Selasa, 24 Oktober 2017

ASAL MUASAL TUGU KHATULISTIWA PONTIANAK

ASAL MUASAL TUGU KHATULISTIWA PONTIANAK

Pada permulaan tahun 1700-an Masehi, Bangsa Pontiant yang telah bermukim di sepanjang Daratan Sheng Hie sejak abad ke-9 Masehi terkena bencana berupa bayi-bayi yang baru dilahirkan sering menangis berkepanjangan tanpa diketahui sebabnya dan tiba-tiba berhenti. Ketika tangisan berhenti, mereka dapati bayi-bayi itu telah menghilang begitu saja tanpa diketahui kemana perginya. Bencana tersebut terjadi hingga bertahun lamanya.
Peristiwa itu tersebar hingga ke penjuru wilayah sehingga kejadian bayi yang berhenti menangis dan tiba-tiba menghilang ini disebut orang sebagai “Pontiant Anak” yang artinya “Anak Bangsa Pontiant Menghilang”. Namun ada juga yang mengartikan sebagai “Anak Dalam Ayunan Berhenti Menangis”. Peristiwa yang terjadi selama bertahun itu menyebabkan masyarakat Bangsa Pontiant tidak bertambah. Demong Pontiant pada masa tersebut telah berusaha untuk menangkal bencana tersebut, namun segala usaha dan upayanya selalu gagal, bahkan bencana tersebut makin tidak terkendali.
Akibatnya adalah Bangsa Pontiant semakin tahun semakin berkurang karena meninggal dunia, sedangkan bayi-bayi yang diharapkan sebagai penerus keturunan Bangsa Pontiant sering menghilang begitu saja ketika sedang dalam ayunan. Bahkan sebagian orang-orang Pontiant yang tidak tahan dengan kondisi itu kemudian memutuskan meninggalkan tempat itu, sehingga Bangsa Pontiant semakin sedikit.
Berdasarkan petunjuk dari Pemangku adat Bangsa Pontiant, bahwa bayi-bayi mereka sering menghilang dalam ayunan secara ghaib karena diambil oleh mahkluk-makhluk halus. Untuk sebab musabab munculnya bencana makhluk halus itu terdapat riwayat yang menyatakan bahwa awal mulanya ketika sekelompok Orang-orang Jeruju yang pada masa tersebut telah bermukim di wilayah pedalaman Jeruju mencari intan. Menurut petunjuk yang telah mereka dapatkan bahwa diseberang daratan Jeruju terdapat intan yang tertimbun tanah. Orang-orang Jeruju itu kemudian pergi ke seberang daratan yang sekarang telah dibangun tugu Khatulistiwa. Daratan itu mereka gali, dan intan yang mereka maksudkan berhasil mereka dapatkan dalam sebuah lubang yang tertimbun tanah. Intan yang berhasil ditemukan oleh Orang-orang Jeruju dalam bentuk bongkahan yang sangat besar. Setelah mereka mengambil intan tersebut, maka terjadilah bencana yang kemudian menimpa Bangsa Pontiant.
Sementara itu di Negeri Matan Tanjungpura kedatangan seorang Ulama bernama Habib Husein AlQadri. Suatu hari Sultan Matan mengadakan perjamuan. Dalam acara perjamuan itu terjadi peristiwa Saiyid Hasyim AlYahya merusak sebuah kacip besi berukiran kepala ular.
Kacip yang telah patah tersebut diambil oleh Habib Husein AlQadri, kemudian kacip tersebut ia usap-usap dengan air liurnya sehingga kacip yang patah itu kembali utuh sediakala. Kejadian karomah Habib Husein AlQadri itu tersiar ke pelosok negeri, hingga terdengar juga oleh Bangsa Pontiant di Daratan Dermaga Sheng Hie. Demong Pontiant kemudian mengirim beberapa orang utusan untuk menemui Habib Husein AlQadri guna menolong mengatasi bencana yang telah menimpa mereka. Rupanya tidak seorang pun dari mereka yang mengerti arah menuju Negeri Matan Tanjung Pura. Namun Pemangku adat Bangsa Pontiant membekali mereka dengan nasi yang dibungkus dengan daun dan berpesan bahwa jika bungkusan itu terbuka maka disitulah tempat yang mereka tuju.
Maka berangkatlah beberapa orang utusan Bangsa Pontiant tersebut. Namun di tengah perjalanan para utusan ini tersesat. Berhari-hari mereka mendayung sampan hingga di suatu tempat mereka dapati bungkus nasi tersebut sedikit terbuka. Mereka beranggapan barangkali ditempat tersebut lah keberadaan Habib Husein AlQadri.
Selanjutnya mereka tambat sampan-sampan mereka dan berjalan melintasi daratan. Namun telah jauh mereka berjalan tapi tidak juga memukan negeri yang dicari. Hingga mereka merasakan kehausan dan menemukan sebuah air terjun yang sangat bening airnya. Mereka kemudian meminum air tersebut. Setelah puas minum, kembali mereka dapati bungkusan yang mereka bawa telah terbuka lebar. Tempat air terjun itu kemudian mereka sebut sebagai “Pontiant Tapau” yang berarti “Bungkusan Nasi Orang Pontiant”.
Mereka selanjutnya menetap di tempat itu dan tidak pernah kembali ke tempat asal mereka. Sementara itu, bertahun sudah Bangsa Pontiant menunggu kedatangan para utusan yang mereka kirim untuk meminta bantuan Habib Husein AlQadri di Negeri Matan Tanjung Pura namun yang di tunggu tidak juga kembali. Akhirnya mereka kembali mengirim utusan untuk pergi ke Negeri Matan Tanjung Pura.
Utusan kedua ini berangkat dan bernasib baik karena berhasil menemukan Negeri Matan Tanjung Pura. Namun para utusan kedua ini terpaksa menelan kekecewaan karena Habib Husein AlQadri ternyata telah berhijrah ke Negeri Mempawah. Utusan kedua itu kembali ke tempat asalnya dan menyampaikan berita bahwa Habib Husein AlQadri sekarang berada di Negeri Mempawah. Tanpa buang waktu, maka Demong Pontiant segera mengirim beberapa orang utusan menuju Negeri Mempawah.
Orang-orang utusan dari Demong Pontiant tersebut akhirnya berhasil bertemu dengan Habib Husein AlQadri yang pada saat itu baru beberapa bulan menetap di Negeri Mempawah. Para utusan Bangsa Pontiant kemudian menyampaikan permasalahan berupa bencana bayi-bayi sering menangis berkepanjangan kemudian menghilang secara ghaib yang terjadi selama bertahun-tahun. Mereka berharap Habib Husein AlQadri bersedia menolong melepaskan bencana yang telah bertahun mereka alami. Selanjutnya Habib Husein AlQadri berangkat bersama para utusan Bangsa Pontiant menuju daerah Daratan Dermaga Sheng Hie. Sesampainya disana, Habib Husein AlQadri mendapati begitu banyak makhluk halus yang telah mengganggu dan mencuri bayi-bayi Bangsa Pontiant yang baru dilahirkan.
Gangguan makhluk-makhluk halus tersebut sangat dahsyat. Dan dalam tafakurnya, Habib Husein AlQadri mendapat petunjuk untuk mencari Tiang Cahaya Penyangga Langit dan melaksanakan ibadah ditempat itu. Karena hanya dengan berdo’a dari tempat itu saja para makhluk halus itu dapat di usir dari kawasan itu. Habib Husein AlQadri bersama Demong Pontiant dan beberapa orang Bangsa Pontiant selanjutnya mencari Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut. Pada hari Isnin tanggal 18 Jumadil Tsani 1160 Hijriah atau bertepatan tanggal 26 Juni 1747 Masehi, Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut ditemukan. Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut keluar dari sebuah lubang besar didaratan bekas tempat Orang-orang Jeruju menggali intan.
Habib Husein AlQadri kemudian beribadah dan berdo’a di tempat itu. Selepas beribadah, bayi-bayi Bangsa Pontiant tidak lagi menangis berkepanjangan dan tidak lagi menghilang secara ghaib. Makhluk halus juga tidak lagi mengganggu masyarakat Bangsa Pontiant dan bencana yang mereka alami terhenti.
Habib Husein AlQadri kemudian menutup lubang besar bekas galian intan itu dan menancapkan sebatang kayu besar di tempat keluarnya Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut dan menamakannya dengan “Pontiant Anak” atau sekarang disebut “Pontianak”. Atas jasanya yang telah berhasil menghilangkan bencana yang menimpa Bangsa Pontiant, maka Raja Landak pada masa itu yang bernama Raja Tua atau bergelar Raja Sanca Nata Kusuma Tua memberikan wilayah Tiang Cahaya Penyangga Langit tersebut kepada Habib Husein AlQadri. Wilayah ini saat sekarang lebih di kenal dengan sebutan Batu Layang.
Lubang Tiang Cahaya Penyangga Langit yang kemudian ditancapkan oleh Habib Husein AlQadri dengan sebatang kayu besar dan menamakan tempat itu dengan nama ‘Pontianak’ untuk sekarang ini telah menjadi Tugu Khatulistiwa Pontianak yang terletak di Siantan, Pontianak Utara. Tugu yang berjarak lima kilometer dari pusat kota ini sebagai simbol bahwa Pontianak di lintasi oleh satu garis yang membelah bumi menjadi dua bagian yang disebut garis Khatulistiwa. Dalam pelajaran geografi, Bumi diibaratkan dibagi menjadi dua bagian, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Dari pembagian tersebut, dapat dikatakan bahwa Kota Pontianak berada persis di tengah-tengah garis imajiner tersebut.
Beberapa puluh tahun kemudian yaitu pada tanggal 31 maret 1928, batang kayu besar itu ditambah dengan tanda panah oleh Tim Ekspedisi Geografi Internasional. Hal itu berdasarkan catatan dari Van En W oleh Opzihter Wiese yang dikutip dari Bijdragentot de Geographie dari Chep Van den topographieschen dient in Nederlandsch Indie tahun 1941, bahwa Den 31 Sten Maart 1928 telah datang ekspedisi internasional di Pontianak yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda, yang bertujuan meneliti kayu besar yang berdiri tegak di Siantan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan penentuan titik atau tonggak garis khatulistiwa di Pontianak. Pada saat itu metode yang dipergunakan oleh tim ekspedisi internasional adalah metode Astronomi dan ilmu Falaq yaitu berpatokan pada benda-benda alam seperti rasi bintang. Mereka juga hanya berpatokan pada garis Smooth atau garis yang tidak rata ataupun bergelombang.
Pada tahun 1930, batang kayu besar disempurnakan berbentuk tonggak, lingkaran dan tanda panah. Sepuluh tahun setelah ekspedisi itu, yaitu pada tahun 1938 dikembangkan lagi bentuk dan maknanya oleh F Silaban, seorang arsitek kenamaan Indonesia yang telah mendesain beberapa tugu dan bangunan di Indonesia. Bangunan inilah yang sekarang disebut tugu Khatulistiwa, yang berbentuk empat kayu belian berwarna hitam pekat berukuran sekitar 30 cm. Dua yang didepan mengarah ke barat tercatat memiliki tinggi 3,05 m. Dua dibagian belakangnya setinggi 4,40 m dan menopang tiga rangkaian lingkaran. Sebuah anak panah berukuraan 2,15 m yang menunjukkan arah barat seolah menembus rangkaian lingkaran tersebut. Di bawah anak panah terdapat sebuah plat bertuliskan 1090 20’ OLv Gr, yang artinya garis di Khatulistiwa di kota Pontianak bertepatan dengan 109 derajat  garis Bujur Timur 20 Menit. 00 detik GMT. Pada lingkaran terluar di sisi bagian atas terdapat tulisan Euenaar, begitu juga di bawahnya.
Pada tahun 1990, Tugu Khatulistiwa direnovasi dan di kembangkan dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli. Di atas bangunan kubah dibuat duplikat tugu dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu yang aslinya. Di dalam kubah duplikat bangunan ini juga terdapat sejarah, foto-foto serta informasi yang berkenaan dengan titik kulminasi dan tugu ini.
Pada Maret 2005, Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan penelitian dengan menggunakan alat dan tekhnologi terbaru dalam menentukan lokasi titik nol garis Khatulistiwa Pontianak. Hasilnya menunjukkan, posisi tepat Tugu Khatulistiwa saat ini berada pada 0 derajat, 0 menit, 3,809 detik lintang utara dan 109 derajat, 19 menit, 19,9 detik bujur timur. Sementara posisi 0 derajat, 0 menit dan 0 detik ternyata melewati taman atau tepatnya 117 meter ke arah Sungai Kapuas atau arah Selatan dari tugu.
Posisi titik perpotongan antara pusat matahari dengan garis khatulistiwa berada pada posisi 1090 2011 dan 00″ Bujur T, atau yang dikenal dengan titik kulminasi ini secara tepat hanya terjadi pada dua kesempatan, yaitu pada tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September setiap tahunnya. Di dua kesempatan tersebut, terjadi fenomena alam yang unik, dimana menjelang tengah hari semua benda yang tegak berdiri di sekitar tugu tidak memiliki bayangan. Pada saat fenomena alam yang unik ini terjadi selalu diadakan festival titik kulminasi di Pontianak.

Kamis, 19 Oktober 2017

KHASANAH SYAIR MELAYU

KHASANAN SYAIR MELAYU

Syair adalah salah satu kebanggaan karya sastra yang di miliki masyarakat Melayu. Banyak karya syair lama Melayu yang terkenal dikalangan sastra dunia, seperti syair Tajul Muluk, syair Siti Zubaidah, syair Selendang Delima dan sebagainya. Dewasa ini syair sudah mulai pudar dikalangan masyarakat Melayu, khususnya kaum muda Melayu. Mereka lebih suka pada novel dan karya yang terbit dari barat. Hal ini akan mengurangi kekayaan karya sastra Melayu yang dahulunya menjadi kebanggan di dunia.
Syair adalah salah satu bentuk kesusastraan Melayu lama. Syair berasal dari Persia yang sekarang disebut sebagai Iran, dan dibawa masuk ke dunia Melayu bersamaan dengan masuknya Islam. Kata atau istilah Syair berasal dari bahasa Persia yaitu Syi'ir atau Syu'ur yang berarti perasaan yang menyadari, kemudian kata Syu'ur dalam pengetahuan umum berkembang menjadi Syi'ru yang berarti puisi.
Dalam kamus bahasa Indonesia, syair adalah puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri atas empat larik (baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama seperti sajak atau puisi. Dalam perkembangannya, syair mengalami perubahan dan modifikasi sehingga menjadi ciri khas Melayu, tidak lagi mengacu pada tradisi sastra negeri Persia. Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu adalah Hamzah Fansuri dengan karyanya, antara lain, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir.



Selasa, 17 Oktober 2017

‘NYANGAHATN’ RITUAL ADAT KEPADA PENGUASA ALAM ATAS DAN ALAM BAWAH

‘NYANGAHATN’
RITUAL ADAT KEPADA PENGUASA ALAM ATAS DAN ALAM BAWAH

‘Nyangahatn’ adalah Ritual Adat yang berfungsi sebagai media penghubung bagi manusia dengan alam atas dan alam bawah agar tercipta harmonisasi atau keseimbangan antara dunia atas dan dunia bawah dengan manusia. Secara filosofis, ‘Nyangahatn’ bermakna ‘Penghormatan Suci’, atau dapat juga dimaknai dengan ‘Sembahyang Suci’. Dalam mitologinya, bahwa kehidupan ini dikuasai oleh dua alam Penguasa yaitu Penguasa Alam Atas yang disebut Tiung Layang atau lebih dikenal dengan Jubata. Penguasa alam Atas ini disebut juga Sabang Merah. Sedangkan Penguasa Alam Bawah disebut Jata atau Juata dan Litih ataupun yang disebut juga Sabang Hijau.


ASAL MUASAL ORANG MELAYU PONTIANAK


ASAL MUASAL ORANG MELAYU PONTIANAK

Asal muasal Orang Melayu Pontianak bermula dari kisah Sayyid Kubu yang diminta bantuan oleh Raja Dharmasraya pada tahun 1305 Masehi untuk mencari pasukan Dharmasraya yang telah lama tidak kembali ke Dharmasraya. Sayyid Kubu kemudian berhasil menemukan pasukan Dharmasraya bersama Raja Tanjungpura Siak Bahulun dan pasukan Siak di wilayah Bukit Dua Belas. Selanjutnya, pasukan Dharmasraya dan Siak bersama Sayyid Kubu mengikuti Siak Bahulun ke Kerajaan Tanjungpura.
Namun di wilayah lautan Kalimantan, kapal rombongan ini terserang badai dan terdampar di Pantai Kakap. Rombongan pasukan dari Dharmasraya dan Siak kemudian membangun pemukiman baru di wilayah yang sekarang disebut Jeruju, yang selanjutnya menjadi asal muasal Orang Melayu Pontianak.






SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...