Suaminya itu over dosis dalam pesta Narkoba tersebut.
Zahara yang masih lemah karena sedang dalam masa pemulihan itu sangat terpukul
namun ia juga tidak dapat berbuat apa-apa.
Setelah Zahara pulih dan keluar dari rumah sakit, ia
berusaha untuk tidak mengkonsumsi Narkoba lagi. Namun situasinya saat itu yang
terbebankan oleh hutang yang cukup besar dengan keluarganya membuat jiwanya
rapuh. Zahara harus meminjam uang yang cukup besar kepada keluarganya untuk
membiayai operasi dan perawatannya selama di rumah sakit.
Keluarganya yang terus menerus menagih hutang membuat
pikirannya buntu. Ia pun menemui salah seorang teman suaminya untuk meminjam
uang guna melunasi hutangnya kepada keluarganya itu. Hutangnya itu pun
terlunasi, tapi Zahara kemudian terperangkap dalam lingkaran syetan yang
membuatnya makin jauh terjerumus dalam lembah hitam dan kembali terjerat dengan
Narkoba.
Teman suaminya itu rupanya juga seorang pengedar Narkoba.
Untuk melunasi hutangnya dengan teman suaminya itu, Zahara harus menjual
Narkoba.
Zahara yang sedang buntu pikirannya saat itu
menyetujui saja persyaratan dari teman suaminya itu asalkan hutangnya
terlunasi. Ia pun menjadi penjual Narkoba. Karena menjual Narkoba, Zahara
kembali tergiur untuk mengkonsumsi Narkoba dan mulailah ia kembali mengkonsumsi
Narkoba.
Hingga hutangnya dengan teman suaminya itu terlunasi,
Zahara tidak lagi disuruh menjual Narkoba. Namun kondisinya yang telah
kecanduan Narkoba membuatnya tidak dapat lepas dari jerat teman suaminya itu.
Ia pun selalu meminta Narkoba kepada teman suaminya itu. Dan itu didapatkannya
dengan tidak gratis. Ia harus membelinya.
Karena tidak memiliki uang, Zahara mengusahakan berbagai
cara hanya untuk mendapatkan Narkoba. Ia pun menjual dirinya kepada teman
suaminya itu. Maka sejak itulah ia mulai menjadi pemuas nafsu teman suaminya
itu hanya untuk mendapatkan Narkoba. Selama hampir dua bulan ia menjadi budak
pemuas nafsu teman suaminya itu dengan bayaran Narkoba untuk di konsumsinya.
Setelah dua bulan, teman suaminya itu terlihat telah bosan dengannya dan tidak berminat lagi untuk menjadikannya sebagai
pemuas nafsunya. Zahara yang telah kecanduan Narkoba itu menjadi kacau
pikirannya. Ia pun tetap meminta Narkoba kepada teman suaminya itu. Namun teman
suaminya tersebut
tidak bersedia memberikannya karena barang itu tidaklah gratis.
Zahara yang telah hilang akal bersikeras ingin meminta
Narkoba dan bersedia melakukan apa saja asalkan diberi Narkoba. Teman suaminya
itu pun kemudian memberi jalan jika Zahara ingin mendapatkan Narkoba maka ia
harus melayani kenalan atau pelanggan-pelanggannya. Zahara yang sudah tidak
peduli lagi bagaimana caranya agar bisa mendapatkan Narkoba menyetujuinya. Maka
sejak itulah ia dijual kesana kemari oleh teman suaminya itu dengan bayaran
Narkoba untuk di konsumsinya. Candu Narkoba benar-benar telah mencampakkan
Zahara ke lembah maksiat, ia telah menjadi wanita tuna susila.
--- o0o ---
Tahun 1994, Zahara telah menjadi wanita tuna susila.
Ia melayani nafsu berbagai laki-laki, dan teman suaminya itu menjadi germonya.
Para laki-laki yang telah dilayaninya membayar kepada teman suaminya itu,
sedangkan Zahara dibayar dengan Narkoba dari teman suaminya.
