Rabu, 06 Juni 2018

ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN : TAMAT

ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN
--- JILID 6 ---
- TAMAT -

Setelah tidak mendapat Narkoba dari teman suaminya itu, hidup Zahara semakin sengsara akibat ketergantungannya kepada Narkoba. Setelah teman suaminya tidak mau lagi mencarikannya pelanggan karena penyakit Sifilisnya, ia pun menjual dirinya di pasar-pasar dengan harga sangat murah asalkan ia dapat uang untuk membeli Narkoba. Tempat transaksi seksualnya pun sangat memperihatinkan yaitu di lorong-lorong pasar yang kotor, dibalik kotak-kotak jualan yang berbau busuk dan dibalik gerobak-gerobak yang bertanah becek. Dimanapun tempatnya akan dilayaninya asalkan ia dapat uang. Pelanggannya pun dari kalangan bawah dengan bayaran sangat murah.
Untuk beberapa bulan ia menjadi wanita tuna susila yang menjual dirinya dengan harga murah dipasar-pasar, dan penyakit Sifilisnya itu belum diketahui orang. Namun beberapa bulan berikutnya yaitu pada tahun 1998, penyakit Sifilis yang dideritanya akhirnya diketahui orang. Pelanggannya banyak yang tertular penyakit kotornya itu. Ia pun tidak diperbolehkan lagi mangkal di pasar-pasar karena membawa penyakit kotor.
Setelah tidak diperbolehkan lagi mangkal di pasar-pasar, Zahara pun tidak mendapatkan pendapatan apa-apa. Ia tidak dapat membeli Narkoba karena tidak memiliki uang. Hidupnya benar-benar sengsara saat itu karena sedang dalam pengaruh ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Narkoba. Kecanduan Narkoba telah menciptakan hidupnya bagai dalam neraka.
Namun pada pertengahan tahun 1998, ketergantungannya terhadap Narkoba sedikit berkurang akibat semakin parahnya penyakit Sifilis yang di deritanya. Dari vaginanya pun semakin banyak mengeluarkan nanah yang berbau sangat busuk, sehingga siapa pun yang didekatnya akan mencium bau busuk tersebut. Tubuhnya semakin kurus dan lemah. Matanya juga menjadi cekung. Penyakit Sifilis yang parah di deritanya telah mengurangi kecanduannya terhadap Narkoba.
Penghujung tahun 1998, tubuhnya ambruk akibat penyakit Sifilis yang sangat parah di deritanya. Ia pun dibawa ke rumah sakit Soedarso oleh Bibinya, dan dirawat di rumah sakit itu. Untuk beberapa bulan di rumah sakit, Zahara hanya terbaring saja akibat tubuhnya yang telah menjadi lemah. Barulah awal April 1999 ini saja ia sudah dapat duduk.
Setelah cukup lama aku mendengarkan cerita Zahara, Bibinya pun datang untuk menjaganya. Aku pun berkata kepada Zahara bahwa aku harus pulang karena aku ada keperluan malam itu. Zahara mengiyakannya tetapi ia meminta aku untuk datang lagi besok. Aku tidak dapat berjanji karena khawatir aku ada halangan. Zahara dengan nada memaksa meminta aku untuk datang lagi. Jika tidak dapat datang besok, lusa juga tidak apa-apa. Pokoknya ia memaksa aku untuk datang lagi menjenguknya.
Karena kuatnya keinginan Zahara untuk memintaku datang lagi, maka aku berkata bahwa aku akan mengusahakan untuk menjenguknya lagi. Mendengar jawabanku itu terlihat Zahara sangat senang. Selanjutnya aku berpamitan untuk pulang kepada Zahara dan Bibinya. Tidak lupa ku katakan kepada Zahara untuk menguatkan hatinya agar ia dapat bersemangat lagi menjalani hidup. Dengan wajah yang terlihat terharu, Zahara hanya menganggukkan kepalanya. Selanjutnya aku keluar dari ruangan tempat Zahara di rawat dan langsung berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso untuk pulang ke rumah.

----------

Dua hari berikutnya setelah pertemuanku dengan Zahara, aku pun menyempatkan diri untuk menjenguknya lagi di rumah sakit Soedarso. Saat itu sudah hampir Maghrib. Aku memasuki ruangan tempat Zahara di rawat. Dan terlihat Bibinya sedang menyuapinya makan saat itu. Melihat kedatanganku, Zahara sangat senang sekali. Aku pun berdiri di ujung dekat tempat tidurnya sambil menunggunya selesai disuapkan makan oleh Bibinya.
Selesai makan, Zahara meminta Bibinya untuk mengambil sesuatu dari lemari kecil di dekat tempat tidurnya. Bibinya pun segera mengambilkan benda yang diminta oleh Zahara dan memberikan kepadanya. Setelah memberikan benda itu kepada Zahara, Bibinya pergi keluar untuk memberikan kesempatan kepada kami berbicara berdua.
Sambil memegang sesuatu yang terbungkus dalam sebuah plastik hitam, Zahara bertanya mengapa aku baru menjenguknya lagi. Ku katakan bahwa aku ada kesibukan dua hari ini. Zahara pun hanya menganggukkan kepalanya saja mendengar jawabanku itu. Selanjutnya ia mengeluarkan benda yang terbungkus dalam plastik hitam itu. Rupanya benda itu adalah sebuah buku diari.
Sambil memegang buku diari itu, Zahara berkata bahwa ia meminta maaf karena tidak bisa mengembalikan buku diariku yang pernah dipinjamnya. Aku pun berkata bahwa aku sudah tidak ingat lagi dengan buku diariku itu, dan tidak apa-apa jika ia tidak bisa mengembalikan buku diariku itu.
Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia sangat senang membaca tulisanku saat itu meskipun hanya selembar saja, tetapi selalu dibacanya berulang kali. Setelah tidak bertemu lagi denganku, buku diariku itu di lanjutkannya dengan tulisannya hingga habis satu buku. Namun pada tahun 1993, rumahnya terbakar dan buku diariku itu juga ikut terbakar, padahal buku diariku itu sudah terisi semuanya dengan tulisan-tulisannya.
Tahun 1997, ketika ia mulai terkena penyakit Sifilis, ia teringat kepada buku diariku yang telah terbakar bersama rumahnya. Ia pun membeli buku diari baru untuk tempatnya menumpahkan perasaannya. Dan buku diari itu sedang dipegangnya saat itu. Namun buku diari yang baru itu belum penuh semuanya, karena ia menulisnya ketika sedang susah hati atau merasa kesepian saja. Ia pun memintaku untuk menerima buku diarinya itu sebagai ganti buku diariku yang pernah dipinjamnya namun ikut terbakar bersama rumahnya.
Zahara kemudian memberikan buku diari itu yang kulitnya berwarna kuning gelap kepadaku. Aku pun menerimanya. Sambil memberikannya kepadaku, Zahara berkata agar aku mau melanjutkan menulis buku diari itu hingga penuh. Aku pun berkata bahwa aku akan melanjutkan menulisnya hingga penuh. Selanjutnya kami pun berbincang-bincang tentang kesembuhan penyakitnya.
Setelah cukup lama kami berbincang-bincang, aku pun berkata bahwa aku akan pulang. Zahara pun mengiyakan, namun kembali ia meminta dengan nada memaksa agar aku dapat datang lagi menjenguknya. Aku pun berkata bahwa aku akan mengusahakan untuk menjenguknya lagi. Rupanya jawabanku itu terlihat belum memuaskannya, ia kembali mengulang permintaannya agar aku dapat menjenguknya lagi. Kembali ku katakan bahwa aku akan menjenguknya lagi. Setelah berkali-kali ku katakan bahwa aku akan datang menjenguknya lagi barulah Zahara terlihat senang.
Selanjutnya aku berpamitan akan pulang. Namun ketika aku berpamitan, Zahara memintaku untuk mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”, Zahara mengatakan bahwa ia rindu mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Aku sambil tersenyum mengatakan enggan untuk mengucapkannya. Namun Zahara memaksa sambil berkata bahwa ia sangat ingin mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Zahara juga berkata bahwa logat “R” berkaratku dalam mengucapkan kata-kata itu sangat membahagiakan hatinya, dan sebagai penghibur baginya yang sedang sakit itu.
Mendengar perkataan Zahara itu, aku pun mengabulkan permintaannya. Aku langsung mengucapkan kata-kata “Ular melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”. Setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Zahara langsung tertawa. Selama aku bertemunya di rumah sakit, baru kali itu aku melihatnya tertawa lepas dan terlihat sangat bahagia. Hatiku pun ikut senang melihatnya.
Kemudian kembali Zahara meminta aku untuk mengulanginya lagi menyebut kata-kata itu. Aku pun kembali mengulanginya menyebut kata-kata itu lagi, karena hatiku senang melihatnya dapat tertawa lepas dan dapat melupakan sakitnya itu walau hanya sesaat. Setelah ku ucapkan kata-kata itu lagi, kembali Zahara tertawa, ia sangat bahagia sekali saat itu. Seakan-akan ia dapat melupakan sakit yang dideritanya walau hanya sesaat. Dan aku seperti melihat Zahara yang dulu yang sangat cantik dimataku.
Setelah puas membuat Zahara tertawa, aku pun berpamitan untuk pulang. Kembali Zahara berpesan agar aku datang lagi menjenguknya. Aku pun mengiyakan pesannya itu. Selanjutnya aku keluar dari ruangan tempatnya di rawat sambil membawa buku diari milik Zahara yang diberikannya kepadaku, dan diluar aku juga berpamitan dengan Bibinya. Setelah itu aku berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso untuk pulang ke rumahku.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan membuka buku diari milik Zahara. Pada balik kulit buku terdapat nama Elisa Kharismawati. Rupanya nama sebenarnya Zahara adalah Elisa Kharismawati. Zahara itu ternyata hanya nama panggilannya saja ketika dulu dia aktif di Remaja Masjil Al-Falah. Aku kemudian membuka lagi lembaran buku diari Zahara itu. Pada lembar berikutnya terdapat tulisannya yang meyebutkan bahwa buku diari itu sebagai pengganti buku diari milikku si “R” berkarat yang pernah dipinjamnya dahulu tetapi telah terbakar ketika rumahnya terbakar tahun 1993. Ia juga menulis sangat rindu mendengar logat “R” berkaratku. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri membaca tulisannya itu.
Berikutnya tulisan-tulisannya tentang keluh kesah tentang penyakitnya. Dan pada tulisan terakhir ia menulis “Surga atau Neraka ada pada pasanganmu. Jika ingin masuk surga, carilah pasangan yang Sholeh. Jika ingin masuk neraka, carilah pasangan yang bejat. Dan aku telah salah memilih pasangan. Aku telah salah mencintai orang, yang ternyata telah membawaku ke neraka. Dan neraka itu sudah ku rasakan di dunia ini”.
Aku terpaku membaca tulisannya yang terakhir itu. Untuk beberapa saat aku merenungi kata-kata pada tulisan terakhir Zahara itu. Setelah itu aku mengulanginya membaca dari lembar pertama lagi. Buku diari milik Zahara itu belum sampai setengah buku terisi. Dan pada malam itu aku membacanya berulang kali hingga aku tertidur.

----------

Hari-hari berikutnya aku berencana akan menjenguk Zahara lagi, tapi selalu saja ada halangan sehingga rencanaku itu selalu gagal. Dan lebih dari 2 minggu aku belum bisa menjenguk Zahara di rumah sakit. Barulah pada hari Selasa 11 Mei 1999 aku sempat singgah ke rumah sakit untuk menjenguk Zahara, itu pun waktunya sudah hampir jam 7 malam.
Aku pun bergegas memasuki ruangan tempat Zahara di rawat. Tapi ketika aku telah masuk didalam, aku bingung karena tempat Zahara dirawat telah berganti dengan orang lain. Aku bertanya pada orang yang ada di tempat itu kemana pasien yang sebelumnya di rawat di tempat itu. Namun orang yang ada di tempat itu tidak tahu kemana pasien sebelumnya apakah dipindahkan ke tempat lain atau telah pulang.
Mendengar jawaban dari orang itu, hatiku antara bimbang dan senang. Bimbang karena aku belum tahu jika Zahara masih dirawat, kemana ia dipindahkan. Hatiku senang, jika ternyata Zahara telah pulang berarti ia telah sembuh dari penyakitnya. Namun kemudian ada seorang keluarga pasien yang tempat tidurnya beberapa tempat dari tempat Zahara di rawat menyampaikan bahwa pasien yang di rawat sebelumnya telah meninggal dunia kurang lebih dua minggu yang lalu. Aku tersentak mendengar penyampaian keluarga pasien tersebut. Pikiranku langsung kalut dan sangat tidak percaya dengan penyampaian itu.
Melihat aku mulai kalut, keluarga pasien itu berusaha menenangkan, dan mengatakan barangkali ia salah, dan mungkin bukan pasien yang ku maksud itu yang telah meninggal dunia. Ia pun menyuruhku menanyakan langsung kepada perawat penjaga agar aku mendapatkan penjelasan yang tepat tentang pasien yang ku maksud itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung menemui perawat penjaga di bagian tengah ruangan tersebut. Dengan pikiranku yang mulai kalut, aku pun bertanya tentang pasien yang bernama Zahara yang sebelumnya di rawat di ruangan itu. Perawat yang menjaga mulai mencari nama pasien yang bernama Zahara dari buku data pasien yang pernah dan sedang di rawat di ruangan itu. Rupanya tidak ada yang namanya Zahara yang pernah dirawat. Aku pun semakin kalut bagaimana bisa Zahara yang lebih dua minggu yang lalu ku temui di rawat ruangan itu tidak ada namanya.
Dengan situasiku yang semakin kalut, aku pun berusaha menjelaskan posisi tempat Zahara di rawat. Ternyata aku yang salah menyebutkan nama, karena yang ada itu adalah namanya Elisa Kharismawati bukan Zahara. Mendengar perkataan perawat penjaga, barulah aku teringat bahwa nama Zahara yang sebenarnya adalah Elisa Kharismawati. Aku pun kembali bertanya kepada perawat penjaga kemana pasien yang bernama Elisa Kharismawati itu, apakah di pindahkan ke ruangan lain atau telah pulang. Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati telah meninggal dunia pada hari Sabtu 22 April 1999 jam 8 pagi.
Pikiranku langsung kosong saat itu setelah mendengar perkataan perawat penjaga itu bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati telah meninggal dunia. Kaki dan tubuhku pun terasa bergetar. Aku seperti tak dapat mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar tidak menyangka Zahara telah meninggal dunia. Untuk beberapa saat aku hanya dapat terdiam. Perawat penjaga juga hanya bisa terdiam melihatku yang sangat syok mendengar penjelasannya itu.
Setelah beberapa saat aku terdiam, dengan berusaha mengendalikan perasaanku, aku pun bertanya dibawa kemana pasien tersebut ketika meninggal dunia. Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien tersebut dibawa oleh keluarganya, dan ia pun memberikan nama dan alamat keluarganya itu kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas keluar dari ruangan dan menuju keluar rumah sakit Soedarso. Dengan perasaan tidak karuan, langsung saja aku pergi ke alamat yang telah diberikan oleh perawat penjaga, yaitu di salah satu gang di jalan Putri Dara Hitam.
Sesampainya di gang tersebut, ku cari rumah yang dimaksud. Rumah itu pun kudapatkan dan rupanya rumah itu sepi, tidak ada orang didalamnya. Aku pun kemudian bertanya ke tetangga disebelahnya kemana orang yang ada di rumah tersebut. Tetangga itu pun berkata bahwa orang yang tinggal di rumah itu sedang berkerja dan nanti sekitar jam 11 malam baru pulang. Aku pun kembali bertanya dimana tempatnya berkerja. Tetangga itu menjawab bahwa ia berkerja di Jawi Ria di Sungai Jawi.
Setelah mendapat jawaban tersebut, aku pun berterima kasih dan langsung menuju ke Jawi Ria. Sesampainya di Jawi Ria, aku langsung bertanya kepada karyawan yang berkerja di tempat itu nama seseorang yang sedang aku cari. Karyawan di Jawi Ria itu segera memanggil orang yang ku maksud. Orang yang ku maksud itu pun keluar dan rupanya adalah Bibinya Zahara yang selama ia sakit menjaganya di rumah sakit.
Ketika melihatku, Bibinya Zahara yang telah mengenalku itu terlihat berusaha tersenyum, meskipun sangat jelas ia masih memendam kesedihan. Aku pun langsung berkata bahwa aku tadi ke rumah sakit untuk menjenguk Zahara dan ternyata Zahara telah meninggal dunia. Bibinya Zahara dengan nada yang berusaha menahan perasaan membenarkan perkataanku itu, bahwa Zahara telah meninggal dunia lebih dua minggu yang lalu. Kembali aku bertanya dimana Zahara di makamkan. Bibinya Zahara menjawab bahwa Zahara di makamkan di pemakaman di depan Asrama Hidayat, dan ia menjelaskan posisi makamnya di pemakaman itu.
Bibinya Zahara sepertinya melihat aku akan pergi ke makamnya Zahara malam itu juga, ia pun dengan perlahan berkata sebaiknya aku pergi besok saja karena sudah malam dan menunjukkan waktu hanpir jam 9 malam. Kembali ia berkata sebaiknya aku pulang saja dahulu, besok baru pergi ke makamnya Zahara. Aku tidak dapat berkata apa-apa saat itu, dan hanya dapat terdiam. Pikiranku sangat kacau saat itu, dan wajahku terlihat sangat kalut. Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia harus kembali berkerja dan memintaku untuk pulang dan menenangkan diri.
Aku pun mengiyakan perkataan Bibinya Zahara itu. Aku segera pergi dari Jawi Ria. Namun aku tidak langsung pulang ke rumah. Dengan motorku, aku berputar-putar melewati jalan di wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat. Entah berapa kali aku berputar-putar saja melewati jalan itu dengan pikiran dan perasaanku yang kalut. Hingga kemudian aku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku berusaha menenangkan diri di dalam kamarku. Sambil memegang buku diari milik Zahara, aku hanya duduk bersandar di tempat tidur. Hatiku pun sudah tidak sabaran menunggu pagi untuk pergi ke makamnya Zahara. Malam itu aku tak dapat memejamkan mata apalagi untuk tidur. Pikiranku masih terbayang-bayang wajah Zahara dan kenangan pertemuan pertamaku dengan Zahara ketika di Masjid Al-Falah dahulu terus terbayang dalam ingatanku.

----------

Rabu, 12 Mei 1999, selepas Sholat Shubuh aku telah bersiap-siap untuk pergi melihat makam Zahara. Aku menunggu hingga langit terlihat terang. Sepanjang malam aku gelisah dan tidak bisa tidur. Hingga jam setengah lima pagi ku lihat langit telah terang. Aku pun bergegas pergi ke makam Zahara di depan Asrama Hidayat.
Sesampainya di wilayah pemakaman, langsung ku cari makamnya Zahara sesuai penjelasan Bibinya Zahara tadi malam. Makam yang masih baru itu pun dari jauh telah terlihat. Dengan perasaan yang berkecamuk, aku pun semakin berjalan mendekati makam itu dan terlihatlah tulisan pada nisan di makam itu “Elisa Kharismawati”. Aku langsung terpaku melihat nisan itu. Dan tanpa dapat sanggup ku bendung, air mataku pun tumpah. Aku benar-benar tidak menyangka ini terjadi.
Dengan terisak, aku memanjatkan do’a bagi arwah Zahara. Setelah berdo’a, cukup lama aku hanya dapat terdiam sambil tak berhenti terisak memandang makam dan nisannya Zahara. Hingga kemudian aku memegang nisannya dan berkata bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian buku diarinya itu. Dan aku akan mengisi buku diarinya itu hingga penuh.
Selanjutnya aku pergi dari makamnya Zahara, dan meninggalkan wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat itu. Sepanjang jalan air mataku tak berhenti keluar. Wajah Zahara dengan jilbabnya yang rapi terus terbayang dalam pikiranku.

Untuk Zahara :
Di pusaramu aku hanya sanggup terdiam
Dengan air mata yang tumpah tanpa sanggup ku tahan
Nisan yang tertulis namamu berdiri tegak
Dan telah menumbangkan harapanku
Aku ambruk dengan kenyataan ini
Andai ku dapat memutar waktu
Andai ku dapat tentukan takdir
Ku ingin lebih lama mengenalmu
Meski kita telah berbeda dunia
Tapi kenangan bersamamu
Menjadi kenangan terindah dalam hidupku
Dan tak akan ku hapus namamu dari hatiku

Selamat jalan Zahara...
Semoga dirimu tenang di sisi-Nya
Dan aku akan selalu mendo’akanmu

Rabu, 12 Mei 1999
Pontianak, 10.00 malam

--- TAMAT ---




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUNGKUI THE TRADITIONAL CULINARY OF SANGGAU

Sungkui is a traditional Sanggau food made of rice wrapped in Keririt leaves so that it is oval and thin and elongated. Sungkui is a typical...