SEMBAHYANG
ARWAH LELUHUR
Menurut riwayatnya, asal mula sembahyangan untuk
arwah para leluhur masyarakat Tionghoa berasal dari kepercayaan masyarakat
dahulu yang berpendapat bahwa setelah seseorang meninggal, maka arwah orang
tersebut tetap terus hidup. Konsep mengenai arwah ini menimbulkan ketakutan
dalam diri mereka, karena arwah yang telah meninggalkan tubuh dapat lebih bebas
untuk pergi kemana saja. Sehingga kemampuan untuk mempengaruhi hal yang
membahagiakan dan merugikan manusia akan lebih besar dibandingkan sewaktu dia
hidup. Oleh karena itu muncullah persembahyangan terhadap orang yang telah
meninggal. Pada riwayat lainnya menyatakan bahwa asal mula sembahyang untuk
arwah para leluhur merupakan tradisi masyarakat Tionghoa untuk selalu
membersihkan kuburan dan menghormati arwah leluhur mereka.
Kemudian terdapat juga riwayat yang menyatakan
bahwa asal usul sembahyang untuk arwah para leluhur masyarakat Tionghoa ini
bermula ketika pada masa dahulu ada seseorang yang bernama Cu Guan Ciang atau Zhu
Yuan Chang. Ia adalah pendiri Dinasti Ming yang lahir dari keluarga yang sangat
miskin. Agar tidak mati kelaparan, ia diserahkan oleh orang tuanya ke sebuah
kuil. Pada suatu saat ketika ia telah menjadi kaisar, ia tidak mengetahui lagi
di mana letak makam leluhurnya. Maka pada hari yang sudah ditentukan, ia
memerintahkan semua rakyatnya untuk berziarah ke makam para leluhur mereka
masing-masing dan memberi tanda kertas kuning diatas makam leluhurnya. Di atas
makam yang tidak ada tanda kertas kuningnya, kaisar menziarahi dan
menganggapnya sebagai makam leluhurnya.
Pada masyarakat Tionghoa di Kabupaten Sanggau
juga terdapat tradisi sembahyang untuk arwah para leluhur. Tradisi itu sebagai
perwujudan penghormatan terhadap para leluhur. Karena adanya kita karena adanya
pendahulu kita yaitu para leluhur. Selain itu arwah para leluhur juga dipercayai
selalu menjaga anak cucuknya dimana pun berada sehingga wajib untuk
disembahyangkan sebagai ungkapan terima kasih dan menjaga komunikasi dengan
para leluhur. Masyarakat Tionghoa Sanggau percaya bahwa arwah para leluhur
selalu menunggu doa-doa yang dikirim anak keturunannya dan kedatangan mereka ke
kuburan. Jika tradisi sembahyang untuk para arwah leluhur tidak dilaksanakan
maka arwah para leluhur akan marah dan biasanya akan mendatangi anak
keturunannya lewat mimpi. Sembahyang untuk arwah para leluhur dapat dilakukan
di rumah ataupun di kuburan.
Untuk tradisi sembahyang yang dilakukan di
kuburan biasanya hanya dapat dilakukan jika Lembaga Yayasan telah membersihkan
seluruh kuburan. Sembahyang untuk arwah para leluhur ini juga dijadikan sebagai
waktu untuk keluarga berkumpul. Dimana keluarga yang berada jauh diluar kota
Sanggau akan pulang untuk melaksanakan tradisi tersebut. Tradisi ini juga tidak
mengharuskan semua keluarga berkumpul, jika terdapat halangan maka cukup
diwakilkan oleh 2 atau 3 orang saja.
Selain sembahyang untuk arwah para leluhur
yang dilakukan di rumah atau di kuburan sebagai perwujudan penghormatan dan
mengingat para leluhur, terdapat juga tradisi mengarak Altar para Leluhur atau mengarak Toa Pekong. Tradisi
mengarak Altar Leluhur ini dilakukan untuk menghormati dan mengingat arwah
leluhur yang dipercayai sebagai penjaga masyarakat Tionghoa di Sanggau. Toa
Pekong dan Altar para Leluhur diarak mengelilingi Song Ke atau Pasar Hulu, Cung Ke atau Pasar Tengah dan Ha Ke
atau Pasar Hilir. Selama arak-arakan
mengelilingi ketiga wilayah tersebut diiringi tabuhan musik Barongsai.
Sebelum pelaksanaan ritual, Toa Pekong dan
Altar Arwah Para Leluhur dipersiapkan terlebih dahulu didalam Kelenteng. Tempat
mempersiapkan segala kebutuhan ritual harus ditempatkan tersendiri dan tidak
boleh ada orang lain selain orang-orang yang mengurus ritual. Adapun
barang-barang yang dipersiapkan dalam tradisi ritual mengarak Toa Pekong dan Altar
Para Leluhur yaitu sebagai berikut :
1)
Toa Pekong yaitu patung Dewa-Dewi
yang dipuja atau disembahyangkan di Kelenteng.
2)
Papan Arwah
3)
Dupa
4)
Sepasang Lilin Merah
5)
Kue dan manisan
6)
Buah-buahan
7)
Bunga
8)
The
Setelah Toa Pekong dan Altar Leluhur
dipersiapkan didalam Kelenteng, selanjutnya Toa Pekong dan Altar Leluhur dibawa
keluar dari Kelenteng untuk diarak atau dibawa berkeliling, yang terlebih
dahulu dilakukan penghormatan dengan mengangkat altar didepan Kelenteng dalam
jumlah ganjil. Selanjutnya Toa Pekong dan Altar Leluhur dibawa berkeliling
dengan diiringi pawai Nong Long dan tabuhan musik Barongsai. Selama diarak atau
dibawa berkeliling, dilakukan pembakaran Dupa atau Hio bergagang merah yang
ditancapkan pada tempat yang terdapat didalam Altar Leluhur. Para peserta pawai
juga harus membawa Dupa atau Hio yang telah dibakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar