Senin, 14 Oktober 2019

Diari Rina 1997


DIARI RINA 1997

Senin, 30 Desember 1996 malam, aku resmi putus. Setelah dua tahun berpacaran sejak di kelas 2 SMA. Masih ku ingat pertengkaran kami karena aku tidak bisa mewujudkan keinginan orang tuanya untuk cepat-cepat menikah, karena aku masih kuliah semester satu. Maka kandaslah semua mimpi yang akan dibangun bersama.
Malam tahun baru 1997, aku coba datang ke rumahnya, hanya ingin meminta kepada orang tuanya agar aku diberi kesempatan hingga selesai kuliahku untuk menikahinya. Aku ditemui ayahnya diluar rumah dan hanya disampaikan saja bahwa dia sudah tidak ada di Pontianak. Aku bertanya dengan nada mendesak kemana dia. Namun ayahnya tidak mau memberitahu kemana dia. Aku bahkan disuruh pergi dan jangan lagi mencari-cari dia.
Kacau sekali perasaanku malam itu. Marah, kesal, kecewa, semua campur aduk. Sulit terkatakan lagi. Dengan perasaan berkecamuk, terpaksa aku pergi juga dari rumahnya. Malam tahun baru itu harus ku lalui dengan perasan yang bergejolak. Bunyi riuh dan meriahnya kembang api serasa sunyi bagiku.
Seminggu kemudian, ku coba datang ke rumahnya. Tapi tidak dibukakan pintu, padahal ku tahu bahwa ada orang dirumahnya. Minggu selanjutnya ku coba datang lagi, dan perlakuan yang sama ku dapatkan, pintu rumahnya tidak terbuka untukku. Aku pun berusaha menahan diri. Berusaha untuk tidak datang ke rumahnya dan berusaha melupakannya. Namun pada bulan Februari 1997 gejolak hatiku tidak terbendung lagi. Aku coba datang lagi ke rumahnya, dengan pengharapan ada yang membukakan pintu agar aku dapat bertanya pergi kemana dia. Namun pengharapanku itu juga kandas, pintu rumahnya tetap tidak terbuka untukku.
Akhir Maret 1997, aku dapat kabar dari teman sekolahku yang akrab dengannya bahwa dia berada di Bandung dan telah menikah. Bagai petir berita itu ku terima, seakan kakiku tidak jejak di bumi lagi. Mataku terasa gelap, dan tak dapat mengendalikan diriku lagi. Dari teman sekolahku itu ku dapatkan nomor telpon kakaknya di Bandung. Maka saat itu juga aku pergi ke telpon umum dan menghubungi nomor tersebut.
Syukurlah telpon ku itu diangkat, dan yang mengangkatnya adalah kakaknya yang tidak menyangka bahwa yang menelpon adalah aku. Kakaknya sangat kaget setelah tahu bahwa yang menelpon adalah aku, tetapi langsung ku desak untuk memberitahu keberadaanya. Karena terus ku desak akhirnya berkata juga kakaknya bahwa dia telah menikah sebulan yang lalu dan meminta aku untuk tidak lagi mencarinya. Telpon itu ditutup begitu saja oleh kakaknya, sedang aku masih memegang telpon terdiam tak sanggup lagi berkata. Cukup lama aku didalam telpon umum itu karena pikiranku kacau dan tubuhku terasa sangat lemas. Hingga ada orang yang mengetuk pintu yang membuatku tersadar karena rupanya telah lama menungguku keluar dari dalam ruangan telpon umum itu.

------------------------

Mei 1997, fikiranku semakin kacau. Telah sebulan aku bertingkah tak karuan, dan mulai mengenal rokok. Aku yang baru mengenal rokok itu sehari habis 2 – 3 bungkus Gudang Garam Filter, hanya untuk menyalurkan kacaunya fikiranku. Kuliahku pun berantakan. Aku jarang masuk kuliah dan jarang pulang ke rumah. Inilah masa yang merubah cara hidupku.
Rabu, 7 Mei 1997, ku rasakan kecamuk di jiwaku tak dapat ku kendalikan lagi, maka pergilah aku ke luar kota. Ku kendarai motor Suzuki Jet Cooled ku tanpa tujuan. Motorku terus melaju dengan pikiranku yang kacau. Hingga ketika aku sampai di Mempawah, maka terlintaslah ingatan kepada Yudi, temanku di Pemangkat.
Yudi ku kenal waktu aku camping ke Tanjung Batu di Pemangkat ketika sekolah dulu. Rumahnya berada di kawasan Tanjung Batu. Maka langsung saja ku laju motorku menuju Pemangkat sambil berharap Yudi masih tinggal disana dan masih ingat denganku.

------------------------

Menjelang sore aku tiba di Tanjung Batu Pemangkat. Motorku langsung menuju rumah Yudi yang arah jalannya berusaha ku ingat. Meski sempat kebingungan, namun dengan bertanya pada penduduk, sampai juga aku dirumah Yudi. Syukurnya Yudi masih tinggal disana dan orangtuanya masih mengingat ku.
Orangtua Yudi dengan keramahannya bertanya tentang kabarku, dan ku jawab saja bahwa aku baik-baik saja dan datang ingin berlibur. Orangtuanya dengan senang hati menerimaku namun Yudi pada saat itu sedang memancing di Tanjung Batu jadi ditunggu saja karena sebelum Maghrib biasanya sudah pulang. Maka berbincang-bincanglah aku dengan orangtua Yudi sambil menunggunya pulang. Dan betul saja, sebelum Maghrib Yudi pulang ke rumah. Yudi yang masih mengingatku sempat kaget juga melihat aku ada di rumahnya. Kami kemudian saling bertanya kabar satu sama lain, dan ku sampaikan bahwa aku ingin berlibur di tempatnya. Sama seperti orangtuanya, Yudi sangat senang aku berlibur di tempatnya.
Setelah berbincang-bincang sesaat, Yudi membawaku ke kamarnya. Ku simpan tasku, dan ku ikuti Yudi untuk mandi karena hari hampir Maghrib. Setelah mandi ku ikuti Yudi Sholat Maghrib di Surau dekat rumahnya. Kami di Surau itu hingga Isya’. Sambil menunggu Isya’ kami berbincang-bincang berbagai hal termasuk ku ceritakan masalahku hingga aku berada di tempatnya. Yudi tertawa dan hanya bisa berkata bahwa aku harus bersabar menghadapi masalah tersebut.

------------------------

Selepas Sholat Isya’ di Surau, Yudi mengajakku makan malam karena ibunya telah menyiapkan makan malam. Setelah makan malam, Yudi mengajakku bermain ke Tanjung Batu agar aku terhibur karena jika malam di Tanjung Batu ramai pemuda pemudi yang berkumpul di tepi pantai Tanjung Batu. Aku mengikutinya saja karena memang aku perlu hiburan agar lupa masalah yang sedang ku alami.
Setibanya di tepi pantai Tanjung Batu, kami duduk di tumpukan batu besar yang banyak disana. Belum lama kami duduk dan berbincang-bincang, rupanya tidak jauh dari kami duduk ada beberapa teman wanita Yudi yang sedang bersantai dan memanggil Yudi untuk bergabung dengan mereka. Yudi mengajakku untuk menghampiri teman-teman wanitanya itu, namun aku enggan mengikutinya. Aku katakan bahwa aku ingin duduk sendiri dulu sambil menikmati malam di tepi pantai. Yudi memahaminya, dan berpesan agar aku tidak kemana-mana, duduk disitu saja agar dia bisa melihatku. Aku pun mengiyakan pesan Yudi itu.
Beberapa saat aku duduk sendiri sambil memandang laut dan bergelut dengan fikiranku sendiri. Sangat terdengar jelas canda tawa Yudi bersama teman-teman wanitanya. Telah beberapa kali Yudi melambaikan tangannya memanggilku untuk bergabung dengan teman-teman wanitanya tapi aku hanya menjawab dengan isyarat tangan saja bahwa aku masih ingin duduk sendiri di tempat itu.
Hingga ku rasakan bosan, dan ku lihat tidak jauh dari tempatku duduk ada sebuah pondok kosong bekas tempat orang berjualan. Hatiku pun tergerak untuk duduk di pondok itu. Maka pindahlah aku ke pondok tersebut. Yudi meskipun asyik bercanda tawa dengan teman-teman wanitanya, namun ia terus mengawasiku dan memberi isyarat agar aku tidak pergi kemana-mana. Aku pun dengan isyarat memberitahu bahwa aku pindah duduk di pondok yang tidak jauh dari tempatku semula dan tidak jauh juga dari tempatnya berkumpul. Yudi dengan isyarat mengiyakan aku untuk berpindah duduk karena aku masih bisa dilihatnya dari tempatnya berkumpul.
Untuk beberapa waktu aku duduk di pondok itu. Angin pantai yang kencang dan deru ombak menjadi irama yang menghibur hatiku. Hingga tanpa ku sadari, telah berdiri seorang wanita di bawah ujung atap daun pondok tersebut. Aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Beberapa kali kami saling berpandangan. Hingga ku lihat wanita itu berjalan memasuki pondok tempat ku duduk. Dengan nada lembut dan ramah ia meminta izin untuk menumpang duduk juga di pondok tersebut. Aku pun mempersilahkannya. Wanita itu pun duduk tidak jauh dari tempatku duduk.
Untuk beberapa saat kami saling diam. Hingga wanita itu membuka pembicaraan mengapa aku sendiri di pondok itu. Aku katakan bahwa aku tidak sendiri. Aku bersama temanku yang sedang berkumpul dengan teman-teman wanitanya tidak jauh dari tempatku sambil menunjukkan tempat mereka. Ku lihat wanita itu tersenyum. Kemudian ia memperkenalkan diri, Rina namanya, dia sedang menghibur diri ditempat itu. Aku juga memperkenalkan diri dan menjawab yang sama bahwa aku juga sedang menghibur diri. Selanjutnya aku dan Rina larut dalam perbincangan yang akrab.
Cukup lama aku berbincang-bincang dengan Rina. Hingga ku lihat Yudi berjalan menghampiri pondok tempat ku duduk. Ketika telah mendekatiku, Yudi bertanya mengapa betah duduk sendiri di pondok itu. Aku tertawa dan berkata bahwa aku tidak sendiri, sambil menunjuk ke arah tempat Rina duduk yang tidak jauh dari ku. Namun tawaku terhenti, karena ku lihat Rina sudah tidak ada lagi disitu. Yudi yang ikut menolah ke arah yang ku tunjuk jadi terdiam, karena dia juga tidak melihat siapa-siapa disitu. Kami berdua hening sejenak, kemudian Yudi tertawa sambil berkata kalau putus cinta jangan sampai putus akal. Sambil terus bercanda agar suasana tidak mencekam, Yudi kemudian mengajakku pulang.
Meski Yudi terus bercanda sepanjang pulang ke rumahnya, namun aku masih bertanya-tanya kemana Rina yang duduk bersamaku di pondok itu. Jika ia pergi, mengapa tidak ku lihat ia keluar dari pondok itu. Dan mengapa ia tidak bilang jika akan pergi. Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.

------------------------

Hampir jam 12 malam aku dan Yudi sampai di rumahnya. Rumahnya telah sepi. Orangtua dan saudara-saudaranya telah tidur. Kami pun langsung ke kamar, dan masih melanjutkan berbincang-bincang tentang kejadian yang ku alami bertemu Rina. Yudi mengatakan bahwa kejadian seperti ini hanya bisa ditanyakan kepada pamannya, yaitu Pak Ngah Sanif.
Pak Ngah Sanif adalah adik ibunya Yudi. Pak Ngah Sanif memiliki kemampuan supranatural. Aku kenal dengan Pak Ngah Sanif, karena dulu waktu aku dan teman-temanku camping di Tanjung Batu, Pak Ngah Sanif yang menyuruh kami pindah lokasi membangun tenda karena dikatakan oleh Pak Ngah Sanif tidak aman untuk tempat camping. Pak Ngah Sanif kemudian menunjukkan tempat teraman untuk kami camping. Pak Ngah Sanif lah yang menyuruh Yudi, keponakannya, untuk menemani selama kami camping di Tanjung Batu. Inilah awal mula aku mengenal Yudi dan keluarganya.
Setelah cukup lama kami berbincang-bincang, akhirnya kami tertidur. Namun belum lama ku terlelap, ku rasakan ada yang membangunkanku dengan menggoyang-goyangkan telapak kakiku. Aku pun terbangun untuk melihat siapa yang menggoyang-goyangkan telapak kakiku. Tapi tak ku lihat siapa pun. Sempat ku kira Yudi yang membangunkanku, namun ku lihat Yudi sedang terlelap.
Aku pun berusaha untuk tidak menghiraukannya, dan kembali berusaha untuk tidur. Cukup lama aku berusaha untuk tidur. Fikiranku yang dipenuhi hal-hal yang tidak karuan berusaha ku alihkan dengan memikirkan hal-hal yang positif. Hingga akhirnya aku terlelap juga. Namun antara sadar dan tidak, aku merasakan ada yang membangunkanku dengan menggoyang-goyangkan tanganku.
Kurasakan saat itu mataku terbuka, dan terlihatlah olehku bahwa yang telah menggoyang-goyangkan tanganku itu adalah Rina, wanita yang barusan ku kenal di pondok tepi pantai Tanjung Batu. Rina dengan tersenyum terus menggoyang-goyangkan tanganku untuk menyuruhku bangun. Meski mataku terbuka, namun aku tak dapat menggerakkan tubuhku. Aku juga berusaha untuk bersuara, tapi tak juga mampu untuk bersuara.
Masih antara sadar dan tidak, dengan kondisi mata terbuka dan tubuh yang tidak bisa di gerakkan serta tidak dapat bersuara, terlihat olehku Rina mendekatkan wajahnya ke telingaku dan membisikkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang dibisikkannya itu. Karena yang ku rasakan ada suara dengingan yang masuk ke telingaku. Suara dengingan itu terasa ngilu di telingaku, dan menjalar ke kepala dan sekujur tubuhku. Terasa ngilu sekali. Aku berusaha untuk bangun dan berteriak, tetapi tak mampu ku lakukan. Tubuh dan lidahku benar-benar kaku.
Kemudian ku teringat pada bacaan ayat Kursi, dan ku baca dalam hati, maka suara berdenging di telingaku dan rasa ngilu di sekujur tubuhku mulai berkurang. Ayat Kursi itu pun ku baca berulang-ulang dalam hati, hingga akhirnya dapat juga ku gerakkan kakiku, yang kemudian dapat bergerak juga tubuhku. Maka dengan cepat aku bangun. Sambil duduk diatas tempat tidur, aku berusaha mengendalikan diriku. Terasa jantungku berdetak kencang, nafasku tersengal seakan barusan berlari jauh, telingaku masih berdenging dan terasa ngilu.
Dengan sekuatnya aku berusaha mengendalikan diri, ayat Kursi ku baca berulang-ulang dengan mulut yang telah dapat ku gerakkan. Mataku kesana kemari mencari Rina yang tidak lagi terlihat oleh mataku di kamar Yudi. Sempat terlintas hendak membangunkan Yudi, namun ku lihat Yudi sangat lelap tidurnya, maka tidak jadilah aku membangunkan Yudi.
Setalah lama berusaha mengendalikan diri, akhirnya ku rasakan diriku telah tenang. Mataku masih kesana kemari melihat ke setiap sudut kamar barangkali masih ada Rina di kamar itu, namun Rina tidak lagi terlihat oleh mataku. Cukup lama aku hanya duduk diatas tempat tidur, hingga kemudian kembali ku rebahkan tubuhku.
Saat itu aku berusaha untuk tidak tidur karena khawatir kejadian tadi berulang. Mataku masih melihat kesana kemari, dan mulutku masih terus membaca ayat Kursi dan ayat-ayat lain yang ku ketahui. Entah berapa lama aku terjaga malam itu, hingga akhirnya aku terlelap juga.
Namun kemudian aku terbangun karena mendengar suara Yudi yang mengajakku untuk bersiap-siap sholat Shubuh ke Surau sambil ia menepuk-nepuk bahuku. Dengan perasaan lemas ku buka mataku dan langsung bangun. Tanpa banyak berkata, ku ikuti Yudi untuk bersiap-siap sholat Shubuh ke Surau. Setelah bersiap, kami selanjutnya turun ke Surau untuk menunaikan Sholat Shubuh.

------------------------

Kamis, 8 Mei 1997, setelah sarapan pagi, aku diajak Yudi memancing di Tanjung Batu. Ketika sarapan pagi, Yudi dan orangtuanya sempat bertanya bagaimana tidurku tadi malam, dan apakah bermimpi sesuatu. Aku yang tidak ingin membahas kejadian yang ku alami ketika aku tidur tadi malam hanya menjawab tidurku nyenyak dan tidak mimpi apa-apa. Mendengar jawabanku itu terlihat Yudi dan orangtuanya sangat senang.
Hari itu kurasakan cuaca sangat terik. Barangkali karena aku sedang lemas akibat kurang tidur sehingga ku rasakan panas sekali. Angin pantai yang bertiup kencang pun tak mampu menghilangkan panas yang ku rasakan. Hingga ku rasa tak sanggup dengan cuaca panas siang itu, aku kemudian berkata kepada Yudi untuk mencari tempat berteduh. Yudi yang sedang asyik memancing mengiyakan keinginanku itu, namun ia tetap berpesan agar aku tidak jauh-jauh mencari tempat untuk berteduh. Aku mengiyakan pesan Yudi tersebut.
Selanjutnya aku mencari tempat untuk berteduh yang tidak jauh dari tempat Yudi sedang memancing. Mataku pun tertarik pada sebuah pohon rindang di tepi pantai. Aku kemudian pergi ke pohon rindang itu dan duduk dibawahnya. Ku lihat Yudi terus memperhatikanku untuk tahu kemana aku pergi. Setelah dia tahu dimana aku berteduh dan tempatnya tidak jauh dari tempatnya memancing, Yudi melanjutkan memancing.
Dibawah pohon rindang itu mulai kurasakan mengantuk akibat tadi malam kurang tidur. Dan angin pantai yang kencang makin membuaikan mataku untuk terpejam. Dalam kondisi telah mengantuk berat, tahu-tahu mataku melihat Rina sedang duduk dibawah sebuah pohon yang jaraknya tidak jauh dari tempat ku sedang duduk. Langsung saja mataku yang sedang mengantuk berat itu hilang.
Rina yang berkulit putih, rambutnya sebahu dengan bendo merah di kepalanya, memakai baju kaos putih bergambar dan celana jeans biru ketat terus memandangku sambil tersenyum. Mataku yang telah hilang mengantuknya itu terus tertuju kepada Rina. Hingga ku lihat Rina melambaikan tangannya memanggilku. Aku sempat menolak dengan isyarat tangan untuk menghampirinya. Namun Rina terus menerus melambaikan tangannya memanggilku. Entah apa yang ku fikirkan, akhirnya aku bangun dan berjalan menghampiri pohon tempat Rina sedang duduk dibawahnya.
Ketika telah tiba di bawah pohon tersebut, aku langsung duduk di dekat Rina. Aku langsung bertanya, kemana Rina tadi malam ketika duduk bersamaku di dalam pondok, mengapa tidak bilang jika akan pergi. Rina menjawab bahwa ia ada bilang untuk pergi dari pondok itu tadi malam, tapi karena aku sedang berbicara dengan temanku sehingga tidak mendengarnya dan tidak melihatnya keluar dari pondok itu. Senyum Rina yang ramah dan suaranya yang lembut itu telah menguasai jiwaku sehingga aku percaya dengan perkataannya. Selanjutnya kami larut dalam perbincangan sambil sesekali tertawa.
Hingga Rina berkata bahwa ia haus dan ingin minum air kelapa muda, maka ku bawalah ia mencari tempat orang berjualan air kelapa muda. Di tepi pantai Tanjung Batu banyak terdapat pondok-pondok yang disediakan bagi pengunjung yang ingin membeli makanan dan minuman. Kami pun kemudian duduk pada sebuah pondok yang jaraknya beberapa meter dari pohon tempat kami duduk.
Selanjutnya aku memberi tanda kepada seorang bapak penjual air kelapa muda yang berada tidak jauh dari pondok tempat kami duduk. Bapak penjual kelapa muda itu segera datang menghampiri dan bertanya ingin pesan apa. Maka ku jawab bahwa aku pesan kelapa muda dua buah. Mendengar jawabanku itu si Bapak tertawa, sambil bergurau ia bertanya apakah aku sangat haus sehingga memesan kelapa muda hingga dua buah. Aku yang masih belum mengerti maksud gurauan si Bapak itu menjawab saja bahwa aku pesan kelapa muda dua buah untuk dua orang. Spontan ekspresi wajah si Bapak berubah dan terlihat bingung dengan jawabanku itu.
Si Bapak kemudian mengulang lagi pertanyaannya dengan wajah serius apakah aku pesan kelapa muda satu atau dua. Kembali ku jawab bahwa aku pesan kelapa muda dua buah. Si Bapak yang sepertinya tidak ingin makin bingung kemudian mengiyakan saja pesananku itu.
Selanjutnya si Bapak bertanya lagi apakah aku ingin memesan makanan. Aku pun langsung bertanya kepada Rina yang duduk disampingku apakah ia lapar dan ingin makan. Rina hanya menggelengkan kepalanya saja sebagai tanda bahwa ia tidak lapar dan tidak ingin memesan makanan.
Si Bapak yang melihatku berbicara pada seseorang terlihat semakin bingung dan bertanya bahwa aku sedang berbicara dengan siapa. Aku yang masih belum mengerti maksud pertanyaan si Bapak menjawab bahwa aku sedang bertanya kepada temanku dan ia mengatakan tidak ingin memesan makanan, ia hanya memesan kelapa muda saja.
Mendengar jawabanku itu, terlihat kening si Bapak makin berkerut. Wajahnya sangat terlihat bingung. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi. Si Bapak terus pergi sambil beberapa kali menoleh ke arahku.
Tak berapa lama si Bapak datang, dan membawa satu saja kelapa muda yang sudah dibuka ujungnya dengan pipet untuk menghisap airnya dan sendok untuk memakan isinya. Satu buah kelapa muda itu pun diletakkan di meja dihadapanku. Karena kulihat hanya satu saja yang dibawa oleh si Bapak, aku pun bertanya mana yang satunya lagi. Si Bapak dengan wajah dan nada sangat serius kembali bertanya agar yakin bahwa aku memang pesan kelapa muda dua buah. Aku dengan serius kembali menjawab bahwa aku pesan kelapa muda dua buah. Dengan ekspresi wajah tidak karuan si Bapak langsung pergi dan tidak lama kemudian datang lagi membawa satu lagi kelapa muda. Tanpa berkata apa-apa dan tidak ingin melihat wajahku si Bapak meletakkan kelapa muda itu di mejaku dan langsung meninggalkanku. Aku yang masih belum mengerti dengan tingkah si Bapak kemudian menggeser kelapa muda itu ke dekatku karena kelapa muda yang sebelumnya telah ku berikan kepada Rina.
Selanjutnya sambil menikmati air kelapa muda siang itu aku dan Rina menyambung pembicaraan. Tak lama kemudian ku lihat Yudi datang sambil membawa peralatan pancingnya menghampiri pondok tempat aku dan Rina sedang duduk. Sesampainya di pondok, dengan nada bercanda Yudi langsung berkata bahwa ia mencariku dan rupanya aku sedang duduk sendiri di pondok itu. Aku pun hanya menjawab dengan tertawa saja. Yudi kemudian menyambung candaannya bahwa aku ini sangat haus sekali sehingga memesan kelapa muda hingga dua buah. Aku yang akan menjawab perkataan Yudi itu menoleh kesampingku, tapi Rina yang sebelumnya duduk disampingku sudah tidak ada lagi. Sontak aku terdiam dan ekspresi wajahku langsung berubah.
Yudi yang melihat perubahan ekspresi wajahku langsung berubah serius setelah sebelumnya bercanda. Dengan wajah agak tegang Yudi bertanya aku dengan siapa. Ku jawab saja bahwa aku bersama Rina yang tadi malam ku kenal di pondok, tapi tahu-tahu sudah tidak ada, padahal tadi sedang duduk disampingku.
Mendengar jawabanku itu, Yudi yang sepertinya telah menduga apa yang sedang terjadi padaku langsung mengambil kelapa muda yang telah diminum Rina. Kelapa muda itu telah kosong, dan didalamnya terlihat sangat kering seakan-akan telah terpanaskan oleh sesuatu yang membuat isi didalamnya mengering. Yudi kemudian mencium pipet dan sendok yang bekas dipakai Rina. Langsung saja ia berkata bahwa pipet dan sendok tersebut berbau anyir darah.

------------------------

Aku yang tidak mengerti maksud Yudi itu hanya diam saja. Selanjutnya Yudi mengajakku cepat-cepat pulang. Aku pun berkata kepada Yudi bahwa aku ingin membayar dua buah kelapa muda yang telah ku minum itu. Yudi hanya menganggukkan kepalanya saja.
Aku dan Yudi kemudian menghampiri Bapak penjual kelapa muda. Si Bapak terlihat ekspresi wajahnya memandang aneh kepadaku. Yudi rupanya mengenal Bapak tersebut.
Setelah ku bayar dua buah kelapa muda itu, Yudi yang mengenal Bapak tersebut langsung membawa si Bapak agak menjauh dariku. Terlihat mereka berdua sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius sambil beberapa kali melirikku.
Setelah berbicara dengan si Bapak yang aku tidak tahu apa yang telah mereka bicarakan, Yudi kemudian mengajakku pulang. Sepanjang perjalanan pulang Yudi hanya diam, tidak ada sepatahpun candaan yang keluar dari mulutnya. Langkahnya pun sangat cepat seakan-akan ada yang dikejarnya untuk segera sampai di rumah.
Sebelum ke rumah, Yudi mengajakku untuk singgah ke Surau terlebih dahulu yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya karena kami belum sholat Zhuhur. Aku mengiyakan ajakan Yudi itu karena hari pun telah lewat tengah hari.
Selesai sholat Zhuhur, kami langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ibu Yudi langsung menyuruh kami makan siang yang telah disiapkannya dari tadi. Kami menyantap makan siang itu. Selama makan, Yudi tidak berkata sepatah kata pun.
Setelah makan siang Yudi menyuruhku untuk istirahat siang, dan ia menyuruhku tidur di ruang tengah, jangan tidur di kamarnya, dengan alasan agar aku tidur dapat dilihat dan dijaga oleh orangtuanya. Aku yang tidak mengerti maksud Yudi itu mengikut saja.
Selanjutnya Yudi langsung membentang tikar pandan di ruang tengah rumahnya dan meletakkan bantal diatasnya. Ia kemudian menyuruhku untuk berbaring disitu. Aku pun langsung merebahkan tubuhku. Sedangkan Yudi dan ibunya duduk tidak jauh dari tempatku berbaring. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius dengan suara pelan yang dijaga agar tidak terdengar olehku.
Karena aku kurang tidur tadi malam sehingga mataku langsung mengantuk. Aku pun tidak hirau dengan apa yang sedang dibicarakan antara Yudi dan ibunya. Aku langsung terlelap.
Entah berapa lama aku terlelap siang itu, tahu-tahu terdengar oleh telingaku suara orang yang sedang berbincang-bincang. Mataku pun terbuka, dan ku lihat telah ada Pak Ngah Sanif di dekatku sedang berbincang-bincang dengan ayah Yudi yang rupanya telah pulang kerja. Ayah Yudi ini bekerja sebagai buruh di pasar Pemangkat.
Di dekat Pak Ngah Sanif terlihat sebuah piring putih polos dengan dua butir sahang diatasnya, segelas air putih yang tertutup dan sebotol minyak berwarna gelap.
Sedangkan di sudut ruangan ku lihat Yudi dan ibunya sedang duduk menyandar ke dinding papan ruang tengah tersebut sambil memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dibicarakan Pak Ngah Sanif dan ayah Yudi. Ekspresi wajah Yudi dan ibunya sangat tegang sekali.
Rupanya ketika aku tidur, Yudi pergi ke rumah Pak Ngah Sanif untuk membawanya ke rumahnya sekalian singgah ke pasar memberitahukan ayahnya untuk segera pulang.
Melihat aku telah bangun, Pak Ngah Sanif langsung memijit-mijit telapak tanganku sambil berkata agar aku tidur lagi saja jika masih mengantuk. Aku berkata sudah tidak ngantuk lagi. Aku langsung duduk dan menyalami serta mencium tangan Pak Ngah Sanif.
Pak Ngah Sanif kemudian menanyakan kabarku dan bagaimana perasaanku selama berlibur di tempat itu. Ku jawab bahwa kabarku baik-baik saja dan aku senang liburan di tempat itu.
Selanjutnya Pak Ngah Sanif bertanya apakah bahuku pegal, ku jawab bahwa bahuku terasa sangat pegal. Mendengar jawabanku itu, Pak Ngah Sanif langsung menggeser tubuhnya dibelakangku dan menekan salah satu bagian di bahuku. Ketika jari Pak Ngah Sanif menekan bagian tersebut, tubuhku langsung bereaksi.
Tubuhku langsung melengkung dan tanganku memegang telinga kiriku yang terasa sangat sakit. Melihat reaksiku itu Pak Ngah Sanif bertanya apa nya yang sakit. Ku jawab bahwa telinga kiriku sangat sakit. Pak Ngah Sanif kemudian menggeser tubuhnya ke arah kakiku sambil mengambil piring putih polos yang terdapat dua butir sahang di atasnya.
Setelah berada di dekat telapak kakiku, Pak Ngah Sanif meletakkan kembali piring putih itu dan mengambil sebutir sahang sambil dibacakannya sesuatu. Selesai ia membaca, sebutir sahang itu di tempelkannya pada ibu jari kakiku dan di tekannya kuat sekali. Tubuhku pun langsung menggeliat dan ku katakan sakit sekali telinga dan tubuhku. Pak Ngah Sanif yang seakan tidak menghiraukan sakit yang ku rasakan kemudian menarik jari jempolnya yang menekan ibu jari kakiku dengan gerakan yang seakan-akan sedang menarik sesuatu dengan sekuat tenaganya. Terlihat olehku sahang yang sebelumnya utuh itu telah hancur.
Setelah Pak Ngah Sanif melakukan gerakan yang seperti menarik sesuatu, langsung ku rasakan seperti ada sesuatu yang tertarik dari tubuhku. Kepalaku terasa ringan, mataku terasa terang dan pegal di tubuhku hilang.
Selanjutnya Pak Ngah Sanif mengambil sebutir lagi sahang dan dibacakannya sesuatu. Selesai membaca, ia berpindah meletakkannya ke kuku ibu jari kaki kiriku dan langsung ditekannya kuat sekali. Aku pun kembali menggeliat karena merasa kesakitan namun sakit yang kurasakan tidak sesakit ketika ia menekan ibu jari kaki kananku.
Ketika menekan ibu jari kaki kiriku, Pak Ngah Sanif melakukan gerakan yang sama yaitu seperti menarik sesuatu dengan sekuat tenaganya. Langsung saja ku rasakan kepala dan tubuhku menjadi semakin ringan dan pandangan mataku semakin terang. Selanjutnya Pak Ngah Sanif mengambil segelas air putih yang telah dipersiapkan. Segelas air putih itu dibacakannya sesuatu yang kemudian disuruhnya aku meminumnya hingga habis.
Aku menuruti saja apa yang disuruh oleh Pak Ngah Sanif. Segelas air putih itu ku pinum hingga habis. Selanjutnya Pak Ngah Sanif mengambil minyak berwarna gelap dalam sebuah botol yang dibawanya. Minyak itu di oleskan ke tangannya, kemudian ia mulai mengurut tengkuk hingga ke belikatku. Sambil mengurut ia berbincang-bincang berbagai hal yang tidak ada hubungannya dengan yang sedang terjadi padaku. Yudi dan orangtuanya juga ikut dalam perbincangan itu seperti hendak mengalihkan pikiranku agar tidak kepikiran dengan apa yang sedang terjadi padaku. Aku hanya diam saja dan menjadi pendengar yang baik sambil menikmati urutan yang dilakukan Pak Ngah Sanif pada leher dan belikatku.
Hampir setengah jam Pak Ngah Sanif mengurut leher dan belikatku. Setelah mengurutku, Pak Ngah Sanif mengajak Yudi dan aku untuk sholat Ashar bersama-sama karena waktu sudah hampir jam 5 sore. Kami pun langsung pergi ke Surau yang tidak jauh dari rumah Yudi.
Ayah Yudi ikut serta ke Surau karena rupanya belum juga menunaikan sholat Ashar lantaran mereka menjagaku selama aku tidur tadi. Ketika kami sholat Ashar, Pak Ngah Sanif yang menjadi imamnya. Setelah sholat Ashar, kami kembali ke rumah. Dan Pak Ngah Sanif berkata bahwa ia akan menginap di rumah Yudi hingga aku merasa puas berlibur di tempat itu. Kami pun selanjutnya menyambung perbincangan di rumah Yudi.

---------------

Selepas makan malam, aku, Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya bersantai di depan rumah Yudi. Setelah cukup lama kami mengobrol santai, datang beberapa orang teman Yudi yang mengajaknya bersantai ke pantai Tanjung Batu. Yudi kemudian meminta izin Pak Ngah Sanif untuk membawaku ikut bersantai juga ke pantai Tanjung Batu. Pak Ngah Sanif mengizinkan namun ia ingin ikut serta untuk menjagaku. Kami pun selanjutnya berjalan ke pantai Tanjung Batu.
Di pantai Tanjung Batu kami singgah ke sebuah pondok jualan milik temannya Pak Ngah Sanif. Orang-orang di pantai Tanjung Batu hampir merata kenal dengan Pak Ngah Sanif. Karena jika ada kejadian aneh yang menimpa pengunjung Tanjung Batu, Pak Ngah Sanif lah yang selalu mereka panggil untuk menyelesaikan hal tersebut.
Di pondok jualan yang tak berdinding milik temannya Pak Ngah Sanif ini kami duduk santai. Yudi dan teman-temannya bersantai di tumpukan batu besar diluar pondok. Aku duduk didalam pondok menghadap ke pantai yang penuh dengan tumpukan batu besar, dan Pak Ngah Sanif duduk berjarak satu meja dibelakangku bersama temannya, si pemilik pondok jualan itu. Pak Ngah Sanif terlihat sangat asyik mengobrol dengan temannya itu.
Aku sangat menikmati suasana malam di tepi pantai saat itu. Suara ombak dan tiupan angin seperti alunan musik yang menghibur hatiku. Untuk beberapa saat aku hanyut dalam suasana. Hingga mataku tertuju pada sebuah batu besar didepan yang tidak jauh dari pondok tempatku duduk. Ku lihat Rina sedang berdiri diatas batu besar itu. Tubuhnya membelakangi laut, dan memandangiku sambil tersenyum. Selanjutnya ku lihat Rina melambaikan tangannya memanggilku.
Seakan jiwaku telah terkuasai oleh senyum dan lambaian tangannya, aku pun hendak berdiri untuk pergi menghampirinya. Namun ku rasakan tubuhku berat sekali seperti ada sesuatu yang menahannya sehingga aku tidak dapat berdiri.
Aku terus mencoba untuk berdiri, namun tetap tidak bisa. Karena aku tidak juga menghampirinya sehingga ku lihat Rina bergerak perlahan ke arahku. Ku rasakan mataku saat itu tidak bisa berpaling dari tatapan matanya. Rina yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan celana jeans biru ketat perlahan-lahan bergerak semakin mendekatiku.
Hingga semakin dekat kulihat Rina secara perlahan berubah. Kulitnya yang putih itu terlihat dipenuhi darah. Di leher sebelah kirinya terlihat luka yang menganga sangat besar. Terlihat darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan terlihat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya juga dipenuhi darah. Tangan kirinya terlihat hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah. Pada dada sebelah kanan terlihat luka yang juga menganga, begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang bercucuran.

---------------

Seketika itu juga ku rasakan ubun-ubun dan tengkukku terasa dingin, dan semakin dingin ketika ku lihat Rina yang telah berubah sangat menakutkan bergerak perlahan semakin mendekatiku. Rasa dingin itu kemudian menjalar ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku. Jantungku seakan berhenti berdetak dan aku sulit bernafas karena seperti tertahan sesuatu. Tubuhku terasa sangat tegang dan kaku serta pandangan mataku tetap tertuju kepada tatapan matanya yang telah berubah sangat tajam dan mengerikan. Aku benar-benar tidak bisa mengedipkan mataku apalagi memalingkannya.
Ketika Rina yang terlihat sangat mengerikan itu hampir mendekatiku, tiba-tiba saja pandangan mataku tertutup sesuatu dan tengkukku terasa panas. Rupanya Pak Ngah Sanif yang mengetahui sedang terjadi susuatu padaku langsung bergerak cepat menutup mataku dengan tangannya dan tangannya yang satunya lagi menekan tengkukku. Meski Pak Ngah Sanif asyik mengobrol dengan temannya itu, ia terus mengawasiku sehingga ia tahu bahwa sedang terjadi sesuatu padaku.
Pak Ngah Sanif sambil menutup mataku dan menekan tengkukku, kemudian membacakan sesuatu ke ubun-ubunku sehingga ubun-ubunku terasa panas dari yang sebelumnya terasa sangat dingin. Setelah selesai membacakan sesuatu ke ubun-ubunku, Pak Ngah Sanif menarik tangannya yang menutupi mataku ke arah bawah. Bersamaan dengan tarikan tangannya ke arah bawah, maka ku rasakan seperti ada hawa panas yang mengalir ke seluruh tubuhku hingga ke ujung kakiku sehingga hilanglah hawa dingin yang ku rasakan sebelumnya. Jatungku yang terasa terhenti langsung berdetak kencang, begitu juga nafasku langsung berderu dengan cepat.
Rina yang wujudnya sangat menakutkan tidak terlihat lagi dalam pandanganku. Pandangan mataku pun sudah dapat ku alihkan dan tubuhku dapat di gerakkan, meski jiwaku masih ku rasakan linglung dan jantungku masih terasa berdetak kencang. Nafasku pun masih turun naik dengan cepat.
Setelah yakin bahwa aku telah sadar, Pak Ngah Sanif langsung memegang tanganku dan segera membawaku pulang. Yudi dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di luar pondok dan melihat hal tersebut langsung menghentikan obrolan mereka. Mereka tanpa banyak berkata langsung mengikuti Pak Ngah Sanif yang berjalan cepat menarik tanganku untuk membawaku pulang. Saat itu aku masih merasakan linglung.
Kami tanpa sempat berpamitan dengan pemilik pondok jualan tempat kami bersantai langsung pergi begitu saja. Tapi pemilik pondok sangat mengerti situasi demikian karena para penjual di kawasan Tanjung Batu sangat mengenal Pak Ngah Sanif dan mengerti jika Pak Ngah Sanif berbuat demikian berarti ada sesuatu yang membahayakan pengunjung kawasan wisata tersebut.
Pak Ngah Sanif dengan menarik tanganku dan tidak di lepaskannya, berjalan cepat membawaku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Pak Ngah Sanif langsung menyuruh ibunya Yudi mempersiapkan air satu ember. Setelah siap air satu ember itu, tanpa membuka pakaianku Pak Ngah Sanif langsung memandikanku.
Ketika akan memandikanku, Pak Ngah Sanif membacakan sesuatu sambil memegang timba yang berisi air yang diambilnya dari ember tersebut. Selanjutnya ia menyiramkan air ke bagian tengah tubuhku sebanyak tiga kali, dan ke arah kanan dan kiri tubuhku masing-masing tiga kali. Selesai Pak Ngah Sanif memandikanku, linglung yang ku rasakan hilang. Jantung dan nafasku normal kembali. Aku merasa benar-benar telah sadar sepenuhnya.
Setelah Pak Ngah Sanif memandikanku, aku disuruhnya mengganti pakaianku yang basah. Aku menurutinya dan mengganti pakaianku. Setelah itu aku duduk di ruang tengah bersama Pak Ngah Sanif, Yudi dan orangtuanya. Pak Ngah Sanif kemudian bertanya kepadaku apa yang telah ku lihat tadi. Aku pun menjelaskan bahwa tadi ku lihat Rina dalam wujud yang sangat mengerikan.
Rina yang berambut sebahu dengan hiasan bendo merah dikepalanya, memakai kaos putih bergambar dan celana jeans biru ketat bergerak perlahan mendekatiku secara perlahan juga berubah wujudnya. Kulitnya yang putih dipenuhi darah. Di leher sebelah kirinya terdapat luka yang menganga sangat besar dan darah bercucuran dari luka tersebut. Telinga kirinya tidak ada, dan terdapat luka besar menganga melewati mata kirinya hingga ke dahi. Baju dan celananya dipenuhi darah. Tangan kirinya hampir putus. Jari-jari tangan kanannya hanya tersisa jempol dan jari telunjuk yang tinggal setengah. Dada sebelah kanannya terdapat luka yang menganga, begitu juga pada pinggang dan paha kanannya terdapat luka yang sama dengan darah yang bercucuran.
Mendengar penjelasanku itu, Pak Ngah Sanif mengangguk-anggukkan kepalanya. Yudi dan orangtuanya saling berpandangan. Selanjutnya Pak Ngah Sanif menjelaskan jika seperti itu penggambaran yang terlihat dari mataku maka wujud Rina itu seperti mayat yang ditemukan di kawasan Tanjung Batu. Beberapa bulan yang lalu warga menemukan mayat wanita di pondok tempat ku duduk pada malam itu.
Wanita tersebut menggunakan pakaian dan dipenuhi luka seperti yang telah ku jelaskan. Wanita itu memang dibunuh seseorang, namun tidak diketahui siapa pelakunya. Tentang identitas wanita tersebut masih simpang siur, ada yang mengatakan bahwa wanita itu berasal dari Pemangkat namun ada juga yang mengatakan berasal dari Singkawang. Hingga kini tidak tahu bagaimana kelanjutan penemuan mayat tersebut apakah pelaku pembunuhnya telah diketahui atau tidak. Sebelum kejadian yang telah menimpaku, memang telah ada beberapa orang baik para penjual ataupun pengunjung kawasan Tanjung Batu yang melihat penampakan wujud wanita yang sesuai penggambaranku itu.
Agar tidak semakin membahayakan jiwaku, Pak Ngah Sanif menyuruhku untuk besok pulang ke Pontianak, dan nanti jangan dulu datang ke kawasan Tanjung Batu hingga aku benar-benar telah lepas dari pengaruh Rina. Aku pun menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu. Namun untuk besok pulang, Pak Ngah Sanif dan Yudi akan mengantarku hingga melewati batas kota Singkawang karena Pak Ngah Sanif khawatir Rina akan mengikutiku. Aku pun kembali menuruti perkataan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah berkata demikian, Pak Ngah Sanif menyuruhku tidur karena besok selepas Sholat Shubuh aku akan melakukan perjalanan jauh untuk kembali pulang ke Pontianak. Aku menuruti perkataan Pak Ngah Sanif dan bersama Yudi langsung masuk ke kamar untuk tidur. Dan rupanya Pak Ngah Sanif juga tidur di kamar Yudi, ia tidur di dekatku. Pak Ngah Sanif berkata bahwa ia tidur didekatku untuk menjagaku selama aku tidur agar tidak di ganggu Rina dan supaya tidurku bisa pulas sehingga besok aku bisa bangun dengan segar. Maka malam itu aku benar-benar merasakan tertidur pulas.

---------------

Jum’at, 9 Mei 1997, selepas sholat Shubuh aku berpamitan untuk pulang ke Pontianak kepada orangtua Yudi dan saudara-saudaranya. Perasaanku tidak karuan saat itu, haru tidak terhingga karena harus berpisah dengan Yudi dan keluarganya yang sangat ramah itu. Apalagi Pak Ngah Sanif telah berpesan agar aku jangan dulu datang ke kawasan Tanjung Batu hingga aku benar-benar telah lepas dari pengaruh Rina, dan itu akan memakan waktu yang lama, sehingga aku tidak tahu kapan lagi dapat mengunjungi Yudi dan keluarganya yang penuh keramahan dan kehangatan itu.
Selanjutnya dengan menggunakan dua buah motor, aku, Pak Ngah Sanif dan Yudi pergi meninggalkan kawasan Tanjung Batu. Yudi menggunakan motor sendiri, sedangkan Pak Ngah Sanif memboncengiku menggunakan motorku. Pak Ngah Sanif tidak mengizinkan aku membawa motor sendiri hingga melewati perbatasan Singkawang karena khawatir jika aku membawa motor sendiri jiwaku akan terpanggil lagi oleh pengaruh Rina.
Motor kami terus melaju meninggalkan Pemangkat pada hari satu Muharram itu. Hingga akhirnya sampai juga kami di perbatasan Singkawang. Pak Ngah Sanif kemudian turun dari motorku, dan kembali berpesan agar aku jangan dulu berkunjung ke kawasan Tanjung Batu. Aku pun mengiyakan dan akan mengingat pesan Pak Ngah Sanif itu.
Setelah aku bersalaman dengan Pak Ngah Sanif dan mencium tangannya dan juga bersalaman dengan Yudi, serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas segala pelayanan dan perhatian selama aku berkunjung ke tempat mereka, aku pun memacu motor Suzuki Jet Cooled ku meninggalkan Pak Ngah Sanif dan Yudi yang masih berada di perbatasan Singkawang untuk melihatku pergi. Motorku melaju kencang meninggalkan perbatasan Singkawang.
Selama perjalanan pulang ke Pontianak, aku berusaha mengendalikan perasaan ku sekuatnya. Bayangan akan keramahan dan kehangatan Yudi dan keluarganya sangat membekas dalam hatiku. Dan aku tidak tahu kapan dapat mengunjungi Yudi dan keluarganya lagi. Sering kali bayangan Rina melintas dalam pikiranku, dan berusaha sekuatnya aku alihkan. Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya tiba juga aku di kota Pontianak, kota kelahiran tercintaku.

Untuk Rina :
Ketika aku berjumpa dengan mu
Itu bukan mau ku
Ketika engkau bertemu dengan ku
Itu juga bukan kehendak mu
Kita tergariskan pada takdir yang tak mampu kita tolak
Dan pada takdir itu lah kita dipertemukan
Walau kita dipertemukan pada dunia yang berbeda
Namun perbedaan itu lah yang mengakrabkan kita

Meski wujudmu tak dapat ku raba
Meski hidupmu tak mampu ku hiasi
Namun kisahmu kan ku tulis dalam diari hidupku
Menjadi kisah abadi dalam bagian perjalanan hidupku

Selamat jalan Rina...
Semoga engkau menemukan jalan
yang abadi untuk berkumpul dengan-Nya,
bersama-Nya dan di sisi-Nya...

Pontianak, Sabtu 10 Mei 1997.
10.45 malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...