Pada tahun 1997, Zahara merasakan ada yang berubah
pada dirinya. Kondisi tubuhnya semakin menurun dan ia jatuh sakit sehingga ia
tidak bisa melayani laki-laki yang telah memesannya dari teman suaminya itu.
Karena sakit, Zahara pun tidak bisa mendapatkan Narkoba karena tidak ada
laki-laki yang dilayaninya. Ia pun berusaha berobat agar dapat sehat kembali.
Namun karena berobat yang dilakukannya hanya melalui pengobatan biasa saja
sehingga tidak juga membuatnya sehat. Sakitnya semakin menjadi. Ia kemudian ke dokter
untuk memeriksakan diri. Ketika diperiksa dokter itulah ia akhirnya tahu bahwa
sakitnya itu karena ia telah terjangkit penyakit Sifilis yaitu sejenis penyakit
kelamin akibat berganti-ganti pasangan seksual.
Zahara sangat terpukul mengetahui hal tersebut,
apalagi setelah dijelaskan oleh dokter bahwa penyakit Sifilis selain merupakan
penyakit menular juga sangat mematikan. Dokter yang tidak tahu profesi Zahara
sebagai wanita tuna susila memintanya untuk sementara tidak melakukan hubungan
seksual agar penyakitnya itu dapat sembuh. Zahara yang sedang kondisi sangat
terpukul itu hanya dapat menganggukkan kepalanya saja.
Setelah mengetahui telah terjangkit penyakit Sifilis,
Zahara berusaha menyembuhkan diri, tapi pengaruh ketergantungan kepada Narkoba
membuatnya kembali melayani laki-laki hanya untuk mendapatkan Narkoba. Ia pun
berusaha menyembunyikan penyakitnya itu. Tapi lambat laun penyakit Sifilis yang
sedang di deritanya itu terungkap juga dari para laki-laki yang telah
dilayaninya. Teman suaminya pun sudah tidak bersedia lagi mencarikan pelanggan
untuknya sehingga ia pun sudah tidak mendapatkan Narkoba lagi.
Setelah tidak mendapat Narkoba dari teman suaminya
itu, hidup Zahara semakin sengsara akibat ketergantungannya kepada Narkoba.
Setelah teman suaminya tidak mau lagi mencarikannya pelanggan karena penyakit
Sifilisnya, ia pun menjual dirinya di pasar-pasar dengan harga sangat murah asalkan ia dapat
uang untuk membeli Narkoba. Tempat transaksi seksualnya pun sangat
memperihatinkan yaitu di lorong-lorong pasar yang kotor, dibalik kotak-kotak
jualan yang berbau busuk dan dibalik gerobak-gerobak yang bertanah becek.
Dimanapun tempatnya akan dilayaninya asalkan ia dapat uang. Pelanggannya pun
dari kalangan bawah dengan bayaran sangat murah.
Untuk beberapa bulan ia menjadi wanita tuna susila
yang menjual dirinya dengan harga murah dipasar-pasar, dan penyakit Sifilisnya
itu belum diketahui orang. Namun beberapa bulan berikutnya yaitu pada tahun
1998, penyakit Sifilis yang dideritanya akhirnya diketahui orang. Pelanggannya
banyak yang tertular penyakit kotornya itu. Ia pun tidak diperbolehkan lagi
mangkal di pasar-pasar karena membawa penyakit kotor.
Setelah tidak diperbolehkan lagi mangkal di
pasar-pasar, Zahara pun tidak mendapatkan pendapatan apa-apa. Ia tidak dapat
membeli Narkoba karena tidak memiliki uang. Hidupnya benar-benar sengsara saat
itu karena sedang dalam pengaruh ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
Narkoba. Kecanduan Narkoba telah menciptakan hidupnya bagai dalam neraka.
Namun pertengahan tahun 1998, ketergantungannya
terhadap Narkoba sedikit berkurang akibat semakin parahnya penyakit Sifilis
yang di deritanya. Dari vaginanya pun semakin banyak mengeluarkan nanah yang
berbau sangat busuk, sehingga siapa pun yang didekatnya akan mencium bau busuk
tersebut. Tubuhnya semakin kurus dan lemah. Matanya juga menjadi cekung.
Penyakit Sifilis yang parah di deritanya telah mengurangi kecanduannya terhadap
Narkoba.
Penghujung tahun 1998, tubuhnya ambruk akibat penyakit
Sifilis yang sangat parah di deritanya. Ia pun dibawa ke rumah sakit Soedarso
oleh Bibinya, dan dirawat di rumah sakit itu. Untuk beberapa bulan di rumah
sakit, Zahara hanya terbaring saja akibat tubuhnya yang telah menjadi lemah.
Barulah awal April 1999 ini saja ia sudah dapat duduk.
Setelah cukup lama aku mendengarkan cerita Zahara,
Bibinya pun datang untuk menjaganya. Aku pun berkata kepada Zahara bahwa aku
harus pulang karena aku ada keperluan malam itu. Zahara mengiyakannya tetapi ia
meminta aku untuk datang lagi besok. Aku tidak dapat berjanji karena khawatir
aku ada halangan.
Zahara dengan nada memaksa meminta aku untuk datang
lagi. Jika tidak dapat datang besok, lusa juga tidak apa-apa. Pokoknya ia
memaksa aku untuk datang lagi menjenguknya.
Karena kuatnya keinginan Zahara untuk memintaku datang
lagi, maka aku berkata bahwa aku akan mengusahakan untuk menjenguknya lagi.
Mendengar jawabanku itu terlihat Zahara sangat senang. Selanjutnya aku
berpamitan untuk pulang kepada Zahara dan Bibinya. Tidak lupa ku katakan kepada
Zahara untuk menguatkan hatinya agar ia dapat bersemangat lagi menjalani hidup.
Dengan wajah yang terlihat terharu, Zahara hanya menganggukkan kepalanya.
Selanjutnya aku keluar dari ruangan tempat Zahara di rawat dan langsung
berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso untuk pulang ke rumah.
--- o0o ---
Dua hari berikutnya setelah pertemuanku dengan Zahara,
aku pun menyempatkan diri untuk menjenguknya lagi di rumah sakit Soedarso. Saat
itu sudah hampir Maghrib. Aku memasuki ruangan tempat Zahara di rawat. Dan
terlihat Bibinya sedang menyuapinya makan saat itu. Melihat kedatanganku,
Zahara sangat senang. Aku pun berdiri di ujung dekat tempat tidurnya sambil
menunggunya selesai disuapkan makan oleh Bibinya.
Selesai makan, Zahara meminta Bibinya untuk mengambil
sesuatu dari lemari kecil di dekat tempat tidurnya. Bibinya pun segera
mengambilkan benda yang diminta oleh Zahara dan memberikan kepadanya. Setelah
memberikan benda itu kepada Zahara, Bibinya pergi keluar untuk memberikan
kesempatan kepada kami berbicara berdua.
Sambil memegang sesuatu yang terbungkus dalam sebuah
plastik hitam, Zahara bertanya mengapa aku baru menjenguknya lagi. Ku katakan
bahwa aku ada kesibukan dua hari ini. Zahara pun hanya menganggukkan kepalanya
saja mendengar jawabanku itu. Selanjutnya ia mengeluarkan benda yang terbungkus
dalam plastik hitam itu. Rupanya benda itu adalah sebuah buku diari.
Sambil memegang buku diari itu, Zahara berkata bahwa
ia meminta maaf karena tidak bisa mengembalikan buku diariku yang pernah
dipinjamnya. Aku pun berkata bahwa aku sudah tidak ingat lagi dengan buku
diariku itu, dan tidak apa-apa jika ia tidak bisa mengembalikan buku diariku
itu.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia sangat senang
membaca tulisanku saat itu meskipun hanya selembar saja, tetapi selalu
dibacanya berulang kali. Setelah tidak bertemu lagi denganku, buku diariku itu
di lanjutkannya dengan tulisannya hingga habis satu buku. Namun pada tahun
1993, rumahnya terbakar dan buku diariku itu juga ikut terbakar, padahal buku
diariku itu sudah terisi semuanya dengan tulisan-tulisannya.
Tahun 1997, ketika ia mulai terkena penyakit Sifilis,
ia teringat kepada buku diariku yang telah terbakar bersama rumahnya. Ia pun
membeli buku diari baru untuk tempatnya menumpahkan perasaannya. Dan buku diari
itu sedang dipegangnya saat itu. Namun buku diari yang baru itu belum penuh
semuanya, karena ia menulisnya ketika sedang susah hati atau merasa kesepian
saja.
Ia pun memintaku untuk menerima buku diarinya itu
sebagai ganti buku diariku yang pernah dipinjamnya namun ikut terbakar bersama
rumahnya.
Zahara kemudian memberikan buku diari itu yang
kulitnya berwarna kuning gelap kepadaku. Aku pun menerimanya. Sambil
memberikannya kepadaku, Zahara berkata agar aku mau melanjutkan menulis buku
diari itu hingga penuh. Aku pun berkata bahwa aku akan melanjutkan menulisnya
hingga penuh. Selanjutnya kami berbincang-bincang tentang kesembuhan
penyakit yang telah lama dideritanya.
Setelah cukup lama kami berbincang-bincang, aku pun
berkata bahwa aku akan pulang. Zahara pun mengiyakan, namun kembali ia meminta
dengan nada memaksa agar aku dapat datang lagi menjenguknya. Aku pun berkata
bahwa aku akan mengusahakan untuk menjenguknya lagi. Rupanya jawabanku itu
terlihat belum memuaskannya, ia kembali mengulang permintaannya agar aku dapat
menjenguknya lagi. Kembali ku katakan bahwa aku akan menjenguknya lagi. Setelah
berkali-kali ku katakan bahwa aku akan datang menjenguknya lagi barulah Zahara
terlihat senang.
Selanjutnya aku berpamitan akan pulang. Namun ketika
aku berpamitan, Zahara memintaku untuk mengucapkan kata-kata “Ular
melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”, Zahara mengatakan bahwa ia rindu
mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Aku sambil tersenyum mengatakan enggan
untuk mengucapkannya. Namun Zahara memaksa sambil berkata bahwa ia sangat ingin
mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Zahara juga berkata bahwa logat “R”
berkaratku dalam mengucapkan kata-kata itu sangat membahagiakan hatinya, dan
sebagai penghibur baginya yang sedang sakit itu.
Mendengar perkataan Zahara itu, aku pun mengabulkan
permintaannya. Aku langsung mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar
dipagar rumah Pak Umar”. Setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Zahara langsung
tertawa. Selama aku bertemunya di rumah sakit, baru kali itu aku melihatnya
tertawa lepas dan terlihat sangat bahagia. Hatiku pun ikut senang melihatnya.
Kemudian kembali Zahara meminta aku untuk
mengulanginya lagi menyebut kata-kata itu. Aku pun kembali mengulanginya
menyebut kata-kata itu lagi, karena hatiku senang melihatnya dapat tertawa
lepas dan dapat melupakan sakitnya itu walau hanya sesaat. Setelah ku ucapkan
kata-kata itu lagi, kembali Zahara tertawa, ia sangat bahagia sekali saat itu.
Seakan-akan ia dapat melupakan sakit yang dideritanya walau hanya sesaat. Dan
aku seperti melihat Zahara yang dulu yang sangat cantik dimataku.
Setelah puas membuat Zahara tertawa, aku pun
berpamitan untuk pulang. Kembali Zahara berpesan agar aku datang lagi
menjenguknya. Aku mengiyakan pesannya itu. Selanjutnya aku keluar dari ruangan
tempatnya di rawat sambil membawa buku diari milik Zahara yang diberikannya
kepadaku, dan diluar aku juga berpamitan dengan Bibinya. Setelah itu aku
berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso untuk pulang ke rumahku.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan
membuka buku diari milik Zahara. Pada balik kulit buku terdapat nama Elisa
Kharismawati. Rupanya nama sebenarnya Zahara adalah Elisa Kharismawati. Zahara
itu ternyata hanya nama panggilannya saja ketika dulu dia aktif di Remaja
Masjil Al-Falah.
Aku kemudian membuka lagi lembaran buku diari Zahara
itu. Pada lembar berikutnya terdapat tulisannya yang meyebutkan bahwa buku diari
itu sebagai pengganti buku diari milikku si “R” berkarat yang pernah
dipinjamnya dahulu tetapi telah terbakar ketika rumahnya terbakar tahun 1993.
Ia juga menulis sangat rindu mendengar logat “R” berkaratku. Aku hanya bisa
senyum-senyum sendiri membaca tulisannya itu.
Berikutnya tulisan-tulisannya tentang keluh kesah
tentang penyakitnya. Dan pada tulisan terakhir ia menulis “Surga atau Neraka
ada pada pasanganmu. Jika ingin masuk surga, carilah pasangan yang Sholeh. Jika
ingin masuk neraka, carilah pasangan yang bejat. Dan aku telah salah memilih
pasangan. Aku telah salah mencintai orang, yang ternyata telah membawaku ke
neraka. Dan neraka itu sudah ku rasakan di dunia ini”.
Aku terpaku membaca tulisannya yang terakhir itu.
Untuk beberapa saat aku merenungi kata-kata tersebut. Setelah itu aku mengulanginya
membaca dari lembar pertama lagi. Buku diari milik Zahara itu belum sampai
setengah buku terisi. Dan pada malam itu aku membacanya berulang kali hingga
aku tertidur.
Hari-hari berikutnya aku berencana akan menjenguk
Zahara lagi, tapi selalu saja ada halangan sehingga rencanaku itu selalu gagal.
Dan lebih dari 2 minggu aku belum bisa menjenguk Zahara di rumah sakit. Barulah
pada hari Selasa 11 Mei 1999 aku sempat singgah ke rumah sakit untuk menjenguk
Zahara, itu pun waktunya sudah hampir jam 7 malam.
Aku pun bergegas memasuki ruangan tempat Zahara di
rawat. Tapi ketika aku telah masuk didalam, aku bingung karena tempat Zahara
dirawat telah berganti dengan orang lain. Aku bertanya pada orang yang ada di
tempat itu kemana pasien yang sebelumnya di rawat di tempat itu. Namun orang
yang ada di tempat itu tidak tahu kemana pasien sebelumnya apakah dipindahkan
ke tempat lain atau telah pulang.
Mendengar jawaban dari orang itu, hatiku antara
bimbang dan senang. Bimbang karena aku belum tahu jika Zahara masih dirawat,
kemana ia dipindahkan. Hatiku senang, jika ternyata Zahara telah pulang berarti
ia telah sembuh dari penyakitnya. Namun kemudian ada seorang keluarga pasien yang
tempat tidurnya beberapa tempat dari tempat Zahara di rawat menyampaikan bahwa pasien yang di rawat
sebelumnya telah meninggal dunia kurang lebih dua minggu yang lalu. Aku
tersentak mendengar penyampaian keluarga pasien tersebut. Pikiranku langsung
kalut dan sangat tidak percaya dengan penyampaian itu.
Melihat aku mulai kalut, keluarga pasien itu berusaha
menenangkan, dan mengatakan barangkali ia salah, dan mungkin bukan pasien yang
ku maksud itu yang telah meninggal dunia. Ia pun menyuruhku menanyakan langsung
kepada perawat penjaga agar aku mendapatkan penjelasan yang tepat tentang
pasien yang ku maksud.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung menemui
perawat penjaga di bagian tengah ruangan tersebut. Dengan pikiranku yang mulai
kalut, aku pun bertanya tentang pasien yang bernama Zahara yang sebelumnya di
rawat di ruangan itu. Perawat yang menjaga mulai mencari nama pasien yang
bernama Zahara dari buku data pasien yang pernah dan sedang di rawat di ruangan
itu. Rupanya tidak ada yang namanya Zahara yang pernah dirawat. Aku pun semakin
kalut bagaimana bisa Zahara yang lebih dua minggu yang lalu ku temui di rawat
ruangan itu tidak ada namanya.
Dengan situasiku yang semakin kalut, aku pun berusaha
menjelaskan posisi tempat Zahara di rawat. Ternyata aku yang salah menyebutkan
nama, karena yang ada itu adalah namanya Elisa Kharismawati bukan Zahara.
Mendengar perkataan perawat penjaga, barulah aku teringat bahwa nama Zahara
yang sebenarnya adalah Elisa Kharismawati.
Aku pun kembali bertanya kepada perawat penjaga kemana
pasien yang bernama Elisa Kharismawati itu, apakah di pindahkan ke ruangan lain
atau telah pulang. Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien yang bernama
Elisa Kharismawati telah meninggal dunia pada hari Sabtu 22 April 1999 jam 8
pagi.
Pikiranku langsung kosong saat itu setelah mendengar
perkataan perawat penjaga itu bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati
telah meninggal dunia. Kaki dan tubuhku pun terasa bergetar. Aku seperti tak
dapat mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar tidak menyangka Zahara telah
meninggal dunia. Untuk beberapa saat aku hanya dapat terdiam. Perawat penjaga
juga hanya bisa terdiam melihatku yang sangat syok mendengar penjelasannya itu.
Setelah beberapa saat aku terdiam, dengan berusaha
mengendalikan perasaanku, aku pun bertanya dibawa kemana pasien tersebut ketika
meninggal dunia. Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien tersebut dibawa
oleh keluarganya, dan ia pun memberikan nama dan alamat keluarganya itu
kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas keluar dari
ruangan dan menuju keluar rumah sakit Soedarso. Dengan perasaan tidak karuan,
langsung saja aku pergi ke alamat yang telah diberikan oleh perawat penjaga,
yaitu di salah satu gang di jalan Putri Dara Hitam.
Sesampainya di gang tersebut, ku cari rumah yang
dimaksud. Rumah itu pun kudapatkan dan rupanya rumah itu sepi, tidak ada orang
didalamnya. Aku pun kemudian bertanya ke tetangga disebelahnya kemana orang
yang ada di rumah tersebut. Tetangga itu pun berkata bahwa orang yang tinggal
di rumah itu sedang berkerja dan nanti sekitar jam 11 malam baru pulang. Aku
pun kembali bertanya dimana tempatnya berkerja. Tetangga itu menjawab bahwa ia
berkerja di Jawi Ria di Sungai Jawi. Setelah mendapat jawaban tersebut,
aku pun berterima kasih dan langsung menuju ke Jawi Ria.
Sesampainya di Jawi Ria, aku langsung bertanya kepada
karyawan yang berkerja di tempat itu nama seseorang yang sedang aku cari.
Karyawan di Jawi Ria itu segera memanggil orang yang ku maksud. Orang yang ku
maksud itu pun keluar dan rupanya adalah Bibinya Zahara yang selama ia sakit
menjaganya di rumah sakit.
Ketika melihatku, Bibinya Zahara yang telah mengenalku
itu terlihat berusaha tersenyum, meskipun sangat jelas ia masih memendam
kesedihan. Aku pun langsung berkata bahwa aku tadi ke rumah sakit untuk
menjenguk Zahara dan ternyata Zahara telah meninggal dunia. Bibinya Zahara
dengan nada yang berusaha menahan perasaan membenarkan perkataanku itu, bahwa
Zahara telah meninggal dunia lebih dua minggu yang lalu.
Kembali aku bertanya dimana Zahara di makamkan.
Bibinya Zahara menjawab bahwa Zahara di makamkan di pemakaman depan Asrama
Hidayat, dan ia menjelaskan posisi makamnya di pemakaman itu.
Bibinya Zahara sepertinya melihat aku akan pergi ke
makamnya Zahara malam itu juga, ia pun dengan perlahan berkata sebaiknya aku
pergi besok saja karena sudah malam dan menunjukkan waktu hampir jam 9 malam.
Kembali ia berkata sebaiknya aku pulang saja dahulu,
besok baru pergi ke makamnya Zahara. Aku tidak dapat berkata apa-apa saat itu,
dan hanya dapat terdiam. Pikiranku sangat kacau saat itu, dan wajahku terlihat
sangat kalut.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia harus kembali
berkerja dan memintaku untuk pulang dan menenangkan diri. Aku pun mengiyakan
perkataan Bibinya Zahara itu. Aku segera pergi dari Jawi Ria. Namun aku tidak
langsung pulang ke rumah. Dengan motorku, aku berputar-putar melewati jalan di
wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat. Entah berapa kali aku hanya berputar-putar saja
melewati jalan itu dengan pikiran dan perasaanku yang kalut. Hingga kemudian
aku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku berusaha menenangkan diri di
dalam kamarku. Sambil memegang buku diari milik Zahara, aku hanya duduk
bersandar di tempat tidur. Hatiku pun sudah tidak sabaran menunggu pagi untuk
pergi ke makamnya Zahara. Malam itu aku tak dapat memejamkan mata apalagi untuk
tidur. Pikiranku masih terbayang-bayang wajah Zahara dan kenangan saat pertemuan pertamaku dengan
Zahara ketika di Masjid Al-Falah dahulu terus terbayang dalam ingatanku.
Rabu, 12 Mei 1999, selepas Sholat Shubuh aku telah
bersiap-siap untuk pergi melihat makam Zahara. Aku menunggu hingga langit
terlihat terang. Sepanjang malam aku gelisah dan tidak bisa tidur. Hingga jam
setengah lima pagi ku lihat langit telah terang. Aku pun bergegas pergi ke
makam Zahara di depan Asrama Hidayat.
Sesampainya di wilayah pemakaman, langsung ku cari
makamnya Zahara sesuai penjelasan Bibinya Zahara tadi malam. Makam yang masih
baru itu pun dari jauh telah terlihat. Dengan perasaan yang berkecamuk, aku pun
semakin berjalan mendekati makam itu dan terlihatlah tulisan pada nisan di
makam itu “Elisa Kharismawati”. Aku langsung terpaku melihat nisan itu. Dan
tanpa dapat sanggup ku bendung, air mataku pun tumpah. Aku benar-benar tidak
menyangka ini terjadi.
Dengan terisak, aku memanjatkan do’a bagi arwah
Zahara. Setelah berdo’a, cukup lama aku hanya dapat terdiam sambil tak berhenti
terisak memandang makam dan nisannya Zahara.
Hingga kemudian aku memegang nisannya dan berkata
bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian buku diarinya itu. Dan aku akan
mengisi buku diarinya itu hingga penuh.
Selanjutnya aku pergi dari makamnya Zahara, dan
meninggalkan wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat itu. Sepanjang jalan air
mataku tak berhenti keluar. Wajah Zahara dengan jilbabnya yang rapi terus
terbayang dalam pikiranku.
--- o0o ---
Untuk Zahara :
Di pusaramu aku hanya sanggup terdiam
Dengan air mata yang tumpah tanpa sanggup ku tahan
Nisan yang tertulis namamu berdiri tegak
Dan telah menumbangkan harapanku
Aku ambruk dengan kenyataan ini
Andai ku dapat memutar waktu
Andai ku dapat tentukan takdir
Ku ingin lebih lama mengenalmu
Meski kita telah berbeda dunia
Tapi kenangan bersamamu
Menjadi kenangan terindah dalam hidupku
Dan tak akan ku hapus namamu dari hatiku
Selamat jalan Zahara...
Semoga dirimu tenang di sisi-Nya
Dan aku akan selalu mendo’akanmu
Rabu, 12 Mei 1999
Pontianak, 10.00 malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar