ANTARA ZAHARA, ELISA, DAN KEMATIAN
--- JILID 6 ---
- TAMAT -
Setelah tidak mendapat
Narkoba dari teman suaminya itu, hidup Zahara semakin sengsara akibat
ketergantungannya kepada Narkoba. Setelah teman suaminya tidak mau lagi
mencarikannya pelanggan karena penyakit Sifilisnya, ia pun menjual dirinya di
pasar-pasar dengan harga sangat murah asalkan ia dapat uang untuk membeli
Narkoba. Tempat transaksi seksualnya pun sangat memperihatinkan yaitu di
lorong-lorong pasar yang kotor, dibalik kotak-kotak jualan yang berbau busuk
dan dibalik gerobak-gerobak yang bertanah becek. Dimanapun tempatnya akan
dilayaninya asalkan ia dapat uang. Pelanggannya pun dari kalangan bawah dengan
bayaran sangat murah.
Untuk beberapa bulan ia
menjadi wanita tuna susila yang menjual dirinya dengan harga murah
dipasar-pasar, dan penyakit Sifilisnya itu belum diketahui orang. Namun
beberapa bulan berikutnya yaitu pada tahun 1998, penyakit Sifilis yang
dideritanya akhirnya diketahui orang. Pelanggannya banyak yang tertular
penyakit kotornya itu. Ia pun tidak diperbolehkan lagi mangkal di pasar-pasar
karena membawa penyakit kotor.
Setelah tidak diperbolehkan
lagi mangkal di pasar-pasar, Zahara pun tidak mendapatkan pendapatan apa-apa.
Ia tidak dapat membeli Narkoba karena tidak memiliki uang. Hidupnya benar-benar
sengsara saat itu karena sedang dalam pengaruh ketergantungan yang sangat
tinggi terhadap Narkoba. Kecanduan Narkoba telah menciptakan hidupnya bagai
dalam neraka.
Namun pada pertengahan tahun
1998, ketergantungannya terhadap Narkoba sedikit berkurang akibat semakin
parahnya penyakit Sifilis yang di deritanya. Dari vaginanya pun semakin banyak mengeluarkan
nanah yang berbau sangat busuk, sehingga siapa pun yang didekatnya akan mencium
bau busuk tersebut. Tubuhnya semakin kurus dan lemah. Matanya juga menjadi
cekung. Penyakit Sifilis yang parah di deritanya telah mengurangi kecanduannya
terhadap Narkoba.
Penghujung tahun 1998,
tubuhnya ambruk akibat penyakit Sifilis yang sangat parah di deritanya. Ia pun
dibawa ke rumah sakit Soedarso oleh Bibinya, dan dirawat di rumah sakit itu.
Untuk beberapa bulan di rumah sakit, Zahara hanya terbaring saja akibat
tubuhnya yang telah menjadi lemah. Barulah awal April 1999 ini saja ia sudah
dapat duduk.
Setelah cukup lama aku
mendengarkan cerita Zahara, Bibinya pun datang untuk menjaganya. Aku pun
berkata kepada Zahara bahwa aku harus pulang karena aku ada keperluan malam
itu. Zahara mengiyakannya tetapi ia meminta aku untuk datang lagi besok. Aku
tidak dapat berjanji karena khawatir aku ada halangan. Zahara dengan nada memaksa
meminta aku untuk datang lagi. Jika tidak dapat datang besok, lusa juga tidak
apa-apa. Pokoknya ia memaksa aku untuk datang lagi menjenguknya.
Karena kuatnya keinginan
Zahara untuk memintaku datang lagi, maka aku berkata bahwa aku akan
mengusahakan untuk menjenguknya lagi. Mendengar jawabanku itu terlihat Zahara
sangat senang. Selanjutnya aku berpamitan untuk pulang kepada Zahara dan
Bibinya. Tidak lupa ku katakan kepada Zahara untuk menguatkan hatinya agar ia
dapat bersemangat lagi menjalani hidup. Dengan wajah yang terlihat terharu,
Zahara hanya menganggukkan kepalanya. Selanjutnya aku keluar dari ruangan
tempat Zahara di rawat dan langsung berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso
untuk pulang ke rumah.
----------
Dua hari berikutnya setelah
pertemuanku dengan Zahara, aku pun menyempatkan diri untuk menjenguknya lagi di
rumah sakit Soedarso. Saat itu sudah hampir Maghrib. Aku memasuki ruangan
tempat Zahara di rawat. Dan terlihat Bibinya sedang menyuapinya makan saat itu.
Melihat kedatanganku, Zahara sangat senang sekali. Aku pun berdiri di ujung
dekat tempat tidurnya sambil menunggunya selesai disuapkan makan oleh Bibinya.
Selesai makan, Zahara
meminta Bibinya untuk mengambil sesuatu dari lemari kecil di dekat tempat
tidurnya. Bibinya pun segera mengambilkan benda yang diminta oleh Zahara dan
memberikan kepadanya. Setelah memberikan benda itu kepada Zahara, Bibinya pergi
keluar untuk memberikan kesempatan kepada kami berbicara berdua.
Sambil memegang sesuatu yang
terbungkus dalam sebuah plastik hitam, Zahara bertanya mengapa aku baru
menjenguknya lagi. Ku katakan bahwa aku ada kesibukan dua hari ini. Zahara pun
hanya menganggukkan kepalanya saja mendengar jawabanku itu. Selanjutnya ia
mengeluarkan benda yang terbungkus dalam plastik hitam itu. Rupanya benda itu
adalah sebuah buku diari.
Sambil memegang buku diari
itu, Zahara berkata bahwa ia meminta maaf karena tidak bisa mengembalikan buku
diariku yang pernah dipinjamnya. Aku pun berkata bahwa aku sudah tidak ingat
lagi dengan buku diariku itu, dan tidak apa-apa jika ia tidak bisa
mengembalikan buku diariku itu.
Selanjutnya ia berkata lagi
bahwa ia sangat senang membaca tulisanku saat itu meskipun hanya selembar saja,
tetapi selalu dibacanya berulang kali. Setelah tidak bertemu lagi denganku,
buku diariku itu di lanjutkannya dengan tulisannya hingga habis satu buku.
Namun pada tahun 1993, rumahnya terbakar dan buku diariku itu juga ikut
terbakar, padahal buku diariku itu sudah terisi semuanya dengan
tulisan-tulisannya.
Tahun 1997, ketika ia mulai
terkena penyakit Sifilis, ia teringat kepada buku diariku yang telah terbakar
bersama rumahnya. Ia pun membeli buku diari baru untuk tempatnya menumpahkan
perasaannya. Dan buku diari itu sedang dipegangnya saat itu. Namun buku diari
yang baru itu belum penuh semuanya, karena ia menulisnya ketika sedang susah
hati atau merasa kesepian saja. Ia pun memintaku untuk menerima buku diarinya
itu sebagai ganti buku diariku yang pernah dipinjamnya namun ikut terbakar
bersama rumahnya.
Zahara kemudian memberikan
buku diari itu yang kulitnya berwarna kuning gelap kepadaku. Aku pun
menerimanya. Sambil memberikannya kepadaku, Zahara berkata agar aku mau
melanjutkan menulis buku diari itu hingga penuh. Aku pun berkata bahwa aku akan
melanjutkan menulisnya hingga penuh. Selanjutnya kami pun berbincang-bincang
tentang kesembuhan penyakitnya.
Setelah cukup lama kami
berbincang-bincang, aku pun berkata bahwa aku akan pulang. Zahara pun
mengiyakan, namun kembali ia meminta dengan nada memaksa agar aku dapat datang
lagi menjenguknya. Aku pun berkata bahwa aku akan mengusahakan untuk
menjenguknya lagi. Rupanya jawabanku itu terlihat belum memuaskannya, ia
kembali mengulang permintaannya agar aku dapat menjenguknya lagi. Kembali ku
katakan bahwa aku akan menjenguknya lagi. Setelah berkali-kali ku katakan bahwa
aku akan datang menjenguknya lagi barulah Zahara terlihat senang.
Selanjutnya aku berpamitan
akan pulang. Namun ketika aku berpamitan, Zahara memintaku untuk mengucapkan
kata-kata “Ular melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”, Zahara mengatakan
bahwa ia rindu mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Aku sambil tersenyum
mengatakan enggan untuk mengucapkannya. Namun Zahara memaksa sambil berkata
bahwa ia sangat ingin mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Zahara juga
berkata bahwa logat “R” berkaratku dalam mengucapkan kata-kata itu sangat
membahagiakan hatinya, dan sebagai penghibur baginya yang sedang sakit itu.
Mendengar perkataan Zahara
itu, aku pun mengabulkan permintaannya. Aku langsung mengucapkan kata-kata
“Ular melingkar-lingkar dipagar rumah Pak Umar”. Setelah aku mengucapkan
kata-kata itu, Zahara langsung tertawa. Selama aku bertemunya di rumah sakit,
baru kali itu aku melihatnya tertawa lepas dan terlihat sangat bahagia. Hatiku
pun ikut senang melihatnya.
Kemudian kembali Zahara
meminta aku untuk mengulanginya lagi menyebut kata-kata itu. Aku pun kembali
mengulanginya menyebut kata-kata itu lagi, karena hatiku senang melihatnya
dapat tertawa lepas dan dapat melupakan sakitnya itu walau hanya sesaat.
Setelah ku ucapkan kata-kata itu lagi, kembali Zahara tertawa, ia sangat
bahagia sekali saat itu. Seakan-akan ia dapat melupakan sakit yang dideritanya
walau hanya sesaat. Dan aku seperti melihat Zahara yang dulu yang sangat cantik
dimataku.
Setelah puas membuat Zahara
tertawa, aku pun berpamitan untuk pulang. Kembali Zahara berpesan agar aku
datang lagi menjenguknya. Aku pun mengiyakan pesannya itu. Selanjutnya aku
keluar dari ruangan tempatnya di rawat sambil membawa buku diari milik Zahara
yang diberikannya kepadaku, dan diluar aku juga berpamitan dengan Bibinya.
Setelah itu aku berjalan keluar dari rumah sakit Soedarso untuk pulang ke
rumahku.
Sesampainya di rumah, aku
langsung masuk ke kamar dan membuka buku diari milik Zahara. Pada balik kulit
buku terdapat nama Elisa Kharismawati. Rupanya nama sebenarnya Zahara adalah
Elisa Kharismawati. Zahara itu ternyata hanya nama panggilannya saja ketika
dulu dia aktif di Remaja Masjil Al-Falah. Aku kemudian membuka lagi lembaran
buku diari Zahara itu. Pada lembar berikutnya terdapat tulisannya yang
meyebutkan bahwa buku diari itu sebagai pengganti buku diari milikku si “R”
berkarat yang pernah dipinjamnya dahulu tetapi telah terbakar ketika rumahnya
terbakar tahun 1993. Ia juga menulis sangat rindu mendengar logat “R”
berkaratku. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri membaca tulisannya itu.
Berikutnya
tulisan-tulisannya tentang keluh kesah tentang penyakitnya. Dan pada tulisan
terakhir ia menulis “Surga atau Neraka ada pada pasanganmu. Jika ingin masuk
surga, carilah pasangan yang Sholeh. Jika ingin masuk neraka, carilah pasangan
yang bejat. Dan aku telah salah memilih pasangan. Aku telah salah mencintai
orang, yang ternyata telah membawaku ke neraka. Dan neraka itu sudah ku rasakan
di dunia ini”.
Aku terpaku membaca
tulisannya yang terakhir itu. Untuk beberapa saat aku merenungi kata-kata pada
tulisan terakhir Zahara itu. Setelah itu aku mengulanginya membaca dari lembar
pertama lagi. Buku diari milik Zahara itu belum sampai setengah buku terisi.
Dan pada malam itu aku membacanya berulang kali hingga aku tertidur.
----------
Hari-hari berikutnya aku
berencana akan menjenguk Zahara lagi, tapi selalu saja ada halangan sehingga
rencanaku itu selalu gagal. Dan lebih dari 2 minggu aku belum bisa menjenguk
Zahara di rumah sakit. Barulah pada hari Selasa 11 Mei 1999 aku sempat singgah
ke rumah sakit untuk menjenguk Zahara, itu pun waktunya sudah hampir jam 7
malam.
Aku pun bergegas memasuki
ruangan tempat Zahara di rawat. Tapi ketika aku telah masuk didalam, aku
bingung karena tempat Zahara dirawat telah berganti dengan orang lain. Aku
bertanya pada orang yang ada di tempat itu kemana pasien yang sebelumnya di
rawat di tempat itu. Namun orang yang ada di tempat itu tidak tahu kemana
pasien sebelumnya apakah dipindahkan ke tempat lain atau telah pulang.
Mendengar jawaban dari orang
itu, hatiku antara bimbang dan senang. Bimbang karena aku belum tahu jika
Zahara masih dirawat, kemana ia dipindahkan. Hatiku senang, jika ternyata
Zahara telah pulang berarti ia telah sembuh dari penyakitnya. Namun kemudian
ada seorang keluarga pasien yang tempat tidurnya beberapa tempat dari tempat
Zahara di rawat menyampaikan bahwa pasien yang di rawat sebelumnya telah
meninggal dunia kurang lebih dua minggu yang lalu. Aku tersentak mendengar
penyampaian keluarga pasien tersebut. Pikiranku langsung kalut dan sangat tidak
percaya dengan penyampaian itu.
Melihat aku mulai kalut,
keluarga pasien itu berusaha menenangkan, dan mengatakan barangkali ia salah,
dan mungkin bukan pasien yang ku maksud itu yang telah meninggal dunia. Ia pun
menyuruhku menanyakan langsung kepada perawat penjaga agar aku mendapatkan penjelasan
yang tepat tentang pasien yang ku maksud itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi,
aku langsung menemui perawat penjaga di bagian tengah ruangan tersebut. Dengan
pikiranku yang mulai kalut, aku pun bertanya tentang pasien yang bernama Zahara
yang sebelumnya di rawat di ruangan itu. Perawat yang menjaga mulai mencari
nama pasien yang bernama Zahara dari buku data pasien yang pernah dan sedang di
rawat di ruangan itu. Rupanya tidak ada yang namanya Zahara yang pernah
dirawat. Aku pun semakin kalut bagaimana bisa Zahara yang lebih dua minggu yang
lalu ku temui di rawat ruangan itu tidak ada namanya.
Dengan situasiku yang
semakin kalut, aku pun berusaha menjelaskan posisi tempat Zahara di rawat.
Ternyata aku yang salah menyebutkan nama, karena yang ada itu adalah namanya
Elisa Kharismawati bukan Zahara. Mendengar perkataan perawat penjaga, barulah
aku teringat bahwa nama Zahara yang sebenarnya adalah Elisa Kharismawati. Aku
pun kembali bertanya kepada perawat penjaga kemana pasien yang bernama Elisa
Kharismawati itu, apakah di pindahkan ke ruangan lain atau telah pulang.
Perawat penjaga kemudian berkata bahwa pasien yang bernama Elisa Kharismawati
telah meninggal dunia pada hari Sabtu 22 April 1999 jam 8 pagi.
Pikiranku langsung kosong
saat itu setelah mendengar perkataan perawat penjaga itu bahwa pasien yang
bernama Elisa Kharismawati telah meninggal dunia. Kaki dan tubuhku pun terasa
bergetar. Aku seperti tak dapat mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar tidak
menyangka Zahara telah meninggal dunia. Untuk beberapa saat aku hanya dapat
terdiam. Perawat penjaga juga hanya bisa terdiam melihatku yang sangat syok
mendengar penjelasannya itu.
Setelah beberapa saat aku
terdiam, dengan berusaha mengendalikan perasaanku, aku pun bertanya dibawa
kemana pasien tersebut ketika meninggal dunia. Perawat penjaga kemudian berkata
bahwa pasien tersebut dibawa oleh keluarganya, dan ia pun memberikan nama dan alamat
keluarganya itu kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas keluar
dari ruangan dan menuju keluar rumah sakit Soedarso. Dengan perasaan tidak
karuan, langsung saja aku pergi ke alamat yang telah diberikan oleh perawat
penjaga, yaitu di salah satu gang di jalan Putri Dara Hitam.
Sesampainya di gang
tersebut, ku cari rumah yang dimaksud. Rumah itu pun kudapatkan dan rupanya
rumah itu sepi, tidak ada orang didalamnya. Aku pun kemudian bertanya ke
tetangga disebelahnya kemana orang yang ada di rumah tersebut. Tetangga itu pun
berkata bahwa orang yang tinggal di rumah itu sedang berkerja dan nanti sekitar
jam 11 malam baru pulang. Aku pun kembali bertanya dimana tempatnya berkerja.
Tetangga itu menjawab bahwa ia berkerja di Jawi Ria di Sungai Jawi.
Setelah mendapat jawaban
tersebut, aku pun berterima kasih dan langsung menuju ke Jawi Ria. Sesampainya
di Jawi Ria, aku langsung bertanya kepada karyawan yang berkerja di tempat itu
nama seseorang yang sedang aku cari. Karyawan di Jawi Ria itu segera memanggil
orang yang ku maksud. Orang yang ku maksud itu pun keluar dan rupanya adalah
Bibinya Zahara yang selama ia sakit menjaganya di rumah sakit.
Ketika melihatku, Bibinya
Zahara yang telah mengenalku itu terlihat berusaha tersenyum, meskipun sangat
jelas ia masih memendam kesedihan. Aku pun langsung berkata bahwa aku tadi ke
rumah sakit untuk menjenguk Zahara dan ternyata Zahara telah meninggal dunia.
Bibinya Zahara dengan nada yang berusaha menahan perasaan membenarkan
perkataanku itu, bahwa Zahara telah meninggal dunia lebih dua minggu yang lalu.
Kembali aku bertanya dimana Zahara di makamkan. Bibinya Zahara menjawab bahwa
Zahara di makamkan di pemakaman di depan Asrama Hidayat, dan ia menjelaskan
posisi makamnya di pemakaman itu.
Bibinya Zahara sepertinya
melihat aku akan pergi ke makamnya Zahara malam itu juga, ia pun dengan
perlahan berkata sebaiknya aku pergi besok saja karena sudah malam dan
menunjukkan waktu hanpir jam 9 malam. Kembali ia berkata sebaiknya aku pulang
saja dahulu, besok baru pergi ke makamnya Zahara. Aku tidak dapat berkata
apa-apa saat itu, dan hanya dapat terdiam. Pikiranku sangat kacau saat itu, dan
wajahku terlihat sangat kalut. Selanjutnya ia berkata lagi bahwa ia harus
kembali berkerja dan memintaku untuk pulang dan menenangkan diri.
Aku pun mengiyakan perkataan
Bibinya Zahara itu. Aku segera pergi dari Jawi Ria. Namun aku tidak langsung
pulang ke rumah. Dengan motorku, aku berputar-putar melewati jalan di wilayah
pemakaman di depan Asrama Hidayat. Entah berapa kali aku berputar-putar saja
melewati jalan itu dengan pikiran dan perasaanku yang kalut. Hingga kemudian
aku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku
berusaha menenangkan diri di dalam kamarku. Sambil memegang buku diari milik
Zahara, aku hanya duduk bersandar di tempat tidur. Hatiku pun sudah tidak
sabaran menunggu pagi untuk pergi ke makamnya Zahara. Malam itu aku tak dapat
memejamkan mata apalagi untuk tidur. Pikiranku masih terbayang-bayang wajah
Zahara dan kenangan pertemuan pertamaku dengan Zahara ketika di Masjid Al-Falah
dahulu terus terbayang dalam ingatanku.
----------
Rabu, 12 Mei 1999, selepas
Sholat Shubuh aku telah bersiap-siap untuk pergi melihat makam Zahara. Aku menunggu
hingga langit terlihat terang. Sepanjang malam aku gelisah dan tidak bisa
tidur. Hingga jam setengah lima pagi ku lihat langit telah terang. Aku pun
bergegas pergi ke makam Zahara di depan Asrama Hidayat.
Sesampainya di wilayah
pemakaman, langsung ku cari makamnya Zahara sesuai penjelasan Bibinya Zahara
tadi malam. Makam yang masih baru itu pun dari jauh telah terlihat. Dengan perasaan
yang berkecamuk, aku pun semakin berjalan mendekati makam itu dan terlihatlah
tulisan pada nisan di makam itu “Elisa Kharismawati”. Aku langsung terpaku
melihat nisan itu. Dan tanpa dapat sanggup ku bendung, air mataku pun tumpah. Aku
benar-benar tidak menyangka ini terjadi.
Dengan terisak, aku
memanjatkan do’a bagi arwah Zahara. Setelah berdo’a, cukup lama aku hanya dapat
terdiam sambil tak berhenti terisak memandang makam dan nisannya Zahara. Hingga
kemudian aku memegang nisannya dan berkata bahwa aku sangat berterima kasih
atas pemberian buku diarinya itu. Dan aku akan mengisi buku diarinya itu hingga
penuh.
Selanjutnya aku pergi dari
makamnya Zahara, dan meninggalkan wilayah pemakaman di depan Asrama Hidayat
itu. Sepanjang jalan air mataku tak berhenti keluar. Wajah Zahara dengan
jilbabnya yang rapi terus terbayang dalam pikiranku.
Untuk Zahara :
Di pusaramu aku hanya sanggup terdiam
Dengan air mata yang tumpah tanpa sanggup ku
tahan
Nisan yang tertulis namamu berdiri tegak
Dan telah menumbangkan harapanku
Aku ambruk dengan kenyataan ini
Andai ku dapat memutar waktu
Andai ku dapat tentukan takdir
Ku ingin lebih lama mengenalmu
Meski kita telah berbeda dunia
Tapi kenangan bersamamu
Menjadi kenangan terindah dalam hidupku
Dan tak akan ku hapus namamu dari hatiku
Selamat jalan Zahara...
Semoga dirimu tenang di sisi-Nya
Dan aku akan selalu mendo’akanmu
Rabu, 12 Mei 1999
Pontianak, 10.00 malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar