DIARI
RINA 1997
Senin, 30 Desember 1996 malam, aku
resmi putus. Setelah dua tahun berpacaran sejak di kelas 2 SMA. Masih ku ingat
pertengkaran kami karena aku tidak bisa mewujudkan keinginan orang tuanya untuk
cepat-cepat menikah, karena aku masih kuliah semester satu. Maka kandaslah
semua mimpi yang akan dibangun bersama.
Malam tahun baru 1997, aku coba
datang ke rumahnya, hanya ingin meminta kepada orang tuanya agar aku diberi
kesempatan hingga selesai kuliahku untuk menikahinya. Aku ditemui ayahnya diluar
rumah dan hanya disampaikan saja bahwa dia sudah tidak ada di Pontianak. Aku
bertanya dengan nada mendesak kemana dia. Namun ayahnya tidak mau memberitahu
kemana dia. Aku bahkan disuruh pergi dan jangan lagi mencari-cari dia.
Kacau sekali perasaanku malam itu.
Marah, kesal, kecewa, semua campur aduk. Sulit terkatakan lagi. Dengan perasaan
berkecamuk, terpaksa aku pergi juga dari rumahnya. Malam tahun baru itu harus
ku lalui dengan perasan yang bergejolak. Bunyi riuh dan meriahnya kembang api
serasa sunyi bagiku.
Seminggu kemudian, ku coba datang ke
rumahnya. Tapi tidak dibukakan pintu, padahal ku tahu bahwa ada orang
dirumahnya. Minggu selanjutnya ku coba datang lagi, dan perlakuan yang sama ku
dapatkan, pintu rumahnya tidak terbuka untukku. Aku pun berusaha menahan diri.
Berusaha untuk tidak datang ke rumahnya dan berusaha melupakannya. Namun pada
bulan Februari 1997 gejolak hatiku tidak terbendung lagi. Aku coba datang lagi
ke rumahnya, dengan pengharapan ada yang membukakan pintu agar aku dapat bertanya
pergi kemana dia. Namun pengharapanku itu juga kandas, pintu rumahnya tetap
tidak terbuka untukku.
Akhir Maret 1997, aku dapat kabar
dari teman sekolahku yang akrab dengannya bahwa dia berada di Bandung dan telah
menikah. Bagai petir berita itu ku terima, seakan kakiku tidak jejak di bumi
lagi. Mataku terasa gelap, dan tak dapat mengendalikan diriku lagi. Dari teman
sekolahku itu ku dapatkan nomor telpon kakaknya di Bandung. Maka saat itu juga
aku pergi ke telpon umum dan menghubungi nomor tersebut.
Syukurlah telpon ku itu diangkat,
dan yang mengangkatnya adalah kakaknya yang tidak menyangka bahwa yang menelpon
adalah aku. Kakaknya sangat kaget setelah tahu bahwa yang menelpon adalah aku,
tetapi langsung ku desak untuk memberitahu keberadaanya. Karena terus ku desak
akhirnya berkata juga kakaknya bahwa dia telah menikah sebulan yang lalu dan
meminta aku untuk tidak lagi mencarinya. Telpon itu ditutup begitu saja oleh
kakaknya, sedang aku masih memegang telpon terdiam tak sanggup lagi berkata.
Cukup lama aku didalam telpon umum itu karena pikiranku kacau dan tubuhku
terasa sangat lemas. Hingga ada orang yang mengetuk pintu yang membuatku
tersadar karena rupanya telah lama menungguku keluar dari dalam ruangan telpon
umum itu.
------------------------
Mei 1997, fikiranku semakin kacau.
Telah sebulan aku bertingkah tak karuan, dan mulai mengenal rokok. Aku yang
baru mengenal rokok itu sehari habis 2 – 3 bungkus Gudang Garam Filter, hanya
untuk menyalurkan kacaunya fikiranku. Kuliahku pun berantakan. Aku jarang masuk
kuliah dan jarang pulang ke rumah. Inilah masa yang merubah cara hidupku.
Rabu, 7 Mei 1997, ku rasakan kecamuk
di jiwaku tak dapat ku kendalikan lagi, maka pergilah aku ke luar kota. Ku
kendarai motor Suzuki Jet Cooled ku tanpa tujuan. Motorku terus melaju dengan
pikiranku yang kacau. Hingga ketika aku sampai di Mempawah, maka terlintaslah
ingatan kepada Yudi, temanku di Pemangkat.
Yudi ku kenal waktu aku camping ke
Tanjung Batu di Pemangkat ketika sekolah dulu. Rumahnya berada di kawasan
Tanjung Batu. Maka langsung saja ku laju motorku menuju Pemangkat sambil
berharap Yudi masih tinggal disana dan masih ingat denganku.
------------------------
Menjelang sore aku tiba di Tanjung
Batu Pemangkat. Motorku langsung menuju rumah Yudi yang arah jalannya berusaha
ku ingat. Meski sempat kebingungan, namun dengan bertanya pada penduduk, sampai
juga aku dirumah Yudi. Syukurnya Yudi masih tinggal disana dan orangtuanya
masih mengingat ku.
Orangtua Yudi dengan keramahannya
bertanya tentang kabarku, dan ku jawab saja bahwa aku baik-baik saja dan datang
ingin berlibur. Orangtuanya dengan senang hati menerimaku namun Yudi pada saat
itu sedang memancing di Tanjung Batu jadi ditunggu saja karena sebelum Maghrib
biasanya sudah pulang. Maka berbincang-bincanglah aku dengan orangtua Yudi
sambil menunggunya pulang. Dan betul saja, sebelum Maghrib Yudi pulang ke
rumah. Yudi yang masih mengingatku sempat kaget juga melihat aku ada di
rumahnya. Kami kemudian saling bertanya kabar satu sama lain, dan ku sampaikan
bahwa aku ingin berlibur di tempatnya. Sama seperti orangtuanya, Yudi sangat
senang aku berlibur di tempatnya.
Setelah berbincang-bincang sesaat,
Yudi membawaku ke kamarnya. Ku simpan tasku, dan ku ikuti Yudi untuk mandi
karena hari hampir Maghrib. Setelah mandi ku ikuti Yudi Sholat Maghrib di Surau
dekat rumahnya. Kami di Surau itu hingga Isya’. Sambil menunggu Isya’ kami
berbincang-bincang berbagai hal termasuk ku ceritakan masalahku hingga aku
berada di tempatnya. Yudi tertawa dan hanya bisa berkata bahwa aku harus bersabar
menghadapi masalah tersebut.
------------------------
Selepas Sholat Isya’ di Surau, Yudi
mengajakku makan malam karena ibunya telah menyiapkan makan malam. Setelah
makan malam, Yudi mengajakku bermain ke Tanjung Batu agar aku terhibur karena
jika malam di Tanjung Batu ramai pemuda pemudi yang berkumpul di tepi pantai
Tanjung Batu. Aku mengikutinya saja karena memang aku perlu hiburan agar lupa
masalah yang sedang ku alami.
Setibanya di tepi pantai Tanjung
Batu, kami duduk di tumpukan batu besar yang banyak disana. Belum lama kami
duduk dan berbincang-bincang, rupanya tidak jauh dari kami duduk ada beberapa
teman wanita Yudi yang sedang bersantai dan memanggil Yudi untuk bergabung
dengan mereka. Yudi mengajakku untuk menghampiri teman-teman wanitanya itu,
namun aku enggan mengikutinya. Aku katakan bahwa aku ingin duduk sendiri dulu
sambil menikmati malam di tepi pantai. Yudi memahaminya, dan berpesan agar aku
tidak kemana-mana, duduk disitu saja agar dia bisa melihatku. Aku pun
mengiyakan pesan Yudi itu.
Beberapa saat aku duduk sendiri
sambil memandang laut dan bergelut dengan fikiranku sendiri. Sangat terdengar
jelas canda tawa Yudi bersama teman-teman wanitanya. Telah beberapa kali Yudi
melambaikan tangannya memanggilku untuk bergabung dengan teman-teman wanitanya
tapi aku hanya menjawab dengan isyarat tangan saja bahwa aku masih ingin duduk
sendiri di tempat itu.
Hingga ku rasakan bosan, dan ku
lihat tidak jauh dari tempatku duduk ada sebuah pondok kosong bekas tempat
orang berjualan. Hatiku pun tergerak untuk duduk di pondok itu. Maka pindahlah
aku ke pondok tersebut. Yudi meskipun asyik bercanda tawa dengan teman-teman
wanitanya, namun ia terus mengawasiku dan memberi isyarat agar aku tidak pergi
kemana-mana. Aku pun dengan isyarat memberitahu bahwa aku pindah duduk di
pondok yang tidak jauh dari tempatku semula dan tidak jauh juga dari tempatnya
berkumpul. Yudi dengan isyarat mengiyakan aku untuk berpindah duduk karena aku
masih bisa dilihatnya dari tempatnya berkumpul.
Untuk beberapa waktu aku duduk di
pondok itu. Angin pantai yang kencang dan deru ombak menjadi irama yang
menghibur hatiku. Hingga tanpa ku sadari, telah berdiri seorang wanita di bawah
ujung atap daun pondok tersebut. Aku berusaha untuk tidak menghiraukannya.
Beberapa kali kami saling berpandangan. Hingga ku lihat wanita itu berjalan
memasuki pondok tempat ku duduk. Dengan nada lembut dan ramah ia meminta izin
untuk menumpang duduk juga di pondok tersebut. Aku pun mempersilahkannya.
Wanita itu pun duduk tidak jauh dari tempatku duduk.
Untuk beberapa saat kami saling
diam. Hingga wanita itu membuka pembicaraan mengapa aku sendiri di pondok itu.
Aku katakan bahwa aku tidak sendiri. Aku bersama temanku yang sedang berkumpul
dengan teman-teman wanitanya tidak jauh dari tempatku sambil menunjukkan tempat
mereka. Ku lihat wanita itu tersenyum. Kemudian ia memperkenalkan diri, Rina
namanya, dia sedang menghibur diri ditempat itu. Aku juga memperkenalkan diri
dan menjawab yang sama bahwa aku juga sedang menghibur diri. Selanjutnya aku
dan Rina larut dalam perbincangan yang akrab.
Cukup lama aku berbincang-bincang
dengan Rina. Hingga ku lihat Yudi berjalan menghampiri pondok tempat ku duduk.
Ketika telah mendekatiku, Yudi bertanya mengapa betah duduk sendiri di pondok
itu. Aku tertawa dan berkata bahwa aku tidak sendiri, sambil menunjuk ke arah
tempat Rina duduk yang tidak jauh dari ku. Namun tawaku terhenti, karena ku
lihat Rina sudah tidak ada lagi disitu. Yudi yang ikut menolah ke arah yang ku
tunjuk jadi terdiam, karena dia juga tidak melihat siapa-siapa disitu. Kami
berdua hening sejenak, kemudian Yudi tertawa sambil berkata kalau putus cinta
jangan sampai putus akal. Sambil terus bercanda agar suasana tidak mencekam,
Yudi kemudian mengajakku pulang.
Meski Yudi terus bercanda sepanjang
pulang ke rumahnya, namun aku masih bertanya-tanya kemana Rina yang duduk
bersamaku di pondok itu. Jika ia pergi, mengapa tidak ku lihat ia keluar dari
pondok itu. Dan mengapa ia tidak bilang jika akan pergi. Berbagai pertanyaan
memenuhi pikiranku.
------------------------
Hampir jam 12 malam aku dan Yudi
sampai di rumahnya. Rumahnya telah sepi. Orangtua dan saudara-saudaranya telah
tidur. Kami pun langsung ke kamar, dan masih melanjutkan berbincang-bincang
tentang kejadian yang ku alami bertemu Rina. Yudi mengatakan bahwa kejadian
seperti ini hanya bisa ditanyakan kepada pamannya, yaitu Pak Ngah Sanif.
Pak Ngah Sanif adalah adik ibunya
Yudi. Pak Ngah Sanif memiliki kemampuan supranatural. Aku kenal dengan Pak Ngah
Sanif, karena dulu waktu aku dan teman-temanku camping di Tanjung Batu, Pak
Ngah Sanif yang menyuruh kami pindah lokasi membangun tenda karena dikatakan
oleh Pak Ngah Sanif tidak aman untuk tempat camping. Pak Ngah Sanif kemudian
menunjukkan tempat teraman untuk kami camping. Pak Ngah Sanif lah yang menyuruh
Yudi, keponakannya, untuk menemani selama kami camping di Tanjung Batu. Inilah
awal mula aku mengenal Yudi dan keluarganya.
Setelah cukup lama kami
berbincang-bincang, akhirnya kami tertidur. Namun belum lama ku terlelap, ku
rasakan ada yang membangunkanku dengan menggoyang-goyangkan telapak kakiku. Aku
pun terbangun untuk melihat siapa yang menggoyang-goyangkan telapak kakiku.
Tapi tak ku lihat siapa pun. Sempat ku kira Yudi yang membangunkanku, namun ku
lihat Yudi sedang terlelap.
Aku pun berusaha untuk tidak
menghiraukannya, dan kembali berusaha untuk tidur. Cukup lama aku berusaha
untuk tidur. Fikiranku yang dipenuhi hal-hal yang tidak karuan berusaha ku
alihkan dengan memikirkan hal-hal yang positif. Hingga akhirnya aku terlelap
juga. Namun antara sadar dan tidak, aku merasakan ada yang membangunkanku
dengan menggoyang-goyangkan tanganku.
Kurasakan saat itu mataku terbuka,
dan terlihatlah olehku bahwa yang telah menggoyang-goyangkan tanganku itu
adalah Rina, wanita yang barusan ku kenal di pondok tepi pantai Tanjung Batu.
Rina dengan tersenyum terus menggoyang-goyangkan tanganku untuk menyuruhku
bangun. Meski mataku terbuka, namun aku tak dapat menggerakkan tubuhku. Aku
juga berusaha untuk bersuara, tapi tak juga mampu untuk bersuara.
Masih antara sadar dan tidak, dengan
kondisi mata terbuka dan tubuh yang tidak bisa di gerakkan serta tidak dapat
bersuara, terlihat olehku Rina mendekatkan wajahnya ke telingaku dan
membisikkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang dibisikkannya itu. Karena yang ku
rasakan ada suara dengingan yang masuk ke telingaku. Suara dengingan itu terasa
ngilu di telingaku, dan menjalar ke kepala dan sekujur tubuhku. Terasa ngilu
sekali. Aku berusaha untuk bangun dan berteriak, tetapi tak mampu ku lakukan.
Tubuh dan lidahku benar-benar kaku.
Kemudian ku teringat pada bacaan
ayat Kursi, dan ku baca dalam hati, maka suara berdenging di telingaku dan rasa
ngilu di sekujur tubuhku mulai berkurang. Ayat Kursi itu pun ku baca
berulang-ulang dalam hati, hingga akhirnya dapat juga ku gerakkan kakiku, yang
kemudian dapat bergerak juga tubuhku. Maka dengan cepat aku bangun. Sambil
duduk diatas tempat tidur, aku berusaha mengendalikan diriku. Terasa jantungku
berdetak kencang, nafasku tersengal seakan barusan berlari jauh, telingaku
masih berdenging dan terasa ngilu.
Dengan sekuatnya aku berusaha
mengendalikan diri, ayat Kursi ku baca berulang-ulang dengan mulut yang telah
dapat ku gerakkan. Mataku kesana kemari mencari Rina yang tidak lagi terlihat
oleh mataku di kamar Yudi. Sempat terlintas hendak membangunkan Yudi, namun ku
lihat Yudi sangat lelap tidurnya, maka tidak jadilah aku membangunkan Yudi.
Setalah lama berusaha mengendalikan
diri, akhirnya ku rasakan diriku telah tenang. Mataku masih kesana kemari
melihat ke setiap sudut kamar barangkali masih ada Rina di kamar itu, namun
Rina tidak lagi terlihat oleh mataku. Cukup lama aku hanya duduk diatas tempat
tidur, hingga kemudian kembali ku rebahkan tubuhku.
Saat itu aku berusaha untuk tidak
tidur karena khawatir kejadian tadi berulang. Mataku masih melihat kesana
kemari, dan mulutku masih terus membaca ayat Kursi dan ayat-ayat lain yang ku
ketahui. Entah berapa lama aku terjaga malam itu, hingga akhirnya aku terlelap
juga.
Namun kemudian aku terbangun karena
mendengar suara Yudi yang mengajakku untuk bersiap-siap sholat Shubuh ke Surau
sambil ia menepuk-nepuk bahuku. Dengan perasaan lemas ku buka mataku dan
langsung bangun. Tanpa banyak berkata, ku ikuti Yudi untuk bersiap-siap sholat
Shubuh ke Surau. Setelah bersiap, kami selanjutnya turun ke Surau untuk
menunaikan Sholat Shubuh.
------------------------
Kamis, 8 Mei 1997, setelah sarapan
pagi, aku diajak Yudi memancing di Tanjung Batu. Ketika sarapan pagi, Yudi dan
orangtuanya sempat bertanya bagaimana tidurku tadi malam, dan apakah bermimpi sesuatu.
Aku yang tidak ingin membahas kejadian yang ku alami ketika aku tidur tadi
malam hanya menjawab tidurku nyenyak dan tidak mimpi apa-apa. Mendengar
jawabanku itu terlihat Yudi dan orangtuanya sangat senang.
Hari itu kurasakan cuaca sangat
terik. Barangkali karena aku sedang lemas akibat kurang tidur sehingga ku
rasakan panas sekali. Angin pantai yang bertiup kencang pun tak mampu
menghilangkan panas yang ku rasakan. Hingga ku rasa tak sanggup dengan cuaca
panas siang itu, aku kemudian berkata kepada Yudi untuk mencari tempat
berteduh. Yudi yang sedang asyik memancing mengiyakan keinginanku itu, namun ia
tetap berpesan agar aku tidak jauh-jauh mencari tempat untuk berteduh. Aku
mengiyakan pesan Yudi tersebut.
Selanjutnya aku mencari tempat untuk
berteduh yang tidak jauh dari tempat Yudi sedang memancing. Mataku pun tertarik
pada sebuah pohon rindang di tepi pantai. Aku kemudian pergi ke pohon rindang
itu dan duduk dibawahnya. Ku lihat Yudi terus memperhatikanku untuk tahu kemana
aku pergi. Setelah dia tahu dimana aku berteduh dan tempatnya tidak jauh dari
tempatnya memancing, Yudi melanjutkan memancing.
Dibawah pohon rindang itu mulai
kurasakan mengantuk akibat tadi malam kurang tidur. Dan angin pantai yang
kencang makin membuaikan mataku untuk terpejam. Dalam kondisi telah mengantuk
berat, tahu-tahu mataku melihat Rina sedang duduk dibawah sebuah pohon yang
jaraknya tidak jauh dari tempat ku sedang duduk. Langsung saja mataku yang
sedang mengantuk berat itu hilang.
Rina yang berkulit putih, rambutnya
sebahu dengan bendo merah di kepalanya, memakai baju kaos putih bergambar dan
celana jeans biru ketat terus memandangku sambil tersenyum. Mataku yang telah
hilang mengantuknya itu terus tertuju kepada Rina. Hingga ku lihat Rina
melambaikan tangannya memanggilku. Aku sempat menolak dengan isyarat tangan
untuk menghampirinya. Namun Rina terus menerus melambaikan tangannya
memanggilku. Entah apa yang ku fikirkan, akhirnya aku bangun dan berjalan
menghampiri pohon tempat Rina sedang duduk dibawahnya.
Ketika telah tiba di bawah pohon
tersebut, aku langsung duduk di dekat Rina. Aku langsung bertanya, kemana Rina
tadi malam ketika duduk bersamaku di dalam pondok, mengapa tidak bilang jika
akan pergi. Rina menjawab bahwa ia ada bilang untuk pergi dari pondok itu tadi malam,
tapi karena aku sedang berbicara dengan temanku sehingga tidak mendengarnya dan
tidak melihatnya keluar dari pondok itu. Senyum Rina yang ramah dan suaranya
yang lembut itu telah menguasai jiwaku sehingga aku percaya dengan
perkataannya. Selanjutnya kami larut dalam perbincangan sambil sesekali
tertawa.
Hingga Rina berkata bahwa ia haus
dan ingin minum air kelapa muda, maka ku bawalah ia mencari tempat orang
berjualan air kelapa muda. Di tepi pantai Tanjung Batu banyak terdapat
pondok-pondok yang disediakan bagi pengunjung yang ingin membeli makanan dan
minuman. Kami pun kemudian duduk pada sebuah pondok yang jaraknya beberapa
meter dari pohon tempat kami duduk.
Selanjutnya aku memberi tanda kepada
seorang bapak penjual air kelapa muda yang berada tidak jauh dari pondok tempat
kami duduk. Bapak penjual kelapa muda itu segera datang menghampiri dan
bertanya ingin pesan apa. Maka ku jawab bahwa aku pesan kelapa muda dua buah.
Mendengar jawabanku itu si Bapak tertawa, sambil bergurau ia bertanya apakah aku
sangat haus sehingga memesan kelapa muda hingga dua buah. Aku yang masih belum
mengerti maksud gurauan si Bapak itu menjawab saja bahwa aku pesan kelapa muda
dua buah untuk dua orang. Spontan ekspresi wajah si Bapak berubah dan terlihat
bingung dengan jawabanku itu.
Si Bapak kemudian mengulang lagi
pertanyaannya dengan wajah serius apakah aku pesan kelapa muda satu atau dua.
Kembali ku jawab bahwa aku pesan kelapa muda dua buah. Si Bapak yang sepertinya
tidak ingin makin bingung kemudian mengiyakan saja pesananku itu.
Selanjutnya si Bapak bertanya lagi
apakah aku ingin memesan makanan. Aku pun langsung bertanya kepada Rina yang
duduk disampingku apakah ia lapar dan ingin makan. Rina hanya menggelengkan
kepalanya saja sebagai tanda bahwa ia tidak lapar dan tidak ingin memesan
makanan.
Si Bapak yang melihatku berbicara
pada seseorang terlihat semakin bingung dan bertanya bahwa aku sedang berbicara
dengan siapa. Aku yang masih belum mengerti maksud pertanyaan si Bapak menjawab
bahwa aku sedang bertanya kepada temanku dan ia mengatakan tidak ingin memesan
makanan, ia hanya memesan kelapa muda saja.
Mendengar jawabanku itu, terlihat
kening si Bapak makin berkerut. Wajahnya sangat terlihat bingung. Namun ia
tidak berkata apa-apa lagi. Si Bapak terus pergi sambil beberapa kali menoleh
ke arahku.
Tak berapa lama si Bapak datang, dan
membawa satu saja kelapa muda yang sudah dibuka ujungnya dengan pipet untuk
menghisap airnya dan sendok untuk memakan isinya. Satu buah kelapa muda itu pun
diletakkan di meja dihadapanku. Karena kulihat hanya satu saja yang dibawa oleh
si Bapak, aku pun bertanya mana yang satunya lagi. Si Bapak dengan wajah dan
nada sangat serius kembali bertanya agar yakin bahwa aku memang pesan kelapa
muda dua buah. Aku dengan serius kembali menjawab bahwa aku pesan kelapa muda
dua buah. Dengan ekspresi wajah tidak karuan si Bapak langsung pergi dan tidak
lama kemudian datang lagi membawa satu lagi kelapa muda. Tanpa berkata apa-apa
dan tidak ingin melihat wajahku si Bapak meletakkan kelapa muda itu di mejaku
dan langsung meninggalkanku. Aku yang masih belum mengerti dengan tingkah si
Bapak kemudian menggeser kelapa muda itu ke dekatku karena kelapa muda yang
sebelumnya telah ku berikan kepada Rina.
Selanjutnya sambil menikmati air
kelapa muda siang itu aku dan Rina menyambung pembicaraan. Tak lama kemudian ku
lihat Yudi datang sambil membawa peralatan pancingnya menghampiri pondok tempat
aku dan Rina sedang duduk. Sesampainya di pondok, dengan nada bercanda Yudi
langsung berkata bahwa ia mencariku dan rupanya aku sedang duduk sendiri di
pondok itu. Aku pun hanya menjawab dengan tertawa saja. Yudi kemudian
menyambung candaannya bahwa aku ini sangat haus sekali sehingga memesan kelapa
muda hingga dua buah. Aku yang akan menjawab perkataan Yudi itu menoleh kesampingku,
tapi Rina yang sebelumnya duduk disampingku sudah tidak ada lagi. Sontak aku
terdiam dan ekspresi wajahku langsung berubah.
Yudi yang melihat perubahan ekspresi
wajahku langsung berubah serius setelah sebelumnya bercanda. Dengan wajah agak
tegang Yudi bertanya aku dengan siapa. Ku jawab saja bahwa aku bersama Rina
yang tadi malam ku kenal di pondok, tapi tahu-tahu sudah tidak ada, padahal
tadi sedang duduk disampingku.
Mendengar jawabanku itu, Yudi yang
sepertinya telah menduga apa yang sedang terjadi padaku langsung mengambil
kelapa muda yang telah diminum Rina. Kelapa muda itu telah kosong, dan
didalamnya terlihat sangat kering seakan-akan telah terpanaskan oleh sesuatu
yang membuat isi didalamnya mengering. Yudi kemudian mencium pipet dan sendok
yang bekas dipakai Rina. Langsung saja ia berkata bahwa pipet dan sendok
tersebut berbau anyir darah.
------------------------
Aku yang tidak mengerti maksud Yudi
itu hanya diam saja. Selanjutnya Yudi mengajakku cepat-cepat pulang. Aku pun
berkata kepada Yudi bahwa aku ingin membayar dua buah kelapa muda yang telah ku
minum itu. Yudi hanya menganggukkan kepalanya saja.
Aku dan Yudi kemudian
menghampiri Bapak penjual kelapa muda. Si Bapak terlihat ekspresi wajahnya
memandang aneh kepadaku. Yudi rupanya mengenal Bapak tersebut.
Setelah ku bayar dua buah
kelapa muda itu, Yudi yang mengenal Bapak tersebut langsung membawa si Bapak
agak menjauh dariku. Terlihat mereka berdua sedang membicarakan sesuatu yang
sangat serius sambil beberapa kali melirikku.
Setelah berbicara dengan si
Bapak yang aku tidak tahu apa yang telah mereka bicarakan, Yudi kemudian
mengajakku pulang. Sepanjang perjalanan pulang Yudi hanya diam, tidak ada
sepatahpun candaan yang keluar dari mulutnya. Langkahnya pun sangat cepat
seakan-akan ada yang dikejarnya untuk segera sampai di rumah.
Sebelum ke rumah, Yudi
mengajakku untuk singgah ke Surau terlebih dahulu yang jaraknya tidak jauh dari
rumahnya karena kami belum sholat Zhuhur. Aku mengiyakan ajakan Yudi itu karena
hari pun telah lewat tengah hari.
Selesai sholat Zhuhur, kami
langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ibu Yudi langsung menyuruh kami
makan siang yang telah disiapkannya dari tadi. Kami menyantap makan siang itu.
Selama makan, Yudi tidak berkata sepatah kata pun.
Setelah makan siang Yudi
menyuruhku untuk istirahat siang, dan ia menyuruhku tidur di ruang tengah,
jangan tidur di kamarnya, dengan alasan agar aku tidur dapat dilihat dan dijaga
oleh orangtuanya. Aku yang tidak mengerti maksud Yudi itu mengikut saja.
Selanjutnya Yudi langsung
membentang tikar pandan di ruang tengah rumahnya dan meletakkan bantal
diatasnya. Ia kemudian menyuruhku untuk berbaring disitu. Aku pun langsung
merebahkan tubuhku. Sedangkan Yudi dan ibunya duduk tidak jauh dari tempatku
berbaring. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius
dengan suara pelan yang dijaga agar tidak terdengar olehku.
Karena aku kurang tidur
tadi malam sehingga mataku langsung mengantuk. Aku pun tidak hirau dengan apa
yang sedang dibicarakan antara Yudi dan ibunya. Aku langsung terlelap.
Entah berapa lama aku
terlelap siang itu, tahu-tahu terdengar oleh telingaku suara orang yang sedang
berbincang-bincang. Mataku pun terbuka, dan ku lihat telah ada Pak Ngah Sanif
di dekatku sedang berbincang-bincang dengan ayah Yudi yang rupanya telah pulang
kerja. Ayah Yudi ini bekerja sebagai buruh di pasar Pemangkat.
Di dekat Pak Ngah Sanif
terlihat sebuah piring putih polos dengan dua butir sahang diatasnya, segelas
air putih yang tertutup dan sebotol minyak berwarna gelap.
Sedangkan di sudut ruangan
ku lihat Yudi dan ibunya sedang duduk menyandar ke dinding papan ruang tengah
tersebut sambil memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dibicarakan Pak
Ngah Sanif dan ayah Yudi. Ekspresi wajah Yudi dan ibunya sangat tegang sekali.
Rupanya ketika aku tidur,
Yudi pergi ke rumah Pak Ngah Sanif untuk membawanya ke rumahnya sekalian
singgah ke pasar memberitahukan ayahnya untuk segera pulang.
Melihat aku telah bangun,
Pak Ngah Sanif langsung memijit-mijit telapak tanganku sambil berkata agar aku
tidur lagi saja jika masih mengantuk. Aku berkata sudah tidak ngantuk lagi. Aku
langsung duduk dan menyalami serta mencium tangan Pak Ngah Sanif.
Pak Ngah Sanif kemudian
menanyakan kabarku dan bagaimana perasaanku selama berlibur di tempat itu. Ku
jawab bahwa kabarku baik-baik saja dan aku senang liburan di tempat itu.
Selanjutnya Pak Ngah Sanif
bertanya apakah bahuku pegal, ku jawab bahwa bahuku terasa sangat pegal.
Mendengar jawabanku itu, Pak Ngah Sanif langsung menggeser tubuhnya dibelakangku
dan menekan salah satu bagian di bahuku. Ketika jari Pak Ngah Sanif menekan
bagian tersebut, tubuhku langsung bereaksi.
Tubuhku langsung melengkung
dan tanganku memegang telinga kiriku yang terasa sangat sakit. Melihat reaksiku
itu Pak Ngah Sanif bertanya apa nya yang sakit. Ku jawab bahwa telinga kiriku
sangat sakit. Pak Ngah Sanif kemudian menggeser tubuhnya ke arah kakiku sambil
mengambil piring putih polos yang terdapat dua butir sahang di atasnya.
Setelah berada di dekat
telapak kakiku, Pak Ngah Sanif meletakkan kembali piring putih itu dan
mengambil sebutir sahang sambil dibacakannya sesuatu. Selesai ia membaca,
sebutir sahang itu di tempelkannya pada ibu jari kakiku dan di tekannya kuat
sekali. Tubuhku pun langsung menggeliat dan ku katakan sakit sekali telinga dan
tubuhku. Pak Ngah Sanif yang seakan tidak menghiraukan sakit yang ku rasakan
kemudian menarik jari jempolnya yang menekan ibu jari kakiku dengan gerakan
yang seakan-akan sedang menarik sesuatu dengan sekuat tenaganya. Terlihat olehku
sahang yang sebelumnya utuh itu telah hancur.
Setelah Pak Ngah Sanif
melakukan gerakan yang seperti menarik sesuatu, langsung ku rasakan seperti ada
sesuatu yang tertarik dari tubuhku. Kepalaku terasa ringan, mataku terasa
terang dan pegal di tubuhku hilang.
Selanjutnya Pak Ngah Sanif
mengambil sebutir lagi sahang dan dibacakannya sesuatu. Selesai membaca, ia
berpindah meletakkannya ke kuku ibu jari kaki kiriku dan langsung ditekannya
kuat sekali. Aku pun kembali menggeliat karena merasa kesakitan namun sakit
yang kurasakan tidak sesakit ketika ia menekan ibu jari kaki kananku.
Ketika menekan ibu jari
kaki kiriku, Pak Ngah Sanif melakukan gerakan yang sama yaitu seperti menarik
sesuatu dengan sekuat tenaganya. Langsung saja ku rasakan kepala dan tubuhku menjadi
semakin ringan dan pandangan mataku semakin terang. Selanjutnya Pak Ngah Sanif
mengambil segelas air putih yang telah dipersiapkan. Segelas air putih itu
dibacakannya sesuatu yang kemudian disuruhnya aku meminumnya hingga habis.
Aku menuruti saja apa yang
disuruh oleh Pak Ngah Sanif. Segelas air putih itu ku pinum hingga habis.
Selanjutnya Pak Ngah Sanif mengambil minyak berwarna gelap dalam sebuah botol
yang dibawanya. Minyak itu di oleskan ke tangannya, kemudian ia mulai mengurut
tengkuk hingga ke belikatku. Sambil mengurut ia berbincang-bincang berbagai hal
yang tidak ada hubungannya dengan yang sedang terjadi padaku. Yudi dan
orangtuanya juga ikut dalam perbincangan itu seperti hendak mengalihkan
pikiranku agar tidak kepikiran dengan apa yang sedang terjadi padaku. Aku hanya
diam saja dan menjadi pendengar yang baik sambil menikmati urutan yang
dilakukan Pak Ngah Sanif pada leher dan belikatku.
Hampir setengah jam Pak
Ngah Sanif mengurut leher dan belikatku. Setelah mengurutku, Pak Ngah Sanif
mengajak Yudi dan aku untuk sholat Ashar bersama-sama karena waktu sudah hampir
jam 5 sore. Kami pun langsung pergi ke Surau yang tidak jauh dari rumah Yudi.
Ayah Yudi ikut serta ke
Surau karena rupanya belum juga menunaikan sholat Ashar lantaran mereka menjagaku
selama aku tidur tadi. Ketika kami sholat Ashar, Pak Ngah Sanif yang menjadi
imamnya. Setelah sholat Ashar, kami kembali ke rumah. Dan Pak Ngah Sanif
berkata bahwa ia akan menginap di rumah Yudi hingga aku merasa puas berlibur di
tempat itu. Kami pun selanjutnya menyambung perbincangan di rumah Yudi.
---------------
Selepas makan malam, aku,
Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya bersantai di depan rumah Yudi. Setelah
cukup lama kami mengobrol santai, datang beberapa orang teman Yudi yang
mengajaknya bersantai ke pantai Tanjung Batu. Yudi kemudian meminta izin Pak
Ngah Sanif untuk membawaku ikut bersantai juga ke pantai Tanjung Batu. Pak Ngah
Sanif mengizinkan namun ia ingin ikut serta untuk menjagaku. Kami pun
selanjutnya berjalan ke pantai Tanjung Batu.
Di pantai Tanjung Batu kami
singgah ke sebuah pondok jualan milik temannya Pak Ngah Sanif. Orang-orang di
pantai Tanjung Batu hampir merata kenal dengan Pak Ngah Sanif. Karena jika ada
kejadian aneh yang menimpa pengunjung Tanjung Batu, Pak Ngah Sanif lah yang
selalu mereka panggil untuk menyelesaikan hal tersebut.
Di pondok jualan yang tak
berdinding milik temannya Pak Ngah Sanif ini kami duduk santai. Yudi dan
teman-temannya bersantai di tumpukan batu besar diluar pondok. Aku duduk
didalam pondok menghadap ke pantai yang penuh dengan tumpukan batu besar, dan
Pak Ngah Sanif duduk berjarak satu meja dibelakangku bersama temannya, si
pemilik pondok jualan itu. Pak Ngah Sanif terlihat sangat asyik mengobrol
dengan temannya itu.
Aku sangat menikmati
suasana malam di tepi pantai saat itu. Suara ombak dan tiupan angin seperti
alunan musik yang menghibur hatiku. Untuk beberapa saat aku hanyut dalam
suasana. Hingga mataku tertuju pada sebuah batu besar didepan yang tidak jauh
dari pondok tempatku duduk. Ku lihat Rina sedang berdiri diatas batu besar itu.
Tubuhnya membelakangi laut, dan memandangiku sambil tersenyum. Selanjutnya ku
lihat Rina melambaikan tangannya memanggilku.
Seakan jiwaku telah
terkuasai oleh senyum dan lambaian tangannya, aku pun hendak berdiri untuk
pergi menghampirinya. Namun ku rasakan tubuhku berat sekali seperti ada sesuatu
yang menahannya sehingga aku tidak dapat berdiri.
Aku terus mencoba untuk
berdiri, namun tetap tidak bisa. Karena aku tidak juga menghampirinya sehingga
ku lihat Rina bergerak perlahan ke arahku. Ku rasakan mataku saat itu tidak
bisa berpaling dari tatapan matanya. Rina yang berambut sebahu dengan hiasan
bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan celana jeans biru
ketat perlahan-lahan bergerak semakin mendekatiku.
Hingga semakin dekat
kulihat Rina secara perlahan berubah. Kulitnya yang putih itu terlihat dipenuhi
darah. Di leher sebelah kirinya terlihat luka yang menganga sangat besar.
Terlihat darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan
terlihat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan
celananya juga dipenuhi darah. Tangan kirinya terlihat hampir putus. Jari-jari
tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah.
Pada dada sebelah kanan terlihat luka yang juga menganga, begitu juga pada
pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang
bercucuran.
---------------
Seketika itu juga ku
rasakan ubun-ubun dan tengkukku terasa dingin, dan semakin dingin ketika ku lihat
Rina yang telah berubah sangat menakutkan bergerak perlahan semakin
mendekatiku. Rasa dingin itu kemudian menjalar ke seluruh tubuhku hingga ke
ujung kakiku. Jantungku seakan berhenti berdetak dan aku sulit bernafas karena
seperti tertahan sesuatu. Tubuhku terasa sangat tegang dan kaku serta pandangan
mataku tetap tertuju kepada tatapan matanya yang telah berubah sangat tajam dan
mengerikan. Aku benar-benar tidak bisa mengedipkan mataku apalagi
memalingkannya.
Ketika Rina yang terlihat
sangat mengerikan itu hampir mendekatiku, tiba-tiba saja pandangan mataku
tertutup sesuatu dan tengkukku terasa panas. Rupanya Pak Ngah Sanif yang
mengetahui sedang terjadi susuatu padaku langsung bergerak cepat menutup mataku
dengan tangannya dan tangannya yang satunya lagi menekan tengkukku. Meski Pak
Ngah Sanif asyik mengobrol dengan temannya itu, ia terus mengawasiku sehingga
ia tahu bahwa sedang terjadi sesuatu padaku.
Pak Ngah Sanif sambil
menutup mataku dan menekan tengkukku, kemudian membacakan sesuatu ke ubun-ubunku
sehingga ubun-ubunku terasa panas dari yang sebelumnya terasa sangat dingin.
Setelah selesai membacakan sesuatu ke ubun-ubunku, Pak Ngah Sanif menarik
tangannya yang menutupi mataku ke arah bawah. Bersamaan dengan tarikan
tangannya ke arah bawah, maka ku rasakan seperti ada hawa panas yang mengalir
ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku sehingga hilanglah hawa dingin yang
ku rasakan sebelumnya. Jatungku yang terasa terhenti langsung berdetak kencang,
begitu juga nafasku langsung berderu dengan cepat.
Rina yang wujudnya sangat
menakutkan tidak terlihat lagi dalam pandanganku. Pandangan mataku pun sudah
dapat ku alihkan dan tubuhku dapat di gerakkan, meski jiwaku masih ku rasakan linglung
dan jantungku masih terasa berdetak kencang. Nafasku pun masih turun naik
dengan cepat.
Setelah yakin bahwa aku
telah sadar, Pak Ngah Sanif langsung memegang tanganku dan segera membawaku
pulang. Yudi dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di luar pondok dan
melihat hal tersebut langsung menghentikan obrolan mereka. Mereka tanpa banyak
berkata langsung mengikuti Pak Ngah Sanif yang berjalan cepat menarik tanganku
untuk membawaku pulang. Saat itu aku masih merasakan linglung.
Kami tanpa sempat
berpamitan dengan pemilik pondok jualan tempat kami bersantai langsung pergi
begitu saja. Tapi pemilik pondok sangat mengerti situasi demikian karena para
penjual di kawasan Tanjung Batu sangat mengenal Pak Ngah Sanif dan mengerti
jika Pak Ngah Sanif berbuat demikian berarti ada sesuatu yang membahayakan
pengunjung kawasan wisata tersebut.
Pak Ngah Sanif dengan
menarik tanganku dan tidak di lepaskannya, berjalan cepat membawaku pulang ke
rumah. Sesampainya di rumah, Pak Ngah Sanif langsung menyuruh ibunya Yudi
mempersiapkan air satu ember. Setelah siap air satu ember itu, tanpa membuka
pakaianku Pak Ngah Sanif langsung memandikanku.
Ketika akan memandikanku,
Pak Ngah Sanif membacakan sesuatu sambil memegang timba yang berisi air yang
diambilnya dari ember tersebut. Selanjutnya ia menyiramkan air ke bagian tengah
tubuhku sebanyak tiga kali, dan ke arah kanan dan kiri tubuhku masing-masing
tiga kali. Selesai Pak Ngah Sanif memandikanku, linglung yang ku rasakan
hilang. Jantung dan nafasku normal kembali. Aku merasa benar-benar telah sadar
sepenuhnya.
Setelah Pak Ngah Sanif
memandikanku, aku disuruhnya mengganti pakaianku yang basah. Aku menurutinya
dan mengganti pakaianku. Setelah itu aku duduk di ruang tengah bersama Pak Ngah
Sanif, Yudi dan orangtuanya. Pak Ngah Sanif kemudian bertanya kepadaku apa yang
telah ku lihat tadi. Aku pun menjelaskan bahwa tadi ku lihat Rina dalam wujud
yang sangat mengerikan.
Rina yang berambut sebahu
dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan celana
jeans biru ketat bergerak perlahan mendekatiku secara perlahan juga berubah
wujudnya. Kulitnya yang putih dipenuhi darah. Di leher sebelah kirinya terdapat
luka yang menganga sangat besar dan darah bercucuran dari luka tersebut.
Telinga kirinya tidak ada, dan terdapat luka besar menganga melewati mata
kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya dipenuhi darah. Tangan kirinya
hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk
yang tinggal setengah. Dada sebelah kanannya terdapat luka yang menganga,
begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan
darah yang bercucuran.
Mendengar penjelasanku itu,
Pak Ngah Sanif mengangguk-anggukkan kepalanya. Yudi dan orangtuanya saling
berpandangan. Selanjutnya Pak Ngah Sanif menjelaskan jika seperti itu
penggambaran yang terlihat dari mataku maka wujud Rina itu seperti mayat yang
ditemukan di kawasan Tanjung Batu. Beberapa bulan yang lalu warga menemukan
mayat wanita di pondok tempat ku duduk pada malam itu.
Wanita tersebut menggunakan
pakaian dan dipenuhi luka seperti yang telah ku jelaskan. Wanita itu memang
dibunuh seseorang, namun tidak diketahui siapa pelakunya. Tentang identitas
wanita tersebut masih simpang siur, ada yang mengatakan bahwa wanita itu
berasal dari Pemangkat namun ada juga yang mengatakan berasal dari Singkawang.
Hingga kini tidak tahu bagaimana kelanjutan penemuan mayat tersebut apakah
pelaku pembunuhnya telah diketahui atau tidak. Sebelum kejadian yang telah
menimpaku, memang telah ada beberapa orang baik para penjual ataupun pengunjung
kawasan Tanjung Batu yang melihat penampakan wujud wanita yang sesuai
penggambaranku itu.
Agar tidak semakin
membahayakan jiwaku, Pak Ngah Sanif menyuruhku untuk besok pulang ke Pontianak,
dan nanti jangan dulu datang ke kawasan Tanjung Batu hingga aku benar-benar
telah lepas dari pengaruh Rina. Aku pun menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu.
Namun untuk besok pulang, Pak Ngah Sanif dan Yudi akan mengantarku hingga melewati
batas kota Singkawang karena Pak Ngah Sanif khawatir Rina akan mengikutiku. Aku
pun kembali menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah berkata demikian,
Pak Ngah Sanif menyuruhku tidur karena besok selepas Sholat Shubuh aku akan
melakukan perjalanan jauh untuk kembali pulang ke Pontianak. Aku menuruti
perkataan Pak Ngah Sanif dan bersama Yudi langsung masuk ke kamar untuk tidur.
Dan rupanya Pak Ngah Sanif juga tidur di kamar Yudi, ia tidur di dekatku. Pak
Ngah Sanif berkata bahwa ia tidur didekatku untuk menjagaku selama aku tidur
agar tidak di ganggu Rina dan supaya tidurku bisa pulas sehingga besok aku bisa
bangun dengan segar. Maka malam itu aku benar-benar merasakan tertidur pulas.
---------------
Jum’at, 9 Mei 1997, selepas
sholat Shubuh aku berpamitan untuk pulang ke Pontianak kepada orangtua Yudi dan
saudara-saudaranya. Perasaanku tidak karuan saat itu, haru tidak terhingga
karena harus berpisah dengan Yudi dan keluarganya yang sangat ramah itu.
Apalagi Pak Ngah Sanif telah berpesan agar aku jangan dulu datang ke kawasan
Tanjung Batu hingga aku benar-benar telah lepas dari pengaruh Rina, dan itu
akan memakan waktu yang lama, sehingga aku tidak tahu kapan lagi dapat
mengunjungi Yudi dan keluarganya yang penuh keramahan dan kehangatan itu.
Selanjutnya dengan
menggunakan dua buah motor, aku, Pak Ngah Sanif dan Yudi pergi meninggalkan
kawasan Tanjung Batu. Yudi menggunakan motor sendiri, sedangkan Pak Ngah Sanif
memboncengiku menggunakan motorku. Pak Ngah Sanif tidak mengizinkan aku membawa
motor sendiri hingga melewati perbatasan Singkawang karena khawatir jika aku
membawa motor sendiri jiwaku akan terpanggil lagi oleh pengaruh Rina.
Motor kami terus melaju
meninggalkan Pemangkat pada hari satu Muharram itu. Hingga akhirnya sampai juga
kami di perbatasan Singkawang. Pak Ngah Sanif kemudian turun dari motorku, dan
kembali berpesan agar aku jangan dulu berkunjung ke kawasan Tanjung Batu. Aku
pun mengiyakan dan akan mengingat pesan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah aku bersalaman
dengan Pak Ngah Sanif dan mencium tangannya dan juga bersalaman dengan Yudi,
serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas segala pelayanan dan perhatian
selama aku berkunjung ke tempat mereka, aku pun memacu motor Suzuki Jet Cooled
ku meninggalkan Pak Ngah Sanif dan Yudi yang masih berada di perbatasan
Singkawang untuk melihatku pergi. Motorku melaju kencang meninggalkan
perbatasan Singkawang.
Selama perjalanan pulang ke
Pontianak, aku berusaha mengendalikan perasaan ku sekuatnya. Bayangan akan
keramahan dan kehangatan Yudi dan keluarganya sangat membekas dalam hatiku. Dan
aku tidak tahu kapan dapat mengunjungi Yudi dan keluarganya lagi. Sering kali
bayangan Rina melintas dalam pikiranku, dan berusaha sekuatnya aku alihkan. Setelah
melalui perjalanan panjang akhirnya tiba juga aku di kota Pontianak, kota
kelahiran tercintaku.
Untuk Rina :
Ketika aku berjumpa dengan mu
Itu bukan mau ku
Ketika engkau bertemu dengan ku
Itu juga bukan kehendak mu
Kita tergariskan pada takdir yang tak mampu kita
tolak
Dan pada takdir itu lah kita dipertemukan
Walau kita dipertemukan pada dunia yang berbeda
Namun perbedaan itu lah yang mengakrabkan kita
Meski wujudmu tak dapat ku raba
Meski hidupmu tak mampu ku hiasi
Namun kisahmu kan ku tulis dalam diari hidupku
Menjadi kisah abadi dalam bagian perjalanan
hidupku
Selamat jalan Rina...
Semoga engkau menemukan jalan
yang abadi untuk berkumpul dengan-Nya,
bersama-Nya dan di sisi-Nya...
Pontianak, Sabtu 10 Mei 1997.
10.45 malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar